Lalu justru rindunya semakin menjadi-jadi setelah makan malam berakhir. Ivan yang ternyata begitu romantis membuat jiwanya semakin kesepian. Aris masih ingat bagaimana tamunya itu datang memenuhi undangannya dengan tangan yang tak pernah lepas menggenggam tangan sang istri.“Kenalkan ini istriku, Cahaya.” Bahkan saat memperkenalkan istrinya, Ivan tak lepas menatap wajah wanita cantik itu.Lalu di sepanjang dinner, berkali-kali Aris justru dibuat salah tingkah ketika tanpa sengaja memergoki kedipan mata Ivan pada sang istri, belum lagi cara pria itu berbicara yang selalu mendekatkan bibirnya di sisi telinga Cahaya.Ah, sebuah interaksi yang tiba-tiba saja membuat Aris semakin merindukan Dinara.“Ehm, kalian masih pengantin baru?” Akhirnya ia memilih bertanya, meski merasa canggung karena bertanya masalah pribadi. “Maaf, kalo keberatan nggak usah dijawab,” lanjutnya kemudian.Akan tetapi, reaksi Ivan justru di luar dugaan Aris. Sebab pria itu justru tertawa lalu kembali menggenggam tang
Tak ada Dinara di ruang VVIP rumah sakit di mana Oma Lili dirawat ketika Aris kembali dari Bali. Gadis itu juga tak ada di istana Oma Lili saat Aris mencari tahu, bahkan saat mengecek keberadaan Dinara di rumah mereka yang sudah beberapa hari ini ditinggalkan, ia juga menerima kabar jika Dinara tak ada di sana.“Jangan terlalu keras pada Nara, Ris.” Oma Lili yang melihat kegelisahan Aris angkat bicara. “Mama liat belakangan ini dia udah banyak berubah.”“Iya, Ma. Aris cuma penasaran Nara di mana, padahal harusnya kan ada di sini nemanin Mama.”“Mungkin dia lagi di kampus, beberapa hari ini sejak kamu di Bali, sepertinya Nara lagi aktif aktifnya di kampus.”Aris melupakan itu. Melupakan bahwa istri belianya itu masih mahasiswi semester awal yang mungkin sedang ada jadwal kuliah. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Dinara, gadis manis yang mengaku juga merindukannya itu seharusnya berada di sini, menyambutnya datang lalu meghadiahi pelukan sebagai jawaban rasa rindu.“Iya, Ma. Aris
“Kamu kenapa, Nara?” Novi yang melihat kegelisahan Dinara bertanya.“Om Aris mau ke sini, Nov.”“Bukannya lagi di Bali?”“Udah balik kayaknya. Buktinya mau ke sini. Katanya tadi nungguin dua jam di parkiran kampus.”“Lah, kamu nggak ngabarin emang?”Dinara menggeleng. “Kupikir Om Aris masih di Bali. Soalnya kemarin katanya masih banyak kerjaan. Mana aku juga baru ingat nyalain ponsel barusan.”Novi menatap iba. “Bakalan kena marah suami dong, Ra.”“Jangan sampai deh, Nov. Aku nggak mau marah-marahan lagi. Udah capek sejak nikah berantem melulu nggak pernah akur.”“Oh, jadi sekarang udah akur, Ra?”“Hmm.” Wajah Dinara memerah mengingat ungkapan rindu yang saling diakui oleh keduanya saat berjauhan.“Jadi sama yang itu udah nggak lagi?” Novi menunjuk Kenzo yang berada di meja sebelah.Dinara menggeleng.“Terus tadi ngobrol berdua ngomongin apa?”“Aku minta putus. Sama seperti Om Aris mutusin Alea.”“Om Aris mutusin pacarnya yang waktu itu, Nara?”Dinara mengangguk.“Wah, sepertinya kali
“Nggak nyangka anak gadisnya Abangku semanis ini.” Aris masih membingkai pipi Dinara. “Papi Mami kamu di sana pasti bangga ngeliat Nara sekarang.”“Bangga apanya, Om? Nara nggak jadi apa-apa, belum jadi apa-apa, padahal dulu kalo lagi suka banyak sekali yang Nara mau lakuin.” Mata gadis itu menerawang.“Setidaknya Bang Aldo pasti bangga Nara bisa jaga diri, Nara udah bisa berpikiran dewasa, Nara udah nikah.”“Apa hebatnya nikah sama Om Om?” Dinara menggumam.“Om dengar itu, Nara.”“Ya udah. Apa hebatnya coba nikah muda? Apa hebatnya nikah sama Om Om?”“Setidaknya Om lebih berpengalaman dibanding teman-teman kamu yang masih pada ingusan tadi itu.”“Ck! Mana ada teman Nara yang ingusan, Om.” Dinara memprotes.“Terus kalo kamu nanya apa hebatnya nikah muda, nanti kalo kita punya anak, Nara kelak bisa jadi kayak teman dengan anak sendiri karena umurnya nggak selisih jauh.”Dinara tiba-tiba saja menjauhkan diri. “Punya anak? Om Aris nggak akan benar-benar ... ehm ... nggak akan ... itu ...
Dinara menatap takut-takut pada Aris yang mulai menggerakkan tuas perseneling untuk melajukan kendaraannya meninggalkan kafe. Di mata Dinara, ekspresi Aris saat ini terlihat tegang dan marah.Apa Aris marah karena penolakannya? Apa yang akan dilakukan pria itu setelah ini?“Om ...,” panggilnya ketika mobil Aris sudah bergerak di atas aspal jalan raya.“Hm.” Aris memilih berkonsentrasi ke jalanan.“Om marah?”“Menurut Nara?”“Maaf, Om. Nara cuma ... ngg ....”“Udah. Jangan dibahas.”Dinara terdiam sejenak.“Apa abis ini Om Aris mau datangin Alea?”Aris mendesis kesal. “Pertanyaan macam apa itu, Nara!”“Apa ... mmm ... apa Om Aris abis ini akan ngelakuin itu lagi di kamar mandi?”“Ck! Nakal sekali kamu, Nara! Berhenti bertanya yang nggak nggak!”Dinara kembali bungkam, tetapi gadis itu masih terus menatap wajah tegang Aris.“Nara ... takut, Om.” Ia akhirnya menggumam nyaris tak terdengar.Aris memilih mengabaikannya, tak ingin meneruskan pembahasan yang tak kunjung bertemu kesepakatan i
“Udah, Nara!”Ini sudah permintaan ‘sudah’ yang kesekian kalinya dari Aris. Sejak masuk ke ruang VVIP dengan menggandeng tangan Dinara tadi, keduanya dikejutkan dengan berbagai buket bingkisan yang berjejer mengisi hampir seluruh ruangan. Dua orang pengunjung yang dikenal Aris sebagai salah satu pemegang saham di Tulip masih berada di sana ketika mereka tiba.Sementara di saat Aris merasa terganggu dengan jejeran bingkisan di sana, Dinara justru terlihat takjub dan langsung melepaskan tangannya yang bergelayut di lengan Aris lalu menghampiri dan membuka satu per satu bingkisan yang menarik perhatiannya.‘Persis bocah yang kegirangan ketemu permen!’Itu yang ingin sekali dikatakan Aris ketika merasa risih melihat Dinara yang berlompatan dari satu buket ke buket lainnya dengan mulut yang terus menguyah.Menemani pengjenguk yang masih memiliki waktu kunjung lima menit, Aris mengobrol santai sambil menjawab beberapa pertanyaan ringan seputar keadaan ibu angkatnya. Sialnya, ia merasa terga
Sore ini, Aris pulang lebih awal dari kantornya. Beberapa pekerjaan yang masih tersisa diserahkannya pada Pras, sang asisten setia. Sebuah pesan dari Dinara-lah yang membuatnya bergegas pulang lebih cepat hari ini.[Ada undangan ini. Om bisa hadir nemanin Nara?]Sebuah foto undangan yang dikirim Dinara tadi siang rupanya menggerakkan pikiran Aris untuk datang, apalagi beberapa deret pesan selanjutnya dari Dinara membuatnya tak bisa mengabaikan kegiatan mahasiswi cantik itu.[Kalo Om Aris sibuk Nara nggak maksa. Tapi Nara izin ikut makan malam dengan teman-teman Nara setelah kegiatan, ya.][Makan malam resmi kok, Om. Ada dosen-dosen pembimbing juga.]Aris tak mungkin membiarkan itu. Bayangan Kenzo yang di sekitar Dinara masih selalu mengganggunya. Gegas Aris meninggalkan ruangannya, sudah beberapa hari ini kantor serasa tak berwarna bagi Aris. Alea mengambul cuti untuk beberapa minggu, tak ada gadis cerdas yang masih sering ditatapnya berlama-lama itu. Mungkin kini ia dan Alea memang t
Melupakan acara dinner setelah pengumuman pertukaran mahasiswa tadi karena tiba-tiba saja merasa rindu pada tempat istimewa yang sering dikunjungi dengan Papinya, Dinara menerima beberapa pesan protes dari temannya malam ini. Setelah pelukan dan kecupan Aris di bawah hamparan langit berbintang tadi terlihat oleh beberapa pengunjung kafe. Aris memang memilih membawa Dinara meninggalkan tempat itu lalu kembali berada di balik setir setelah tadi bertukar tempat dengan Dinara.“Dari tadi sibuk dengan hape mulu kamu, Nara,” protes Aris ketika Dinara lebih banyak menunduk dan berkonsentrasi pada layar ponselnya.“Kita pulang ngelewatin hotel Blue Sky nggak, Om?” Dinara menyebut salah satu hotel bintang lima yang ternama.“Kenapa emang? Mau ajakin Om chek in?”“Ish! Nggak, Om. Teman-teman Nara yang lolos lagi pada dinner di restoran di Blue Sky dan Nara ketinggalan. Tadi padahal Nara udah konfirmasi ikut, cuma tiba-tiba saja keingat tempat favorit Papi tadi pas Om Aris bahas Papi dan mami.”
“Mana ada dokter yang begitu, Om.”“Huhh! Tapi empat puluh hari itu lama, Naraaa! Gimana nasib Om coba?”Dinara mencibir. “Dih! Biasanya juga banyak ide banyak cara banyak ....” Kalimat Dinara tak selesai, karena pria yang sedang digodanya itu kini menarik tangannya dengan sedikit paksaan.“Ikut Om!”“Ke mana?”“Kamar mandi.”“Hah?!”“Tanggung jawab, Nara! Kamu bikin Om jadi kepikiran banyak ide banyak cara.”“Ck!”“Nara ....” Aris kembali memanggil.“Hmm.”“Kalo kata Mama mata cokelat ini dari ibu kandung Om, sekarang Nara tau kan dari mana nakal dan liarnya Om?”Dinara menautkan alis.“Kayaknya itu warisan dari laki-laki nakal dan liar yang sudah membuat Om terlahir ke dunia.”Ada nada getir dari suara Aris, dan Dinara yang memilih untuk segera menetralkan suasana.“Tapi ... kayaknya Nara harus berterima kasih ke orang itu, Om.” Dinara menghampiri lebih dekat. “Karena Nara suka Om Aris yang nakal dan liar seperti ini,” bisiknya lagi.Aris menggigit bibirnya, kegetiran itu sudah berl
Sambil mengenggam selembar foto di tangan kirinya, Aris menggenggam surat itu dengan tangan kanannya lalu mulai membaca.-Aris anakku, wanita cantik di foto ini adalah ibu kandungmu, Nak. Namanya Cecilia, jangan tanyakan mengapa Mama bisa menemukan identitasnya, Papamu melakukan semua itu ketika menyadari betapa Mama menyayangi Aris seperti Mama menyayangi Aldo. Sekarang Aris tahu kan dari mata bola mata cokelat Aris? Ya, itu dari garis keturunan ibumu, Nak.Jika Aris membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tak ada lagi di dunia. Mama sengaja hanya memberikan selembar foto ini untuk Aris, tanpa menyertakan keterangan apa pun tentang Cecilia, karena Mama dan ibumu sudah saling berjanji saat kami bertemu.Cecilia meminta agar kamu tak mencarinya, Nak. Bukan karena dia tak menyayangi Aris, tetapi karena ia tahu bahwa Aris sudah menemukan keluarga yang jauh lebih berarti dari pada hanya sekadar ikatan darah. Ibumu sudah memiliki keluarga dan bahagia dengan keluarga barunya, sedan
“Ulangi sekali lagi, Dok.”“Ini alatnya mungkin rusak.”“Coba di bagian yang ini, Dok.”Hanya suara perintah Aris yang terus menerus terdengar di ruang USG sebuah rumah sakit internasional dengan tenaga dokter kelas atas. Dokter wanita yang memeriksa Dinara bahkan harus sesekali menyeka peluhnya ketika mendapati tatapan mematikan Aris.“Ini sudah dicoba berkali-kali, dan kondisi bayinya memang sedang memeluk lutut.” Dokter dengan name tag Rindy itu kembali menjelaskan sambil mengusap kening.Permintaan kliennya kali ini cukup membuatnya repot. Hasil USG harus memperlihatkan jenis kelamin sang bayi, sementara posisi bayi yang terlihat di layar tak menampakkan jenis kelaminnya.“Nggak baik buat Ibunya kalo terlalu lama bersentuhan dengan alat-alat ini.” Sang dokter masih berusaha mengingatkan klien VVIP yang sangat sulit untuk dikendalikan itu.“Tapi aku mau tau jenis kelamin anakku, Dokter Rindyyy!” Aris mendelik menatap papan nama wanita berjubah putih itu.Sayangnya, tatapan tajam Ar
Rambut Aris yang masih basah namun sudah tersusun rapi sedikit mengganggu Dinara. Jika saja tak sedang mengibarkan bendera perang, ia tentu sudah akan mengacak-acak kembali rambut pria itu.“Masih marah?” Tanpa sungkan Aris duduk di sofa di samping Dinara. “Padahal omelet buatanku sudah dihabisin.” Aris masih menggumam menatap piring kosong di atas meja.“Omeletnya nggak enak.”“Oiya? Nggak enak aja ludes gitu.” Aris terkekeh.“Ck! Nanti Nara bayar omeletnya!”Aris terkekeh, menempelkan punggungnya di sofa tanpa melepaskan pandangan matanya dari Dinara.“Seksi ...,” gumamnya. “Om rasanya pengen gigit kamu, Nara. Udah belum merajuknya?”Merasa kemarahannya sama sekali tak berarti bagi Aris, Dinara menoleh dengan tatapan tajam.“Keluar dari kamar Nara, Om. Nara mual cium parfum Om Aris.”Akan tetapi, Aris justru semakin tertawa lebar. “Jangan memutarbalikkan fakta Nara sayang. Bukannya tiap malam Nara tidur meluk kaos Om?”Blush! Pipi Dinara merona merah. Beberapa malam ini ia memang ti
“Maaf ...,” ucap Pras sesaat setelah melepaskan bibirnya dari Alea. Gadis itu hanya menatap pasrah. Dari sekian banyak interaksinya dengan Pras, ini adalah untuk pertama kalinya Pras melakukan hal seekstrem ini padanya.Dada Aris bergerak naik turun sepeninggal Pras dan Alea. Ciuman sepasang kekasih itu ternyata mempengaruhinya dengan begitu kuat. Ia masih bisa melihat Alea meliriknya sekilas tadi. Dulu ciuman seperti itu sudah menjadi kebiasaannya dengan Alea setiap hari, maka Aris dengan jelas-jelas merindukan itu. Pria itu menyugar kasar rambutnya. Hanya Dinara yang bisa membuat gejolak di dadanya ini berhenti, tapi bagaimana ia bisa membujuk wanita hamil yang masih marah padanya itu?***Oma Lili kini sudah berada di rumah. Kondisi Dinara yang tengah hamil tak memungkinkan wanita itu setiap hari bolak balik ke rumah sakit, maka Aris memutuskan Oma Lili-lah yang kembali ke rumah dengan semua peralatan medis yang masih melekat di tubuh wanita renta itu. Sejak Oma Lili kembali ke rum
“Ini perbuatan salah satu penggilamu.”Aris menyipitkan mata memperhatikan beberapa berkas yang disodorkan Alea di atas meja kerjanya.“Dokter Oki?” gumam Aris.“Ya. Dia yang mengirim foto-foto itu ke Nara. Belakangan ini dokter Oki mengirim orang untuk mengikutimu, lalu membidik momen-momen seperti yang ada di foto yang dilhat Nara.”Aris menghela napas berat. Ia bukan tak mencurigai dokter kepercayaan ibu angkatnya itu, tetapi kedekatan dan jasa dokter Oki pada keluarga Oma Lili selama ini juga tak bisa diabaikannya begitu saja.“Oke, makasih atas kerja kerasmu, Alea.” Aris mengangguk pada gadis cantik di depannya. “Ehhh! Tapi tunggu! Bukannya aku nyuruh Pras untuk menyelidiki ini? Kenapa kamu yang melaporkan?” Mata Aris beralih menatap sosok pria yang lebih memilih berdiri mengambil jarak beberapa meter dari meja kerjanya.“Kamu udah ngasih beban pekerjaan terlalu banyak ke Pras, Mas. Dia nggak bisa memiliki kehidupannya sendiri dengan tanggung jawab yang Mas Aris bebankan, padahal
Terbangun dengan Aris di sampingnya, Dinara tersenyum mendapati pria yang semalaman mengingkari janjinya untuk tak membuatnya kelelahan itu masih tertidur lelap. Jemari Dinara bergerak, mengelus pelan rahang Aris yang terasa kasar oleh rambut rambut halus yang tumbuh di sana.“Morning, Wife.” Aris menggeliat, mengubah posisi tidurnya lalu kembali melingkarkan lengannya memeluk Dinara.“Nara lapar, Om. Pengen makan omelet.”Mata Aris membuka malas. “Om masih ngantuk, Nara. Kamu sih semalaman udah bikin Om kelelahan.”Dinara meraih bantal, lalu memukul kepala Aris dengan kesal. “Om tuh yang keterlaluan!”Aris tertawa. “Ntar malam lagi, ya.” Tangannya mengelus perut Dinara. “Senang ditengokin Daddy kan, Nak?” Bujukin Mommy ya biar diizinin sering sering nengokin kamu.”“Nggak! Nara mau konsultasi ke dokter kandungan dulu, Om.”“Ya udah, nanti
“Ris.” Dinara sudah keluar dari ruang VVIP di mana Oma Lili dirawat ketika Aris masih di dalam. Beberapa menit yang lalu, Dinara mengeluh mual dan kesemutan di sana sehingga Aris memutuskan untuk membawa wanita hamil itu untuk pulang.Aris menaikkan alisnya, menunggu dokter Oki kembali bicara.“Kamu yakin mau bawa Oma pulang?”“Ya. Aku dan Nara nggak bisa selalu berada di sini. Kondisi Nara juga lagi hamil dan kamu liat sendiri dia masih sering mual seperti tadi. Akan lebih baik jika Oma di rumah saja, Nara bisa punya waktu lebih banyak bersama Oma.”Dokter Oki mengangguk angguk. “Aku akan mengurusnya.”“Oke, makasih.” Aris menepuk pundak dokter Oki, tetapi baru saja hendak melepas tangannya dari pundak dokter Oki, Aris menghentikan langkah ketika wanita itu menahan punggung tangannya di sana.“Oma Lili mungkin tak akan bertahan lama lagi, Ris. Organ organ vitalnya sudah sanga
Menghadapi sosok renta yang ternyata masih terbaring seperti sebelumnya di atas ranjang rumah sakit, Aris terlihat kesal menatap dokter Oki.“Aku nggak bohong, tadi Oma merespon.” Dokter Oki yang seolah tahu kekesalan Aris, menjelaskan tanpa ditanya.“Dokter gadungan.” Meski hanya menggumam, tetapi suara Aris bisa terdengar jelas oleh dokter Oki dan Dinara.Bugh!Aris hanya meringis ketika dokter Oki meninju lengannya. “Jangan bicara sembarangan! Kurasa kamu tahu mengapa Oma Lili bertahun-tahun menggajiku sebagai dokter pribadinya. Karena beliau tak pernah salah menilai orang, kecuali ....”Aris menggerakkan alisnya naik, menoleh pada dokter Oki yang bicara padanya dengan suara yang sangat pelan.“Kecuali salah menilai anak angkatnya.” Dokter Oki lanjut bicara.Dokter Oki memang sudah bertahun-tahun menjadi dokter keluarga Oma Lili. Wanita yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di baw