"Mengapa hujannya tiba-tiba begini, sih," keluh Alice sembari menepikan dirinya masuk lagi ke dalam lobi perusahaan. Percikan air hujan mengenai sepatu hak warna hitam miliknya. Juga menyiprat sampai mengenai ujung celana kerjanya.
Alice menghela napas panjang, menyesali keputusannya saat Ashley menawarinya untuk pulang bersama.
"Untuk apa aku tadi menolak. Aku jadi menyesalinya," lirih Alice yang sedang menghentakkan kakinya kecil karena kesal.
Sambil menunggu hujan berhenti, Alice memilih duduk di sebuah sofa yang memang disediakan untuk menerima tamu.
Kalau Alice nekat menerjang hujan, besoknya pasti dia akan sakit. Hujan mengguyur dengan begitu derasnya.
Jika kondisi ini berlarut sampai beberapa hari kedepan, bisa dipastikan akan terjadi banjir.
Lebih sialnya, daerah rumah Alice juga rawan banjir. Membuat penderitaan Alice kian lengkap.
"Kau belum pulang?"
Suara imut milik Ella Foster menyapa Alice. Ella menatap Alice dengan bingung, "Kupikir kau sudah di rumah," lanjutnya sambil menempatkan bokongnya di samping Alice.
Alice terkekeh kecil, "Tadinya begitu. Tapi kau lihat saja, hujan begitu derasnya. Kau ingin aku sakit atau bagaimana?"
Ella memukul pelan bahu Alice, dengan tertawa kecil. "Hei, bukan itu maksudku,"
Alice mendesis, "Cih," balasnya,
Bagi Alice, Ella itu lebih seperti adik daripada teman. Seorang adik yang kadang menyebalkan kadang juga menggemaskan. Alice ingat pertama kali, saat Ella masuk kerja. Terlihat sangat polos dan anak baik-baik, tidak banyak tingkah.
Tapi semakin lama mengenalnya, sifatnya yang kadang menyebalkan mulai terlihat. Juga berbagai sifat yang belum keluar, jadi keluar semua.
Namun, walaupun begitu Alice tahu jika Ella Foster adalah orang baik.
"Atau kau ingin ikut aku? Tadi aku membawa motor, namun karena hujan aku memutuskan untuk nanti saja pulangnya," tawarnya pada Alice
Alice pun tak menyia-nyiakan lagi kesempatan itu, "Ya, terima kasih"
Ella tersenyum manis, lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, dan sibuk memainkannya.
Sedangkan Alice masih menatapi kearah hujan yang terlihat tidak ingin berhenti. Tiba-tiba seseorang datang ke hadapan mereka.
"Kenapa kau belum pulang?"
Sontak Alice memandangi Ella yang sedang ditatapi oleh orang itu. Yang ternyata orang itu adalah Daniel Lambert, Sekretaris Ethan Hill.
'Astaga, ada apa ini? Ada hubungan apa Ella dengan Daniel?' pikir Alice jadi heboh sendiri.
Tentu saja Alice sangat terkejut, karena ini kejadian yang sangat langka. Bagiamana mungkin Ella bisa dekat dengan Daniel? Ella saja tak pernah cerita apapun.
Wah, Alice seketika menjadi sangat penasaran.
"Masih hujan, lagipula saya ingin pulang dengan Alice," jawab Ella sopan. Seolah masih kaku berhadapan dengan Daniel.
"Ayo pulang sekarang, biar saya antar," ajak Daniel lagi,
Ella tersenyum kikuk, matanya seperti menatap segan pada Daniel, "Terima kasih, tapi sepertinya tidak perlu. Karena saya bawa motor. Terima kasih atas niat baik Anda, Sekretaris Daniel Lambert," ucap Ella terlihat begitu elegan dan anggun.
Seketika Alice memandang kagum pada Ella yang mendadak jadi wanita penuh keanggunan. Ella mendadak jadi bersinar, sampai sinarnya menyilaukan mata Alice.
Alice syok dengan sifat Ella yang satu ini. Rasanya sangat berbeda dengan yang biasanya. Ah apakah dia menderita semacam kepribadian ganda.
Tidak, tidak, tidak. Itu tidak benar. Sepertinya inilah sifat asli Ella. Wanita yang elegan dan juga anggun. Seperti wanita-wanita bangsawan dan berpendidikan tinggi.
"Saya bertanggungjawab atas dirimu, jadi tolong dengarkan yang saya katakan," pinta Daniel penuh penegasan.
Alice memandang bergantian kearah Ella, lalu beralih pada Daniel yang bahkan tidak melirik kearah Alice.
Kenapa pula, Daniel harus bertanggungjawab atas Ella? Apa yang sebenarnya tengah terjadi ini.
Keadaan lobi yang bisa dikatakan sepi, hanya ada beberapa orang termasuk Alice, Daniel dan Ella. Tapi orang lainnya yang ada di lobi tersebut tidak melihat kearah kami.
Walaupun harusnya ini menjadi bahan tontonan yang menarik, bahwa seorang Daniel Lambert datang dan menemui Ella Foster. Suatu hubungan yang tidak diduga-duga. Tapi mereka tidak terlihat tertarik.
"Anda bukan siapa-siapa. Jadi untuk apa Anda perlu merasa bertanggungjawab?" Ella balas bertanya.
Alice sungguh tidak mengerti situasi saat ini. Ella terlihat begitu keras kepala sedangkan Daniel juga tak mau kalah.
"Berhenti bersikap keras kepala. Biar saya antar," ajak Daniel lagi, kali ini berjalan ke samping Ella dan menarik lengan wanita itu dengan mudahnya.
Astaga, Alice hanya melongo bingung dengan kejadian di depannya ini. Sudah seberapa dekat hubungan Ella juga Daniel melihat perlakuan Daniel yang bisa dengan mudahnya mendekati Ella.
"Tidak," balas Ella sembari menepis tangan Daniel. Daniel tak gentar, hanya menatap Ella datar.
"Tolong berhenti mempermainkan perasaanku. Apakah ini sungguh lucu untukmu? Apa kau sangat menikmati ini? Apa kau tidak memikirkan bagaimana yang kurasakan?" suara Ella yang lemah lembut tadi, sudah naik satu oktaf lebih tinggi. Tapi suaranya terdengar bergetar, seperti menahan sesuatu yang mencoba keluar dari dalam tubuhnya.
Bahkan tak terlihat lagi kesopanan yang tadi dia tunjukkan.
Alice yang tidak mengerti situasi ini, juga tak berusaha untuk menginterupsi antar keduanya. Karena bagi Alice itu tidak sopan, lagipula Ella juga belum menjelaskan apapun padanya. Ta-tapi Alice melihat gelagat kesedihan dari Ella.
'Duh bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?' batin Alice bertanya-tanya.
Daniel mulai melembutkan sikapnya, matanya seperti menatap Ella dengan penuh kasih. Ha? Eh apa Alice tidak salah lihat? Menatap penuh kasih. Tapi ya benar seperti itu.
"Maaf," hanya satu kata yang keluar sebagai jawaban, tanpa adanya penjelasan atau kalimat-kalimat penghiburan. Seolah Daniel mengatakan itu atas dasar keadaan yang juga membuatnya serba salah.
Jika melihat sekilas akan sikap Ella pada Daniel, terlihat jika Ella tertarik pada pria itu. Tapi sedangkan Daniel, Alice tak bisa menebaknya.
Pria lebih mampu menyembunyikan perasaannya. Sedangkan jika wanita sedang merasa tertarik, dia akan tetap menunjukkannya walaupun samar, walaupun disertai harga diri yang tinggi.
"Kenapa kau tak pernah memberikan penjelasan? Aku tidak butuh jika hanya maaf saja," Ella menolak untuk menerima kata 'maaf' dari Daniel.
Namun Daniel yang tidak berniat untuk memberikan penjelasan apapun pada Ella, membuat wanita itu kebingungan akan perasaan Daniel.
"Kita tidak perlu membahas itu di sini," ucap Daniel dingin sambil matanya menatap tajam kearah Alice.
Benar juga, sedari tadi Alice memperhatikan keduanya dengan keingintahuan yang besar. Namun, Alice terlihat seperti pengganggu yang sebaiknya pergi saat ini. Ah sialan. Daniel membuat perasaannya seketika jadi buruk.
"Ella, aku pulang sendiri saja. Hujannya juga mulai reda. Sampai bertemu besok-" Alice terdiam sebentar, "Jika kau membutuhkan sesuatu. Kau bisa menghubungiku,"
Alice segera berbalik tanpa menunggu jawaban Ella yang terlihat tidak enak. Tadi kan Ella memang berniat untuk pulang bersama Alice.
Alice mempercepat langkahnya, walaupun Alice tidak melihat Daniel tapi entah mengapa hawa dingin dari tatapan pria itu begitu terasa di punggungnya, seperti Daniel terus mengawasinya.
Setelah Alice berhasil keluar dari gedung kantor dengan selamat, Alice baru bisa menghela napas lega. Rasanya membuat jantungnya berdetak-detak keras. Gila, tatapan Daniel tadi seperti mengintimidasinya.
Alice setengah berlari menuju rumahnya, walaupun tidak sederas tadi, tapi hujan rintik-rintik ini tetap bisa membasahi seluruh tubuhnya.
TIN!!!!! TIN!!!!
Bunyi klakson yang seperti tertuju pada Alice, membuat langkahnya berhenti, tas tangan yang digunakannya untuk menutupi kepalanya dia sampirkan ke samping tubuhnya, lalu dia gantikan dengan tangannya kanannya berada di atas kepalanya, mencegah hujan tidak membasahi kepalanya.
Dari kursi pengemudi itu, seorang pria keluar dan menghampiri Alice.
"Hei. Kenapa kau hujan-hujanan begini," katanya heran,
"Saya ingin pulang pak. Karena tak tahu hari ini akan hujan, saya tidak bawa payung," jelas Alice pada Ethan.
"Ayo, biar saya antar," ajak Ethan langsung menarik lengan Alice masuk ke dalam mobil, yang bahkan Alice belum jawab atas tawarannya.
Intensitas pertemuan Ethan dan Alice sejak beberapa hari terakhir ini jadi meningkat. Apakah ini suatu hal yang baik? Atau justru kebalikannya.
Ethan pun melajukan mobil dengan kecepatan sedang, hujan mulai kembali deras, beruntung Ethan datang tepat waktu, kalau tidak Alice pasti sudah basah kuyup dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Saya pikir bapak sudah pulang lebih dulu," ucap Alice memecah keheningan.
Ethan tadi sempat memberikannya sebuah handuk bersih agar Alice bisa mengeringkan tubuhnya.
"Ya. Tapi saya tiba-tiba ingin bertemu denganmu lagi," balas Ethan jujur.
Sialan. Ini sungguh mengena langsung ke jantung Alice. Hei. Apakah itu terlihat wajar? Tidak, ini tidak terlihat wajar, untuk apa berbicara jujur seperti itu, yang bisa menyebabkan Alice salah paham.
"Tapi bukannya biasanya bapak diantar oleh Sekretaris Daniel?" tanya Alice heran melihat Ethan membawa mobil sendiri.
"Ya, hari ini adalah pengecualian. Karena dia lebih mementingkan seseorang daripada saya," jawab Ethan bergurau. Lalu terkekeh pelan.
Alice yang mendengar itu jadi yakin bahwa yang di maksud adalah Ella. Namun Alice menahan diri untuk bertanya pada Ethan karena menunggu Ella memberikan penjelasan, kalau dia berminat untuk menjelaskannya.
Di lain sisi, Ella akhirnya menuruti permintaannya untuk pulang bersama Daniel.
"Kedepannya tak perlu berbuat baik lagi padaku, jika kau hanya menganggapku sebagai bagian dari tanggungjawabmu,"
Ella merasa sedih jika diperlakukan seperti itu, secara dia mencintai Daniel.
"Saya tidak bisa melakukannya. Bagaimanapun saya bertanggungjawab atas dirimu, Ella,"
'Berhenti. Tolong berhenti menyebut namaku,' lirih Ella dalam hati. Dadanya sungguh sesak mendengar Daniel menyebut namanya dengan suara rendahnya.
"Kau tau aku mencintaimu, apa kau ingin menyiksaku dengan semua omong kosongmu," bentak Ella tak tahan lagi. Kemana perginya sikap elegan yang dia tunjukkan di depan Alice tadi. Karena saat bersama Daniel, sikapnya jadi melemah dan dia sulit untuk mencerna semua tentang pria itu.
Perasaannya campur aduk, dibuat tak menentu oleh Daniel. Dia tau bahwa Ella mencintainya, tapi dia tetap menutup mata akan hal itu.
Daniel memberhentikan mobilnya di sebuah rumah mewah, rumah milik keluarga Foster.
"Apa yang kau lakukan? Aku tidak ingin pulang ke rumah ini," teriak Ella setelah tahu Daniel membawanya kemana.
"Ibumu ingin bicara denganmu," jawab Daniel.
Daniel menghela napas, "Ella,"
Ella menatap tajam pada Daniel. "Kau ingin melihatku tersiksa lagi? Apa kau memang setega itu padaku? Bawa aku pergi sekarang, Daniel," suara Ella yang parau membuat Daniel akhirnya melajukan lagi mobilnya meninggalkan kediaman keluarga Ella.
Daniel diam saja melihat Ella yang jadi menangis karena sikapnya. Wanita itu pasti merasa sangat sedih dan sakit hati.
Daniel terus melajukan mobilnya hingga akhirnya mereka sampai di apartemen milik Daniel. Ella sungguh tak mengerti, kenapa sikap Daniel selalu berubah kepadanya.
Mereka berjalan menuju unit milik Daniel dalam keheningan, Ella tidak berniat untuk bicara, sedangkan Daniel juga terlalu sibuk dengan pikirannya.
CEKLEK!!! Pintu unit apartemen Daniel terbuka, mereka pun masuk bersama. Apartemen yang sudah tak terhitung berapa banyak Ella datangi ini, perabotan yang masih tersusun ditempat yang sama, tanpa perubahan.
"Aku akan menyiapkan air hangat untukmu, baru bisa dipakai untuk mandi,"
Daniel yang hendak meninggalkan Ella, tiba-tiba menghentikan langkahnya setelah wanita itu menarik ujung bajunya.
"Ada apa?" tanyanya
Ella menelan ludah, lalu menatap Daniel dengan penuh ketegasan. "Cium aku," pintanya
Daniel sontak terkejut akan permintaan konyol itu. "Jangan gila. Kau pikir apa yang kau minta,"
Ella sadar akan permintaannya. Tapi Ella yakin bisa mengetahui perasaan Daniel saat pria itu menciumnya. Karena perasaan saat bersentuhan itu tidak bisa disangkal.
"Cium aku. Buktikanlah kalau kau memang tidak memiliki perasaan apapun untukku,"
Daniel melangkah mundur, namun Ella justru mendekat padanya. "Jangan bodoh, Ella. Itu tidak akan mengubah apapun,"
Darah dalam tubuh Daniel jadi berdesir panas. Permintaan Ella begitu berani dan entah bagaimana itu memicu adrenalin dalam diri Daniel. Jika saja dia sudah tidak waras, maka Daniel akan menuruti permintaan wanita itu. Tapi itu tidak mungkin.
"Kalau begitu biar aku yang melakukannya," kata Ella dengan yakin lalu menarik tengkuk Daniel agar mendekat padanya, dan mendaratkan sebuah ciuman untuk Daniel.
Daniel jadi terasa semakin panas, ini tidak benar. Tapi bibir lembut Ella menghilangkan segala akal sehat dalam kepalanya.
Ella benar-benar payah dalam hal ini. Bibirnya dengan kasar menyapu milik Daniel, seolah memaksa untuk mendapatkan jawaban akan isi hati Daniel sebenarnya.
Daniel mencoba menahan diri, jika sampai dia terbawa suasana, semuanya pasti akan berakhir. Lagipula, Daniel takut jika Ella mengetahui bagaimana perasannya.
"Hentikan," ujar Daniel sembari mendorong tubuh Ella.
Wajah Ella terlihat memerah, bibirnya sedikit terbuka dan itu terlihat lembap. Membuat Daniel mendadak jadi buta dan ingin mencium lagi wanita itu dalam-dalam.
'Sial. Ini sangat tidak bagus,' pikir Daniel, dia harus pergi sebelum dia melakukan sesuatu yang akan membuatnya menyesal.
"Aku akan menyiapkannya sekarang," ucap Daniel lalu segera berlalu dari hadapan Ella sebelum wanita itu kembali meminta penjelasan ataupun mengatakan sesuatu terkait tindakannya barusan.
"Sepertinya hujan kelihatan tidak akan berhenti," gumam Alice yang tengah mendengarkan suara hujan dengan begitu heboh menabrak atap rumahnya. Ini sudah berlangsung selama beberapa jam, dan mulai membuat Alice khawatir akan banjir. "Ya, sepertinya memang begitu," sahut Ethan yang sudah keluar dari kamar mandi. Ethan ingin menggunakan kamar mandi, karena dia merasa gerah. Padahal hujan di luar begitu deras dan membuat udara menjadi dingin, tapi sepertinya dingin itu tidak masalah baginya untuk mandi. Terlebih ternyata dia membawa baju ganti. "Terima kasih, kamar mandinya," Alice tersenyum simpul, Ethan pun kemudian duduk di samping Alice. Seketika aroma tubuh Ethan masuk kedalam indera penciuman Alice. Aroma yang sangat dikenali Alice. Ini adalah aroma sabun mandinya. Memikirkan itu wajah Alice jadi memerah, sangat memalukan. Tapi rasanya begitu berbeda ji
Ashley menatap wajah anak dan suaminya yang tertidur setelah anaknya meminta ayahnya untuk membacakan buku cerita. Ashley mengusap lembut puncak kepala Bryana, tapi isi kepalanya malah memikirkan Alice. Sebelum pulang kerja tadi, Ashley memaksa Alice untuk menceritakan semua yang terjadi dengannya belakangan ini. Terkhusus yang melibatkan Ethan Hill. Ashley menghela napas panjang. Rasanya semua ini terjadi begitu tiba-tiba. Rasanya jika dipikir lagi tidak mungkin Alice bisa dekat dengan Ethan, secara mereka berasal dari tingkatan sosial yang berbeda. Tapi tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak. Apapun terasa mudah dilakukan. Mungkin memang sepertilah jalan takdir Alice. Walaupun masih belum tahu bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Ethan. Sebagai teman baiknya, Ashley hanya bisa mengingatkan Alice untuk tidak terlalu terbawa perasaan akan perlakuan Ethan padanya. Ashley hanya tak ingin Alice merasakan patah hati. Lagipula sepertinya Alice masih belum ada ke
Hujan sudah benar-benar berhenti, jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah berlalu begitu lama Ethan ada di rumah Alice. Tentu wanita itu ingin beristirahat. Ethan tak akan mengganggu waktunya lagi. Beruntung suara dalam kepalanya tadi menghentikan aktivitasnya. Menyadarkan Ethan, bahwa dirinya ini sudah memiliki istri. Walaupun Ethan tidak mencintai istrinya itu, namun bukan berarti Ethan bisa bermain api di belakangnya. Datangnya Alice ke dalam kehidupan Ethan, seolah memberikan sentuhan baru. Sentuhan yang berbeda dari saat dia bersama istrinya. Apa mungkin karena Ethan tidak mencintai istrinya itu, hingga dia merasa biasa saja. Lalu bagaimana dengan Alice? Terlalu mudah jika Ethan menyebutnya cinta. Hanya karena Ethan suka dan nyaman berada didekat wanita itu. Akal sehatnya juga mendadak hilang saat bersama Alice, dan hatinya selalu menginginkan untuk menemui wanita itu. Hingga berujung Ethan datang padanya. Ethan tahu ini sangat salah. Ethan harus menjaga jarak
Setelah kejadian di rumah Alice waktu itu, artinya sudah lima hari berlalu, Ethan tidak lagi datang menemui Alice. Tidak juga menghubunginya walau Alice sudah memberikan nomor ponselnya. Inilah yang Alice sudah duga. Sepertinya Ethan menghindari dirinya. Juga Alice menghindari Ethan, dia tak tahu harus bagaimana menghadapi pria itu. "Alice, hari ini kau pergi menggantikan saya untuk melihat bagian produksi. Pergilah sekarang, lalu laporkan bagaimana perkembangannya. Di sana kau akan bertemu dengan Direktur Utama Ethan Hill. Jadi jangan sampai kau membuat masalah yang akan mempermalukan saya" perintah Brilley pada Alice yang dengan satu tarikan napas. Matanya masih sibuk menatapi laporan yang ada di tangannya. "Kenapa harus saya Ketua Divisi Brilley?" tolak Alice. Biasanya pekerjaan ini akan diberikan pada Ashley. Tapi entah kenapa malah diberikan padanya hari ini. Hal ini memang diperlukan, agar memastikan bahwa produksi juga berjalan sesuai dengan arahan Divisi yang di ketuai o
Daniel yang sedari tadi diam kini angkat bicara. "Sepertinya kita harus mempertimbangkan untuk mengeluarkan produk seperti itu, mengingat beberapa perusahaan kecantikan juga sudah mengeluarkan produk serupa," Ethan terdiam. Benar, produk lipstik mereka bisa saja kalah saing dengan produk sejenis lip lainnya. Untuk itu membutuhkan pengembangan produk. "Kalau begitu, biarkan saya melihatmu memakai produk yang kau sebut tadi," Alice menelan ludah. "Maksud bapak?" Alice tak ingin memikirkan apapun. "Maksud saya, biarkan saya melihatmu ketika kau mencoba memakainya. Agar saya bisa membuat keputusan. Kapan kau ada waktu luang? Saya ingin kau mencobanya di depan saya," Alice syok mendengarkan permintaan aneh itu. Rasanya sangat memalukan memikirkan Ethan memperhatikan dirinya mencoba lip cream atau lip tint yang tadi dia sebutkan. "Ta-tapi pak, saya sejujurnya sudah membuat analisa perbedaannya. Nanti bapak hanya perlu membacanya saja. Ma-mana mungkin saya bisa mencobanya langsung di
Alice menghela napas berat dan merebahkan tubuhnya di empuknya sofa panjang di ruang tamu rumah ibunya ini. Dirinya langsung melesat pergi ketika jam sudah menunjukkan pukul lima sore yang menandakan waktu pulang kerja. Setelah dari pabrik tadi, Alice tidak lagi bertemu dengan Ethan, Alice tak bisa mengejar Ethan yang sudah pergi entah kemana. Hasilnya, Alice dan Daniel pun berpisah di depan pintu pabrik. Alice kembali ke ruang kerjanya, sedangkan Daniel pergi mencari kemana Ethan. Alice sejujurnya masih terbayang-bayang tentang apa yang dikatakan Ethan tadi. Mungkin memang ide bagus jika Ethan melihat seseorang mengaplikasikan lip tint atau mungkin lip cream langsung ke bibir. Tapi tidak juga memakai bibir Alice kan. Alice jadi malu, harus memasang wajah bagaimana nanti saat dia memakainya di depan Ethan. Alice berteriak tanpa suara dan mengacak-acak rambutnya, pikirannya sungguh kacau. Belum lagi mereka membicarakan yang terjadi terakhir kali di rumah Alice. "Kenapa kau berteri
Alice sesenggukan di ruang tamu yang terlihat lengang itu. Wajahnya dia tundukkan karena dia tak ingin ibunya melihat keadaannya yang lemah begini. Alice lebih baik memendam semuanya sendiri daripada harus dia bagi dengan orang lain, apalagi membuat orang tersebut jadi kepikiran. Alice sudah menanggung ini semua sejak lama. Sejak ayahnya meninggalkan mereka. Seperti yang dikatakan ibunya, tak tahu sudah seberapa banyak kesedihan yang dia alami, tapi Alice selalu berhasil menutupinya. Jadi, Alice ingin memainkan peran seperti ini lebih lama lagi. Catharina termangu melihat Alice menangis dihadapannya. Membuat perasaan Catharina campur aduk, karena Alice sudah lama sekali tidak menunjukkan tangisan di depannya seperti ini. Karena selama ini, Alice hanya diam-diam menangis di kamarnya, tidak ada suara. Tapi firasat seorang ibu mengatakan padanya. Untuk itu dia sungguh tidak ingin lagi merepotkan Alice dalam banyak hal. Bukan berarti dia ingin meninggalkan Alice sendirian karena ras
Alice termenung, berbaring di atas ranjang dengan seprai bermotif bunga mawar yang selaras dengan tirai jendelanya, memikirkan apa yang terjadi tadi di rumah ibunya. Beruntungnya, ibunya berjanji tidak akan lagi menutupi apa yang dirasakannya dari Alice. Bukan berarti Alice bisa lega sepenuhnya mengingat jika sebenarnya banyak kekhawatiran terpendam yang disimpan ibunya rapat-rapat. Sejauh ini Alice merasa sudah melakukan yang terbaik, untuk dirinya, untuk kesehatan ibunya. Bergantung pada dirinya sendiri, mengandalkan seluruh kemampuannya, untuk bertahan hidup. Bertahan hidup dari dunia yang rasanya begitu kejam. Banyak kebahagiaan yang memang terenggut dari Alice. Namun seiring waktu berjalan bergantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Sesuatu yang membuat Alice tercengang bahwa dia bisa merasakan kebahagiaan yang hilang dulu itu. Sekalipun Alice tidak lagi mengingat bagaimana rupa wajah ayahnya yang sudah meninggalkan dia dan ibunya, sekalipun Alice menyangkali bahwa dia merind
Sangat sangat sangat mewah.Kesan pertama Alice ketika melihat rumah besar Ethan yang ada di hadapannya, sampai membuatnya tanpa sadar menahan napas dan membuka mulut lebar-lebar. Begitu takjub melihat kemegahan rumah Ethan Hill ini. Mata Alice tak bisa berpaling dari campuran desain klasik dan modern dan di dominasi warna putih ini. Begitu elegan dan tampak sangat mewah. "Astaga, Alice. Ini bukan saatnya kau mengagumi rumah ini" lirihnya pelan sembari memukul kepalanya untuk menyadarkan diri. Sambil menelan ludah, Alice hendak menekan tombol bel rumah Ethan. Eh tapi, tiba-tiba pintunya membuka dengan sendirinya bahkan sebelum Alice sempat menekan bel tersebut. Hal pertama yang ada di dalam benaknya adalah betapa kerennya rumah Ethan yang pintunya bisa membuka sendiri. Alice celingak-celinguk melihat ke sekelilingnya apakah ada mata-mata atau tidak. Bagaimana bisa pintunya terbuka sendiri sedang dia belum memberikan tanda akan keberadaannya. Seperti orang bodoh, Alice memutar k
Lelah. Satu kata yang cukup menggambarkan kondisinya saat ini. Namun bukan lelah fisik karena nyatanya fisiknya baik-baik saja. Pekerjaannya juga tidak banyak hingga tak perlu terlalu membuang tenaga. Tapi ya begitulah dia lelah. Alice menghempaskan tubuh rampingnya ke atas ranjangnya yang nyaman. Meregangkan seluruh otot-otot tubuhnya yang menegang. Setelah mandi rasanya sangat menyegarkan. Dalam pikirannya terus berputar-putar tentang pertanyaan Ashley yang sampai saat ini belum bisa dijawabnya. Apakah dirinya mencintai Ethan Hill?Kenapa Ethan justru hadir dalam hidupnya. Jawabannya hanya satu. Takdir!Takdir Tuhan yang membawa Alice bertemu Ethan, dan terlibat dengan pria itu. Semakin Alice menjauhi pria itu, maka mereka akan semakin terikat. Semakin banyak hal terjadi yang melibatkan keduanya. Tentu ini merupakan takdir yang sudah digariskan untuk Alice. Satu hal yang Alice harapkan jika takdir yang sedang dia jalani ini merupakan takdir yang baik. Bertemu dengan Ethan ada
"Tetap saja walaupun begitu, kau juga ikut merasakan penderitaan yang sama denganku. Ayahku juga jadi melampiaskan kemarahannya padamu. Kenapa kau masih saja bertahan, Daniel? Aku tidak akan memaksamu tetap tinggal jika kau ingin pergi" Daniel tertegunRaut wajahnya mendadak berubah. Kecewa. Ah apakah hanya perasaan Ella saja ya. "Aku tidak ingin lagi membebanimu dengan perasaanku dan juga tak ingin lagi merepotkanmu atas banyak hal. Aku akan menjaga diriku sendiri. Aku menyadari selama ini, bahwa aku telah membeli kebebasanmu, yang membuatmu mungkin tidak nyaman. Selama ini mungkin bagimu, hidupmu seperti dalam kurungan. Hanya tahu untuk selalu menjaga dan melindungiku, terbebani akan tugas dari ayahku" Ella menarik napasnya. Bicaranya terlalu cepat. Semoga Daniel bisa memahaminya. "Setiap hari aku merasa bersalah telah membawamu dalam kehidupanku, yang seharusnya tak kulakukan. Tapi aku menyadari dengan cepat bagaimana perasaanku terhadapmu dan membuatmu tetap berada di samping
"Aku pulang duluan, karena ada urusan lain. Kalian nanti hati-hati di jalan," ucap Ella dengan tergesa sembari berjalan cepat meninggalkan rekan kerjanya yang terbengong-bengong. Mereka yang ada di ruangan itu saling berpandangan, bertanya apakah ada sesuatu pada Ella. Jam baru menunjukkan pukul setengah lima sore, tapi Ella sudah mencuri start untuk pulang lebih dulu. Jika dilihat dari dia yang tergesa-gesa sepertinya memang sedang ada urusan mendesak. Sudahlah biarkan saja. Ella punya sesuatu yang harus diurusnya saat ini juga. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai elevator karena tak sabar, benda bergerak tersebut membawanya turun ke lobi perusahaan. Pekerjaannya sedikit terkendala karena dia yang tidak fokus mengerjakannya. Tapi semua sudah dia selesaikan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru yang harusnya dikhawatirkan adalah kelanjutan hubungan Ella dan Daniel. Ting!!!!Pintu elevator terbuka. Setengah berlari Ella keluar dan langsung menuju parkiran yang terletak di luar
Ella mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih berat. Telinganya mendengar suara familiar yang biasa membangunkan tidur nyenyaknya. Berusaha untuk menyadarkan diri dan membuka mata selebar-lebarnya, sesekali menggelengkan kepala untuk benar-benar menyadarkan dirinya. Suara yang terus berdering-dering memekak telinga berasal dari ponselnya. Ella memang selalu memasang alarm otomatis, sehingga pada jam yang disetelnya akan berdering. Dengan rasa ngantuk yang masih tersisa dalam dirinya, Ella meraba-raba ranjang untuk mencari di mana ponselnya itu. Ketika menemukan benda persegi panjang dan tipis namun harganya sangat mahal itu, Ella langsung mematikan alarmnya. Tangannya dengan kasar mengucek mata, sekaligus membersihkan sisa kotoran mata. Dengan sangat terpaksa, dia pun bangkit dari tidurnya. Lalu meneguk segelas air putih di atas meja yang selalu dia sediakan.Seketika rasa yang menyegarkan langsung memenuhi dirinya. Ella meletakkan kembali gelas ke atas meja, dan mengedarkan pand
"Ayah harus minta maaf pada Daniel," ucap Ella datar. Matanya menatap wajah ayahnya yang tidak mengendurkan pandangannya yang tajam. "Atas dasar apa ayah harus meminta maaf?" Ella menghela napas. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini, jadi aku mohon dengan sangat agar ayah dan ibu tidak terus-terusan menggunakan Daniel untuk membuatku pulang. Karena ini bukan rumahku, aku tak pernah merasa tinggal di rumah ini. Rumah ini seperti neraka bagiku yang setiap harinya sangat mencekikku," ungkap Ella mengeluarkan sesuatu yang sudah ditahannya dari lama. Suaranya samar bergetar karena dia sangat emosi. Emosi yang akhirnya dia keluarkan juga. "Ella. Tapi ibu kesepian karena kau tidak ada," tegur ibunya lembut. Ella tersentak. Tapi tidak mengubah pendiriannya. "Sampai ayah menyadari semua kesalahannya, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi. Jangan membuatku terpaksa menggunakan cara-cara berontak yang lebih parah dari ini," Ella menguatkan hati, membulatkan
Ella berguling-guling dengan gelisah di atas ranjang berukuran besar miliknya. Giginya tak henti menggigit kuku jari-jarinya. Merupakan suatu kebiasaan bagi Ella jika sedang merasa tak tenang. Ella tau dengan jelas apa yang membuatnya seperti ini, yaitu Daniel. Perasaannya seolah mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada pria itu. Kepalanya terus memikirkan ucapan Daniel tentang Ella yang harus datang ke rumah orang tuanya malam ini karena ada yang ingin mereka bicarakan. Tapi karena Ella keras kepala, dia memutuskan untuk tidak datang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ella dengan cepat mengambil ponselnya dan membuka sebuah aplikasi pesan.Tertulis di sana nama profil "Daniel Lambert" yang terletak paling atas di aplikasi pesan tersebut. Ella membuka ruang obrolan itu. Pesan terakhir yang dikirimkannya pada Daniel pun tidak dibaca. Pesan yang dia kirimkan sekitar dua jam lalu. Kemana perginya Daniel? Mengapa tidak kunjung membalas pesan yang Ella kirim? E
"Kau tidak makan?" tanya Daniel, bukan dengan nada bertanya tentunya. Ella mengangkat wajahnya. Memandang Daniel. "Jangan hanya menyuruhku makan, kalau kau sendiri tidak makan. Lagipula bukankah kau harusnya pergi bersama Direktur Utama?" Daniel melirik Ella yang ada di depannya. "Aku tidak ikut," balas Daniel pendek dan mulai memakan makan siangnya. Ella pun hanya mengangguk saja, acuh. Tak peduli juga sebenarnya jika Daniel ikut atau, hanya ya jadi tidak bisa bertemu dengannya. "Ayahmu ingin bertemu denganmu. Jadi memintamu untuk datang makan malam," Oh inilah alasannya. Awalnya Ella merasa heran kenapa Daniel tiba-tiba mengajak makan siang berdua. Jadi karena ada permintaan dari ayahnya yang harus Ella penuhi. "Kau sekarang seperti asistennya saja." ujar Ella pedas."Apa kau dibayar lebih besar daripada Ethan membayarmu?" Oke berhenti Ella. Kau pasti menyakiti hati Daniel. Bicaramu kasar sekali. "Jaga ucapanmu," sela Daniel dingin. Rahangnya mengeras, urat disekitar kenin
"APAAA!!!!" Ashley memekik tinggi di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang makan siang di cafetaria perusahaan mereka. "Pelankan suaramu, Ashley" pinta Alice menggeram dengan suara pelan sembari melempar senyum dan menundukkan wajah pada mereka yang terganggu akibat Ashley. "Upss. Mulutku memang sulit untuk dikendalikan" koementarnya sambil memukul pelan bibirnya. Alice menghela napas, lalu menyendokkan lagi makanan ke dalam mulutnya. "Jadi dengan sangat kebetulan, Ethan datang dan menyelamatkanmu dari para rentenir itu?" ulang Ashley, matanya menyipit curiga sembari mulutnya menyeruput minuman matcha kesukannya. "Ya begitulah" jawab Alice pendek. "Lalu saat itu kau berpikir, 'Oh lihat betapa kerennya dia. Apa dia ditakdirkan untuk menjadi penyelamat jiwaku'. Seperti itu?" ledek Ashley, bibirnya sedikit menekuk ke bawah ketika berbicara. "Sialan. Kau ingin aku beri bogem mentah!" serang Alice marah. "Aku hanya tidak habis pikir, Alice"Ashley merasa ada yang tak mengena di hati