“Lu pergi hari ini?” Alana beringsut. Setelah cukup lama tidur tak mengerjakan apa pun di atas kasur. Hanya mengobrol dengan Layla, scrolling media sosial yang tidak ada ujungnya.
Sore jatuh, menggantikan pagi dan siang hari ini yang dihabiskan Zeline di rumah bercanda dengan Alana dan Layla. Siapa yang menyangka persabatan di antara mereka bertiga terjalin secepat itu. Mereka punya humor dan selera bercanda yang sama. Zeline tak perlu merasa sungkan atas semua tingkah usilnya karen Alana dan Layla sudah pasti langsung mengerti.
“Iya nih, gue juga jadi heran. Kamu, eh maksudnya lu.” Layla meringis. Lidahnya masih kaku dengan dua kata ‘Lo Gue’. “Lo ke mana aja sih, tiap jam segini selalu ngilang nggak tau ke mana. Pulang-pulang pagi,” tandas Layla yang duduk menjajari Alana. Bersandar di pintu lemari, beralas kasur lantai tipis yang sekaligus alas tidur bagi mereka.
“Ada deh,” jawab Zeline singkat. Tubuh
Dingin udara apartemen mewah ini kembali menyentuh kulit Zeline. Lampu gantung dengan rangkaian kaca bermotif berlian memendarkan sinar jingga yang lembut. Turun, bercampur dengan lampu putih yang tak kalah cerah. Hinggap di lapisan kulit Zeline.Gadis itu, masih jadi satu-satunya orang yang mengisi kamar apartemen kosong ini. Tadi setibanya di apartemen Zeline baru sadar kalau Om Firman mengiriminya pesan sedang keluar sebentar mengurusi beberapa usaha yang baru dirintisnya.Zeline duduk di sofa, menyimak televisi yang menyajikan berita di depannya. Masih dengan kemeja kotak-kotak kebesaran yang ia kenakan sejak dari rumah. Bedanya, celana levi’s itu sudah tanggal.Menyisakan celana pendek yang hanya mampu menutupi pangkal pahanya. Lebih panjang ujung kemejanya daripada celana putih pendek itu. Wajahnya yang cantik dibalut bedak tipis. Tak lupa lipstik merah menyala, dan parfum khas kesukaannya.Bosan dengan televisi di hadapannya, Zeline mengangka
“Sa‐sayang, are you–““Serious?” potong Om Firman cepat sembari menyeriangai penuh kemenangan. Bayangan yang tercetak di wajahnya dari sorot lampu apartemen menambah kesan seram pria sugar daddy Zeline tersebut. “Yes I’am. Aku tak pernah lebih serius dari ini, sayang.”Mata Zeline terbelalak, alisnya terangkat. Kerongkongannya mendadak mengering, lidahnya kelu. Hiam bola matanya bergetar nanar menelisik mata laki-laki di sebelahnya. “Tapi sayang ...,” rengek Zeline.Suara rengekan tertahannya sudah seperti seekor rusa yang lehernya telah dicengkeram kuat taring singa. Zeline ingin berteriak melayangkan protes tak terima. Tapi di saat yang sama, realita bahwa ia di tempat ini hanya bekerja jadi teman tidur Om Firman mencekik lehernya.Om Firman hanya tersenyum, menatap sendu wajah gadis itu. Menelusuri garis wajah Zeline dengan jari-jari besarnya. “Zeline-Zeline, kau sepertinya lupa dengan a
Meski tampak ragu tapi lagi-lagi Zeline tak bisa mengelak. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan jantungnya yang berdetak jauh lebih cepat dari sebelumnya. Indra di tubuhnya sekakan ikut merespon jadi terasa semakin sensitif. Setiap sentuhan yang dilakukan Om Firman terasa dua kali leibih menggelikan. Tak hanya sentuhan, Zeline sampai menelan ludah, menatap wajah Om Firman yang jadi beringas.Pria yang bersimpuh persis di depannya. Kepalanya berada persis di depan pangkal paha Zeline. Mendongakkan wajahnya menatap ke atas. Posisinya berada persis di bawah liang kewanitaan Zeline. Sudah jelas laki-laki itu bisa menyaksikan semuanya dari sana. Lekuk tubuh Zeline, bahkan hingga ke dalam lubang vaginanya yang ditumbuhi bulu halus miliknya.Zeline menelan ludah lagi. Membayangkan isi botol ini jatuh ke atas permukaan kulitnya. Sementara hanya memegang botolnya saja Zeline bisa merasakan betapa dingin botol itu di telapak tangannya.Zeline memejam, ia tak ingin membua
Meski suasana sudah semakin panas, dan kepala Om Firman yang terus naik di tubuhnya. Lidah itu puas bermain di sana, di pusarnya. Kini naik, menelusuri garis bukit kembarnya. Lidah itu menjulur, menapaki kulit Zeline dengan ujungnya. Zeline hanya bisa pasrah. Bibirnya merancu tidak jelas, mendesah, melenguh, mengumpat. Apa saja yang ingin ia katakan. Menggambarkan kenikmatan yang kini tengah ia rasakan. Menggambarkan birahi yang tengah memuncak di kepalanya. Zeline tak lagi protes soal permainan ini. Justru sebaliknya, Zeline tak sadar sungguh benar-benar menikmatinya. Hingga tak terasa cairan anggur merah itu semakin banyak jatuh dari bibir botolnya. Kini sudah menyusup di antara dua pahanya. Membasahi dua bilah bibir vaginanya. Bercampur dengan lendirnya sendiri. Zeline memekik, Om Firman dengan sengaja menggigit kecil puncak bukit kembarnya. Lidahnya bermain di sana. Berputar, beradu ujung lidah dengan ujung daging kenyal yang sudah bangun terangsang
Dua tahun setelah pertemuan pertama Zeline dengan Alana dan Layla. Perjalanan waktu yang tak terasa sudah berjalan sejauh ini.Hari ke tujuh ratus lima puluh, setidaknya itu yang tertulis di catatan kalender ponsel Alana. Karena untuk pertaman kalinya hidup jauh dari rumah, Alana iseng-iseng menandai hari pertama mereka menginjakkan kaki di Kota Gani. Siapa yang menyangka Alana bahkan bisa bertahan sejauh ini.Uniknya lagi setelah satu tahun berlalu, Alana dan Layla enggan berpisah dengan Zeline. Mereka berdua memutuskan untuk memperjanjang umur kontrakan dan sekaligus memperpanjang kontrak hidup dengan Zeline.“Kayaknya emang kebanyakan orang kota tuh sama modelannya kayak Zeline semua deh,” tukas Layla waktu itu saat ditanya Alana soal apa masih perlu mereka pergi menjauh dari Zeline.“Nah, kebetulan gue juga mikir hal yang sama, La.” Alana menyahuti dengan logat ‘Lo’ dan ‘Gue’ nya yang s
“Nggak.” Layla menelan senyumnya. “Nggak papa kok, Al.” Keputusannya bulat, ia tak ingin memberitahu Alana apa yang ia pikirkan.“Ih…. Bikin penasaran aja!” dengus Alana sebal.“Hehehe… “Layla terpaksa melakukannya. Tak mungkin rasanya ia memberitahu Alana tentang apa yang ia pikirkan. Soal kemungkinan Zeline membeli peringkat rangking itu. Berita yang berembus cukup kencang tentang kedekatan Zeline dengan para dosen kampus bukan isapan jempol semata. Meski berlum mempunyai bukti, tapi Layla yakin itu benar.Satu-satunya alasan logis kenapa Zeline bisa ada di puncak rangking cuma apa yang ia pikirkan. Pilihan Layla menyembunyikan dugaannya dari Alana bukan tanpa risiko. Alana terus melipat wajah sepanjang jalan. Suasana di antara mereka berdua jadi canggung untuk waktu yang cukup lama.Untungnya, toko buku segera berhasil mencairkan suasana.Lampu berwarna jingga yang berpendar,
“Zel, tapi itu kan sudah lama lewat.” Layla mendelik menyudutkan Zeline. “Gue emang nggak tahu persis apa luka itu masih ada di hati lo, Zel. Tapi kami butuh teman untuk les yang kami rintis ini, Zel.” Layla menelan ludah, kalimatnya terjeda. “Gue mohon, Zel. Kami perlu dia.”Zeline lawan bicara Layla melotot bali. “Apa luka itu masih ada?” Mata Zeline tajam menusuk ke dalam polos mata Layla. “Gini aja deh. Kalau kalian berdua masih ingin sama Arya. Mending biar gue aja yang cabut dari rumah ini.”Belakangan ini, gagasan Layla tentang mendirikan les kecil-kecilan mulai diseriusi Alana. Mereka berdua yang awalnya ragu karena jadwal kuliah awal masuk cukup padat sekarang punya cukup banyak waktu luang memasuki semester pertengahan. Alana yang sudah punya banyak followers di Instagram yakin bisa merekrut banyak murid dan bisa mendirikan tempat les kecil-keci
Namun yang tidak Zeline tahu adalah dengan siapa ia berhadapan, dengan siapa ia berbicara menuturkan semua kisah hidup yang ia jalani. Sama tidak tahunya Zeline dengan seberapa kejam Arya Baskara yang sebenarnya. Hingga dua belah pihak itu kemudian saling menciptakan kemelut. Seperti gotong royong menciptakan badai yang lebih besar di muara hati Zeline.Persis di usianya ke dua puluh tahun. Persis tiga tahun setelah ia angkat kaki dari rumah kemudian bertemu hidup dan keluarga yang lebih menyayanginya. Bencana besar kembali datang.Malam itu, makan malam yang hangat di ruang makan yang disirami lampu jingga lengkap dengan lilin yang tersusun di atas meja. Mereka bertiga yang duduk memutar. Tangan ditangkupkan, jari-jari saling isi di sela jari tangan satunya. Memejamkan mata, memanjatkan doa sebelum makan.Dan persis saat doa selesai, mata terbuka, cahaya putih menembak dari luar. Cahaya yang menyilaukan mata, memenuhi seisi ruangan, masuk lewat jendela. Zeline
“Lu jadi tanyain soal siapa Zeline ke orangnya langsung gitu?” Alana menelisik wajah Layla dengan tatap penasaran. “Gila lo, La.”Di tempat duduknya, Layla mengangguk mantap. “Nggak ada cara lain kan, Al? Tapi emang mungkin harus pelan-pelan, Al. Dia nggak bakal mau langsung ngaku. Tapi mungkin firasat lo di chat Whatsapps itu benar. Tadi Zeline rada gelagapan, pas gua bilang kalo gua udah tahu siapa dia.”Alana menghela napas panjang. “Itu artinya kita masih belum bisa tahu siapa dia ya.”“Lebih tepatnya, Zeline belum mengakui. Hhmmm…”Layla berdeham panjang. “Belum mengakui bukan berarti kita nggak tahu ‘kan? Bukannya kita udah bisa menarik kesimpulan kan sebenarnya? Bahwa Zeline sebenarnya adalah seorang pe—““Nggak boleh gitu, La. Nggak baik berasumsi soal orang lain,” potong Alana cepat. “Itu jahat banget. Bisa aja memang Zeline sebelumnya udah
“Zel! Eh, Nggak usah bercanda lo! Ah, lu parah. Kelewatan bercandanya,” sergah Layla. Masih tak percaya, masih menggeliat mencoba meloloskan dirinya dari cengkeraman tangan Zeline yang sudah di depan mendahului lagkah kakinya.Zeline seolah tak peduli lagi dengan apa yang dikatakan bibir Layla. Lebih tepatnya, Zeline tak mau tahu soal itu. Zeline hanya mau tahu bagaimana caranya menyeret Layla yang bertubuh lebih berisi ke meja resepsionis rumah sakit setinggi dada di depan pintu masuk.“Mbak saya mau…. “Belum sempat Zeline menyelesaikan kalimatnya, dua orang perawat dengan seragam serba hijau langsung melemparkan tatapan bingung. Dua orang di depan Zeline saling tatap. Sebelum salah satu dari mereka menyadari ada Layla di belakang Zeline.“Oh, mbak ini kan yang semalam ya?” Pegawai rumah sakit yang akhirnya sadar bahwa yang diseret Zeline adalah Layla berujar. Membenahi kaca matanya yang tadinya menggantung di
“Oh my god!” Zeline melongo tak percaya. Matanya berhenti berkedip untuk waktu yang cukup lama. Melongo tak percaya, tak bisa berhenti menatap kosong wajah Layla di depannya. “Itu bukan angka yang sedikit, La. Ka-kamu nggak lagi bercanda kan?”Layla menggelengkan kepala. Memijat dahinya dengan dua jari telunjuknya. “Gu–gua, gua nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi, Zel. Lo harapan terakhir gua.”Zeline menghela napas panjang. Memejam, memikirkan banyak hal. Ia tak tahu harus berkata apa lagi soal ini. Bukannya tidak mau membantu Layla. Bukan pula karena ia tak ada uang segitu di rekening.“Kumohon, Zel.”Suara Layla yang mengemis menambah kemelutpikiran Zeline. “Kumohon… “ rintihnya.Persoalan ini sungguh rumit jika ingat dari mana Zeline mendapatkan uangnya, dari jasa haram melayani laki-laki hidung belang. Zeline tahu betul betapa susahnya mencari uang yang terkumpul di rekeningnya. Betapa susah melayani Om Firman dan laki-laki lain di 2 tahun belakangan ini dengan semua per
Layla memutar leher berpaling ke arah Zeline. Mati-matian Layla menelan rasa sedihnya hanya untuk terlihat tegar di depan Zeline. Namun tetap saja wajah polosnya yang tampak basah tak bisa berbohiong. Sejak semalam saat sekonong-konyongnya Layla pulang ke kampung, ia masih saja menangisi bapaknya.Namun tentu saja Zeline harus tetap tersenyum. Harus, tidak boleh tidak. Ia tak mau membuat Layla semakin terpuruk dengan ujian yang menimpanya.Lagipula, dua perempuan itu sudah menangis. Zeline tak ingin menyusul. Ia tak ingin meneteskan air matanya di sini. Sekuat hati Zeline harus menahan air matanya. Kedua kakinya melangkah mendekat. Tubuh kuning langsat ramping itu melenggang dengan keranjang buah berpita cantik di tangannya.Sampai Zeline cukup dekat, Layla melepaskan Alana. Ganti memeluk tubuh Zeline yang lebih tinggi dari dirinya. Wajahnya melekat di dada Zeline. Sementara Zeline yang baru datang hanya bisa melingkarkan tangan kirinya. Tangan kanannya masih si
“Zel, ntar mampir dulu yak?”Pintu rumah terbuka, kedua engsel pintu depan yang entah kapan terakhir diminyaki berteriak kencang, memekakkan telinga.“Emmm… kayaknya kita juga harus cari tukang secepatnya deh.” Alana menelisik ke sela di antara papan kayu dan gawang pintu. “Ah tapi nanti deh kapan-kapan kalau urusan Layla udah kelar.”Tubuh Alana muncul dari balik pintu, kepalanya tetap menunduk, ganti mendongak ke dalam tas selempang warna merah miliknya. Berbicara pada Zeline di depannya tanpa melihat. Alana sibuk memeriksa satu persatu barang bawaan yang ia perlukan. Bahkan saking hebohnya ia sampai ikut membawa kamera kecil. Kamera teman setia membuat vlog mini pribadi untuk followers tercintanya.“Hah, mampir?” pekik Zeline. “ Mampir ke mana dah? Eh gila, udah hampir jam tujuh loh. Udah kesingan ini kita. Lu malah pake segala acara ngajak mampir,” cecar Zeline tak puas. Mengangk
“Bentar.” Alana menarik lengan Zeline. Menghalangi langkah Zeline sebelum bergerak lebih jauh meninggalkannya. “Lo yakin?” Matanya tak bisa lepas dari gadis yang bahkan tubuhnya belum berputar sempurna itu. “Ini jam sebelas malam loh, Zel. Dan dari kota ke desaku mungkin 3 sampai 4 jam.”Zeline menghela napas, menghembuskannya pelan. Melunakkan hatinya sendiri, melunakkan semua kepanikannya. “Gu-Gue mulai berpikir kalau memang aku lah penyebab semua kerumitan ini, Al.” Zeline menutup kalimatnya dengan sebuah senyum kecut.“No!” Alana memekik. Mengangkat tubuhnya, berdiri memeluk Zeline yang diam tak bergeming. Memeluk gadis itu, merapatkan tubuhnya. “Kita punya masalah masing-masing, Zel. Bukan karena kemudian masalah Layla nambah trus lo jadi nyalahin diri lo sendiri. Itu nggak fair, Zel.” Dahi Alana mengerut.“Tapi benar kan, Al? Sejak kalian tinggal bersamaku semua masalah seakan ja
“La! La! Lo kenapa, La?” pekik Zeline.Sejak pesan whatsapps itu tiba mendarat di ponselnya ia mendadak jadi gusar. Bagaimana tidak, Layla tidak menyebutkan pertolongan macam apa yang ia perlukan. Mau tidak mau Zeline langsung angkat kaki dari kursi bar. Berlari secepat yang ia bisa menerobos lantai dansa dan semua orang yang berkerumun di depannya.“Lo di mana sekarang, La? Bilang ke gua!”Sementara gadis yang Zeline panggil dari tadi masih sesenggukan. Bibirnya seolah tercekat, tangisan itu menghentikan semua kalimatnya. Habis, terbendung di tenggorokan, tak berhasil diucapkan. Hanya tersengar suara isak tangis dan tarikan napas berat.“Oke-oke Lu tenang dulu sekarang. Ambil napas dalam-dalam, La. Teriak yang kencang kalo perlu,” ucap Zeline lagi. “Kalau udah tenang lu cerita pelan-pelan.”Zeline masih berdiri di depan tembok diskotik. Dari luar sini, orang-orang yang lalu lalang tampak memperhatika
Gemerlap lantai bar malam ini terasa berbeda. Bukan seperti malam-malam sebelumnya saat Zeline datang. Mencari keramaian menghabiskan waktu mencari uang-uang kecil dari laki-laki hidung belang yang mau minum berdua dengannya. Malam ini bukan malam perayaan. Malam ini adalah malam di mana Zeline ingin menukar semua masalah di dalam kepalanya dengan gelas-gelas berisi alkohol.Alunan musik remix memekakkan telinga. Harum berbagai parfum yang bercampur keringat menusuk-nusuk hidung. Zeline baru juga sampai, baru sekitar lima menit yang lalu.Lantai dansa tak lagi jadi tempat favorit baginya. Zeline lebih tertarik memilih kurai bar setinggi pinggangnya. Duduk berlama-lama di sana, menikmati tiap shoot alkohol yang dipesannya pada bartender dengan tangan penuh tatto yang ada di depannya.“Kenapa lagi lu? Putus sama cowo?” sapa laki-laki yang mengenakan kemeja putih polos terlipat hingga siku berbalut celemek hitam yang diikat di pinggang dan lehernya.
Namun yang tidak Zeline tahu adalah dengan siapa ia berhadapan, dengan siapa ia berbicara menuturkan semua kisah hidup yang ia jalani. Sama tidak tahunya Zeline dengan seberapa kejam Arya Baskara yang sebenarnya. Hingga dua belah pihak itu kemudian saling menciptakan kemelut. Seperti gotong royong menciptakan badai yang lebih besar di muara hati Zeline.Persis di usianya ke dua puluh tahun. Persis tiga tahun setelah ia angkat kaki dari rumah kemudian bertemu hidup dan keluarga yang lebih menyayanginya. Bencana besar kembali datang.Malam itu, makan malam yang hangat di ruang makan yang disirami lampu jingga lengkap dengan lilin yang tersusun di atas meja. Mereka bertiga yang duduk memutar. Tangan ditangkupkan, jari-jari saling isi di sela jari tangan satunya. Memejamkan mata, memanjatkan doa sebelum makan.Dan persis saat doa selesai, mata terbuka, cahaya putih menembak dari luar. Cahaya yang menyilaukan mata, memenuhi seisi ruangan, masuk lewat jendela. Zeline