Ethan merogoh sakunya. Mengeluarkan ponselnya, dan menatapi layarnya seolah ragu ingin menjawabnya, namun detik berikutnya dia menempelkan ponsel itu ke telinga. "Ya?" Ethan terang-terangan menjawab panggilan itu di depan Alice. Alice pun merasa lebih baik menghindar saja, tidak sopan mendengarkan pembicaraan orang lain. Alice menatapi hamparan dokumen-dokumen di depannya, dan mencari dokumen yang Brilley inginkan. Namun sebenarnya telinganya masih dengan tajam mendengarkan percakapan Ethan yang tidak jauh darinya. Hanya kira-kira berjarak tiga langkah saja. "Bagaimana kabarmu? Kau sudah makan?" Alice bertanya-tanya, siapa yang menghubunginya. "Aku baik-baik saja. Jaga kesehatanmu. Aku akan menghubungimu lagi nanti," Alice melirik Ethan yang sudah meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya. Sudah? Secepat itu? Ethan terdengar biasa saja, dan cenderung datar. Tapi tetap terdengar bahwa dia peduli pada orang yang menghubunginya itu. Siapakah gerangan? Alice
"Berikut dokumen yang Anda minta, Ketua Divisi Brilley," Alice menyerahkan beberapa dokumen yang sudah dicarinya bersama Ethan tadi. "Terima kasih," balas Brilley sambil matanya menatap curiga pada Alice. Alisnya bertaut tajam, bibirnya memanyun. Alice merasa gerah ditatapi seperti itu. "Kenapa Ketua Divisi melihat saya begitu?" Brilley menopang dagunya dengan menggunakan tangan kanannya. "Kau baik-baik saja setelah keluar dari ruang arsip? Apa kau tadi tidak membaca grup?" Alice terkekeh. "Saya membacanya. Tapi saya baik-baik saja. Tidak melihat ataupun mendengar sesuatu seperti yang dibicarakan di grup itu," Brilley masih tidak puas dengan jawaban Alice."Kau tidak merasa takut?" Alice menggeleng, "Tidak. Untuk apa merasa takut?" Bohong. Padahal Alice pun menciut nyalinya saat masuk ke ruang arsip tadi, sebelum akhirnya dia tau bahwa ada Ethan di dalam sana. "Baiklah. Terserah kau saja. Sudah, kembalilah ke mejamu," Alice mengangguk dan berbalik badan, namun bibirnya tak
Brilley menarik napas, dan mengatur nada bicaranya yang berapi-api. Sabar, Alice harus sabar. Dengarkan saja dulu ocehan Brilley ini. Memang Alice yang lalai. Memberi alasan pun akan terdengar seperti tong kosong nyaring bunyinya. "Saya sudah cukup bersabar ya Alice. Kalau kau tidak mampu menyelesaikan desainmu, lebih baik kau katakan saja. Apa iya saya perlu untuk selalu mengingatkanmu?" Alice membuka mulutnya hendak berbicara, namun menutup kembali setelah satu ucapan dari Brilley "Saya belum selesai," Alice menghela napas. Walaupun ini bukan pertama kalinya dia dimarahi oleh Brilley, tapi tetap saja rasanya menyebalkan. "Saya minta maaf karena sudah memarahimu. Tapi apa kau tau bahwa saya juga dimarahi oleh atasan," Ya, seperti inilah rantai pekerjaan. "Kau masih ingin melanjutkan lagi desainmu apa bagaimana?" tanya Brilley masih dengan matanya yang memancarkan emosi, namun bicaranya sudah tidak berapi-api seperti tadi. Alice mengangguk, "Saya sudah mengerjakan s
"Tidak apa. Saya hanya ingin menemanimu," Itulah balasan terakhir dari Ethan, dan Alice pun tidak lagi menanggapinya. Sebenarnya Alice bukan tak ingin diganggu, hanya saja Alice ingin langsung istirahat setelah menyelesaikan desain itu dan mengirimkannya pada Brilley. Dan dengan datangnya Ethan tentu Alice tetap harus menyambutnya, ya walaupun katanya dia hanya ingin menemani saja. Sudahlah, Alice tak mengerti apa yang ada dalam pikiran Ethan. Terserah dia saja, asal dia tidak merepotkan Alice nanti. Tapi ya sejauh ini, Ethan tidak pernah merepotkannya. Justru Alice yang banyak merepotkan pria itu. "Ayo cepat kita pulang. Kau ingin mampir dulu beli makanan atau tidak?" Alice menggeleng, eh tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Ya. Aku mau membelikan Bryana kue kesukaannya. Katakan padanya nanti kalau aku belum sempat mengunjunginya," Ashley mengangguk, lalu mereka segera keluar dari ruang divisi yang di ketuai oleh Brilley ini. Berjalan santai ke elevator yang ternyata sudah
Ha jadi dia serius untuk datang. Alice yang penasaran pun, segera memeriksanya. Pertama-tama dia mengintip dari jendela, untuk melihat siapa yang datang. 'Ya Tuhan. Itu sungguh Ethan' Menyadari bahwa itu memang Ethan, Alice pun sontak membuka pintu. Terlihatlah Ethan yang tersenyum sembari menenteng bungkusan plastik. "Saya bawakan makanan," ucapnya sembari menunjukkan bungkusan itu di depan wajah Alice. Alice melongo. Heran, karena dia kan tidak minta, untuk apa Ethan bersusah payah membawakannya makanan. Alice yang masih terbengong-bengong pun, memberikan jalan pada Ethan agar pria itu bisa masuk. 'Benar-benar tidak bisa ditebak,' pikir Alice, lalu menggaruk belakang telinga kirinya padahal tak gatal. "Kau sebaiknya makan dulu. Setelah itu baru melanjutkan lagi desainmu," Ethan meminta Alice untuk mendekat padanya, memberikan arahan dengan tangannya yang memanggil-manggil Alice. Ahh, kenapa Ethan harus perhatian seperti ini. "Pak Direktur tidak jadi pergi menca
Setelah menghabiskan berbagai makanan yang dibawa oleh Ethan. Alice merasakan bahwa perutnya begitu penuh. Apalagi karena rasanya yang enak, membuat Alice tidak bisa berhenti makan. Ethan membuka lagi bungkusan yang dia bawa, lalu mengeluarkan isinya yang ternyata kopi instan. "Bapak sudah membelinya?" Ethan mengangguk. Bangkit berdiri dan berjalan lagi ke dapur. CTAKK!!!!!Terdengar suara kompos gas dinyalakan. Alice mengerjap. Ini sungguh Ethan sedang memainkan peran bahwa dia seperti berada di rumahnya sendiri? Astaga, bisa gawat kalau lama-lama begini. "Kau ingin minum apa?" tanya Ethan balik ke ruang tamu. "Teh hijau," "Baiklah" Setelah itu Ethan kembali sibuk dengan kegiatannya di dapur. Alice menggeleng-gelenggkan kepalanya, sudah tak bisa berpikir lagi akan tingkah Ethan. Tapi tak apa, sembari menunggu Ethan selesai, Alice lebih baik menyelesaikan desainnya. Alice pun berkutat lagi di depan laptopnya, matanya sangat fokus melihat detail desain kemasan baru ini aga
Mata Ethan dan juga Alice saling menatap. Saling berpandangan untuk beberapa detik. Sampai akhirnya Ethan lebih dulu sadar dan mengalihkan tatapan matanya. "Ya. Ini sudah pas," "Benarkah?" tanya Alice ikut melihat layar laptopnya "Ya," Alice berteriak senang, juga bertepuk tangan untuk meluapkan rasa senangnya. "Terima kasih sudah membantu saya," "Tidak apa. Santai saja" "Kalau begitu saya mau langsung mengirimkannya pada Ketua Divisi Brilley," "Silahkan," Dengan cepat Alice menyimpan desainnya, lalu membuka surel. Mengetikkan sesuatu, dan menambahkan hasil desainnya tadi lalu mengirimkannya. "Ahhhh. Akhirnya selesai juga," keluhnya senang. Punggungnya dia sandarkan pada sofa, untuk melemaskan otot-otot pundaknya yang mungkin tegang karena berada di depan laptop. "Sekali lagi terima kasih kepada Pak Direktur, hari ini sudah banyak sekali membantu saya," ucapnya terdengar tulus. "Saya hanya ingin membantumu," Alice tertawa kecil. "Bapak baik sekali. Saya sang
Alice mengerjapkan matanya beberapa kali, untuk membuatnya tersadar dari tidur yang rasanya panjang sekali. Karena masih begitu berat, Alice hanya bisa samar-samar melihat kamarnya. Alice berusaha untuk duduk, walaupun kepalanya masih terasa sakit. Tapi dia memaksakan tubuhnya untuk bangun. Hari ini adalah hari Sabtu. Menyebalkan. Kenapa hari Sabtu tetap harus masuk kerja walaupun hanya setengah hari saja. Alice meraba-raba sekitar ranjangnya, mencari di mana letak ponselnya. Setelah puas meraba-meraba ranjang, menyibak selimut dan bantal tak juga menemukan ponselnya. Sepertinya ponselnya tertinggal di ruang tamu. Alice pun berdiri dengan tubuh yang masih sempoyongan. Berdirinya saja tidak beraturan. Alice terlalu lemah ketika minum alkohol. Tak tahu bagaimana kabar Ethan sekarang. Alice belum bisa mengingat apa saja yang sudah dia lakukan setelah dia mabuk walaupun baru minum berapa gelas. CEKLEK!!!!Pintu kamar terbuka dan Alice tutup kembali. Alice dengan langkahnya yang
Sangat sangat sangat mewah.Kesan pertama Alice ketika melihat rumah besar Ethan yang ada di hadapannya, sampai membuatnya tanpa sadar menahan napas dan membuka mulut lebar-lebar. Begitu takjub melihat kemegahan rumah Ethan Hill ini. Mata Alice tak bisa berpaling dari campuran desain klasik dan modern dan di dominasi warna putih ini. Begitu elegan dan tampak sangat mewah. "Astaga, Alice. Ini bukan saatnya kau mengagumi rumah ini" lirihnya pelan sembari memukul kepalanya untuk menyadarkan diri. Sambil menelan ludah, Alice hendak menekan tombol bel rumah Ethan. Eh tapi, tiba-tiba pintunya membuka dengan sendirinya bahkan sebelum Alice sempat menekan bel tersebut. Hal pertama yang ada di dalam benaknya adalah betapa kerennya rumah Ethan yang pintunya bisa membuka sendiri. Alice celingak-celinguk melihat ke sekelilingnya apakah ada mata-mata atau tidak. Bagaimana bisa pintunya terbuka sendiri sedang dia belum memberikan tanda akan keberadaannya. Seperti orang bodoh, Alice memutar k
Lelah. Satu kata yang cukup menggambarkan kondisinya saat ini. Namun bukan lelah fisik karena nyatanya fisiknya baik-baik saja. Pekerjaannya juga tidak banyak hingga tak perlu terlalu membuang tenaga. Tapi ya begitulah dia lelah. Alice menghempaskan tubuh rampingnya ke atas ranjangnya yang nyaman. Meregangkan seluruh otot-otot tubuhnya yang menegang. Setelah mandi rasanya sangat menyegarkan. Dalam pikirannya terus berputar-putar tentang pertanyaan Ashley yang sampai saat ini belum bisa dijawabnya. Apakah dirinya mencintai Ethan Hill?Kenapa Ethan justru hadir dalam hidupnya. Jawabannya hanya satu. Takdir!Takdir Tuhan yang membawa Alice bertemu Ethan, dan terlibat dengan pria itu. Semakin Alice menjauhi pria itu, maka mereka akan semakin terikat. Semakin banyak hal terjadi yang melibatkan keduanya. Tentu ini merupakan takdir yang sudah digariskan untuk Alice. Satu hal yang Alice harapkan jika takdir yang sedang dia jalani ini merupakan takdir yang baik. Bertemu dengan Ethan ada
"Tetap saja walaupun begitu, kau juga ikut merasakan penderitaan yang sama denganku. Ayahku juga jadi melampiaskan kemarahannya padamu. Kenapa kau masih saja bertahan, Daniel? Aku tidak akan memaksamu tetap tinggal jika kau ingin pergi" Daniel tertegunRaut wajahnya mendadak berubah. Kecewa. Ah apakah hanya perasaan Ella saja ya. "Aku tidak ingin lagi membebanimu dengan perasaanku dan juga tak ingin lagi merepotkanmu atas banyak hal. Aku akan menjaga diriku sendiri. Aku menyadari selama ini, bahwa aku telah membeli kebebasanmu, yang membuatmu mungkin tidak nyaman. Selama ini mungkin bagimu, hidupmu seperti dalam kurungan. Hanya tahu untuk selalu menjaga dan melindungiku, terbebani akan tugas dari ayahku" Ella menarik napasnya. Bicaranya terlalu cepat. Semoga Daniel bisa memahaminya. "Setiap hari aku merasa bersalah telah membawamu dalam kehidupanku, yang seharusnya tak kulakukan. Tapi aku menyadari dengan cepat bagaimana perasaanku terhadapmu dan membuatmu tetap berada di samping
"Aku pulang duluan, karena ada urusan lain. Kalian nanti hati-hati di jalan," ucap Ella dengan tergesa sembari berjalan cepat meninggalkan rekan kerjanya yang terbengong-bengong. Mereka yang ada di ruangan itu saling berpandangan, bertanya apakah ada sesuatu pada Ella. Jam baru menunjukkan pukul setengah lima sore, tapi Ella sudah mencuri start untuk pulang lebih dulu. Jika dilihat dari dia yang tergesa-gesa sepertinya memang sedang ada urusan mendesak. Sudahlah biarkan saja. Ella punya sesuatu yang harus diurusnya saat ini juga. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai elevator karena tak sabar, benda bergerak tersebut membawanya turun ke lobi perusahaan. Pekerjaannya sedikit terkendala karena dia yang tidak fokus mengerjakannya. Tapi semua sudah dia selesaikan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru yang harusnya dikhawatirkan adalah kelanjutan hubungan Ella dan Daniel. Ting!!!!Pintu elevator terbuka. Setengah berlari Ella keluar dan langsung menuju parkiran yang terletak di luar
Ella mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih berat. Telinganya mendengar suara familiar yang biasa membangunkan tidur nyenyaknya. Berusaha untuk menyadarkan diri dan membuka mata selebar-lebarnya, sesekali menggelengkan kepala untuk benar-benar menyadarkan dirinya. Suara yang terus berdering-dering memekak telinga berasal dari ponselnya. Ella memang selalu memasang alarm otomatis, sehingga pada jam yang disetelnya akan berdering. Dengan rasa ngantuk yang masih tersisa dalam dirinya, Ella meraba-raba ranjang untuk mencari di mana ponselnya itu. Ketika menemukan benda persegi panjang dan tipis namun harganya sangat mahal itu, Ella langsung mematikan alarmnya. Tangannya dengan kasar mengucek mata, sekaligus membersihkan sisa kotoran mata. Dengan sangat terpaksa, dia pun bangkit dari tidurnya. Lalu meneguk segelas air putih di atas meja yang selalu dia sediakan.Seketika rasa yang menyegarkan langsung memenuhi dirinya. Ella meletakkan kembali gelas ke atas meja, dan mengedarkan pand
"Ayah harus minta maaf pada Daniel," ucap Ella datar. Matanya menatap wajah ayahnya yang tidak mengendurkan pandangannya yang tajam. "Atas dasar apa ayah harus meminta maaf?" Ella menghela napas. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini, jadi aku mohon dengan sangat agar ayah dan ibu tidak terus-terusan menggunakan Daniel untuk membuatku pulang. Karena ini bukan rumahku, aku tak pernah merasa tinggal di rumah ini. Rumah ini seperti neraka bagiku yang setiap harinya sangat mencekikku," ungkap Ella mengeluarkan sesuatu yang sudah ditahannya dari lama. Suaranya samar bergetar karena dia sangat emosi. Emosi yang akhirnya dia keluarkan juga. "Ella. Tapi ibu kesepian karena kau tidak ada," tegur ibunya lembut. Ella tersentak. Tapi tidak mengubah pendiriannya. "Sampai ayah menyadari semua kesalahannya, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi. Jangan membuatku terpaksa menggunakan cara-cara berontak yang lebih parah dari ini," Ella menguatkan hati, membulatkan
Ella berguling-guling dengan gelisah di atas ranjang berukuran besar miliknya. Giginya tak henti menggigit kuku jari-jarinya. Merupakan suatu kebiasaan bagi Ella jika sedang merasa tak tenang. Ella tau dengan jelas apa yang membuatnya seperti ini, yaitu Daniel. Perasaannya seolah mengatakan bahwa sesuatu terjadi pada pria itu. Kepalanya terus memikirkan ucapan Daniel tentang Ella yang harus datang ke rumah orang tuanya malam ini karena ada yang ingin mereka bicarakan. Tapi karena Ella keras kepala, dia memutuskan untuk tidak datang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ella dengan cepat mengambil ponselnya dan membuka sebuah aplikasi pesan.Tertulis di sana nama profil "Daniel Lambert" yang terletak paling atas di aplikasi pesan tersebut. Ella membuka ruang obrolan itu. Pesan terakhir yang dikirimkannya pada Daniel pun tidak dibaca. Pesan yang dia kirimkan sekitar dua jam lalu. Kemana perginya Daniel? Mengapa tidak kunjung membalas pesan yang Ella kirim? E
"Kau tidak makan?" tanya Daniel, bukan dengan nada bertanya tentunya. Ella mengangkat wajahnya. Memandang Daniel. "Jangan hanya menyuruhku makan, kalau kau sendiri tidak makan. Lagipula bukankah kau harusnya pergi bersama Direktur Utama?" Daniel melirik Ella yang ada di depannya. "Aku tidak ikut," balas Daniel pendek dan mulai memakan makan siangnya. Ella pun hanya mengangguk saja, acuh. Tak peduli juga sebenarnya jika Daniel ikut atau, hanya ya jadi tidak bisa bertemu dengannya. "Ayahmu ingin bertemu denganmu. Jadi memintamu untuk datang makan malam," Oh inilah alasannya. Awalnya Ella merasa heran kenapa Daniel tiba-tiba mengajak makan siang berdua. Jadi karena ada permintaan dari ayahnya yang harus Ella penuhi. "Kau sekarang seperti asistennya saja." ujar Ella pedas."Apa kau dibayar lebih besar daripada Ethan membayarmu?" Oke berhenti Ella. Kau pasti menyakiti hati Daniel. Bicaramu kasar sekali. "Jaga ucapanmu," sela Daniel dingin. Rahangnya mengeras, urat disekitar kenin
"APAAA!!!!" Ashley memekik tinggi di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang makan siang di cafetaria perusahaan mereka. "Pelankan suaramu, Ashley" pinta Alice menggeram dengan suara pelan sembari melempar senyum dan menundukkan wajah pada mereka yang terganggu akibat Ashley. "Upss. Mulutku memang sulit untuk dikendalikan" koementarnya sambil memukul pelan bibirnya. Alice menghela napas, lalu menyendokkan lagi makanan ke dalam mulutnya. "Jadi dengan sangat kebetulan, Ethan datang dan menyelamatkanmu dari para rentenir itu?" ulang Ashley, matanya menyipit curiga sembari mulutnya menyeruput minuman matcha kesukannya. "Ya begitulah" jawab Alice pendek. "Lalu saat itu kau berpikir, 'Oh lihat betapa kerennya dia. Apa dia ditakdirkan untuk menjadi penyelamat jiwaku'. Seperti itu?" ledek Ashley, bibirnya sedikit menekuk ke bawah ketika berbicara. "Sialan. Kau ingin aku beri bogem mentah!" serang Alice marah. "Aku hanya tidak habis pikir, Alice"Ashley merasa ada yang tak mengena di hati