Aris merenung sendirian di ruang kerjanya. Kehidupannya selama tiga bulan belakangan ini begitu berantakan, tepatnya setelah statusnya tiba-tiba saja berubah menjadi seorang suami. Mungkin jika saja wanita yang menjadi istrinya adalah kekasih yang telah dipacarinya setahun belakangan ini, hidupnya tentu saja tak seperti ini. Akan tetapi, wanita yang kini menyandang status istrinya adalah Dinara – gadis belia yang baru duduk di semester awal sebuah universitas swasta.
Sudah berbatang-batang rokok yang menemaninya malam ini di ruang kerjanya. Setelah tadi kembali bersitegang dengan Dinara di kamarnya, Aris memilih masuk ke ruang kerjanya. Hal yang sering dilakukannya belakangan ini, menghabiskan malam di ruang kerjanya sambil menyesap rokok dan tentu saja menelepon kekasihnya.
“Tidur di ruang kerja lagi?” begitu pertanyaan Alea, sekretaris sekaligus kekasihnya ketika Aris menelepon.
“Hmm.”
“Berantem lagi?” tanya Alea.
“Selalu.”
“Kenapa nggak tidur di kamar lain aja dari pada tidur di kursi semaleman?”
“Aku nggak punya alasa kalo nanti ditanya Mama, Al. Kalo ketiduran di sini, aku bisa bikin alasan kerja lembur sampai ketiduran.”
“Iya, alesan yang amsuk akal. Tapi aku yang akan jadi korbannya. Besok pasti bakalan minta pijet lagi, kan? Alesan pegel tertidur di kursi semalaman.”
Aris terkekeh mendengarnya. “Tapi kamu suka, kan?”
“Terpaksa, Mas. Sebenarnya nggak mau mijetin suami orang.”
Senyum Aris menghilang dari wajahnya. “Nggak usah mancing deh, Yank. Aku udah mumet ini. Nelpon kamu biar terhibur, jadi jangan nambah bikin kusut pikiranku.”
“Iya, Mas yang terhibur. Aku yang kusut. Nggak enak banget rasanya telponan ama suami orang.”
“Alea ... please!”
Aris bisa mendengar helaan napas dari seberang sana. “Ya udah, Mas Aris tidur sana. Biar besok nggak kayak zombie lagi kurang tidur.”
“Belum ngantuk, Alea. Boleh video call, nggak?”
“Nggak! Aku udah pakai baju tidur.”
“Nah! Bagus dong. Pengen liat kamu.” Aris tertawa.
“Dih! Sana liatin istri di kamar, pasti lebih seksi.”
“Ck! Kami nggak sejauh itu, Al. Aku nggak mungkin manfaatin bocah itu.”
“Bocah tapi dinikahi.”
“Alea ....” Aris memanggil lembut. “Kamu tau ceritanya, kan? Kamu tau gimana aku, kan? Aku masih nganggep Dinara itu keponakan aku, Al.”
“Ya, aku tau ceritanya, dan aku dipaksa memahaminya, meski aku belum bisa menerima mengapa kekasihku menikahi gadis lain tapi tetap berkata cinta padaku.”
“Alea ....”
“Udah dulu, Mas.”
“Kamu masih marah karena aku ninggalin meeting tadi?”
“Apa aku punya hak untuk marah, Mas? Mas Aris atasan aku, dan kamu meninggalkan ruang meeting untuk urusin istri kamu, kan? Apa menurut Mas aku punya hak untuk marah?”
Aris menyugar kasar rambutnya. Menelepon Alea malam ini ternyata justru membuatnya semakin pusing. Ia tahu Alea masih jengkel padanya, meski wanita itu memilih tak mengakuinya.
“Ya udah. Kamu istrirahat, ya. Sampai ketemu besok. Good night, Sayang.”
Akhirnya Aris memilih mengakhiri pembicaraan sebelum ia bertambah pusing oleh jawaban-jawaban Alea padanya.
“Good nihgt, Mas Aris.”
Aris tersenyum, ia selalu suka mendengar suara lembut Alea padanya. “Love you,” ucapnya sebelum benar-benar memutus panggilan.
Sebatang rokok kembali disesapnya. Memikirkan Alea dan Dinara selalu membuatnya membutuhkan energi lebih banyak. Ingatan Aris melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu, ketika untuk pertama kalinya ia akhirnya menyetujui keinginan Oma Lili yang memintanya menikahi Dinara, seperti permintaan Aldo sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
***
“Aku baru sembilan belas tahun, Oma!” Dinara berteriak kencang. Ini bukan pertama kalinya ia dan Oma Lili bersitegang. Bahkan beberapa bulan belakangan Dinara kerap memilih menghindari pertemuan dengan wanita yang merupakan ibu kandung dari ayahnya itu.
“Tiga bulan lagi dua puluh tahun, Nara. Dan umur segitu udah matang untuk menikah.” Sama seperti Dinara, Oma Lili pun sudah mulai muak dengan perdebatan ini.
Dinara menoleh sinis, melemparkan sepatunya ke sembarang arah lalu berlari menuju tangga. Tentu saja ingin segera mengurung diri di kamarnya di lantai atas rumah mewah orang tuanya.
“Nara! Perbaiki sikapmu! Kalau nggak bisa bersikap disiplin, setidaknya hormat sama orang tua!” Dan suara lain muncul dari depan pintu, tepat ketika seorang pria dengan setelan pakaian kerjanya terlihat di sana.
Pria matang itu melempar tatapan tak suka pada gadis yang berlari menaiki anak tangga, sebelum kemudian menoleh dan memberikan senyuman manisnya pada Oma Lili yang duduk di sofa ruang tengah.
“Jangan diambil hati, Ma.” Aris yang baru masuk meraih tangan keriput Oma Lili dan lalu mencium punggung tangannya.
“Dia udah keterlaluan, Ris. Nggak nyangka sikap Aldo yang penurut tak menurun sama sekali pada putrinya. Rasanya sudah lelah membujuk Dinara, tapi gadis keras kepala itu belum luluh juga.”
Aris menyunggingkan senyum. “Apa mungkin sebaiknya Mama berhenti saja? Stop memaksa Nara untuk menikah muda dan biarkan dia memilih jalannya sendiri.”
Oma Lili menarik tangannya yang masih dalam genggaman Aris. “Apa katamu? Jangan bilang kamu juga sama saja seperti Nara, menolak pernikahan ini.”
Aris menarik napas dalam-dalam. Ia selalu memerlukan kesabaran ekstra saat berbicara dengan Oma Lili yang diketahuinya memang memiliki sifat otoriter. “Bukan gitu, Ma. Tapi liat tuh, Nara jadi makin ngehindari Mama gara-gara urusan ini.”
“Ah, kamu juga sama aja, Ris. Kalian berdua nggak mau ngertiin Mama. Ada banyak hal yang Mama perjuangkan lewat perjodohan ini. Ini semua demi almarhum Papa dan Abangmu.”
Mata Oma Lili menerawang, selalu ada luka di matanya yang sudah keriput ketika mengingat mendiang suami dan anak lelaki satu-satunya.
“Ma ... bukan gitu maksud Aris. Aris ngerti niat baik Mama, tapi kasihan Nara, Ma. Dia jadi nggak betah di rumah sejak tau Mama berniat nyuruh dia nikah muda.”
Aris kembali menghela napas panjang. Urusan Nara membuat kesibukannya beberapa waktu belakangan ini bertambah. Seperti hari ini ketika ia menjemput Dinara nam un tak mendapati gadis itu di sekolahnya. Seorang teman Dinara kemudian memberi informasi bahwa gadis itu tadi terlihat di sekitar halte. Dan benar saja, Dinara terlihat di sana, duduk berdua dengan seorang anak laki-laki yang juga berseragam abu-abu sama seperti gadis itu.
Seperti juga dirinya yang memiliki kekasih, Aris tahu persis bahwa anak laki-laki yang sedang bersama Dinra di halte tadi adalah pacar gadis itu. Tautan tangan keduanya yang buru-buru diurai setelah menyadari kehadiran Aris di halte adalah tanda bahwa tak hanya dirinya, tetapi Dinara pun punya kisah cinta yang tentu saja akan hancur jika mereka berdua menerima perjodohan ini.
Akan tetapi, Oma Lili tetap bersikeras dengan pendiriannya. Sebuah amanah dari Aldo – putra tunggal Oma Lili sebelum meninggal dunia menjadi pegangan wanita tua itu dalam mempertahankan keinginannya. Meski sudah berkali-kali Aris menjelaskan bahkan memperkenalkan kekasihnya pada ibu angkatnya itu, tetapi Oma Lili tetap bergeming dan tak ingin mengubah keputusan.
Aris memang hanya anak angkat dari Oma Lili dan suaminya. Ia yang waktu itu masih berusia lima tahun tiba-tiba saja diadopsi oleh keluarga kaya raya yang memiliki putra tunggal berusia dua belas tahun.
“Kami mencari anak kecil yang bisa menemani anak kami di rumah. Aldo selalu kesepian karena kami berdua selalu sibuk di kantor.” Itu yang didengar Aris waktu itu, saat ia dan beberapa temannya menguping pembicaraan pemilik panti dengan tamunya.
Hal semacam itu selalu menjadi kebiasaan mereka di panti ketika mengetahui ada keluarga yang sedang mencari anak adopsi. Lalu saat anak-anak lelaki itu satu persatu dipanggil, Aris menjadi anak yang terpilih ketika Aldo segera menyapanya karena waktu itu Aris membawa layang-layang di tangannya.
“Hei! Aku nggak bisa mainin itu. Nanti ajarin main layang-layang, ya!” Itu sapaan Aldo yang akhirnya membuat Aris terpilih oleh keluarga pengusaha itu.
Lalu hidup Aris berubah seratus delapan puluh derajat setelahnya. Ia menyandang status anak orang kaya dan bersekolah di sekolah elite hingga tak ada lagi yang menyangka bahwa ia adalah anak yatim piatu dari panti asuhan. Apalagi hubungannya dengan Aldo pun berjalan lancar, karena Aldo benar-benar memperlakukan dan menyayanginya sebagai adik bahkan hingga pria itu meninggal dunia karena kecelakaan tragis.
Namun kini, hubungan akrabnya dengan Aldo justru membawa Aris pada situasi pelik yang melibatkan hati. Ketika di akhir napasnya, Aldo ternyata memberi amanat agar Aris bersedia menikahi putri tunggalnya, Dinara Safina. Aris sendiri tak mengerti mengapa kakak angkatnya itu menyerahkan putrinya.
Bersambung.
Ultimatum dari Oma Lili makin mengekang ketika Dinara semakin terlihat menentang. Beberapa kali Aris dipusingkan ketika gadis itu tak pulang ke rumah dengan alasan menginap di rumah teman. Aris kewalahan, ia yang dulunya tak pernah terlibat dalam uruan perusahaan dan lebih memilih bekerja sebagai tim kreatif di salah satu stasiun TV swasta kini harus menggantikan posisi Aldo sebagai direktur di perusahaah keluarga.Kepergian Aldo membuat hari-hari Aris sangat sibuk, dan semakin sempurna kesibukan dan kerepotannya ketika Dinara juga semakin mencari masalah.“Mulai hari ini kamu nggak boleh keluar rumah, Nara!”Oma Lili akhirnya mengambil keputusan tegas setelah hari ini Aris menyeret gadis itu dari rombongan konvoi pelajar yang baru saja menjalani ujian sekolah.“Nggak bisa gitu, Oma! Nara mau urusin pendaftaran masuk kuliah. Ijazah Nara juga belum keluar.” Dinara tentu saja membantah.Aris menekan keningnya. Menghadapi dua wanita berbeda generasi yang sama-sama keras kepala ini benar-
“So, what can i do, Alea? Gimana kalo sampai aku cerai nanti, Papa kamu makin nggak setuju kamu nikahnya sama duda yang nggak jelas asal usulnya?” “Kita kawin lari aja, Mas.” “Lah, kalo akhirnya kawin lari juga, kenapa nggak dari kemarin-kemarin aja, Alea?” “Kemarin-kemarin aku masih ngarep Papa kasian liat aku terus ngasih restu.” “Terus sekarang?” “Sekarang aku takut kamu bener-bener ninggalin aku. Aku takut kamu bener-bener serius dengan pernikahanmu. Aku takut kamu nyentuh Dinara.” Aris tertawa nyaring. “Yang terakhir aku nggak janji, Al.” “Mas!!!” Tawa Aris semakin menjadi. “Alea ....” “Iya.” “Nanti kalo Papa kamu tetap nggak ngasih restu, gimana kalo aku hamilin kamu aja?” Tak ada jawaban dari sana, sebab cara Aris berbicara membuat seluruh tubuh Alea gemetar. Dia menginginkan pria di layar ponselnya ini. “Udah dulu, Mas. Aku mau tidur. Sampai ketemu besok.” “Hmm, besok pagi bangunin ya, Al. Aku pasti kesiangan lagi besok.” “Kenapa kesiangan.” “Karena malam ini pa
Rasanya ada kupu-kupu yang tengah beterbangan di perut Dinara, gadis itu masih berusaha bertahan meski seluruh tulangnya terasa lemah.“Your first kiss?”Lalu saat gadis itu mendengar pertanyaan Aris dengan gumaman, dia baru menyadari bahwa pria yang tengah menyanggah tubuhnya itu telah mencuri ciuman darinya, mencuri ciuman pertamanya. Sudut mata Dinara tiba-tiba saja basah oleh bening yang menetes.“Om jahat.” Ia ingin berteriak, tetapi yang keluar hanya serupa gumaman. Dalam benak gadis itu, pria di hadapannya kini seperti maling, maling yang mencuri ciuman darinya.Aris tertegun, bahasa tubuh Dinara, pipi gadis itu yang terlihat merah dan terasa panas, kaki Dinara yang tiba-tiba saja lemas sehingga harus dibantunya agar gadis itu tetap berdiri, lalu sekarang tangis tertahan Dinara saat mengatakan dirinya jahat, membuat Aris sedikit menyesali tindakannya pagi ini.“Ehm ... maaf, Nara. Om nggak tau kalo kamu ... ehm ... Om pikir Nara udah terbiasa dengan ....” Pria yang sudah rapi d
Sepeninggal Dinara, Aris masih memilih diam di dalam mobilnya. Pria itu memperhatikan langkah Dinara hingga punggung gadis itu menghilang di antara kerumunan mahasiswa lain. Pagi ini, setelah sekian lama pernikahan, Aris baru menyadari bahwa Dinara bukanlah gadis nakal seperti yang dipikirkannya selama ini. Hal itu terbukti dengan keluguan gadis itu saat menghadapi ciumannya tadi, juga terbukti dari pengakuan Dinara bahwa ia adalah pria yang pertama kali menciumnya.Ada senyum tipis yang tergambar di bibir Aris, setidaknya ia tak terlalu merasa bersalah pada kakak angkatnya mengenai Dinara yang selama ini dikiranya gadis liar. Selama ini, Aris hanya mengenal Dinara sebagai gadis yang nakal, keras kepala dan susah diatur. Beberapa kali ia bahkan harus menjemput Dinara bersama teman-temannya di area balap liar, lalu terakhir mendapatkan laporan bahwa Dinara menabrak pohon di daerah puncak. Maka yang ada di kepala Aris selama ini, Dinara adalah gadis yang pergaulannya sudah melampaui bat
Hanya mengenakan handuk putih menutupi tubuh bagian bawahnya, Aris melenggang santai keluar dari kamar. Menyeberangi ruang tengah di mana Alea duduk menunggunya di sana menuju ke kitchen set yang menjadi penghubung dapur dan ruang tengah. Pria itu akhirnya memilih mandi di apartemennya demi menghindari pertengkaran lebih jauh lagi dengan Alea mengenai aroma parfum Dinara yang tersisa di kemejanya.“Ada apa, Sayang?” Alis Aris bertaut ketika melihat wajah tegang Alea yang duduk di sofa.“Maaf, Mas. Aku keliru ngirim dokumen ke klien kita tadi.” Alea menoleh mencari sumber suara, lalu tertegun sejenak melihat kekasihnya di sana berdiri di depan kitchen set hanya mengenakan handuk. Gadis itu buru-buru mengalihkan pandangan.“Dokumen apa?”“Dokumen kontrak yang harusnya dikirim ke Kata Karya, ternyata kukirim ke PT. Totally, Mas. Dan ini pihak Totally komplain karena udah melewati deadline mereka.” “Ya udah. Kirim balik aja, dan bilang ada kesalahan teknis.”Alea kembali melirik kekasihn
Hari ini benar-benar kacau bagi Aris. Setelah pagi tadi dia mencuri ciuman dari Dinara yang sangat jelas menampakkan wajah kecewanya, sekarang ia harus kembali menerima tatapan kecewa bahkan air mata dari Alea karene kenekatannya. Sebenarnya Aris sudah paham siapa Alea, berulang kali sudah ia menerima penolakan dari gadis itu. Bahkan suatu waktu, Alea pernah memilih menjauh darinya setelah ia memaksa ingin memiliki kekasihnya itu. Sebelum kemudian Alea memaafkan dan menerimanya kembali saat Aris berjanji tak akan melakukannya lagi.Akan tetapi, keadaannya pagi ini benar-benar membuat Aris lupa akan janjinya. Setelah menatap tubuh Dinara dengan dua buah kancing yang terbuka tadi, setelah menikmati kelembutan dan getaran dari bibir istri belianya itu, Aris selalu membayangkan Alea-nya. Alea yang membuatnya tergila-gila, Alea yang membuatnya rela menunggu restu kedua orang tua gadis itu, juga Alea yang membuatnya bersabar menjalani kehidupan normal, tak lagi menganut pergaulan bebas yang
Sepasang kekasih itu masih menghabiskan waktu satu jam di apartemen Aris, membahas apa saja, berciuman sampai puas, lalu saling menyentuh dengan keinginan yang meletup-letup. Sudah sejauh itu hubungan keduanya, meski benteng terakhir Alea masih berdiri kokoh dan tak mampu dirobohkan Aris.Aris tersenyum puas untuk kesekian kalinya setelah menyesap bibir sang kekasih. Harus diakuinya Alea pun sudah semakin berani saat dia menyentuhkan bibirnya, dan tentu saja itu semua dipelajari Alea sejak menjalin hubungan dengan Aris.Sama seperti Dinara, dulu dia pula lah yang pertama kali mencium bibir gadis itu. Bedanya, Aris melakukannya pada Alea dulu atas persetujuan gadis itu, sementara ia melakukannya pada Dinara dengan paksaan.“Kenapa, Mas?” Alea bertanya saat melihat gelengan kepala Aris. Sementara di kepala lelaki itu tiba-tiba saja melintas bagaimana ia mencium bibir mungil keponakannya tadi.“Manis.” Aris menggumam membayangkan manisnya bibir Dinara tadi, sementara Alea tersenyum malu-
Rumah yang menjadi tujuan Aris tak kalah mewahnya dengan rumah orang tua Dinara yang kini juga menjadi tempat tinggal Aris. Beberapa mobil mewah terlihat berjejer di sana saat Aris tiba.“Om Aris?” Seorang gadis datang menghampiri saat Aris tiba di sana.“Ya.” Aris menjawab tegas.“Sa-saya Novi, Om. Temannya Nara.”Aris memindai gadis yang mengaku bernama Novi itu dari atas hingga ke bawah. Selain penampilannya dengan rok mini di atas lutut, tak ada yang aneh pada diri gadis itu. “Ini rumah siapa?” Aris menunjuk ke arah rumah mewah.“Rumah ... rumah Kenzo, Om.” Novi terbata-bata.“Kenzo?” Alis pria itu bertaut, seperti mengingat-ingat sesuatu. Hingga akhirnya ia teringat nama itu, nama yang disebut Dinara sebagai pacarnya.“Kenapa Nara bisa ada di sini?” tanya Aris lagi.Lalu mengalirlah cerita dari bibir Novi tentang Dinara yang beberapa hari ini bertengkar hebat dengan pacarnya. Pertengkaran yang menurut Novi akhirnya menyebabkan Kenzo meminta putus.“Beberapa hari ini Nara frustasi
“Mana ada dokter yang begitu, Om.”“Huhh! Tapi empat puluh hari itu lama, Naraaa! Gimana nasib Om coba?”Dinara mencibir. “Dih! Biasanya juga banyak ide banyak cara banyak ....” Kalimat Dinara tak selesai, karena pria yang sedang digodanya itu kini menarik tangannya dengan sedikit paksaan.“Ikut Om!”“Ke mana?”“Kamar mandi.”“Hah?!”“Tanggung jawab, Nara! Kamu bikin Om jadi kepikiran banyak ide banyak cara.”“Ck!”“Nara ....” Aris kembali memanggil.“Hmm.”“Kalo kata Mama mata cokelat ini dari ibu kandung Om, sekarang Nara tau kan dari mana nakal dan liarnya Om?”Dinara menautkan alis.“Kayaknya itu warisan dari laki-laki nakal dan liar yang sudah membuat Om terlahir ke dunia.”Ada nada getir dari suara Aris, dan Dinara yang memilih untuk segera menetralkan suasana.“Tapi ... kayaknya Nara harus berterima kasih ke orang itu, Om.” Dinara menghampiri lebih dekat. “Karena Nara suka Om Aris yang nakal dan liar seperti ini,” bisiknya lagi.Aris menggigit bibirnya, kegetiran itu sudah berl
Sambil mengenggam selembar foto di tangan kirinya, Aris menggenggam surat itu dengan tangan kanannya lalu mulai membaca.-Aris anakku, wanita cantik di foto ini adalah ibu kandungmu, Nak. Namanya Cecilia, jangan tanyakan mengapa Mama bisa menemukan identitasnya, Papamu melakukan semua itu ketika menyadari betapa Mama menyayangi Aris seperti Mama menyayangi Aldo. Sekarang Aris tahu kan dari mata bola mata cokelat Aris? Ya, itu dari garis keturunan ibumu, Nak.Jika Aris membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tak ada lagi di dunia. Mama sengaja hanya memberikan selembar foto ini untuk Aris, tanpa menyertakan keterangan apa pun tentang Cecilia, karena Mama dan ibumu sudah saling berjanji saat kami bertemu.Cecilia meminta agar kamu tak mencarinya, Nak. Bukan karena dia tak menyayangi Aris, tetapi karena ia tahu bahwa Aris sudah menemukan keluarga yang jauh lebih berarti dari pada hanya sekadar ikatan darah. Ibumu sudah memiliki keluarga dan bahagia dengan keluarga barunya, sedan
“Ulangi sekali lagi, Dok.”“Ini alatnya mungkin rusak.”“Coba di bagian yang ini, Dok.”Hanya suara perintah Aris yang terus menerus terdengar di ruang USG sebuah rumah sakit internasional dengan tenaga dokter kelas atas. Dokter wanita yang memeriksa Dinara bahkan harus sesekali menyeka peluhnya ketika mendapati tatapan mematikan Aris.“Ini sudah dicoba berkali-kali, dan kondisi bayinya memang sedang memeluk lutut.” Dokter dengan name tag Rindy itu kembali menjelaskan sambil mengusap kening.Permintaan kliennya kali ini cukup membuatnya repot. Hasil USG harus memperlihatkan jenis kelamin sang bayi, sementara posisi bayi yang terlihat di layar tak menampakkan jenis kelaminnya.“Nggak baik buat Ibunya kalo terlalu lama bersentuhan dengan alat-alat ini.” Sang dokter masih berusaha mengingatkan klien VVIP yang sangat sulit untuk dikendalikan itu.“Tapi aku mau tau jenis kelamin anakku, Dokter Rindyyy!” Aris mendelik menatap papan nama wanita berjubah putih itu.Sayangnya, tatapan tajam Ar
Rambut Aris yang masih basah namun sudah tersusun rapi sedikit mengganggu Dinara. Jika saja tak sedang mengibarkan bendera perang, ia tentu sudah akan mengacak-acak kembali rambut pria itu.“Masih marah?” Tanpa sungkan Aris duduk di sofa di samping Dinara. “Padahal omelet buatanku sudah dihabisin.” Aris masih menggumam menatap piring kosong di atas meja.“Omeletnya nggak enak.”“Oiya? Nggak enak aja ludes gitu.” Aris terkekeh.“Ck! Nanti Nara bayar omeletnya!”Aris terkekeh, menempelkan punggungnya di sofa tanpa melepaskan pandangan matanya dari Dinara.“Seksi ...,” gumamnya. “Om rasanya pengen gigit kamu, Nara. Udah belum merajuknya?”Merasa kemarahannya sama sekali tak berarti bagi Aris, Dinara menoleh dengan tatapan tajam.“Keluar dari kamar Nara, Om. Nara mual cium parfum Om Aris.”Akan tetapi, Aris justru semakin tertawa lebar. “Jangan memutarbalikkan fakta Nara sayang. Bukannya tiap malam Nara tidur meluk kaos Om?”Blush! Pipi Dinara merona merah. Beberapa malam ini ia memang ti
“Maaf ...,” ucap Pras sesaat setelah melepaskan bibirnya dari Alea. Gadis itu hanya menatap pasrah. Dari sekian banyak interaksinya dengan Pras, ini adalah untuk pertama kalinya Pras melakukan hal seekstrem ini padanya.Dada Aris bergerak naik turun sepeninggal Pras dan Alea. Ciuman sepasang kekasih itu ternyata mempengaruhinya dengan begitu kuat. Ia masih bisa melihat Alea meliriknya sekilas tadi. Dulu ciuman seperti itu sudah menjadi kebiasaannya dengan Alea setiap hari, maka Aris dengan jelas-jelas merindukan itu. Pria itu menyugar kasar rambutnya. Hanya Dinara yang bisa membuat gejolak di dadanya ini berhenti, tapi bagaimana ia bisa membujuk wanita hamil yang masih marah padanya itu?***Oma Lili kini sudah berada di rumah. Kondisi Dinara yang tengah hamil tak memungkinkan wanita itu setiap hari bolak balik ke rumah sakit, maka Aris memutuskan Oma Lili-lah yang kembali ke rumah dengan semua peralatan medis yang masih melekat di tubuh wanita renta itu. Sejak Oma Lili kembali ke rum
“Ini perbuatan salah satu penggilamu.”Aris menyipitkan mata memperhatikan beberapa berkas yang disodorkan Alea di atas meja kerjanya.“Dokter Oki?” gumam Aris.“Ya. Dia yang mengirim foto-foto itu ke Nara. Belakangan ini dokter Oki mengirim orang untuk mengikutimu, lalu membidik momen-momen seperti yang ada di foto yang dilhat Nara.”Aris menghela napas berat. Ia bukan tak mencurigai dokter kepercayaan ibu angkatnya itu, tetapi kedekatan dan jasa dokter Oki pada keluarga Oma Lili selama ini juga tak bisa diabaikannya begitu saja.“Oke, makasih atas kerja kerasmu, Alea.” Aris mengangguk pada gadis cantik di depannya. “Ehhh! Tapi tunggu! Bukannya aku nyuruh Pras untuk menyelidiki ini? Kenapa kamu yang melaporkan?” Mata Aris beralih menatap sosok pria yang lebih memilih berdiri mengambil jarak beberapa meter dari meja kerjanya.“Kamu udah ngasih beban pekerjaan terlalu banyak ke Pras, Mas. Dia nggak bisa memiliki kehidupannya sendiri dengan tanggung jawab yang Mas Aris bebankan, padahal
Terbangun dengan Aris di sampingnya, Dinara tersenyum mendapati pria yang semalaman mengingkari janjinya untuk tak membuatnya kelelahan itu masih tertidur lelap. Jemari Dinara bergerak, mengelus pelan rahang Aris yang terasa kasar oleh rambut rambut halus yang tumbuh di sana.“Morning, Wife.” Aris menggeliat, mengubah posisi tidurnya lalu kembali melingkarkan lengannya memeluk Dinara.“Nara lapar, Om. Pengen makan omelet.”Mata Aris membuka malas. “Om masih ngantuk, Nara. Kamu sih semalaman udah bikin Om kelelahan.”Dinara meraih bantal, lalu memukul kepala Aris dengan kesal. “Om tuh yang keterlaluan!”Aris tertawa. “Ntar malam lagi, ya.” Tangannya mengelus perut Dinara. “Senang ditengokin Daddy kan, Nak?” Bujukin Mommy ya biar diizinin sering sering nengokin kamu.”“Nggak! Nara mau konsultasi ke dokter kandungan dulu, Om.”“Ya udah, nanti
“Ris.” Dinara sudah keluar dari ruang VVIP di mana Oma Lili dirawat ketika Aris masih di dalam. Beberapa menit yang lalu, Dinara mengeluh mual dan kesemutan di sana sehingga Aris memutuskan untuk membawa wanita hamil itu untuk pulang.Aris menaikkan alisnya, menunggu dokter Oki kembali bicara.“Kamu yakin mau bawa Oma pulang?”“Ya. Aku dan Nara nggak bisa selalu berada di sini. Kondisi Nara juga lagi hamil dan kamu liat sendiri dia masih sering mual seperti tadi. Akan lebih baik jika Oma di rumah saja, Nara bisa punya waktu lebih banyak bersama Oma.”Dokter Oki mengangguk angguk. “Aku akan mengurusnya.”“Oke, makasih.” Aris menepuk pundak dokter Oki, tetapi baru saja hendak melepas tangannya dari pundak dokter Oki, Aris menghentikan langkah ketika wanita itu menahan punggung tangannya di sana.“Oma Lili mungkin tak akan bertahan lama lagi, Ris. Organ organ vitalnya sudah sanga
Menghadapi sosok renta yang ternyata masih terbaring seperti sebelumnya di atas ranjang rumah sakit, Aris terlihat kesal menatap dokter Oki.“Aku nggak bohong, tadi Oma merespon.” Dokter Oki yang seolah tahu kekesalan Aris, menjelaskan tanpa ditanya.“Dokter gadungan.” Meski hanya menggumam, tetapi suara Aris bisa terdengar jelas oleh dokter Oki dan Dinara.Bugh!Aris hanya meringis ketika dokter Oki meninju lengannya. “Jangan bicara sembarangan! Kurasa kamu tahu mengapa Oma Lili bertahun-tahun menggajiku sebagai dokter pribadinya. Karena beliau tak pernah salah menilai orang, kecuali ....”Aris menggerakkan alisnya naik, menoleh pada dokter Oki yang bicara padanya dengan suara yang sangat pelan.“Kecuali salah menilai anak angkatnya.” Dokter Oki lanjut bicara.Dokter Oki memang sudah bertahun-tahun menjadi dokter keluarga Oma Lili. Wanita yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di baw