Hara 6
"Benar, Ayah. Aku sudah menunggunya selama tiga tahun, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat?"
Tunggu!
Apa ini?
Apa yang dikatakan Kak Sananta pada ayahnya sehingga kata-kata ini yang kudengar?
"Miss Malik, apakah Anda benar-benar menyukainya juga?" Mata pria setengah baya itu menyipit. Tatapannya mengintimidasi.
"Saya ...." Aku benar-benar terkejut. Ini di luar prediksiku. Aku datang ke sini untuk negosiasi soal penjualan tanahku, bukan untuk pertanyaan aneh seperti ini.
Kualihkan pandangan pada Kak Sananta. Dia terlihat begitu tenang tanpa membalas tatapanku.
"Haruskah Ayah menanyakan itu padanya? Dia pasti malu, Ayah." Kak Sananta menjawab pertanyaan itu dengan ringan. Dibalas oleh Tuan Saddil dengan senyuman tipis yang tak bisa kuartikan. Pria gundul itu terlihat mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan sofa.
"Hmm ... bisakah kau beri aku waktu beberapa menit untuk bicara dengannya?"
"Tentu saja, Ayah." Suara Kak Sananta terdengar yakin. Membuat praduga semakin menjadi-jadi dalam hatiku. Namun, aku berusaha menahan diri, mencoba memahami dulu apa yang sebenarnya terjadi.
Aku mengangguk pelan ketika Kak Sananta pamit meninggalkan kami berdua. Tinggal aku dan Tuan Saddil dengan kecanggungan yang mengungkung.
Lalu aku teringat tujuan utamaku ke sini. Membuatku kembali fokus dan melupakan pertanyaan-pertanyaan yang sempat mencuat dalam kepala.
"Bisa saya lihat langsung surat-surat yang Anda kirim fotonya semalam ke email saya?"
Sebelum aku bersuara, Tuan Saddil telah lebih dulu bertanya. Sungguh to the point. Lagi aku terkejut dengan pengalihan topik yang tiba-tiba. Sepertinya ayah dan anak sama saja. Bedanya, aura dingin dari Tuan Saddil lebih mendominasi.
"Bisa, Tuan." Aku segera mengeluarkan surat berharga itu dari dalam tas yang sejak semalam telah kusiapkan sedemikian rupa.
"Apakah Sananta tahu soal ini?"
"Tidak, Tuan."
Tuan Saddil mengangguk dengan ekspresi datar yang terjaga.
Surat itu berpindah tangan. Sementara aku menunggu dengan tegang, berharap penuh tak ada kejadian tidak menyenangkan, seperti Tuan Saddil menahan surat itu atau semacamnya.
"Hmm. Jadi benar surat dari Nyonya Sartika itu palsu. Terima kasih sudah memberi tahu. Ini sangat membantu mencegah huru-hara di kemudian hari."
Aku mengangguk lega. Merasa bersyukur Tuan Saddil tidak seperti yang kupikirkan. Sepertinya dia cukup kooperatif menyikapi hal ini. Mungkin karena bisa jadi hal semacam ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi pengusaha tambang sepertinya.
"Lalu bagaimana dengan wali Anda ini? Dia sudah menipu saya, menipu Anda juga. Dia juga sudah menerima uang muka. Tindakan apa yang akan Anda ambil?"
"Bisakah Tuan memberi saya waktu untuk mengembalikan semuanya? Saya akan transfer kembali uang itu sejumlah yang Bibi Sartika terima. Saya mohon kemurahan hati Tuan untuk tidak membawa kasus ini ke yang berwajib."
Tak ada riak di wajah Tuan Saddil hingga aku tak bisa menebak-nebak apa yang ada di dalam pikirannya. Dia menarik satu tangannya yang sedari tadi bertengger di lengan sofa, lalu menegakkan punggungnya yang bersandar.
"Bagaimana jika kesepakatannya adalah, wali Anda bebas tanpa syarat tetapi sertifikat asli ini menjadi milik saya?"
Meski sudah memasukkan ini dalam kemungkinan reaksi sang bos tambang, tetap saja, tenggorokanku terasa seperti gurun Sahara mendengarnya--kering kerontang.
"Maaf, Tuan. Tapi saya sudah bertekad untuk tidak menjualnya atau menjadikannya area pertambangan. Itu adalah warisan dan kenang-kenangan dari almarhum orang tua saya."
"Bagaimana jika saya tidak setuju? Anda tentu tahu kasus penipuan ini sangat serius. Dana yang dilibatkan miliaran rupiah. Dan kredibilitas kami sebagai perusahaan besar juga akan dipertanyakan. Kepercayaan masyarakat dan pemerintah akan menurun dan itu memiliki dampak yang besar. Kami dirugikan begitu banyak."
"Jika begitu, saya tak bisa melakukan apapun, Tuan. Siapa yang berbuat dia yang bertanggung jawab. Jika Bibi Sartika terjerat hukum, itu karena perbuatannya sendiri." Aku terdiam beberapa lama sebelum berkata-kata. Keputusan yang berat untukku, tapi sejak awal Bibi Sartika tidak memberikanku pilihan.
"Lalu bagaimana dengan nama baik perusahaan kami?"
"Maaf, Tuan. Tapi saya rasa kesalahannya bukan hanya pada Bibi Sartika saja. Anda tentu lebih tahu apa yang saya maksudkan."
Perusahaan sebesar SS Group kecolongan berkas? Kurasa aku belum sanggup disuruh berpikir kenapa itu bisa terjadi juga pada mereka.
Tawa Tuan Saddil dan tepuk tangannya mengagetkanku. Lalu dia memanggil putranya.
"Aku suka cara gadis ini, Sananta." Suara Tuan Saddil membahana. Dia berdiri kemudian mengulurkan tangan padaku.
"Selamat datang di keluarga ini, Miss Malik," ucap pria itu bersemangat. Sepertinya dia hanya mengingat ujung namaku saja.
Aku linglung. Datang di keluarga ini?
"Tunggu, Tuan. Bagaimana dengan tanah saya?"
"Kenapa aku harus membeli tanah menantuku? Masih banyak tanah lain di muka bumi ini. Simpan sertifikatmu baik-baik dan di tempat yang paling aman." Dia menyodorkan sertifikat tanah ke pangkuanku dan berbalik.
"Segera tentukan tanggal pernikahan kalian dan kita akan bersenang-senang!" perintahnya riang sambil menjauh.
Pernikahan?
Kali ini, aku menatap lekat wajah Kak Sananta. Dia harus menjelaskannya sekarang.
"Maaf membuatmu terkejut, Hara, tapi aku serius." Kak Sananta menatapku dalam. Tak ada aroma bercanda atau keragu-raguan di sana. "Aku mengatakan pada Ayah bahwa seorang perempuan telah menarik hatiku, dan aku ingin menikah dengannya. Orang itu, kamu."
Aku terhenyak. Bagai gempa bumi, tak ada firasat, tak ada tanda-tanda, dan aku sedikit oleng dibuatnya.
"Tapi ... kenapa bisa, Kak?" Banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku, tapi akhirnya yang keluar hanya kata-kata serupa gumaman.
"Kata orang, tidak ada alasan yang pasti untuk jatuh cinta, Hara. Begitupun denganku."
Aku merasa tak percaya, curiga, sekaligus ... bahagia? Entah. Yang jelas, aku kerepotan membenahi debar jantungku yang menggedor-gedor dada.
"Okey ... tak ada alasan untuk jatuh cinta, itu bisa diterima. Tapi ... menikah?" Kueja kata menikah dengan penuh tekanan. "Bukankah itu terlalu cepat, Kak? Kita bahkan baru berkenalan hari ini."
Patut diacungi jempol keberaniannya bicara cinta tanpa takut penolakan sama sekali. Type pria yang tak ragu-ragu menentukan pilihannya.
"Untuk seseorang yang jatuh cinta sejak tiga tahun lalu, ini sudah sangat lama. Tapi untukmu yang mungkin baru tahu hari ini, silakan dipikirkan dulu, Hara." Senyum tipis Kak Sananta benar-benar menghancurkan pertahananku.
Sejak tiga tahun yang lalu? Apa sejak malam itu? Apa ini bukan gombalan?
"Ba ... bagaimana jika aku menolak, Kak?" Ketenanganku telah menguap, aku tergagap.
"Itu hakmu, Hara. Tapi, tolong pertimbangkan dulu. Oh ya, agar lebih jelas, aku memintamu untuk menjadi istriku, bukan untuk jadi kekasih."
Sebuah kotak berludru berisikan cincin bermata putih di angsurkan Kak Sananta, membuat semua perbendaharaan kataku lenyap tak bersisa.
Pas pula, di balkon lantai dua, Tuan Saddil tengah menatapku lekat, membuat hawa panas ikut menyerbu mukaku.
***
TPD 7Setengah terhuyung aku keluar dari rumah besar itu. Kakiku terasa begitu ringan sementara otakku dipenuhi pikiran-pikiran yang tumpang tindih."Ingat saja, Bi. Jika ada gangguan pada perjalanan kami lagi atau sesuatu terjadi pada Hara, Bibi akan jadi orang pertama yang dicari polisi." Langkahku melambat mendengar Ari yang sedang memunggungiku. Dia sedang menelepon dan mendengar kata bibi, aku rasa dia sedang bicara dengan Bibi Sartika."Kenapa tidak? Aku sudah melaporkan dua plat motor yang mengikuti kami tadi ke polisi dan meminta perlindungan perjalanan. Bibi diam, atau bibi terancam." Ari terlihat kesal ketika mematikan ponselnya, lalu terkejut ketika aku sudah berada di belakangnya."Bagaimana? Berhasil, tidak?" Aku mengembangkan senyum lebar seraya mengangguk. Ari mengepalkan tangan senang. Dia segera membuka pintu mobil dan memintaku masuk."Syukurlah, kukira kita akan kesulitan menyelesaikan apa yang
Pertanyaan Ari membuatku menoleh cepat. Pandangan kami bersirobok. Dan aku tak kuasa menentang tatapan matanya. Kepalaku tertunduk dengan wajah bersemu merah. Aku lupa jika Ari begitu gampang membacaku. "Kapan?""Siapa?""Kenapa kamu tak pernah cerita jika kamu menjalin hubungan dengan seseorang?" Pertanyaan beruntun Ari persis seperti wawancara. Dia bertanya, aku menjawab apa adanya. "Kukira kamu akan jadi perawan tua selamanya." Kali ini suaranya terdengar mencemooh, seperti orang yang dibohongi. Aku mendelik. Dia pasti menyindirku soal ketidaktertarikanku pada laki-laki selama ini."Kamu cinta dia?" Yang ini terdengar begitu tajam, sekaligus begitu dalam."Aku ...." Benarkah aku mencintai Kak Sananta? Atau itu hanyalah sebuah perasaan kagum semata? Semacam obsesi yang bertahan sekian tahun karena tak pernah berkesempatan dekat dengannya? Lalu apa namanya ini. Poros dunia yang
TDP 9Ari bilang pengakuan Kak Sananta hanya alibi, agar aku masuk perangkap mereka dengan sukarela. Sementara aku berusaha menjelaskan karena dari apa yang kulihat dan kudengar, Kak Sananta tak tahu apa-apa soal tanah warisanku. Dia murni terlihat --jika boleh berlebihan-- seperti pungguk menemukan bulan."Ayo ke rumahku." Aku terperanjat kaget saat wajah Ari muncul begitu aku membuka pintu."Aku minta maaf untuk semalam. Aku terlalu over thinking." Senyuman Ari terukir. "Sekarang ayo pulang. Kamu harus istirahat." Pemuda itu menarik tanganku. Aku tersaruk mengikutinya."Terima kasih, Ari. Maaf, perasaanku membuat aku menjadi begitu keras kepala dan egois begini." Jujur, aku mulai memikirkan prasangka Ari dengan intens. Aku mengenal Ari hampir seumur hidup, sementara Kak Sananta? Bahkan kemarin adalah kali pertama kami berkenalan. "Aku yakin kamu tidak akan salah jatuh cinta, Hara. Maafkan aku yang memandangmu sebagai anak ke
TDP 10Kata-kata Ferdinand membuatku terus berpikir. Matanya, caranya bicara, entah kenapa aku merasa lelaki itu tengah menyembunyikan sesuatu. Sepanjang malam aku tak bisa tidur dan hanya berguling-guling di pembaringan.Mereka tidak akan menyerah dengan mudah. Itulah yang kupikirkan. Aku merasa mereka memiliki rencana tapi entah apa.Paginya, aku kesiangan bangun dan memutuskan ke taman belakang sebentar untuk menghirup udara segar yang lama tak kurasakan di sana."Bodoh sekali kita harus mengembalikan satu miliar, oh tidak, semuanya. Hara itu aset kita dan sebagaimana aset, ia tak boleh jatuh ke tangan siapapun."Aku tercekat sembari cepat menyelinap ke balik rumpun bunga dahlia yang sedang mekar. Setahuku Bibi Sartika tak pulang tadi malam, tapi tak jauh di depan, wanita itu sedang duduk di kursi taman entah dengan siapa.Kapan wanita itu kembali? Dan, oh ... kata-katanya terdengar menakutkan."Tapi dia berkata akan
TDP 11"Dengarkan aku sekarang." Wanita itu mendekat. Ekspresinya tak tertebak."Aku akan mengembalikan uang muka itu. Tak peduli seberapa besar kau mempermalukan aku, aku akan menuruti kehendakmu kali ini.""Baguslah kalau begitu." Aku coba mengabaikan sikapnya yang playing victim."Tapi kau harus menuruti kata-kataku ini, Hara. Aku tak tenang melihat sikapmu yang keras kepala. Aku tak tahu berapa lama lagi aku akan hidup, karena diagnosa dokter mengatakan aku terkena stroke ringan. Aku takut kalau aku sakit atau meninggal tak ada yang akan menjagamu dan harta peninggalan orang tuamu.""Kau harus segera menikah, Hara. Hanya dengan itu Bibi akan tenang. Walau kau menganggapku jahat tapi aku tak pernah berhenti memikirkanmu, Hara. Jika kau menikah, kau akan memiliki seseorang yang akan sehidup semati denganmu. Melindungimu dan mempertanggungjawabkanmu."Oh. Bibi Sartika memang punya rencana luar biasa untukku."Kenap
TDP 12"Kamu tahu kenapa aku nekad menerobos kamarmu tadi pagi? Karena aku mendengar rencana Ferdinand sebelum aku masuk ke rumahmu. Dia sedang menelepon seseorang dan membicarakan pernikahan. Pernikahan paksa antara kamu dan dirinya. Aku tak tahu apa rencana pastinya, tapi aku tak ingin kamu terjebak di rumah itu. Makanya aku paksa bawa kamu ke sini.""Hara, segera setelah Sananta datang, kamu pergi ke pengacara untuk menanyakan masalahmu ini. Mungkin akan butuh waktu untuk mengurus berkas yang baru dan kamu akan terus dibawah tekanan.""Kenapa kamu malah melibatkan Kak Sananta dalam urusan ini, Ri? Dia tak tahu apa-apa dan aku tak ingin dia mengetahui sebobrok apa bibiku. Bagaimanapun juga dia adalah keluargaku.""Karena kamu perempuan, dan kamu terancam. Kamu butuh pelindung." Ari menatapku sendu. "Sementara aku tak mampu melakukannya." Dia terlihat sedih."Kamu tahu kenapa Ferdinand ngotot ingin menikah secepat mungkin denganmu?"
Seminggu lalu ketika Kak Sananta menginjakkan kaki di rumahku dan kuperkenalkan sebagai calon suami. Hari ini kami telah resmi menikah.Bibi Sartika benar-benar terkena mental. Dia bahkan tidak menyapaku sama sekali. Dia sangat marah hingga berkurung diri di kamar. Dia juga tak menghadiri akad nikahku yang sederhana, sama seperti Ferdinand yang selalu melihat Kak Sananta seperti ingin menelannya. Dan hari ini, lelaki itu menghilang entah ke mana.Aku memang sudah memutuskan untuk menikah saja. Posisi Kak Sananta cukup kuat untuk melindungiku dari trik-trik yang mungkin dirancang Bibi Sartika. Aku harus menutupnya sesegera mungkin sebelum mereka berhasil melakukannya.Kak Sananta yang seorang putra bos tambang, dan keterikatan dana satu miliar yang belum dikembalikan, membuat Bibi Sartika dan anaknya mati kutu. Mereka tak bisa berkutik dan terpaksa menerima jika rencananya gagal total.Mungkin pernikahan ini terdengar seperti aku memanfa
TDP 14Aku berziarah ke makam orang tuaku sebagai pasangan suami istri. Tak bisa kubendung air mata ketika berbicara pada batu nisan. Sebelum ijab kabul, aku juga sudah mengajak Kak Sananta ke sini, hari ini sekaligus untuk pamitan."Ayah, Ibu. Hara sudah menikah. Semoga pernikahan Hara langgeng dan bahagia. Maafkan juga Hara terpaksa menyuruh Bibi Sartika pergi dari rumah. Hara kecewa, rasanya ingin membalas, tapi hanya itu satu-satunya keluarga yang Hara punya."Aku terus bicara pada gundukan tanah. Setelahnya digantikan oleh Kak Sananta. Dia mengusap batu nisan ayah dan ibuku bergantian."Aku berjanji akan menjaga Hara dengan baik. Ayah dan Ibu beristirahatlah dengan tenang di sana."Aku terharu. Kak Sananta mengucapkannya dengan tulus. Seminggu yang berlalu sangat cepat, dia berhasil membuatku semakin jatuh cinta. Bahkan rasa sedih karena Ari tak datang, hanya bertahan sebentar. Ari sedang menyelesaikan proyek apartemen yang terkendal
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
"Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara
Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind
"Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi
"Aku menemukannya." Seusai sarapan, aku menghampiri Ari di ruang tengah tempat dia biasa membuka laptop. Di samping pria itu terdapat sepiring cemilan dan cangkir kopi."Apa?" tanggapnya tanpa menoleh."Ini." Kusodorkan foto lama yang bahkan warnanya mulai memudar. Ari mengerutkan keningnya sejenak. Tentu saja dia tak akan mengenali orang itu dengan mudah. Dia tak pernah bertemu langsung dan hanya sempat melihatnya di galeri ponsel fotoku beberapa kali. Lagipula, penampilannya sangat jauh berbeda dengan yang sekarang."Siapa?" Ari menyerah. "Tuan Saddil." Ari membesarkan bola matanya, lantas mengambil foto yang kuletakkan di atas meja dan mendekatkan ke wajahnya. "Kenapa beda sekali?""Tentu saja. Yang ini dia gondrong, yang sekarang botak. Ini juga pakai kumis, sekarang semuanya licin."Di samping Tuan Saddil, ayahku nampak tersenyum lebar. Dan ini bukan hanya foto satu-satunya bersama Tuan Saddil.
Cukup lama kami berada di gudang itu. Mungkin sudah lebih satu jam. Aku sudah mendapatkan setumpukan benda yang akan kubawa. Kunaikkan kembali kardus-kardus itu ke tempatnya. Tapi perutku yang besar sedikit membuatku kerepotan. Beban pas mengangkat tidak sama ketika hanya mengambilnya turun.Sementara Bu Sarmiah yang lebih pendek dariku merapikan rak yang lebih rendah."Biar aku saja." Ari mendekat. Aku sedikit bergeser ke samping. Pemuda itu lincah menaikkan beberapa kardus ke atas. Prang.Suara benda bersenggolan terdengar seiring sesuatu menimpa pucuk kepalaku."Aduh." Aku menjengit, sakit dan kaget. Sepertinya sesuatu tersenggol oleh kardus yang dinaikkan Ari hingga isinya berhamburan di lantai disertai suara berisik."Nona!""Kamu tak apa?" Ari tergopoh mendekat. Memeriksa kepalaku dengan raut cemas."Tak apa. Cuma sedikit kaget. Apa sih itu tadi?" Puncak kepalaku terasa panas dan perih. Aku bahk
Sambungan di ujung telepon hening sesaat. Sebelum akhirnya beberapa detik kemudian terdengar lagi suara."Tak ada tanggapan sama sekali?" Suara Kak Sananta terdengar hilang-hilang timbul. Jaringan nampak sekali tidak stabil. "Tidak. Pihak pertambangan menutup akses untuk bertemu dengan masyarakat. Aku tidak tahu akan separah ini. Apakah dunia tambang memang seperti ini?" Aku mengembuskan napas pelan. "Biasanya tidak seperti ini. Tetap ada dana khusus yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Nanti aku akan mengurusnya lagi. Kamu tenang saja."Percakapan kami kemudian beralih lagi ke hal remeh temeh. Rasanya cukup lega mengetahui Kak Sananta tiba dengan selamat. Dia sudah langsung terjun ke proses pengolahan lahan hingga kami tak memiliki banyak waktu luang untuk bercerita. Kubayangkan jika Kak Sananta yang mengepalai proses pertambangan kebunku. Tapi kemudian andaian itu segera kuenyahkan. Jika Kak Sananta ya