Ciuman ringan itu mendarat di kening Dinara. Tentu saja pria di balik kemudi itu yang melakukannya.“Kenapa ke sini? Seminarnya selesai lebih cepat?”Dinara menatap bingung, tetapi ia juga memiliki hal yang ingin ditanyakannya.“Kenapa Om Aris nggak balas pesan Nara?”Aris meraih ponselnya di atas dashboard. “Nih! Kehabisan beterai tadi. Emang Nara kirim pesan apa?”Kekesalan makin menguasai gadis itu. “Kenapa suruh Pras yang jemputin?”“Biar Pras yang nungguin di sana, Om nggak suka nunggu lama di parkiran kampusmu. Apalagi kalo ketemu sama anak ingusan yang waktu itu berani nyiumin Nara di kampus.”“Karena Om mau anter Alea, kan?”Aris menoleh ke arah rumah Alea, gadis itu masih berdiri di sana menunggu kendaraan tamunya meninggalkan pekarangan rumah orang tuanya.“Iya. Om ada utang penjelasan ke ayahnya.” Aris mulai melajukan kendaraannya meninggalkan rumah Alea.Hening menguasai keduanya beberapa saat, hingga Aris meraih tangan kanan Dinara dan membawa tangan mulus itu ke depan hi
“Pakai baju apaan itu, Nara!” Aris menyipitkan mata melihat kaos ketat dan hot pants yang lagi-lagi menjadi pilihan Dinara pagi ini.“Ya baju Nara, Om.” Dinara menjawab santai, berhenti sesaat menatap omelet di piring Aris. “Omelet lagi, Om?” tanyanya sambil menari kursi makan di sebelah Aris.“Om lagi nggak bahas omelet. Itu. kenapa pakai baju itu lagi! Bukannya Om sudah beliin baju rumah berapa lusin.” Kali ini suara Aris meninggi.“Enak aja makai beginian, Om.” Dinara menarik piring, sajian di meja makan begitu menggoda seleranya, kecuali omelet di hadapan Aris tentu saja.“Balik ke kamar! Jangan muncul di meja makan sebelum pakaianmu dibenerin!” Aris menarik kembali piring Dinara yang memang masih kosong.“Nara lapar, Om!”“Ganti bajunya! Jangan muncul di depan Om dengan pakaian seperti ini!” Aris menunjuk tepat di dada Dinara yang membusung terbungkus kaos ketat.Menyadari bahwa bentakan dan permintaan Aris bukan main-main, Dinara berdiri dengan kasar, menghentakkan kakinya di la
Aris menelan ludahnya, menggenggam erat ponsel Dinara seolah hendak menghancurkannya sebelum meraih semua pakaian pilihan Alea yang sudah tersusun rapi, mengambil semuanya lalu membuangnya ke keranjang sampah di sudut ruangan.“Lupakan semua pakaian pilihan Alea! Pilih pakaianmu sendiri yang sesuai dengan inginku! Jangan pakai pakaian-pakaian minimu ini! Kalo Nara nggak punya pakaian lain, tak usah memakai pakaian apa pun hingga Nara mengganti semua pakaian rumah Nara!”Aris melangkah lebar ke arah pintu.“Satu lagi! Aku nggak mau liat kamu hubungi Kenzo lagi! Tanyakan langsung padaku jika ada yang ingin kamu tanyakan! Bukan nanya ke bocah ingusan yang jelas-jelas masih menyukaimu itu!” serunya sebelum berlalu dan beberapa detik selanjutnya Dinara mendengar suara pintu ditutup dengann kasar.Dinara menelan ludahnya, matanya berkabut ketika menyadari kemarahan Aris. Kemarahan yang dulu sering dilihatnya ketika ia melakukan hal-hal nakal yang membuat Aris harus turun tangan, kemarahan y
Dinara memperhatikan tubuhnya dari pantulan cermin, pakaian rumahan yang dikenakannya terasa begitu aneh di tubuhnya. Ia lalu menyisir rambutnya dengan rapi lalu duduk di sofa menonton drama korea terbaru dengan beberapa bungkus kripik kentang menemani. Ia memang memilih pulang lebih awal hari ini, melewatkan meeting sore dengan tim mahasiswa yang khusus ke Jepang dengan alasan sakit.Alasan yang tentu saja tak mengada-ada, sebab ia kini duduk di sofa sambil memijit kakinya yang terasa pegal, di bagian tumitnya bahkan agak sedikit lecet akibat gesekan high heels setelah berjam-jam ia dan Novi memutari sebuah pusat perbelanjaan untuk menemukan pakaian pengganti yang dimaksud Aris.Ternyata tak semudah itu ia melakukannya meski sudah mengajak Novi menemani. Dinara baru menyadari bahwa selama ini ia tak pernah memilih pakaiannya sendiri, semua sudah tersedia dan kemungkinan semuanya adalah pilihan Maminya yang sepertinya memang sudah sangat mengerti selera berpakaiannya. Maka ketika ia b
“Hei kalian! Main mesra aja kayaknya.” Sebuah suara menyapa Aris dan Alea, membuat keduanya saling menatap sesaat sebelum Alea membantah dengan mengatakan bahwa hubungan mereka sudah berakhir. Malam ini Aris dan Alea memang sedang memenuhi undangan makan malam salah satu rekan kerja mereka di salah satu stasiun TV swasta dulu, pekerjaan yang ditekuni Aris sebelum dipaksa untuk memegang kekuasaan di Tulip, pekerjaan seni yang mempertemukannya dengan Alea lalu keduanya saling jatuh cinta sebelum akhirnya semua buyar setelah pernikahan Aris dan Dinara. Meja-meja di sebuah kafe sudah tertata rapi, sebuah kue ulang tahun juga sudah ada di tengah-tengah meja karena hari ini mereka memang menghadiri undangan makan malam dalam rangka ulang tahun mantan rekan kerja mereka. Susana akrab begitu terasa kental malam ini, apalagi semua yang ada di sana mengomentari hubungan Alea dan Aris setelah keduanya mengaku sudah berakhir dan Aris pun sudah menikah. Komentar-komentar nyeleneh yang sesekali m
“Nara boleh bawa mobil sendiri, Om?”Hampir setiap hari pertanyaan itu dilontarkan Dinara sejak Aris menyita kunci mobilnya, membuatnya merasa tak leluasa beraktifitas karena harus tergantung pada Aris ataupun Pras. Dan hampir setiap hari pula, jawaban dari Aris tetaplah tidak, atau hanya gelengan kepala.“Sampai kapan sih hukumannya, Om? Nara janji cuma butuh mobil buat kegiatan kampus.”Aris menyipitkan mata. Nalurinya belum sepenuhnya bisa percaya pada gadis ini, apalagi waktu itu Dinara bahkan masih menghubungi Kenzo hanya sekadar bertanya tentang pakaian yang dipilihkan Alea untuknya. Bayangan Dinara yang mabuk dan hampir polos di bawah kuasa Kenzo masih selalu membuat otaknya mendidih ketika mengingatnya. Maka mengawasi gadis itu secara langsung dengan bantuan Pras masih menjadi pilihan Aris.“Sampai Nara bersikap manis,” jawabnya asal sambil mengacak poni gadis itu.Dan Dinara tahu, jawaban Aris tetap akan tetap ‘tidak’ meski pria itu terlihat begitu bahagia pagi ini.“Ya udah,
[Om ada meeting sepuluh menit lagi][Ponsel off, bisa ke Pras kalo mau apa-apa][Semoga gak alot dan kelar cepat biar bisa jemput Nara.]Aris sengaja mengirim pesan duluan ke nomor Dinara mengingat permintaan Dinara tadi pagi yang menginginkan dia lah yang mengantar jemput gadis itu hari ini.Deretan pesan itu masuk ke ponsel Dinara saat ia baru saja hendak menghubungi Aris untuk menjemput, membuat Dinara menghentikan langkah.“Kenapa?” Novi yang berjalan di sebelahnya ikut berhenti.“Om Aris masih meeting, belum bisa jemput.”Gadis bertubuh tambun yang menjadi sahabat kental Dinara menatap heran. Meski tak pernah lagi membawa kendaraan sendiri ke kampus, Dinara memang tak memiliki kendala dalan urusan antar jemput, sebab setahu Novi, suami atau sopir Dinara akan lebih dulu menunggu di parkiran sebelum sahabatnya itu keluar kelas.“Tumben.” Novi menggumam.“Lagi nggak pengen dijemput Pras, tadi pagi minta Om Aris yang jemputin tapi katanya masih meeting.”Sang sahabat tersenyum lebar.
Suara itu masih terdengar bergetar, hingga Aris memeluk tubuh Dinara dan kembali meyakinkan bahwa hari ulang tahunnya bukanlah sesuatu yang penting untuk dirayakan. “Om nggak pernah mengistimewakan hari ulang tahun, Nara. Jadi untuk apa Om kasih tau Nara? Tadi malam juga Om keluar bukan buat ngerayain ulang tahun, tapi menghadiri undangan makan malam teman Om yang kebetulan hari ulang tahun kami di tanggal yang sama.” Penjelasan yang akhirnya disesali Aris.Dinara menarik tubuhnya.“Jadi tadi malam Om keluar untuk ngerayain ulang tahun?”“Ck! Bukan, Nara! Cuma datang ke undangan dinner teman yang kebetulan jura berulang tahun.”“Dan Om nggak ngajakin Nara?”“Gimana mau diajakin. Om masuk kamar aja kamu udah buang muka nggak mau ngeliatin.”Mata Dinara berkabut. “Tapi Nara udah keterlaluan, Om. Nara bahkan nggak tau tanggal lahir Om Aris sampai-sampai yang ngerayain justru orang lain.”“Huhff! Nggak ada yang ngerayain, Nara. Itu cuma ... ahhh sudahlah! Nggak ada yang penting ulang tahu
“Mana ada dokter yang begitu, Om.”“Huhh! Tapi empat puluh hari itu lama, Naraaa! Gimana nasib Om coba?”Dinara mencibir. “Dih! Biasanya juga banyak ide banyak cara banyak ....” Kalimat Dinara tak selesai, karena pria yang sedang digodanya itu kini menarik tangannya dengan sedikit paksaan.“Ikut Om!”“Ke mana?”“Kamar mandi.”“Hah?!”“Tanggung jawab, Nara! Kamu bikin Om jadi kepikiran banyak ide banyak cara.”“Ck!”“Nara ....” Aris kembali memanggil.“Hmm.”“Kalo kata Mama mata cokelat ini dari ibu kandung Om, sekarang Nara tau kan dari mana nakal dan liarnya Om?”Dinara menautkan alis.“Kayaknya itu warisan dari laki-laki nakal dan liar yang sudah membuat Om terlahir ke dunia.”Ada nada getir dari suara Aris, dan Dinara yang memilih untuk segera menetralkan suasana.“Tapi ... kayaknya Nara harus berterima kasih ke orang itu, Om.” Dinara menghampiri lebih dekat. “Karena Nara suka Om Aris yang nakal dan liar seperti ini,” bisiknya lagi.Aris menggigit bibirnya, kegetiran itu sudah berl
Sambil mengenggam selembar foto di tangan kirinya, Aris menggenggam surat itu dengan tangan kanannya lalu mulai membaca.-Aris anakku, wanita cantik di foto ini adalah ibu kandungmu, Nak. Namanya Cecilia, jangan tanyakan mengapa Mama bisa menemukan identitasnya, Papamu melakukan semua itu ketika menyadari betapa Mama menyayangi Aris seperti Mama menyayangi Aldo. Sekarang Aris tahu kan dari mata bola mata cokelat Aris? Ya, itu dari garis keturunan ibumu, Nak.Jika Aris membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tak ada lagi di dunia. Mama sengaja hanya memberikan selembar foto ini untuk Aris, tanpa menyertakan keterangan apa pun tentang Cecilia, karena Mama dan ibumu sudah saling berjanji saat kami bertemu.Cecilia meminta agar kamu tak mencarinya, Nak. Bukan karena dia tak menyayangi Aris, tetapi karena ia tahu bahwa Aris sudah menemukan keluarga yang jauh lebih berarti dari pada hanya sekadar ikatan darah. Ibumu sudah memiliki keluarga dan bahagia dengan keluarga barunya, sedan
“Ulangi sekali lagi, Dok.”“Ini alatnya mungkin rusak.”“Coba di bagian yang ini, Dok.”Hanya suara perintah Aris yang terus menerus terdengar di ruang USG sebuah rumah sakit internasional dengan tenaga dokter kelas atas. Dokter wanita yang memeriksa Dinara bahkan harus sesekali menyeka peluhnya ketika mendapati tatapan mematikan Aris.“Ini sudah dicoba berkali-kali, dan kondisi bayinya memang sedang memeluk lutut.” Dokter dengan name tag Rindy itu kembali menjelaskan sambil mengusap kening.Permintaan kliennya kali ini cukup membuatnya repot. Hasil USG harus memperlihatkan jenis kelamin sang bayi, sementara posisi bayi yang terlihat di layar tak menampakkan jenis kelaminnya.“Nggak baik buat Ibunya kalo terlalu lama bersentuhan dengan alat-alat ini.” Sang dokter masih berusaha mengingatkan klien VVIP yang sangat sulit untuk dikendalikan itu.“Tapi aku mau tau jenis kelamin anakku, Dokter Rindyyy!” Aris mendelik menatap papan nama wanita berjubah putih itu.Sayangnya, tatapan tajam Ar
Rambut Aris yang masih basah namun sudah tersusun rapi sedikit mengganggu Dinara. Jika saja tak sedang mengibarkan bendera perang, ia tentu sudah akan mengacak-acak kembali rambut pria itu.“Masih marah?” Tanpa sungkan Aris duduk di sofa di samping Dinara. “Padahal omelet buatanku sudah dihabisin.” Aris masih menggumam menatap piring kosong di atas meja.“Omeletnya nggak enak.”“Oiya? Nggak enak aja ludes gitu.” Aris terkekeh.“Ck! Nanti Nara bayar omeletnya!”Aris terkekeh, menempelkan punggungnya di sofa tanpa melepaskan pandangan matanya dari Dinara.“Seksi ...,” gumamnya. “Om rasanya pengen gigit kamu, Nara. Udah belum merajuknya?”Merasa kemarahannya sama sekali tak berarti bagi Aris, Dinara menoleh dengan tatapan tajam.“Keluar dari kamar Nara, Om. Nara mual cium parfum Om Aris.”Akan tetapi, Aris justru semakin tertawa lebar. “Jangan memutarbalikkan fakta Nara sayang. Bukannya tiap malam Nara tidur meluk kaos Om?”Blush! Pipi Dinara merona merah. Beberapa malam ini ia memang ti
“Maaf ...,” ucap Pras sesaat setelah melepaskan bibirnya dari Alea. Gadis itu hanya menatap pasrah. Dari sekian banyak interaksinya dengan Pras, ini adalah untuk pertama kalinya Pras melakukan hal seekstrem ini padanya.Dada Aris bergerak naik turun sepeninggal Pras dan Alea. Ciuman sepasang kekasih itu ternyata mempengaruhinya dengan begitu kuat. Ia masih bisa melihat Alea meliriknya sekilas tadi. Dulu ciuman seperti itu sudah menjadi kebiasaannya dengan Alea setiap hari, maka Aris dengan jelas-jelas merindukan itu. Pria itu menyugar kasar rambutnya. Hanya Dinara yang bisa membuat gejolak di dadanya ini berhenti, tapi bagaimana ia bisa membujuk wanita hamil yang masih marah padanya itu?***Oma Lili kini sudah berada di rumah. Kondisi Dinara yang tengah hamil tak memungkinkan wanita itu setiap hari bolak balik ke rumah sakit, maka Aris memutuskan Oma Lili-lah yang kembali ke rumah dengan semua peralatan medis yang masih melekat di tubuh wanita renta itu. Sejak Oma Lili kembali ke rum
“Ini perbuatan salah satu penggilamu.”Aris menyipitkan mata memperhatikan beberapa berkas yang disodorkan Alea di atas meja kerjanya.“Dokter Oki?” gumam Aris.“Ya. Dia yang mengirim foto-foto itu ke Nara. Belakangan ini dokter Oki mengirim orang untuk mengikutimu, lalu membidik momen-momen seperti yang ada di foto yang dilhat Nara.”Aris menghela napas berat. Ia bukan tak mencurigai dokter kepercayaan ibu angkatnya itu, tetapi kedekatan dan jasa dokter Oki pada keluarga Oma Lili selama ini juga tak bisa diabaikannya begitu saja.“Oke, makasih atas kerja kerasmu, Alea.” Aris mengangguk pada gadis cantik di depannya. “Ehhh! Tapi tunggu! Bukannya aku nyuruh Pras untuk menyelidiki ini? Kenapa kamu yang melaporkan?” Mata Aris beralih menatap sosok pria yang lebih memilih berdiri mengambil jarak beberapa meter dari meja kerjanya.“Kamu udah ngasih beban pekerjaan terlalu banyak ke Pras, Mas. Dia nggak bisa memiliki kehidupannya sendiri dengan tanggung jawab yang Mas Aris bebankan, padahal
Terbangun dengan Aris di sampingnya, Dinara tersenyum mendapati pria yang semalaman mengingkari janjinya untuk tak membuatnya kelelahan itu masih tertidur lelap. Jemari Dinara bergerak, mengelus pelan rahang Aris yang terasa kasar oleh rambut rambut halus yang tumbuh di sana.“Morning, Wife.” Aris menggeliat, mengubah posisi tidurnya lalu kembali melingkarkan lengannya memeluk Dinara.“Nara lapar, Om. Pengen makan omelet.”Mata Aris membuka malas. “Om masih ngantuk, Nara. Kamu sih semalaman udah bikin Om kelelahan.”Dinara meraih bantal, lalu memukul kepala Aris dengan kesal. “Om tuh yang keterlaluan!”Aris tertawa. “Ntar malam lagi, ya.” Tangannya mengelus perut Dinara. “Senang ditengokin Daddy kan, Nak?” Bujukin Mommy ya biar diizinin sering sering nengokin kamu.”“Nggak! Nara mau konsultasi ke dokter kandungan dulu, Om.”“Ya udah, nanti
“Ris.” Dinara sudah keluar dari ruang VVIP di mana Oma Lili dirawat ketika Aris masih di dalam. Beberapa menit yang lalu, Dinara mengeluh mual dan kesemutan di sana sehingga Aris memutuskan untuk membawa wanita hamil itu untuk pulang.Aris menaikkan alisnya, menunggu dokter Oki kembali bicara.“Kamu yakin mau bawa Oma pulang?”“Ya. Aku dan Nara nggak bisa selalu berada di sini. Kondisi Nara juga lagi hamil dan kamu liat sendiri dia masih sering mual seperti tadi. Akan lebih baik jika Oma di rumah saja, Nara bisa punya waktu lebih banyak bersama Oma.”Dokter Oki mengangguk angguk. “Aku akan mengurusnya.”“Oke, makasih.” Aris menepuk pundak dokter Oki, tetapi baru saja hendak melepas tangannya dari pundak dokter Oki, Aris menghentikan langkah ketika wanita itu menahan punggung tangannya di sana.“Oma Lili mungkin tak akan bertahan lama lagi, Ris. Organ organ vitalnya sudah sanga
Menghadapi sosok renta yang ternyata masih terbaring seperti sebelumnya di atas ranjang rumah sakit, Aris terlihat kesal menatap dokter Oki.“Aku nggak bohong, tadi Oma merespon.” Dokter Oki yang seolah tahu kekesalan Aris, menjelaskan tanpa ditanya.“Dokter gadungan.” Meski hanya menggumam, tetapi suara Aris bisa terdengar jelas oleh dokter Oki dan Dinara.Bugh!Aris hanya meringis ketika dokter Oki meninju lengannya. “Jangan bicara sembarangan! Kurasa kamu tahu mengapa Oma Lili bertahun-tahun menggajiku sebagai dokter pribadinya. Karena beliau tak pernah salah menilai orang, kecuali ....”Aris menggerakkan alisnya naik, menoleh pada dokter Oki yang bicara padanya dengan suara yang sangat pelan.“Kecuali salah menilai anak angkatnya.” Dokter Oki lanjut bicara.Dokter Oki memang sudah bertahun-tahun menjadi dokter keluarga Oma Lili. Wanita yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di baw