TPD 7
Setengah terhuyung aku keluar dari rumah besar itu. Kakiku terasa begitu ringan sementara otakku dipenuhi pikiran-pikiran yang tumpang tindih."Ingat saja, Bi. Jika ada gangguan pada perjalanan kami lagi atau sesuatu terjadi pada Hara, Bibi akan jadi orang pertama yang dicari polisi."Langkahku melambat mendengar Ari yang sedang memunggungiku. Dia sedang menelepon dan mendengar kata bibi, aku rasa dia sedang bicara dengan Bibi Sartika."Kenapa tidak? Aku sudah melaporkan dua plat motor yang mengikuti kami tadi ke polisi dan meminta perlindungan perjalanan. Bibi diam, atau bibi terancam." Ari terlihat kesal ketika mematikan ponselnya, lalu terkejut ketika aku sudah berada di belakangnya."Bagaimana? Berhasil, tidak?"Aku mengembangkan senyum lebar seraya mengangguk. Ari mengepalkan tangan senang. Dia segera membuka pintu mobil dan memintaku masuk."Syukurlah, kukira kita akan kesulitan menyelesaikan apa yang dimulai bibimu.""Aku pikir juga begitu. Oh ya, apa yang dikatakan Bibi Sartika?""Kamu mendengarnya, ya? Dia marah-marah mendengar kamu ke sini. Sekalian aja kuancam biar dia diam." Ari terlihat masih kesal.Dalam perjalanan Subuh tadi, dua kali kami dikuntit orang saat menuju kota. Untunglah kemampuan Ari sebagai pembalap jalanan cukup membantu. Namun, karena perjalanan jauh dan motor dirasa tak lagi aman, kami akhirnya memutuskan menyewa mobil."Kita cari makan dulu," kata Ari saat mobil sudah berbaur dengan pengguna jalan yang lain. Begitu Ari menyebut makan, serta merta rasa lapar ikut menyerangku.Kami berhenti di sebuah resto yang tidak terlalu ramai karena jam makan siang sudah lama lewat. Jam besar berukir di belakang kasir yang berhadapan langsung dengan ruang pelanggan itu menunjukkan pukul 15. 05. Pantas saja aku mulai gemetar."Ra, apa sebaiknya kita menginap saja malam ini? Kulihat kamu sedikit pucat dan kurang fokus," ujar Ari saat kami sudah berada dalam mobil kembali."Oh ... ya." Aku memang merasa kelelahan. Perjalanan dan ketegangan yang bertubi-tubi, serta kejutan-kejutan hari ini berhasil menggerus energiku. Saat masalah tanah itu mulai terasa dingin di kepalaku, ucapan Kak Sananta terus saja berdengung.Aku butuh tidur agar bisa berpikir dengan jernih. Tentang Kak Sananta dan Bibi Sartika.Tak perlu repot atau mengusulkan ini itu. Bersama Ari semuanya beres. Dia selalu tahu apa yang kuinginkan meski kadang tanpa bertanya. Seolah-olah, isi kepalaku bisa diteropong lewat kedua mata sipitnya itu.***"Heh, kenapa kamu ke sini? Seharusnya telepon saja. Ini sudah malam." Ari terkejut ketika aku muncul di kamarnya. Sebuah penginapan kecil, tapi cukup nyaman dan punya view indah menghadap gemerlap kota di malam hari. Harganya juga cukup bersahabat."Ada yang mau aku ceritakan." Tak tahan dengan semua gundah meski sudah tidur selama tiga jam lebih, aku nekad mendatangi kamarnya yang persis berada di sebelah kamarku.Ari segera menutup pintu. Kemudian menuju lounge penginapan. Ruangan yang tidak terlalu besar, tapi ditata sedemikian rupa hingga menjanjikan kenyamanan.Tidak banyak orang di jam sepuluh ini. Dua cappucino mocca dan latte segera tiba di meja kami."Sepertinya ini bukan sesuatu yang menegangkan," tebak Ari, setelah beberapa kali sedotan aku masih juga belum bercerita."Tentu saja. Karena jika tegang, aku pasti sudah bercerita begitu pintu kamarmu terbuka," balasku. Aku belum menemukan kalimat pembuka yang tepat untuk mengatakannya pada Ari."Heem. Semoga saja kita tidak hanya untuk memutar-mutar sedotan ke sini, sampai kamu mengantuk lagi."Aku menyikut lengan Ari. Kami tidak berhadapan, karena aku sengaja memilih duduk bersisian. Selain karena lebih leluasa memandang lampu-lampu kota di kejauhan sana, aku juga ingin menyembunyikan kecanggungan.Jika dulu aku begitu blak-blakan bicara apa saja pada Ari, entah kenapa malam ini semua terasa berat. Entah karena topiknya, atau karena sudah lama kami tak lagi berbagi soal perasaan. Tepatnya, empat tahun saat aku memutuskan kuliah di kota yang berbeda dengan Ari.Ari dua tahun lebih tua dariku. Saat ini dia sudah bekerja di perusahaan konstruksi peninggalan ayah kami. Ayahku dan ayahnya dulunya juga dua sahabat yang merintis bersama. Om Gumintang dan istrinya pun sudah meninggal. Setiap bulan, aku menerima sejumlah dana sebagai bentuk dari penghargaan atas jasa Ayah selama masih hidup.Sama-sama anak tunggal, tumbuh bersama, serta kehilangan orang tua di saat masih muda, membuat aku dan Ari layaknya kakak dan adik saja."Ri. Bagaimana jika seseorang yang sudah lama kamu sukai tiba-tiba mengajakmu menikah?"Pertanyaan itu akhirnya terlompat juga. Sialnya Ari langsung terbatuk-batuk. Dia menggapai-gapai dan aku segera menyodorkan tisu."Kamu ... kenapa tiba-tiba membahas ini?" tanya Ari dengan suara parau. Matanya memerah. Kurasa tersedak minuman barusan cukup menyiksanya."Apa itu terlalu aneh?" Aku setengah bergumam."Apa kamu baru saja dilamar seseorang?"***Pertanyaan Ari membuatku menoleh cepat. Pandangan kami bersirobok. Dan aku tak kuasa menentang tatapan matanya. Kepalaku tertunduk dengan wajah bersemu merah. Aku lupa jika Ari begitu gampang membacaku. "Kapan?""Siapa?""Kenapa kamu tak pernah cerita jika kamu menjalin hubungan dengan seseorang?" Pertanyaan beruntun Ari persis seperti wawancara. Dia bertanya, aku menjawab apa adanya. "Kukira kamu akan jadi perawan tua selamanya." Kali ini suaranya terdengar mencemooh, seperti orang yang dibohongi. Aku mendelik. Dia pasti menyindirku soal ketidaktertarikanku pada laki-laki selama ini."Kamu cinta dia?" Yang ini terdengar begitu tajam, sekaligus begitu dalam."Aku ...." Benarkah aku mencintai Kak Sananta? Atau itu hanyalah sebuah perasaan kagum semata? Semacam obsesi yang bertahan sekian tahun karena tak pernah berkesempatan dekat dengannya? Lalu apa namanya ini. Poros dunia yang
TDP 9Ari bilang pengakuan Kak Sananta hanya alibi, agar aku masuk perangkap mereka dengan sukarela. Sementara aku berusaha menjelaskan karena dari apa yang kulihat dan kudengar, Kak Sananta tak tahu apa-apa soal tanah warisanku. Dia murni terlihat --jika boleh berlebihan-- seperti pungguk menemukan bulan."Ayo ke rumahku." Aku terperanjat kaget saat wajah Ari muncul begitu aku membuka pintu."Aku minta maaf untuk semalam. Aku terlalu over thinking." Senyuman Ari terukir. "Sekarang ayo pulang. Kamu harus istirahat." Pemuda itu menarik tanganku. Aku tersaruk mengikutinya."Terima kasih, Ari. Maaf, perasaanku membuat aku menjadi begitu keras kepala dan egois begini." Jujur, aku mulai memikirkan prasangka Ari dengan intens. Aku mengenal Ari hampir seumur hidup, sementara Kak Sananta? Bahkan kemarin adalah kali pertama kami berkenalan. "Aku yakin kamu tidak akan salah jatuh cinta, Hara. Maafkan aku yang memandangmu sebagai anak ke
TDP 10Kata-kata Ferdinand membuatku terus berpikir. Matanya, caranya bicara, entah kenapa aku merasa lelaki itu tengah menyembunyikan sesuatu. Sepanjang malam aku tak bisa tidur dan hanya berguling-guling di pembaringan.Mereka tidak akan menyerah dengan mudah. Itulah yang kupikirkan. Aku merasa mereka memiliki rencana tapi entah apa.Paginya, aku kesiangan bangun dan memutuskan ke taman belakang sebentar untuk menghirup udara segar yang lama tak kurasakan di sana."Bodoh sekali kita harus mengembalikan satu miliar, oh tidak, semuanya. Hara itu aset kita dan sebagaimana aset, ia tak boleh jatuh ke tangan siapapun."Aku tercekat sembari cepat menyelinap ke balik rumpun bunga dahlia yang sedang mekar. Setahuku Bibi Sartika tak pulang tadi malam, tapi tak jauh di depan, wanita itu sedang duduk di kursi taman entah dengan siapa.Kapan wanita itu kembali? Dan, oh ... kata-katanya terdengar menakutkan."Tapi dia berkata akan
TDP 11"Dengarkan aku sekarang." Wanita itu mendekat. Ekspresinya tak tertebak."Aku akan mengembalikan uang muka itu. Tak peduli seberapa besar kau mempermalukan aku, aku akan menuruti kehendakmu kali ini.""Baguslah kalau begitu." Aku coba mengabaikan sikapnya yang playing victim."Tapi kau harus menuruti kata-kataku ini, Hara. Aku tak tenang melihat sikapmu yang keras kepala. Aku tak tahu berapa lama lagi aku akan hidup, karena diagnosa dokter mengatakan aku terkena stroke ringan. Aku takut kalau aku sakit atau meninggal tak ada yang akan menjagamu dan harta peninggalan orang tuamu.""Kau harus segera menikah, Hara. Hanya dengan itu Bibi akan tenang. Walau kau menganggapku jahat tapi aku tak pernah berhenti memikirkanmu, Hara. Jika kau menikah, kau akan memiliki seseorang yang akan sehidup semati denganmu. Melindungimu dan mempertanggungjawabkanmu."Oh. Bibi Sartika memang punya rencana luar biasa untukku."Kenap
TDP 12"Kamu tahu kenapa aku nekad menerobos kamarmu tadi pagi? Karena aku mendengar rencana Ferdinand sebelum aku masuk ke rumahmu. Dia sedang menelepon seseorang dan membicarakan pernikahan. Pernikahan paksa antara kamu dan dirinya. Aku tak tahu apa rencana pastinya, tapi aku tak ingin kamu terjebak di rumah itu. Makanya aku paksa bawa kamu ke sini.""Hara, segera setelah Sananta datang, kamu pergi ke pengacara untuk menanyakan masalahmu ini. Mungkin akan butuh waktu untuk mengurus berkas yang baru dan kamu akan terus dibawah tekanan.""Kenapa kamu malah melibatkan Kak Sananta dalam urusan ini, Ri? Dia tak tahu apa-apa dan aku tak ingin dia mengetahui sebobrok apa bibiku. Bagaimanapun juga dia adalah keluargaku.""Karena kamu perempuan, dan kamu terancam. Kamu butuh pelindung." Ari menatapku sendu. "Sementara aku tak mampu melakukannya." Dia terlihat sedih."Kamu tahu kenapa Ferdinand ngotot ingin menikah secepat mungkin denganmu?"
Seminggu lalu ketika Kak Sananta menginjakkan kaki di rumahku dan kuperkenalkan sebagai calon suami. Hari ini kami telah resmi menikah.Bibi Sartika benar-benar terkena mental. Dia bahkan tidak menyapaku sama sekali. Dia sangat marah hingga berkurung diri di kamar. Dia juga tak menghadiri akad nikahku yang sederhana, sama seperti Ferdinand yang selalu melihat Kak Sananta seperti ingin menelannya. Dan hari ini, lelaki itu menghilang entah ke mana.Aku memang sudah memutuskan untuk menikah saja. Posisi Kak Sananta cukup kuat untuk melindungiku dari trik-trik yang mungkin dirancang Bibi Sartika. Aku harus menutupnya sesegera mungkin sebelum mereka berhasil melakukannya.Kak Sananta yang seorang putra bos tambang, dan keterikatan dana satu miliar yang belum dikembalikan, membuat Bibi Sartika dan anaknya mati kutu. Mereka tak bisa berkutik dan terpaksa menerima jika rencananya gagal total.Mungkin pernikahan ini terdengar seperti aku memanfa
TDP 14Aku berziarah ke makam orang tuaku sebagai pasangan suami istri. Tak bisa kubendung air mata ketika berbicara pada batu nisan. Sebelum ijab kabul, aku juga sudah mengajak Kak Sananta ke sini, hari ini sekaligus untuk pamitan."Ayah, Ibu. Hara sudah menikah. Semoga pernikahan Hara langgeng dan bahagia. Maafkan juga Hara terpaksa menyuruh Bibi Sartika pergi dari rumah. Hara kecewa, rasanya ingin membalas, tapi hanya itu satu-satunya keluarga yang Hara punya."Aku terus bicara pada gundukan tanah. Setelahnya digantikan oleh Kak Sananta. Dia mengusap batu nisan ayah dan ibuku bergantian."Aku berjanji akan menjaga Hara dengan baik. Ayah dan Ibu beristirahatlah dengan tenang di sana."Aku terharu. Kak Sananta mengucapkannya dengan tulus. Seminggu yang berlalu sangat cepat, dia berhasil membuatku semakin jatuh cinta. Bahkan rasa sedih karena Ari tak datang, hanya bertahan sebentar. Ari sedang menyelesaikan proyek apartemen yang terkendal
Setelah menyelesaikan semua masalahku di kampung dan mengamankan semuanya, aku akhirnya berpijak kembali di rumah Kak Sananta. Tuan Saddil menyambut kami dengan hangat."Selamat datang, menantu miliarderku," ujarnya sambil tertawa. Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya. "Istirahatlah dulu, lusa kita akan mengadakan pesta."Pesta yang mewah yang telah disiapkan oleh mertuaku. Dihadiri oleh tamu-tamu dan kolega SS Energi Group. Kehadiranku di sisi Kak Sananta sepertinya cukup diterima. Tuan Saddil yang akhirnya kupanggil Papa mengenalkanku dengan ceria pada tamu-tamunya."Menantuku itu, meski terlihat sendirian, dia seorang miliarder. Orang tuanya sudah meninggal karena kecelakaan."Tak ada yang salah dengan kata-kata itu. Itu adalah pembelaan kenapa menantu CEO SS Energi Group terlihat sendirian. Tapi entah kenapa aku tak enak hati mendengarnya. Kalimat itu kudengar berkali-kali. Aku tak merasa memiliki harta yang banyak a
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
"Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara
Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind
"Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi
"Aku menemukannya." Seusai sarapan, aku menghampiri Ari di ruang tengah tempat dia biasa membuka laptop. Di samping pria itu terdapat sepiring cemilan dan cangkir kopi."Apa?" tanggapnya tanpa menoleh."Ini." Kusodorkan foto lama yang bahkan warnanya mulai memudar. Ari mengerutkan keningnya sejenak. Tentu saja dia tak akan mengenali orang itu dengan mudah. Dia tak pernah bertemu langsung dan hanya sempat melihatnya di galeri ponsel fotoku beberapa kali. Lagipula, penampilannya sangat jauh berbeda dengan yang sekarang."Siapa?" Ari menyerah. "Tuan Saddil." Ari membesarkan bola matanya, lantas mengambil foto yang kuletakkan di atas meja dan mendekatkan ke wajahnya. "Kenapa beda sekali?""Tentu saja. Yang ini dia gondrong, yang sekarang botak. Ini juga pakai kumis, sekarang semuanya licin."Di samping Tuan Saddil, ayahku nampak tersenyum lebar. Dan ini bukan hanya foto satu-satunya bersama Tuan Saddil.
Cukup lama kami berada di gudang itu. Mungkin sudah lebih satu jam. Aku sudah mendapatkan setumpukan benda yang akan kubawa. Kunaikkan kembali kardus-kardus itu ke tempatnya. Tapi perutku yang besar sedikit membuatku kerepotan. Beban pas mengangkat tidak sama ketika hanya mengambilnya turun.Sementara Bu Sarmiah yang lebih pendek dariku merapikan rak yang lebih rendah."Biar aku saja." Ari mendekat. Aku sedikit bergeser ke samping. Pemuda itu lincah menaikkan beberapa kardus ke atas. Prang.Suara benda bersenggolan terdengar seiring sesuatu menimpa pucuk kepalaku."Aduh." Aku menjengit, sakit dan kaget. Sepertinya sesuatu tersenggol oleh kardus yang dinaikkan Ari hingga isinya berhamburan di lantai disertai suara berisik."Nona!""Kamu tak apa?" Ari tergopoh mendekat. Memeriksa kepalaku dengan raut cemas."Tak apa. Cuma sedikit kaget. Apa sih itu tadi?" Puncak kepalaku terasa panas dan perih. Aku bahk
Sambungan di ujung telepon hening sesaat. Sebelum akhirnya beberapa detik kemudian terdengar lagi suara."Tak ada tanggapan sama sekali?" Suara Kak Sananta terdengar hilang-hilang timbul. Jaringan nampak sekali tidak stabil. "Tidak. Pihak pertambangan menutup akses untuk bertemu dengan masyarakat. Aku tidak tahu akan separah ini. Apakah dunia tambang memang seperti ini?" Aku mengembuskan napas pelan. "Biasanya tidak seperti ini. Tetap ada dana khusus yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Nanti aku akan mengurusnya lagi. Kamu tenang saja."Percakapan kami kemudian beralih lagi ke hal remeh temeh. Rasanya cukup lega mengetahui Kak Sananta tiba dengan selamat. Dia sudah langsung terjun ke proses pengolahan lahan hingga kami tak memiliki banyak waktu luang untuk bercerita. Kubayangkan jika Kak Sananta yang mengepalai proses pertambangan kebunku. Tapi kemudian andaian itu segera kuenyahkan. Jika Kak Sananta ya