Tak tahu sudah berapa banyak helaan napas dari hidung dan mulutnya. Tapi Ethan masih tetap melakukannya. Perasaan gelisah dan tak nyaman membuatnya terus begitu. "Sampai kapan kakek mau menatapku begitu?" tanya Ethan akhirnya, setelah sekitar tiga puluh menit ditatapi dengan pandangan penuh selidik oleh kakeknya. Steven Hill masih belum membuka mulutnya. Ingin menunggu apakah cucunya ini akan memberikan penjelasan sebelum dirinya bertanya, atau malah sengaja menghindarinya. "Sepertinya aku lebih baik pergi daripada-"Ucapan Ethan terhenti ketika ada salah satu pelayan setia kakeknya ini melakukan interupsi. "Makan malam sudah siap, Tuan," Mendengar itu, Steven hanya mengangguk kecil lalu berdiri dengan dibantu tongkat yang sudah seperti bagian dari hidupnya itu. Berjalan sendirian tanpa mengatakan apapun pada Ethan. Lagi, Ethan menghela napas. Dengan kesal dia beranjak berdiri dan berjalan dengan menghentakkan kakinya sengaja, menunjukkan bahwa dia sudah geram. Ethan dan kakekn
"Aku tidak pernah bermaksud begitu. Kakek juga tahu tentang itu," Kakeknya yang saat ini masih membelakangi Ethan, membuat Ethan jadi tak tahu harus bagaimana. Entah bagaimana raut wajah kakeknya, membuat Ethan khawatir. "Kau itu sudah menikah, Ethan. Apa kau lupa dengan statusmu? Bagaimana jika sampai ada rumor tentang ini? Apa yang akan kau lakukan?" suara serak kakeknya terdengar seperti memaksa untuk berteriak. Lalu kakeknya berbalik dan melihat kearah Ethan dengan pandangan lurus dan tajam, seperti mata anak panah yang tepat mengenai sasarannya. Ethan semakin gelisah. Perasaannya mendadak berat karena kakeknya seperti mengintimidasi Ethan. Bagaimanapun, Ethan tetap tidak bisa melawan pada orang yang sangat menyayanginya. "Apa kau pernah berpikir bagaimana jika istrimu mengetahui tentang kelakuanmu ini," Ethan ingin mengeluh. Perihal rumah tangga, seharusnya kakeknya tidak perlu ikut campur. Namun Ethan di sini sangat memahami bahwa kakeknya hanya ingin mengingatka
ZRASSS!!!!Entah kapan tepatnya hujan mulai turun, karena Ethan bahkan tidak menyadarinya. Tapi melihat begitu derasnya, pastilah sudah dari tadi hujan mengguyur Jakarta malam ini. Pembersih kaca otomatis terus bergerak-gerak menyapu tetesan hujan yang jatuh mengenai kaca mobil.Dalam kepalanya, Ethan masih memikirkan tentang ucapan kakeknya. Pasti kakeknya sangat terbebani akan hal ini, kalau terus berlanjut bisa berakibat gawat pada kesehatannya. "Maafkan aku," lirihnya yang tertutupi oleh bunyi tetesan air hujan yang mengenai badan mobil. Ethan tadi berpikir untuk pulang ke rumah. Namun, entah kenapa tangannya memutar setir mobil menuju rumah Alice. Hujan-hujan seperti ini pasti Alice sudah istirahat kan. Lalu setelah Ethan membalas pesannya tadi, tidak ada pesan balasan lain dari Alice. Tapi kenapa Ethan tetap kekeh ingin datang ke rumahnya. Oh iya, Ethan lupa mengatakan pada kakeknya untuk tidak mengganggu kehidupan Alice. Sangat berbahaya bagi Alice. Meskipun begitu, Etha
Alice tersenyum ketika mendapat balasan pesan dari Ethan. Ya karena memang atasannya itu tidak lagi mengatakan apapun sejak tadi pagi Alice mengirimkan pesan, maka dari itu Alice berinisiatif untuk menanyakannya. Alice pun tidak lama-lama berada di rumah Ashley, setelah menidurkan Bryana, Alice pamit pulang. Sangat kebetulan, Alice keluar dari rumah Ashley, hujan pun turun mengguyur malam yang cukup menyenangkan ini. Tak pelak membuat Alice kebasahan dari ujung kepala hingga kaki. Sesampainya di rumah, Alice segera membersihkan tubuhnya. Lalu dia ingin langsung pergi tidur. Tapi keinginan tersebut harus sirna ketika dia mendengar ada suara ketukan di pintu rumahnya. Semula dia pikir jika itu Ethan, jadi Alice langsung membukanya. Namun ternyata itu bukan Ethan. Mereka adalah orang-orang yang Alice sangat tidak ingin temui. Rentenir yang mengejar-ngejarnya untuk menagih hutang. Padahal Alice selalu ingat untuk membayarnya. Alice awalnya sudah mengusir rentenir dan preman
Ethan semakin kehilangan kendali dirinya. Tak tahan melihat mata pisau yang sudah menyentuh kulit leher Alice, seakan-akan kapan saja siap untuk ditusukkan. "Lepaskan dia!!," pinta Ethan dengan suara dalam dan berat. Tangannya mengepal kuat, seluruh tenaganya sudah dia alirkan di kepalan tangannya agar bisa memberikan pukulan maksimal. Ethan tak tahu sudah berapa lama orang-orang sialan ini berada di rumah Alice. Tapi tak akan ada satupun yang bisa lepas dari genggamannya jika sudah mengganggu orang-orang terdekatnya. "Kau pikir akan kami lepaskan begitu saja?" Ethan mendengus. Resah rasanya terlalu berlarut-larut sedangkan Alice berada dalam bahaya. "Tentu tidak. Maka dari itu saya yang akan merebutnya," Ethan dengan cepat menerjang rentenir dan pimpinan preman di depannya ini. Menghantamnya dengan tinju yang sudah terisi penuh kekuatannya. Tanpa ampun, bahkan sampai membuat anak buahnya mundur menjauh. Ethan sama sekali tidak memberikan cela untuk bisa melawan. Tak peduli dar
Setelah membilasnya cukup lama. Alice mematikan kran air, lalu menarik lagi tangan Ethan. Menuju ruang tamu. Memintanya untuk duduk di sofa, dan Alice pun masuk ke kamarnya. Tak lama dia keluar lagi dengan sebuah kotak P3K di tangannya. Duduk di samping Ethan, lalu meniup-niup tangan Ethan agar cepat kering. Hembusan napas Alice di tangannya seketika membuat Ethan jadi merinding. Tubuhnya menegang. Reaksi ini di luar dugaannya. Ethan menarik napas dalam-dalam mencoba untuk menenangkan dirinya. Karena hembusan napas Alice membuatnya jadi terangsang. 'Astaga Alice. Sadarkah kau apa yang baru saja kau lakukan itu' teriak Ethan dalam hatinya. Setelah dirasa kering. Alice mengeluarkan salep antibiotik dan mengusapkannya ke luka Ethan. Begitu lembutnya hingga membuat Ethan jadi semakin menegang. Ethan menggigit bibirnya untuk menahan gejolak panas dalam dirinya. 'Sial. Aku seperti orang mesum dan brengsek' batinnya lagi Sungguh, Alice ternyata juga mempengaruhi gejolak panas
"Jadi apa yang ingin bapak katakan tadi?" Alice meletakkan secangkir kopi di atas meja untuk Ethan karena sudah membantunya membereskan rumah. Ethan berdehem pelan. "Bagaimana kalau kita mencoba berbagai lip yang sudah saya beli? Apa kau ingin langsung istirahat?" Alice mendudukkan bokongnya di samping Ethan. Keningnya berkerut memikirkan permintaan Ethan ini. "Baiklah. Saya pikir sekarang juga tidak apa-apa," Ethan tersenyum puas. "Kalau begitu tunggu sebentar di sini," Ethan beranjak dari duduknya dan berjalan keluar rumah. Lip yang sudah Ethan beli memang sengaja dia letakkan di dalam mobil saja. Hah perjuangan Ethan membeli lip ini benar-benar tak mudah. Karena ketika membelinya, banyak pasang mata yang melihat kearahnya dengan pandangan aneh dan juga ledekan. Walaupun hujan sudah sepenuhnya berhenti, tapi jalanan yang banjir membutuhkan waktu untuk kering. Alhasil kakinya lagi-lagi terendam air banjir, yang selama ini tidak pernah dia rasakan. Ethan membuka pintu mobil
"Baiklah. Sudah selesai. Yasshhh!!" Alice menyengir lebar karena sudah menyelesaikan pekerjaannya ini. Ethan yang ada di sampingnya pun ikut bernapas lega. Lelah sudah pasti. Tapi hasil dari percobaan ini, mampu membuatnya melupakan lelahnya itu. "Jadi kita sungguh akan memproduksi lip terbaru ini kan, Pak Direktur?" tanya Alice untuk memastikan bahwa mereka benar-benar akan membuat terobosan baru untuk produk lip milik Hill's Group. "Tentu saja. Ini ide yang bagus, dan cocok untuk produk kita. Jadi kita harus lanjutkan," Alice bertepuk tangan gembira, memperlihatkan barisan giginya yang kecil-kecil. "Saya mohon untuk secepatnya kita adakan rapat untuk membahas ini," Ethan mengangguk setuju. Tidak sekalipun Ethan melepaskan pandangannya dari Alice. Sampai wanita itu berhenti tersenyum lebar dan juga menatap balik pada Ethan. Hening seketika menyelimuti keduanya. Suasana yang tadi dingin, entah bagaimana jadi terasa hangat. Alice tak tahu, apa yang sedang Ethan pikir
Sangat sangat sangat mewah.Kesan pertama Alice ketika melihat rumah besar Ethan yang ada di hadapannya, sampai membuatnya tanpa sadar menahan napas dan membuka mulut lebar-lebar. Begitu takjub melihat kemegahan rumah Ethan Hill ini. Mata Alice tak bisa berpaling dari campuran desain klasik dan modern dan di dominasi warna putih ini. Begitu elegan dan tampak sangat mewah. "Astaga, Alice. Ini bukan saatnya kau mengagumi rumah ini" lirihnya pelan sembari memukul kepalanya untuk menyadarkan diri. Sambil menelan ludah, Alice hendak menekan tombol bel rumah Ethan. Eh tapi, tiba-tiba pintunya membuka dengan sendirinya bahkan sebelum Alice sempat menekan bel tersebut. Hal pertama yang ada di dalam benaknya adalah betapa kerennya rumah Ethan yang pintunya bisa membuka sendiri. Alice celingak-celinguk melihat ke sekelilingnya apakah ada mata-mata atau tidak. Bagaimana bisa pintunya terbuka sendiri sedang dia belum memberikan tanda akan keberadaannya. Seperti orang bodoh, Alice memutar k
Lelah. Satu kata yang cukup menggambarkan kondisinya saat ini. Namun bukan lelah fisik karena nyatanya fisiknya baik-baik saja. Pekerjaannya juga tidak banyak hingga tak perlu terlalu membuang tenaga. Tapi ya begitulah dia lelah. Alice menghempaskan tubuh rampingnya ke atas ranjangnya yang nyaman. Meregangkan seluruh otot-otot tubuhnya yang menegang. Setelah mandi rasanya sangat menyegarkan. Dalam pikirannya terus berputar-putar tentang pertanyaan Ashley yang sampai saat ini belum bisa dijawabnya. Apakah dirinya mencintai Ethan Hill?Kenapa Ethan justru hadir dalam hidupnya. Jawabannya hanya satu. Takdir!Takdir Tuhan yang membawa Alice bertemu Ethan, dan terlibat dengan pria itu. Semakin Alice menjauhi pria itu, maka mereka akan semakin terikat. Semakin banyak hal terjadi yang melibatkan keduanya. Tentu ini merupakan takdir yang sudah digariskan untuk Alice. Satu hal yang Alice harapkan jika takdir yang sedang dia jalani ini merupakan takdir yang baik. Bertemu dengan Ethan ada
"Tetap saja walaupun begitu, kau juga ikut merasakan penderitaan yang sama denganku. Ayahku juga jadi melampiaskan kemarahannya padamu. Kenapa kau masih saja bertahan, Daniel? Aku tidak akan memaksamu tetap tinggal jika kau ingin pergi" Daniel tertegunRaut wajahnya mendadak berubah. Kecewa. Ah apakah hanya perasaan Ella saja ya. "Aku tidak ingin lagi membebanimu dengan perasaanku dan juga tak ingin lagi merepotkanmu atas banyak hal. Aku akan menjaga diriku sendiri. Aku menyadari selama ini, bahwa aku telah membeli kebebasanmu, yang membuatmu mungkin tidak nyaman. Selama ini mungkin bagimu, hidupmu seperti dalam kurungan. Hanya tahu untuk selalu menjaga dan melindungiku, terbebani akan tugas dari ayahku" Ella menarik napasnya. Bicaranya terlalu cepat. Semoga Daniel bisa memahaminya. "Setiap hari aku merasa bersalah telah membawamu dalam kehidupanku, yang seharusnya tak kulakukan. Tapi aku menyadari dengan cepat bagaimana perasaanku terhadapmu dan membuatmu tetap berada di samping
"Aku pulang duluan, karena ada urusan lain. Kalian nanti hati-hati di jalan," ucap Ella dengan tergesa sembari berjalan cepat meninggalkan rekan kerjanya yang terbengong-bengong. Mereka yang ada di ruangan itu saling berpandangan, bertanya apakah ada sesuatu pada Ella. Jam baru menunjukkan pukul setengah lima sore, tapi Ella sudah mencuri start untuk pulang lebih dulu. Jika dilihat dari dia yang tergesa-gesa sepertinya memang sedang ada urusan mendesak. Sudahlah biarkan saja. Ella punya sesuatu yang harus diurusnya saat ini juga. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai elevator karena tak sabar, benda bergerak tersebut membawanya turun ke lobi perusahaan. Pekerjaannya sedikit terkendala karena dia yang tidak fokus mengerjakannya. Tapi semua sudah dia selesaikan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru yang harusnya dikhawatirkan adalah kelanjutan hubungan Ella dan Daniel. Ting!!!!Pintu elevator terbuka. Setengah berlari Ella keluar dan langsung menuju parkiran yang terletak di luar
Ella mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih berat. Telinganya mendengar suara familiar yang biasa membangunkan tidur nyenyaknya. Berusaha untuk menyadarkan diri dan membuka mata selebar-lebarnya, sesekali menggelengkan kepala untuk benar-benar menyadarkan dirinya. Suara yang terus berdering-dering memekak telinga berasal dari ponselnya. Ella memang selalu memasang alarm otomatis, sehingga pada jam yang disetelnya akan berdering. Dengan rasa ngantuk yang masih tersisa dalam dirinya, Ella meraba-raba ranjang untuk mencari di mana ponselnya itu. Ketika menemukan benda persegi panjang dan tipis namun harganya sangat mahal itu, Ella langsung mematikan alarmnya. Tangannya dengan kasar mengucek mata, sekaligus membersihkan sisa kotoran mata. Dengan sangat terpaksa, dia pun bangkit dari tidurnya. Lalu meneguk segelas air putih di atas meja yang selalu dia sediakan.Seketika rasa yang menyegarkan langsung memenuhi dirinya. Ella meletakkan kembali gelas ke atas meja, dan mengedarkan pand
"Ayah harus minta maaf pada Daniel," ucap Ella datar. Matanya menatap wajah ayahnya yang tidak mengendurkan pandangannya yang tajam. "Atas dasar apa ayah harus meminta maaf?" Ella menghela napas. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini, jadi aku mohon dengan sangat agar ayah dan ibu tidak terus-terusan menggunakan Daniel untuk membuatku pulang. Karena ini bukan rumahku, aku tak pernah merasa tinggal di rumah ini. Rumah ini seperti neraka bagiku yang setiap harinya sangat mencekikku," ungkap Ella mengeluarkan sesuatu yang sudah ditahannya dari lama. Suaranya samar bergetar karena dia sangat emosi. Emosi yang akhirnya dia keluarkan juga. "Ella. Tapi ibu kesepian karena kau tidak ada," tegur ibunya lembut. Ella tersentak. Tapi tidak mengubah pendiriannya. "Sampai ayah menyadari semua kesalahannya, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi. Jangan membuatku terpaksa menggunakan cara-cara berontak yang lebih parah dari ini," Ella menguatkan hati, membulatkan
Ella berguling-guling dengan gelisah di atas ranjang berukuran besar miliknya. Giginya tak henti menggigit kuku jari-jarinya. Merupakan suatu kebiasaan bagi Ella jika sedang merasa tak tenang. Ella tau dengan jelas apa yang membuatnya seperti ini, yaitu Daniel. Perasaannya seolah mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada pria itu. Kepalanya terus memikirkan ucapan Daniel tentang Ella yang harus datang ke rumah orang tuanya malam ini karena ada yang ingin mereka bicarakan. Tapi karena Ella keras kepala, dia memutuskan untuk tidak datang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ella dengan cepat mengambil ponselnya dan membuka sebuah aplikasi pesan.Tertulis di sana nama profil "Daniel Lambert" yang terletak paling atas di aplikasi pesan tersebut. Ella membuka ruang obrolan itu. Pesan terakhir yang dikirimkannya pada Daniel pun tidak dibaca. Pesan yang dia kirimkan sekitar dua jam lalu. Kemana perginya Daniel? Mengapa tidak kunjung membalas pesan yang Ella kirim? E
"Kau tidak makan?" tanya Daniel, bukan dengan nada bertanya tentunya. Ella mengangkat wajahnya. Memandang Daniel. "Jangan hanya menyuruhku makan, kalau kau sendiri tidak makan. Lagipula bukankah kau harusnya pergi bersama Direktur Utama?" Daniel melirik Ella yang ada di depannya. "Aku tidak ikut," balas Daniel pendek dan mulai memakan makan siangnya. Ella pun hanya mengangguk saja, acuh. Tak peduli juga sebenarnya jika Daniel ikut atau, hanya ya jadi tidak bisa bertemu dengannya. "Ayahmu ingin bertemu denganmu. Jadi memintamu untuk datang makan malam," Oh inilah alasannya. Awalnya Ella merasa heran kenapa Daniel tiba-tiba mengajak makan siang berdua. Jadi karena ada permintaan dari ayahnya yang harus Ella penuhi. "Kau sekarang seperti asistennya saja." ujar Ella pedas."Apa kau dibayar lebih besar daripada Ethan membayarmu?" Oke berhenti Ella. Kau pasti menyakiti hati Daniel. Bicaramu kasar sekali. "Jaga ucapanmu," sela Daniel dingin. Rahangnya mengeras, urat disekitar kenin
"APAAA!!!!" Ashley memekik tinggi di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang makan siang di cafetaria perusahaan mereka. "Pelankan suaramu, Ashley" pinta Alice menggeram dengan suara pelan sembari melempar senyum dan menundukkan wajah pada mereka yang terganggu akibat Ashley. "Upss. Mulutku memang sulit untuk dikendalikan" koementarnya sambil memukul pelan bibirnya. Alice menghela napas, lalu menyendokkan lagi makanan ke dalam mulutnya. "Jadi dengan sangat kebetulan, Ethan datang dan menyelamatkanmu dari para rentenir itu?" ulang Ashley, matanya menyipit curiga sembari mulutnya menyeruput minuman matcha kesukannya. "Ya begitulah" jawab Alice pendek. "Lalu saat itu kau berpikir, 'Oh lihat betapa kerennya dia. Apa dia ditakdirkan untuk menjadi penyelamat jiwaku'. Seperti itu?" ledek Ashley, bibirnya sedikit menekuk ke bawah ketika berbicara. "Sialan. Kau ingin aku beri bogem mentah!" serang Alice marah. "Aku hanya tidak habis pikir, Alice"Ashley merasa ada yang tak mengena di hati