"Sialan!!""Sialan!""Ah, sialan," Berulang kali umpatan terlontar dari bibir tipis Alice. Mengumpati kekonyolan dirinya yang sungguh-sungguh konyol dan bodoh. Alice jadi sangat menyesali kebodohan dirinya tadi malam. Karena ternyata panggilan masuk tadi malam itu adalah dari Ethan. Ethan juga mengirimkan pesan padanya, agar Alice bisa menemuinya. "Bodohnya kau," teriak Alice di dalam kamarnya sembari mengacak-acak rambutnya sedikit kuat untuk melampiaskan rasa frustasinya. Sepertinya saat itu Ethan sudah berada di depan rumahnya. Namun karena tidak ada jawaban apapun dari Alice, Ethan pun memutuskan untuk pulang. "Padahal aku ingin bertemu dengannya," lirih Alice dengan nada lesu. Alice melemparkan begitu saja ponselnya di atas ranjang, menatap cermin di hadapannya dan merapikan rambut panjangnya. 'Perasaanku kenapa jadi aneh begini sih. Apa aku benar sekecewa itu hanya karena aku tak bisa bertemu dengan Ethan?' batin Alice. Dia sendiri bertanya-tanya, kenapa dia merasa begi
"Apa yang bapak lakukan?" pekik Alice membulatkan matanya sempurna saat melihat Ethan juga ikut masuk di elevator yang sama dengannya. Ethan membenarkan jas hitam yang dipakainya, dan menyisir rambutnya dengan jari tangannya. Beberapa detik itu sempat membuat Alice berdecak kagum akan ketampanan atasannya ini. Bulir keringat juga memenuhi kening Ethan. Mungkinkah Ethan tadi berlari? Mungkin jika Alice adalah wanita yang memandang seseorang dari rupanya, maka dipastikan Alice sudah jatuh cinta pada Ethan. "Untuk menemuimu," balas Ethan serak, napasnya sedikit tersengal, berarti memang benar dia berlari-lari kesini. Ah apakah karena mengejar Alice? Alice tertawa kecil. "Apa ada yang ingin bapak sampaikan? Nanti kita juga akan bertemu kan," Ethan tak tahan ingin menemui Alice sekarang juga, untuk itu dia dengan sekuat tenaganya berlari mengejar Alice. Ethan menggaruk belakang telinganya padahal tak gatal. Salah tingkah karena memang nanti mereka akan bertemu juga. "Saya tadi
Alice sedari tadi memeriksa ponselnya dengan perasaan gelisah. Entahlah, dia hanya berharap, Ella menghubunginya untuk memberikan kabar atau sekedar mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi melihat jika ada Daniel yang menjaganya, membuat Alice jadi sedikit tenang. TUK!!!! Ashley mengetukkan ujung map plastik yang dibawanya di meja Alice, membuat Alice tersentak kaget. "Kau ini. Kau ingin membuatku mati terkena serangan jantung apa bagaimana? Aissshhh," Alice meringis kesal dan menatap marah pada Ashley. Hampir saja jantungnya kenapa-kenapa. Suka sekali Ashley mengejutkan Alice seperti tadi. "Kau itu sedang memikirkan apa? Kau terlihat melamun," balas Ashley, lalu mendudukkan bokongnya di atas kursi kerjanya. "Hanya kepikiran hal kecil saja," balas Alice cuek"Cih," desis Ashley kesal tak mendapatkan jawaban yang memuaskannya. Alice menghela napas dengan keras, dalam pikirannya tidak seharusnya dia terlalu memikirkan Ella. Pasti nanti juga akan ada kabar darinya. "Bagai
Alice menerima kertas itu dan melihat daftar dokumen apa saja yang diminta Brilley. Alice mengeluh dalam hati. Pekerjaan mencari dokumen ini sangat tidak disukainya. Selain karena melelahkan juga karena Alice tidak ingin pergi ke ruang arsip yang terkesan menakutkan. "Tunggu apa lagi? Saya butuh sekarang," Nada tinggi Brilley semakin membuat Alice mengeluh. Alice pun berbalik dan berjalan keluar dari ruang kerjanya. Menunduk menatap jalanan, tanpa ada semangat. Karena banyak rumor yang beredar tentang ruang arsip itu. Ada yang mengatakan berhantu, ada yang sering dengar suara-suara ketika di dalam sana. Ada juga yang katanya melihat sesuatu lewat, seperti bayangan. Dan berbagai rumor lainnya yang semakin membuat ruang arsip jadi terlihat begitu gelap dan suram. Mungkin karena ruangannya sepi dan juga tidak ada yang menjaganya. Walaupun Alice sudah dikatakan sering keluar masuk ruang arsip, namun rumor tersebut cukup membuatnya ketar-ketir, takut jika dia akan mengalami h
BRAKKK!!!!Alice seketika mundur saat pintu tiba-tiba terbuka. Lalu keluarlah sosok yang mendiami ruangan tersebut. "Pa-pak Direktur? Apa yang bapak lakukan di sini?"Tak disangka, orang yang ada di dalam ruangan tersembunyi di ruang arsip ini adalah Ethan. Berarti bunyi gesekan meja tadi itu pasti Ethan kan yang membuatnya. "Alice, kau sendiri sedang apa?" Raut wajah Ethan juga begitu terkejut. Tak menyangka akan bertemu Alice ditempat ini. "Sa-saya mau mencari dokumen," balas Alice masih kaget. Alice pikir memang ada mahkluk tak kasat mata di ruangan ini. "A-apa itu ruangan bapak?" Jantung Alice yang tadi berdetak cepat karena terkejut, kini sudah kembali normal. Ethan tersenyum, "Ini ruangan rahasia. Saya sering datang, biasanya kalau ingin membaca arsip saja, seperti hari ini," Alice membulatkan bibirnya membentuk huruf O, tanpa bersuara. "Ayo, biar saya bantu untuk mencari dokumen yang kau butuhkan," tawarnya sembari tersenyum pada Alice. Wah wah wah. Jadi selama ini s
Ethan merogoh sakunya. Mengeluarkan ponselnya, dan menatapi layarnya seolah ragu ingin menjawabnya, namun detik berikutnya dia menempelkan ponsel itu ke telinga. "Ya?" Ethan terang-terangan menjawab panggilan itu di depan Alice. Alice pun merasa lebih baik menghindar saja, tidak sopan mendengarkan pembicaraan orang lain. Alice menatapi hamparan dokumen-dokumen di depannya, dan mencari dokumen yang Brilley inginkan. Namun sebenarnya telinganya masih dengan tajam mendengarkan percakapan Ethan yang tidak jauh darinya. Hanya kira-kira berjarak tiga langkah saja. "Bagaimana kabarmu? Kau sudah makan?" Alice bertanya-tanya, siapa yang menghubunginya. "Aku baik-baik saja. Jaga kesehatanmu. Aku akan menghubungimu lagi nanti," Alice melirik Ethan yang sudah meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya. Sudah? Secepat itu? Ethan terdengar biasa saja, dan cenderung datar. Tapi tetap terdengar bahwa dia peduli pada orang yang menghubunginya itu. Siapakah gerangan? Alice
"Berikut dokumen yang Anda minta, Ketua Divisi Brilley," Alice menyerahkan beberapa dokumen yang sudah dicarinya bersama Ethan tadi. "Terima kasih," balas Brilley sambil matanya menatap curiga pada Alice. Alisnya bertaut tajam, bibirnya memanyun. Alice merasa gerah ditatapi seperti itu. "Kenapa Ketua Divisi melihat saya begitu?" Brilley menopang dagunya dengan menggunakan tangan kanannya. "Kau baik-baik saja setelah keluar dari ruang arsip? Apa kau tadi tidak membaca grup?" Alice terkekeh. "Saya membacanya. Tapi saya baik-baik saja. Tidak melihat ataupun mendengar sesuatu seperti yang dibicarakan di grup itu," Brilley masih tidak puas dengan jawaban Alice."Kau tidak merasa takut?" Alice menggeleng, "Tidak. Untuk apa merasa takut?" Bohong. Padahal Alice pun menciut nyalinya saat masuk ke ruang arsip tadi, sebelum akhirnya dia tau bahwa ada Ethan di dalam sana. "Baiklah. Terserah kau saja. Sudah, kembalilah ke mejamu," Alice mengangguk dan berbalik badan, namun bibirnya tak
Brilley menarik napas, dan mengatur nada bicaranya yang berapi-api. Sabar, Alice harus sabar. Dengarkan saja dulu ocehan Brilley ini. Memang Alice yang lalai. Memberi alasan pun akan terdengar seperti tong kosong nyaring bunyinya. "Saya sudah cukup bersabar ya Alice. Kalau kau tidak mampu menyelesaikan desainmu, lebih baik kau katakan saja. Apa iya saya perlu untuk selalu mengingatkanmu?" Alice membuka mulutnya hendak berbicara, namun menutup kembali setelah satu ucapan dari Brilley "Saya belum selesai," Alice menghela napas. Walaupun ini bukan pertama kalinya dia dimarahi oleh Brilley, tapi tetap saja rasanya menyebalkan. "Saya minta maaf karena sudah memarahimu. Tapi apa kau tau bahwa saya juga dimarahi oleh atasan," Ya, seperti inilah rantai pekerjaan. "Kau masih ingin melanjutkan lagi desainmu apa bagaimana?" tanya Brilley masih dengan matanya yang memancarkan emosi, namun bicaranya sudah tidak berapi-api seperti tadi. Alice mengangguk, "Saya sudah mengerjakan s
Sangat sangat sangat mewah.Kesan pertama Alice ketika melihat rumah besar Ethan yang ada di hadapannya, sampai membuatnya tanpa sadar menahan napas dan membuka mulut lebar-lebar. Begitu takjub melihat kemegahan rumah Ethan Hill ini. Mata Alice tak bisa berpaling dari campuran desain klasik dan modern dan di dominasi warna putih ini. Begitu elegan dan tampak sangat mewah. "Astaga, Alice. Ini bukan saatnya kau mengagumi rumah ini" lirihnya pelan sembari memukul kepalanya untuk menyadarkan diri. Sambil menelan ludah, Alice hendak menekan tombol bel rumah Ethan. Eh tapi, tiba-tiba pintunya membuka dengan sendirinya bahkan sebelum Alice sempat menekan bel tersebut. Hal pertama yang ada di dalam benaknya adalah betapa kerennya rumah Ethan yang pintunya bisa membuka sendiri. Alice celingak-celinguk melihat ke sekelilingnya apakah ada mata-mata atau tidak. Bagaimana bisa pintunya terbuka sendiri sedang dia belum memberikan tanda akan keberadaannya. Seperti orang bodoh, Alice memutar k
Lelah. Satu kata yang cukup menggambarkan kondisinya saat ini. Namun bukan lelah fisik karena nyatanya fisiknya baik-baik saja. Pekerjaannya juga tidak banyak hingga tak perlu terlalu membuang tenaga. Tapi ya begitulah dia lelah. Alice menghempaskan tubuh rampingnya ke atas ranjangnya yang nyaman. Meregangkan seluruh otot-otot tubuhnya yang menegang. Setelah mandi rasanya sangat menyegarkan. Dalam pikirannya terus berputar-putar tentang pertanyaan Ashley yang sampai saat ini belum bisa dijawabnya. Apakah dirinya mencintai Ethan Hill?Kenapa Ethan justru hadir dalam hidupnya. Jawabannya hanya satu. Takdir!Takdir Tuhan yang membawa Alice bertemu Ethan, dan terlibat dengan pria itu. Semakin Alice menjauhi pria itu, maka mereka akan semakin terikat. Semakin banyak hal terjadi yang melibatkan keduanya. Tentu ini merupakan takdir yang sudah digariskan untuk Alice. Satu hal yang Alice harapkan jika takdir yang sedang dia jalani ini merupakan takdir yang baik. Bertemu dengan Ethan ada
"Tetap saja walaupun begitu, kau juga ikut merasakan penderitaan yang sama denganku. Ayahku juga jadi melampiaskan kemarahannya padamu. Kenapa kau masih saja bertahan, Daniel? Aku tidak akan memaksamu tetap tinggal jika kau ingin pergi" Daniel tertegunRaut wajahnya mendadak berubah. Kecewa. Ah apakah hanya perasaan Ella saja ya. "Aku tidak ingin lagi membebanimu dengan perasaanku dan juga tak ingin lagi merepotkanmu atas banyak hal. Aku akan menjaga diriku sendiri. Aku menyadari selama ini, bahwa aku telah membeli kebebasanmu, yang membuatmu mungkin tidak nyaman. Selama ini mungkin bagimu, hidupmu seperti dalam kurungan. Hanya tahu untuk selalu menjaga dan melindungiku, terbebani akan tugas dari ayahku" Ella menarik napasnya. Bicaranya terlalu cepat. Semoga Daniel bisa memahaminya. "Setiap hari aku merasa bersalah telah membawamu dalam kehidupanku, yang seharusnya tak kulakukan. Tapi aku menyadari dengan cepat bagaimana perasaanku terhadapmu dan membuatmu tetap berada di samping
"Aku pulang duluan, karena ada urusan lain. Kalian nanti hati-hati di jalan," ucap Ella dengan tergesa sembari berjalan cepat meninggalkan rekan kerjanya yang terbengong-bengong. Mereka yang ada di ruangan itu saling berpandangan, bertanya apakah ada sesuatu pada Ella. Jam baru menunjukkan pukul setengah lima sore, tapi Ella sudah mencuri start untuk pulang lebih dulu. Jika dilihat dari dia yang tergesa-gesa sepertinya memang sedang ada urusan mendesak. Sudahlah biarkan saja. Ella punya sesuatu yang harus diurusnya saat ini juga. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai elevator karena tak sabar, benda bergerak tersebut membawanya turun ke lobi perusahaan. Pekerjaannya sedikit terkendala karena dia yang tidak fokus mengerjakannya. Tapi semua sudah dia selesaikan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru yang harusnya dikhawatirkan adalah kelanjutan hubungan Ella dan Daniel. Ting!!!!Pintu elevator terbuka. Setengah berlari Ella keluar dan langsung menuju parkiran yang terletak di luar
Ella mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih berat. Telinganya mendengar suara familiar yang biasa membangunkan tidur nyenyaknya. Berusaha untuk menyadarkan diri dan membuka mata selebar-lebarnya, sesekali menggelengkan kepala untuk benar-benar menyadarkan dirinya. Suara yang terus berdering-dering memekak telinga berasal dari ponselnya. Ella memang selalu memasang alarm otomatis, sehingga pada jam yang disetelnya akan berdering. Dengan rasa ngantuk yang masih tersisa dalam dirinya, Ella meraba-raba ranjang untuk mencari di mana ponselnya itu. Ketika menemukan benda persegi panjang dan tipis namun harganya sangat mahal itu, Ella langsung mematikan alarmnya. Tangannya dengan kasar mengucek mata, sekaligus membersihkan sisa kotoran mata. Dengan sangat terpaksa, dia pun bangkit dari tidurnya. Lalu meneguk segelas air putih di atas meja yang selalu dia sediakan.Seketika rasa yang menyegarkan langsung memenuhi dirinya. Ella meletakkan kembali gelas ke atas meja, dan mengedarkan pand
"Ayah harus minta maaf pada Daniel," ucap Ella datar. Matanya menatap wajah ayahnya yang tidak mengendurkan pandangannya yang tajam. "Atas dasar apa ayah harus meminta maaf?" Ella menghela napas. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini, jadi aku mohon dengan sangat agar ayah dan ibu tidak terus-terusan menggunakan Daniel untuk membuatku pulang. Karena ini bukan rumahku, aku tak pernah merasa tinggal di rumah ini. Rumah ini seperti neraka bagiku yang setiap harinya sangat mencekikku," ungkap Ella mengeluarkan sesuatu yang sudah ditahannya dari lama. Suaranya samar bergetar karena dia sangat emosi. Emosi yang akhirnya dia keluarkan juga. "Ella. Tapi ibu kesepian karena kau tidak ada," tegur ibunya lembut. Ella tersentak. Tapi tidak mengubah pendiriannya. "Sampai ayah menyadari semua kesalahannya, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi. Jangan membuatku terpaksa menggunakan cara-cara berontak yang lebih parah dari ini," Ella menguatkan hati, membulatkan
Ella berguling-guling dengan gelisah di atas ranjang berukuran besar miliknya. Giginya tak henti menggigit kuku jari-jarinya. Merupakan suatu kebiasaan bagi Ella jika sedang merasa tak tenang. Ella tau dengan jelas apa yang membuatnya seperti ini, yaitu Daniel. Perasaannya seolah mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada pria itu. Kepalanya terus memikirkan ucapan Daniel tentang Ella yang harus datang ke rumah orang tuanya malam ini karena ada yang ingin mereka bicarakan. Tapi karena Ella keras kepala, dia memutuskan untuk tidak datang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ella dengan cepat mengambil ponselnya dan membuka sebuah aplikasi pesan.Tertulis di sana nama profil "Daniel Lambert" yang terletak paling atas di aplikasi pesan tersebut. Ella membuka ruang obrolan itu. Pesan terakhir yang dikirimkannya pada Daniel pun tidak dibaca. Pesan yang dia kirimkan sekitar dua jam lalu. Kemana perginya Daniel? Mengapa tidak kunjung membalas pesan yang Ella kirim? E
"Kau tidak makan?" tanya Daniel, bukan dengan nada bertanya tentunya. Ella mengangkat wajahnya. Memandang Daniel. "Jangan hanya menyuruhku makan, kalau kau sendiri tidak makan. Lagipula bukankah kau harusnya pergi bersama Direktur Utama?" Daniel melirik Ella yang ada di depannya. "Aku tidak ikut," balas Daniel pendek dan mulai memakan makan siangnya. Ella pun hanya mengangguk saja, acuh. Tak peduli juga sebenarnya jika Daniel ikut atau, hanya ya jadi tidak bisa bertemu dengannya. "Ayahmu ingin bertemu denganmu. Jadi memintamu untuk datang makan malam," Oh inilah alasannya. Awalnya Ella merasa heran kenapa Daniel tiba-tiba mengajak makan siang berdua. Jadi karena ada permintaan dari ayahnya yang harus Ella penuhi. "Kau sekarang seperti asistennya saja." ujar Ella pedas."Apa kau dibayar lebih besar daripada Ethan membayarmu?" Oke berhenti Ella. Kau pasti menyakiti hati Daniel. Bicaramu kasar sekali. "Jaga ucapanmu," sela Daniel dingin. Rahangnya mengeras, urat disekitar kenin
"APAAA!!!!" Ashley memekik tinggi di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang makan siang di cafetaria perusahaan mereka. "Pelankan suaramu, Ashley" pinta Alice menggeram dengan suara pelan sembari melempar senyum dan menundukkan wajah pada mereka yang terganggu akibat Ashley. "Upss. Mulutku memang sulit untuk dikendalikan" koementarnya sambil memukul pelan bibirnya. Alice menghela napas, lalu menyendokkan lagi makanan ke dalam mulutnya. "Jadi dengan sangat kebetulan, Ethan datang dan menyelamatkanmu dari para rentenir itu?" ulang Ashley, matanya menyipit curiga sembari mulutnya menyeruput minuman matcha kesukannya. "Ya begitulah" jawab Alice pendek. "Lalu saat itu kau berpikir, 'Oh lihat betapa kerennya dia. Apa dia ditakdirkan untuk menjadi penyelamat jiwaku'. Seperti itu?" ledek Ashley, bibirnya sedikit menekuk ke bawah ketika berbicara. "Sialan. Kau ingin aku beri bogem mentah!" serang Alice marah. "Aku hanya tidak habis pikir, Alice"Ashley merasa ada yang tak mengena di hati