"Ri. Hari ini kakak mau ke Bidan Agni, ya. Sudah janji kemarin jam sepuluh," pamit Hara pada Riang yang sedang menggendong Rinai. Bayi itu rewel efek badannya yang mendadak panas. Barusan Riang sudah memberinya paracetamol, tapi sepertinya obat itu belum bekerja."Apa sebaiknya Kakak nggak istirahat aja di rumah dulu? Kan kemarin baru saja pulang USG. Ntar kenapa-napa kalau Kakak banyak gerak." Riang mulai cemas. Dia ingat pesan Ratna. Dan memang tadi saat membeli kepiting segar ke rumah warga yang persis berada di bibir pantai--rumah Ratna berada di tempat yang landai-- dia melihat tiga orang lelaki asing sedang minum kopi di satu-satunya warteg yang ada di pulau ini. "Ah, nggak apa, kok, Ri. Ke sana gak sampai dua ratus meter. Jalannya juga datar, gak sampai lima puluh meter yang sedikit menanjak. Ntar kakak pelan-pelan saja. Kakak gak enak sama Bidan Agni nanti beliau nungguin kakak lama. Sudah janji soalnya, 'kan, pasti ditungguin.""Duh, ta
Hara berjalan dengan sangat fokus dan hati-hati. Dia paham kecemasan Riang dan Ratna dan berterima kasih karenanya. Namun, janjinya untuk bertemu dengan Bidan Agni membuatnya sungkan untuk mangkir. Sejak tinggal di sini, Hara selalu periksa tiap bulan kehamilannya. Bidan Agni cukup ramah dan tak keberatan menjawab pertanyaan Hara yang bermacam-macam. Mengetahui Hara hamil LDR, wanita paruh baya itu menjadi lebih perhatian dan jatuh sayang pada Hara."Ya ampuun, sudah tiba aja di sini si bumil ini. Padahal udah ibu niatkan mau mampir ke sana, lho. Ini udah bersiap-siap." Bidan Agni heboh begitu Hara muncul di ambang pintu ruang prakteknya. "Ayo masuk dan duduk dulu di sini. Bumil gak boleh berdiri lama-lama. Apalagi yang rentan begini.""Kan kita janjinya jam sepuluh, Bu. Jadi aku tepat waktu." Hara tersenyum senang. Keramahan Bidan Agni seolah menjadi magnet baginya untuk sering berkunjung. "Ini keadaannya baik-baik saja, bukan? Maksud
Pengaruh hormon. Banyak-banyak berpikiran positif, dan sesegera mungkin selesaikan masalah agar bisa menjalani kehamilan yang sehat dan menyenangkan.Satu anak, ibu hanya hamil satu kali. Dan kehidupan anak dimulai dari dalam kandungan. Masa di mana keistimewaan kita sebagai perempuan dimulai. Jadi, ibu harus bahagia agar anak juga tumbuh sehat. Lakukan yang terbaik dan nikmati setiap prosesnya. Tak usah berpikiran berlebihan dan jika masalah itu ternyata belum bisa diselesaikan, tetap berpikiran positif agar janin dalam kandungan tidak ikut stress.Banyak lagi pesan-pesan dari Bidan Agni sepanjang dua jam aku di sana. Beberapa intinya terus saja terbayang sepanjang jalan pulang ke rumah Kak Ratna. Ya. Sikap yang kadangkala tak kumengerti ini memang bawaan hamil. Benci dan rindu di saat yang sama.Kata Bidan Agni, apa yang kurasakan itu tak ada obatnya. Kecuali pertemuan dan tuntaskan semua masalah yang ada.Terdengar begitu simple,
"Ini kartu identitas kami, Mbak. Silakan diperiksa.""Itu bisa saja palsu." Suara Kak Ratna masih terdengar gigih. Sementara aku sudah merosot ke lantai. Gemetar dari ujung kepala sampai kaki."Ini surat kehilangan, ini identitas kami, dan ini foto wanita yang kami cari."Hening. Seantero ruangan menjadi hening ketika Kak Ratna terlihat menerima ponsel seseorang dan melihat ke layar. Wajahnya berubah tegang, membuat aku yakin jika yang dilihatnya benar-benar fotoku."Kami hanya ingin mengonfirmasi saja, Mbak. Tolong kerja samanya.""Dan jika dia orangnya, apa yang akan kalian lakukan?" Suara Kak Ratna terdengar begitu tajam, tapi aku merasakan semua sendiku telah lepas dari tulang."Kami tidak akan melakukan kriminal, Mbak. Hanya akan membawa beliau pulang dengan jaminan keselamatan penuh. Kami akan mengantarkan beliau pada keluarganya.""Oh. Pulang dengan jaminan keselamatan penuh." Kak Ratna manggut-manggut.
Selesai memeriksaku, Bidan Agni duduk di dekat ranjang bersama Kak Ratna. Sementara Riang berdiri di dekat jendela seraya menggendong Rinai."Kamu mau menceritakan apa yang menjadi ketakutanmu? Mengatakan semua ketakutan dan pikiran-pikiranmu akan membantumu lebih baik." Bidan Agni menatapku dengan sorot prihatin."Mungkin berupa pertanyaan, atau unek-unek, atau rencanamu ke depan, dan sebagainya." Awalnya aku kehilangan kata untuk memulai. Masih menimbang-nimbang, tidak ingin mereka tahu masalahku. Namun, sepertinya aku tidak bisa menyembunyikannya lagi."Kakak masih mikirin orang-orang tadi, ya?" tanya Riang. "Tenang saja, kami gak akan biarkan mereka membawa paksa Kakak dari sini." Dia mulai menghiburku setelah sejak kepergian para lelaki itu aku hanya bungkam dengan raut pucat."Ya. Tenang saja, Hara. Ari berpesan agar kami menjagamu dengan baik, jadi kami pasti akan lakukan itu." Kak Ratna ikut menimpali."Tapi ..
"Kenapa sudah duduk aja, Kak?" Suara Riang terdengar dari balik selimut. Dia bergelung seperti bola. "Masih pagi sekali. Azan Subuh belum lagi terdengar."Kukira aku tertidur di jam lima, tapi sepertinya jam empat. Karena setelah sempat terpejam nyatanya belum masuk waktu Subuh. Entahlah, tak ada guna juga jam berapa dan berapa menit aku tidur, toh endingnya sering seperti ini. Bangun tiba-tiba sementara orang lain masih asyik tidur."Maaf kalau kakak ganggu kamu, ya," ucapku pelan. Sejak pertama tinggal di sini, kami memang sekamar karena di sini cuma ada dua kamar. Satu milik Kak Ratna, satu lagi Riang. Awalnya gadis itu sungkan karena ingin memberikanku privasi, tapi aku memaksanya dan ikut tidur di luar jika dia tak mau di dalam kamar. Riang setuju dan terlihat baik-baik saja. Bahkan seringkali menjelang tidur, kami bercerita-cerita. Membicarakan hal-hal ringan dan sebagainya."Enggak. Aku memang sudah terbangun juga dari tadi. Dingin banget.
Cepat-cepat aku mengucap menyadari pikiranku barusan, lalu segera beranjak ke kamar mandi. Langit masih kelabu dan begitu aku keluar dari kamar mandi yang terpisah dengan rumah utama itu sudah mulai terlihat terang di ufuk timur. Jika lewat dapur, hanya butuh beberapa langkah saja, tapi pagi yang syahdu ini aku mendadak ingin menikmati suasana dengan lewat ke halaman depan.Aku sejenak berhenti di halaman, dengan ember sabun masih terjinjing di tangan. Menghirup udara segar sambil menatap lautan. Pagi yang tenang dengan penerangan beberapa lampu dari teras rumah yang tidak terlalu dekat. Beberapa titik di kejauhan terlihat di atas perairan yang diam. Berkelap-kelip, mungkin itu kapal nelayan, atau motorboat trip pertama. Biasanya motorboat yang datang di Subuh seperti ini bermuatan para pedagang. Riang pernah bilang padaku.Lalu ingatanku kembali pada masalahku. Pada tiga lelaki yang sudah mengetahui keberadaanku. Lalu kecemasan datang, berharap Ari
"Aku tidak akan memaafkanmu. Aku akan membunuhmu jika anakku kenapa-napa," desisku tajam. Setelahnya air mataku yang mulai kering kembali merebak."Aku akan menerimanya. Aku akan menerimanya," tangisnya pecah. Aku memalingkan wajah. Berusaha agar air mataku tak terlihat olehnya. Aku lelah. Lelah sekali."Hara," sentuhan lembut terasa di pipiku. Kubuka mata dan wajah Kak Ratna terpampang di sana. Sedari tadi Kak Ratna hanya bersidekap tak jauh dari tempatku berbaring. "Jangan tidur, oke? Sebentar lagi kita sampai. Bertahanlah. Kamu pasti kuat."Aku mengangguk pelan. Tentu saja, aku harus bertahan apapun yang terjadi, agar bayiku juga bisa merasakan tekadku dan berjuang di dalam sana."Dan maaf, Mas. Tolong berhenti mengajaknya bicara. Mungkin itu bagus untuk membuatnya tetap terjaga, tapi sepertinya dia kurang nyaman dengan itu. Kondisinya bisa bertambah buruk nantinya."Aku tak melihat ekspresi dua orang yang membersam