Sudah tiga hari ini, Aris selalu pulang tepat waktu. Ia sengaja meminta Alea tak memberi jadwal kerja yang melebihi jam kerja karyawan Tulip yang lain. Maka sudah tiga hari ini pula sejak ia dan Dinara menginap di rumah Oma Lili, Aris akan pulang bersamaan dengan karyawan lain.“Pastikan Alea sampai di rumah dengan selamat.” Aris sedang berada di depan lift bersama Alea dan Pras sore ini.“Baik, Pak.” Pras yang berdiri di belakang Aris mengangguk, sementara Alea yang berdiri di samping Pras hanya diam tak menanggapi.Sudah tiga hari ini, Aris selalu meminta Pras mengantarnya pulang. Bahkan kemarin saat Alea berusaha melawan rasa traumanya dengan kembali berangkat ke kantor dengan mengendarai motor, Aris justru melarangnya pulang dengan sepeda motornya dan menyuruh karyawan lain yang membawa motor Alea, sementara pria itu tetap memerintahkan Pras untuk mengantarnya pulang. Masih seberkuasa itu Aris pada diri Alea, meski Alea terkesan menghindarinya.Di belakang punggung Aris, Alea mena
“... jadi boleh kan, Om?”Aris baru menyadari bahwa ternyata Dinara mengekorinya sampai ke depan kulkas. Ia bahkan tak sempat mendengarkan apa yang baru saja dikatakan gadis itu. Aris menoleh, mendapati Dinara berdiri di berjarak beberapa meter sambil menunggu reaksinya. Apa yang dikatakan gadis itu tadi? Aris sama sekali tak menyimaknya, tetapi melihat ekspresi Dinara, sepertinya gadis itu sedang menunggu persetujuannya.Dipindainya Dinara dari kaki hingga kepala. Gadis ini terlihat berbeda, seperti ada semangat baru dalam sorot mata Dinara yang selama ini hanya menggambarkan kesedihan dan kenakalannya. Mungkin kebersamaan Dinara dan Oma Lili yang menghangat selama beberapa hari ini sudah membuat Dinara memiliki semangat baru. Di balik kaca yang terhubung ke taman belakang, Aris juga bisa melihat bahwa Oma Lili pun seperti baru saja menemukan semangat baru, atau mungkin lebih tepatnya menemukan cucunya yang hilang, yang selalu berselisih pendapat dengan wanita tua itu.Aris tersenyum
“Kamu ngapain sih, Nara?!” Aris menghardik. Sudah sejak beberapa menit yang lalu ia berusaha menahan diri untuk tidak menegur Dinara yang terlihat mondar-mandir di dalam kamar, sebentar membongkar isi koper berwarna pink miliknya lalu sebentar kemudian membuka lemari dan mengeluarkan isinya. Bahkan Aris sempat melihat gadis itu juga mengutak atik sekat lemari yang berisi pakaian miliknya.Ini memang sudah hari ketiga di mana mereka menginap di istana Oma Lili. Dan lemari berukuran besar di kamar itu menjadi tempat Aris dan Dinara meletakkan barang-barang pribadi mereka di sana, meski Dinara mengatur sedemikian rupa hingga pakaiannya terpisah jauh dari sekat di mana pakaian Aris tersusun.“Nara nyari diktat kuliah, Om. Kemarin perasan Nara masukin koper, tapi kok nggak ada, ya?” Dinara mengeluh.“Nyari diktat kok sampai mondar mandir kayak setrikaan? Lagian itu tadi sampai bongkarin pakaian Om!”Di posisinya berdiri, Dinara menggaruk tengkuk. “Ehm! Itu ... siapa tau aja kan nyasar di s
“Seminggu aja, Nara. Kita harus jaga Oma selama seminggu ini. Om juga masih kebayang bayang film itu soalnya.” Aris menyebutkan judul film yang sama sekali tak pernah ditontonnya.“Oke deh, Om. Jadi besok Om nungguin Nara di kampus?”“Iya.” Aris mengangguk dengan seringai puas. Dengan begini, ia tak akan memberatkan pekerjaan yang sudah dilakukan Alea untuknya. “Demi Nara apa sih yang nggak?”“Tumben Om Aris yang antar, bukan Pras?”“Oh, Pras lagi Om kasih tugas khusus juga.”Tugas mengantar jemput Alea tentu saja. Juga satu tugas tambahan lagi yang segera diperintahkan Aris lewat pesan singkat.[Ambil mobil Nara di rumah. Bawa ke mana saja yang penting sembunyikan selama seminggu.]Alasan turun mesin tadi tentu saja membuat Aris harus menyembunyikan mobil Dinara.“Om ....” Aris mengalihkan perhatiannya dari ponsel ketika Dinara kembali memanggilnya.“Hm,” gumammnya menunggu Dinara meneruskan bicara.“Boleh minta satu hal lagi?”“Apa itu?”“Besok temenin Nara cari kado buat Novi. Tiga
Aris mengedarkan pandang ke seisi kamar, tak ada Dinara di tempat tidur atau pun di sofa, bahkan tak ada bayangan gadis itu di seluruh sudut kamar.Mungkinkah Dinara menghindarinya? Aris mengerti apa yang baru saja dilakukannya tadi telah melanggar kesepakatan di antara mereka. Kalimat kalimat tegas dari Dinara di awal pernikahan mereka tentu saja masih diingat jelas oleh Aris.“Jangan sentuh Nara!”“Jangan anggap Nara istri sungguhan!”“Ini hanya pernikahan palsu! Hanya di depan Oma!”“Om Aris nggak boleh tidur di kamar Nara!”“Nggak ada kontak fisik, apalagi hubungan suami istri!”“Nara masih waras! Om Aris bukan selera Nara!Dan malam ini, Aris melanggar beberapa poin tegas Nara waktu itu. Ia masih ingat bagaimana tadi ia kembali melabuhkan ciumannya di bibir Dinara yang begitu manis, lalu naluri lelakinya serta merta menuntut lebih ketika ternyata Dinara kembali membalasnya. Telapaknya masih merasakan bagaimana lembutnya kulit Dinara tadi saat ia menyusupkan tangan ke dalam kaos g
[Maafin yang terjadi di rumahku, Ara. Aku nggak bisa ngontrol diri. Aku akui cemburu berat waktu dengar rumor kalo kamu udah nikah. Makanya aku juga jadi ikut nyebarin rumor itu karena ngerasa kamu khianati hubungan kita, apalagi waktu dengan kamu jadi simpanan Om Om.]Aris kembali mendengkus kasar membaca isi pesan dari nomor Kenzo.[Om Om yang nikahin kamu itu juga udah ngenalin dirinya langsung ke aku, Ara. Dan aku yakin kamu nggak mungkin sama laki-laki yang udah tua itu. Aku tau seleramu, Ara.]“Sial!” Aris mengumpat membaca deretan pesan itu.[Maafin aku ya, Sayang. Aku baru tau kalo kamu ngejalanin pernikahan itu demi perusahaan orang tuamu. Pantas saja kamu nyembunyiin status pernikahanmu.] Aris berhenti membacanya. Untuk urusan alasan pernikahannya ini, apa Kenzo mengetahuinya dari Alea?[Apa kamu tau kenapa aku selalu mempertahankanmu, Ara? Kamu tau kan aku di-cap suka gonta ganti cewek? Kamu juga pasti tau kalo aku punya pacar lain selain kamu. Tapi justru itulah yang biki
“Om Aris ....” Sudah kesekian kalinya Nara berusaha membangunkan Aris, tetapi pria itu masih saja meringkuk di balik selimut. Dinara sendiri sengaja bersiap lebih pagi dari biasanya karena ia berencana mampir ke rumahnya dulu mengingat diktat kuliah yang semalam dicarinya hingga kini belum juga ketemu.“Om!” Dia kembali ke tempat tidur setelah benar benar sudah siap berangkat namun belum ada tanda-tanda Aris terbangun.‘Apa aku berangkat sendiri aja, ya?’ Dinara berpikir sejenak. Ia memang belum terbiasa mengendarai mobil lain selain mobilnya sendiri, itu pun baru beberapa bulan ini ia kembali memberanikan diri menyetir mobil setelah rasa trauma atas kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya.Akan tetapi, kondisi Aris yang masih meringkuk di ranjang, dan jadwal ujian serta keinginannya untuk mencari hadiah ulang tahun Novi hari ini tak bisa membuatnya menunggu apalagi membatalkan rencana. Putus asa karena Aris masih bergeming di sana, Dinara mencari-cari kunci mobil Aris. Di sofa, di
“Oma jadi asyik sekarang ya, Om?” Dan tentu saja Dinara pun merasakan hal yang sama.“Hmm.” Aris mengangguk setuju, dengan mulut yang masih mengunyah. Di sampingnya, Dinara hanya memegang selembar roti dengan lembaran keju di atasnya, sangat berbeda dengan Aris yang membawa sarapannya di kedua tangan.“Tolong ambil kunci di saku kanan, Nara,” pinta Aris saat keduanya tiba di dekat mobil Aris. Pria itu memperlihatkan kopi dan roti di kedua tangannya. Bicaranya bahkan masih sambil mengunyah.“Oke.” Dan Dinara yang memang menjadi orang yang paling terburu-buru pagi ini segera mengiyakan permintaan Aris.Dinara menurut, memasukkan begitu saja tangannya ke saku celana Aris lalu mencari kunci mobil seperti yang diperintahkan Aris. Sedetik ... dua detik ... namun rasanya tangannya tak menemukan apa pun di sana.“Di kiri kayaknya, Nara.” Aris kembali memerintah.“Oh, oke.” Dan seperti terhipnotis, Dinara pun memindahkan tangannya ke saku sebelah kiri. Sedetik ... dua detik ... kali ini Dinara
“Mana ada dokter yang begitu, Om.”“Huhh! Tapi empat puluh hari itu lama, Naraaa! Gimana nasib Om coba?”Dinara mencibir. “Dih! Biasanya juga banyak ide banyak cara banyak ....” Kalimat Dinara tak selesai, karena pria yang sedang digodanya itu kini menarik tangannya dengan sedikit paksaan.“Ikut Om!”“Ke mana?”“Kamar mandi.”“Hah?!”“Tanggung jawab, Nara! Kamu bikin Om jadi kepikiran banyak ide banyak cara.”“Ck!”“Nara ....” Aris kembali memanggil.“Hmm.”“Kalo kata Mama mata cokelat ini dari ibu kandung Om, sekarang Nara tau kan dari mana nakal dan liarnya Om?”Dinara menautkan alis.“Kayaknya itu warisan dari laki-laki nakal dan liar yang sudah membuat Om terlahir ke dunia.”Ada nada getir dari suara Aris, dan Dinara yang memilih untuk segera menetralkan suasana.“Tapi ... kayaknya Nara harus berterima kasih ke orang itu, Om.” Dinara menghampiri lebih dekat. “Karena Nara suka Om Aris yang nakal dan liar seperti ini,” bisiknya lagi.Aris menggigit bibirnya, kegetiran itu sudah berl
Sambil mengenggam selembar foto di tangan kirinya, Aris menggenggam surat itu dengan tangan kanannya lalu mulai membaca.-Aris anakku, wanita cantik di foto ini adalah ibu kandungmu, Nak. Namanya Cecilia, jangan tanyakan mengapa Mama bisa menemukan identitasnya, Papamu melakukan semua itu ketika menyadari betapa Mama menyayangi Aris seperti Mama menyayangi Aldo. Sekarang Aris tahu kan dari mata bola mata cokelat Aris? Ya, itu dari garis keturunan ibumu, Nak.Jika Aris membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tak ada lagi di dunia. Mama sengaja hanya memberikan selembar foto ini untuk Aris, tanpa menyertakan keterangan apa pun tentang Cecilia, karena Mama dan ibumu sudah saling berjanji saat kami bertemu.Cecilia meminta agar kamu tak mencarinya, Nak. Bukan karena dia tak menyayangi Aris, tetapi karena ia tahu bahwa Aris sudah menemukan keluarga yang jauh lebih berarti dari pada hanya sekadar ikatan darah. Ibumu sudah memiliki keluarga dan bahagia dengan keluarga barunya, sedan
“Ulangi sekali lagi, Dok.”“Ini alatnya mungkin rusak.”“Coba di bagian yang ini, Dok.”Hanya suara perintah Aris yang terus menerus terdengar di ruang USG sebuah rumah sakit internasional dengan tenaga dokter kelas atas. Dokter wanita yang memeriksa Dinara bahkan harus sesekali menyeka peluhnya ketika mendapati tatapan mematikan Aris.“Ini sudah dicoba berkali-kali, dan kondisi bayinya memang sedang memeluk lutut.” Dokter dengan name tag Rindy itu kembali menjelaskan sambil mengusap kening.Permintaan kliennya kali ini cukup membuatnya repot. Hasil USG harus memperlihatkan jenis kelamin sang bayi, sementara posisi bayi yang terlihat di layar tak menampakkan jenis kelaminnya.“Nggak baik buat Ibunya kalo terlalu lama bersentuhan dengan alat-alat ini.” Sang dokter masih berusaha mengingatkan klien VVIP yang sangat sulit untuk dikendalikan itu.“Tapi aku mau tau jenis kelamin anakku, Dokter Rindyyy!” Aris mendelik menatap papan nama wanita berjubah putih itu.Sayangnya, tatapan tajam Ar
Rambut Aris yang masih basah namun sudah tersusun rapi sedikit mengganggu Dinara. Jika saja tak sedang mengibarkan bendera perang, ia tentu sudah akan mengacak-acak kembali rambut pria itu.“Masih marah?” Tanpa sungkan Aris duduk di sofa di samping Dinara. “Padahal omelet buatanku sudah dihabisin.” Aris masih menggumam menatap piring kosong di atas meja.“Omeletnya nggak enak.”“Oiya? Nggak enak aja ludes gitu.” Aris terkekeh.“Ck! Nanti Nara bayar omeletnya!”Aris terkekeh, menempelkan punggungnya di sofa tanpa melepaskan pandangan matanya dari Dinara.“Seksi ...,” gumamnya. “Om rasanya pengen gigit kamu, Nara. Udah belum merajuknya?”Merasa kemarahannya sama sekali tak berarti bagi Aris, Dinara menoleh dengan tatapan tajam.“Keluar dari kamar Nara, Om. Nara mual cium parfum Om Aris.”Akan tetapi, Aris justru semakin tertawa lebar. “Jangan memutarbalikkan fakta Nara sayang. Bukannya tiap malam Nara tidur meluk kaos Om?”Blush! Pipi Dinara merona merah. Beberapa malam ini ia memang ti
“Maaf ...,” ucap Pras sesaat setelah melepaskan bibirnya dari Alea. Gadis itu hanya menatap pasrah. Dari sekian banyak interaksinya dengan Pras, ini adalah untuk pertama kalinya Pras melakukan hal seekstrem ini padanya.Dada Aris bergerak naik turun sepeninggal Pras dan Alea. Ciuman sepasang kekasih itu ternyata mempengaruhinya dengan begitu kuat. Ia masih bisa melihat Alea meliriknya sekilas tadi. Dulu ciuman seperti itu sudah menjadi kebiasaannya dengan Alea setiap hari, maka Aris dengan jelas-jelas merindukan itu. Pria itu menyugar kasar rambutnya. Hanya Dinara yang bisa membuat gejolak di dadanya ini berhenti, tapi bagaimana ia bisa membujuk wanita hamil yang masih marah padanya itu?***Oma Lili kini sudah berada di rumah. Kondisi Dinara yang tengah hamil tak memungkinkan wanita itu setiap hari bolak balik ke rumah sakit, maka Aris memutuskan Oma Lili-lah yang kembali ke rumah dengan semua peralatan medis yang masih melekat di tubuh wanita renta itu. Sejak Oma Lili kembali ke rum
“Ini perbuatan salah satu penggilamu.”Aris menyipitkan mata memperhatikan beberapa berkas yang disodorkan Alea di atas meja kerjanya.“Dokter Oki?” gumam Aris.“Ya. Dia yang mengirim foto-foto itu ke Nara. Belakangan ini dokter Oki mengirim orang untuk mengikutimu, lalu membidik momen-momen seperti yang ada di foto yang dilhat Nara.”Aris menghela napas berat. Ia bukan tak mencurigai dokter kepercayaan ibu angkatnya itu, tetapi kedekatan dan jasa dokter Oki pada keluarga Oma Lili selama ini juga tak bisa diabaikannya begitu saja.“Oke, makasih atas kerja kerasmu, Alea.” Aris mengangguk pada gadis cantik di depannya. “Ehhh! Tapi tunggu! Bukannya aku nyuruh Pras untuk menyelidiki ini? Kenapa kamu yang melaporkan?” Mata Aris beralih menatap sosok pria yang lebih memilih berdiri mengambil jarak beberapa meter dari meja kerjanya.“Kamu udah ngasih beban pekerjaan terlalu banyak ke Pras, Mas. Dia nggak bisa memiliki kehidupannya sendiri dengan tanggung jawab yang Mas Aris bebankan, padahal
Terbangun dengan Aris di sampingnya, Dinara tersenyum mendapati pria yang semalaman mengingkari janjinya untuk tak membuatnya kelelahan itu masih tertidur lelap. Jemari Dinara bergerak, mengelus pelan rahang Aris yang terasa kasar oleh rambut rambut halus yang tumbuh di sana.“Morning, Wife.” Aris menggeliat, mengubah posisi tidurnya lalu kembali melingkarkan lengannya memeluk Dinara.“Nara lapar, Om. Pengen makan omelet.”Mata Aris membuka malas. “Om masih ngantuk, Nara. Kamu sih semalaman udah bikin Om kelelahan.”Dinara meraih bantal, lalu memukul kepala Aris dengan kesal. “Om tuh yang keterlaluan!”Aris tertawa. “Ntar malam lagi, ya.” Tangannya mengelus perut Dinara. “Senang ditengokin Daddy kan, Nak?” Bujukin Mommy ya biar diizinin sering sering nengokin kamu.”“Nggak! Nara mau konsultasi ke dokter kandungan dulu, Om.”“Ya udah, nanti
“Ris.” Dinara sudah keluar dari ruang VVIP di mana Oma Lili dirawat ketika Aris masih di dalam. Beberapa menit yang lalu, Dinara mengeluh mual dan kesemutan di sana sehingga Aris memutuskan untuk membawa wanita hamil itu untuk pulang.Aris menaikkan alisnya, menunggu dokter Oki kembali bicara.“Kamu yakin mau bawa Oma pulang?”“Ya. Aku dan Nara nggak bisa selalu berada di sini. Kondisi Nara juga lagi hamil dan kamu liat sendiri dia masih sering mual seperti tadi. Akan lebih baik jika Oma di rumah saja, Nara bisa punya waktu lebih banyak bersama Oma.”Dokter Oki mengangguk angguk. “Aku akan mengurusnya.”“Oke, makasih.” Aris menepuk pundak dokter Oki, tetapi baru saja hendak melepas tangannya dari pundak dokter Oki, Aris menghentikan langkah ketika wanita itu menahan punggung tangannya di sana.“Oma Lili mungkin tak akan bertahan lama lagi, Ris. Organ organ vitalnya sudah sanga
Menghadapi sosok renta yang ternyata masih terbaring seperti sebelumnya di atas ranjang rumah sakit, Aris terlihat kesal menatap dokter Oki.“Aku nggak bohong, tadi Oma merespon.” Dokter Oki yang seolah tahu kekesalan Aris, menjelaskan tanpa ditanya.“Dokter gadungan.” Meski hanya menggumam, tetapi suara Aris bisa terdengar jelas oleh dokter Oki dan Dinara.Bugh!Aris hanya meringis ketika dokter Oki meninju lengannya. “Jangan bicara sembarangan! Kurasa kamu tahu mengapa Oma Lili bertahun-tahun menggajiku sebagai dokter pribadinya. Karena beliau tak pernah salah menilai orang, kecuali ....”Aris menggerakkan alisnya naik, menoleh pada dokter Oki yang bicara padanya dengan suara yang sangat pelan.“Kecuali salah menilai anak angkatnya.” Dokter Oki lanjut bicara.Dokter Oki memang sudah bertahun-tahun menjadi dokter keluarga Oma Lili. Wanita yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di baw