"Bolehkah aku keluar nanti, Kak?" tanyaku hati-hati pada Kak Sananta. Meski benci, tapi hatiku masih ingin mengisyaratkan perpisahan padanya. Konyol sekali.Semua orang telah meninggalkan kami, dan tentu saja keadaanku telah membaik. Kak Sananta pasti berpikir itu berkat minyak angin dan air hangat yang telah kuminum. Padahal sejatinya jam morning sickness-ku memang telah usai."Mau ke mana memangnya? Bukankah kamu sakit?" Pria itu sedang memasang dasi. Biasanya itu tugasku tapi pagi ini aku selamat."Nanti siang, nggak sekarang. Masuk angin ini kan cuma sebentar. Ada beberapa bahan kue yang ingin kucari. Sekalian cuci mata.""Sama Mbak Santi lagi?" "Belum tahu. Tapi bisa jadi sendiri saja, karena aku mungkin akan lama.""Hati-hati, ya. Jangan terlalu lama nanti kamu kecapekan. Dan maaf sampai hari ini masih belum bisa honeymoon seperti yang kamu impikan."Aku tersenyum tipis. Tak perlu lagi. Lagipula aku suda
Aku hanya lewat di dalam mal yang sejuk dan belum banyak orang. Singgah sebentar di gerai ponsel untuk membeli kartu baru. Setelahnya dengan menghindari titik yang sekiranya ada CCTV, aku menyetop taksi tak jauh dari gedung mal. Segera kendaraan itu membawa tubuhku menjauh dari segala yang membuat kecewa."Ari, bisakah kita bertemu?" Kali ini, aku tak bisa menahan kesedihan. Suaraku bergetar dan ingin rasanya merebahkan diri di jok taksi ini."Kukira kamu melupakan janji untuk menghubungiku." Suara Ari terdengar sarkas. Tapi aku justru tersenyum dalam tangis mendengarnya. Dia pasti kesal karena tak kuhubungi sekali pun setelah menyuruhnya stand by dengan ponsel."Maaf." Suaraku mencicit. Sungguh tak ingin mencari simpati Ari tapi aku tak punya siapapun selain dia. Aku juga tahu ini akan beresiko besar bagi Ari, tapi aku bingung tak tahu mesti ke mana mengadu lagi."Sepertinya sesuatu telah terjadi," ujar Ari. Nada suaranya telah berubah. "Kita ket
"Petualangan melarikan istri orang dimulai." Suara Ari terdengar tanpa beban. Di tangannya satu teh botol tergenggam, sementara tangan yang lain memegang biskuit dengan merek yang biasa kusukai."Jangan berkata seperti itu. Itu mengingatkanku akan rasa bersalah," ujarku pelan. Kami duduk di bangku ruang tunggu keberangkatan pesawat terbang. Jantungku berdebar kencang, tapi sebisa mungkin aku mencoba tenang.Bagaimana jika Tuan Saddil atau Kak Sananta mengetahui ini dan saat ini dia sedang menuju ke sini?"Hhmm ... rasa bersalah. Ya ya ya." Ari terlihat tak terganggu dengan suara senduku. "Nih. Makan ini dulu." Dia menyorongkan biskuit di tangannya."Tidak. Kamu saja." Aku mendorongnya kembali. Mual tiba-tiba saja menyerang."Biasanya kamu suka sekali ini." Ari nampak mengerutkan kening heran. Tapi kemudian segera mengerti melihat ekspresiku. "Apakah ... itu menyulitkanmu?" tanyanya sedikit ragu. Pemuda itu menyimpan ke
TDP 35"Terserah kamu saja, Ri. Aku ikut apa yang kamu lakukan." Percuma juga aku memutuskan membawa Ari dalam masalahku jika aku hanya akan berpikir sendirian. Apalagi dengan kondisi perubahan hormon serta emosi tidak stabil begini."Masih yakin dengan keputusanmu?" tanya Ari lagi. "Kenapa kamu masih menanyakan itu?""Belum terlambat untuk kembali. Berpura-pura tak tahu segalanya. Kamu tentu tahu peribahasa yang mengatakan tempat bersembunyi paling aman adalah di sarang musuh.""Tidak. Aku tak bisa menjamin calon bayiku akan melihat dunia." Tatapan menakutkan Tuan Saddil tadi pagi kembali terbayang, dan aku harus memejamkan mata untuk mengusirnya."Mungkin si pak tua itu akan sangat bernafsu membuatmu menderita. Namun, bukankah ada opsi kehadiran Sananta di sana? Kurasa, menjadi ayah, akan menggedor nuraninya walaupun sedikit.""Kenapa tak kau katakan itu sejak tadi?" tukasku sedikit kesal. "Kita tidak perlu bercapek r
Kukira aku akan sulit tidur malam itu. Ternyata aku tidur bagai orang mati. Hingga pagi hari datang, sinar matahari yang menerobos kisi jendela membuat mataku silau.Aku terbangun oleh silau itu dan menyadari di mana aku berada sekarang. Sedikit cemas aku mengintip keluar, ke arah lautan dan ke halaman di depan sana. Tenang, tak ada apapun. Berarti sampai saat ini pelarianku masih aman.Saat kembali ke ranjang, serangan itu datang. Aku bergegas ke toilet yang untunglah berada di dalam kamar, dan memuntahkan cairan kuning teramat pahit di sana. Tak cukup sekali, aku harus mengeluarkannya berkali-kali, hingga bermenit-menit, rasanya belum juga puas.Tenggorokanku sudah perih dan sedikit bercak darah nampak di antara air liur yang keluar. Tak ada lagi cairan kuning karena isi lambungku sudah terkuras habis. Mual masih belum ingin reda ketika pintu kamarku diketuk. Ketukan yang aku yakini Ari, tapi segera berubah ketika ritmenya lebih cepat dan keras.
"Ini bukan masalah besar, Ari, aku ....""Bagaimana ini bukan masalah besar? Ketika kau saja tak sanggup berjalan dari kamar mandi ke sini? Ini memang hanya satu jam atau mungkin kurang, tapi itu--" Ari menjeda ucapannya. "Aku--""Maafkan aku, Hara. Seharusnya aku tak menuruti semua keinginanmu. Seharusnya aku memberikan solusi yang lebih bijak. Seharusnya lagi, aku tak membiarkanmu--bahkan mendukungmu mengambil keputusan untuk menikah cepat. Yang salah itu aku, bukan Saddil atau Sananta," ceracau Ari tak memberikanku kesempatan bicara."Harusnya aku selidiki dulu, harusnya aku meluangkan waktu, harusnya aku membiarkan egoisme ku sedikit mendominasimu, sekarang apa yang kulakukan. Akulah yang sebenarnya membuatmu berada dalam posisi sulit ini," sambungnya sambil menatap langit-langit kamar.Dia terus meracau. Dan aku sungguh kehilangan kata untuk menghentikannya. Kenapa dia berpikir ini semua jadi salahnya?"Om Malik p
Aku menegang kaku di sebelah Ari mengetahui siapa yang menelepon. Kudengar mereka sejenak berbasa-basi sebelum sampai ke inti pembicaraan."Jangan bilang jika Hara kabur dari rumahmu," tuding Ari terdengar tajam sambil menyalakan loudspeaker karena aku terus menarik-narik lengan bajunya."Jangan bilang kau yang membawanya kabur." Suara di seberang terdengar sama tajamnya. Entah di bagian mana aku terlewat, hingga keduanya sudah saling nyolot begini."Oho, kemana hilangnya percaya dirimu sampai berpikir aku yang melarikan istrimu?""Kau datang ke rumahku kemarin dan bertemu dengan Hara!" Suara Kak Sananta terdengar penuh amarah."Aku hanya mampir dan istrimu bahkan tidak menawarkanku masuk. Itupun setelah beradu mulut dengan security rumahmu yang seperti perempuan itu. Jika aku tahu kalian ada masalah begini, tak diragukan lagi, aku akan menunggumu datang dan menggampar wajahmu itu!" Gantian Ari yang marah. "Katakan, ap
"Apa? Dia menyuruh seseorang menyusulku?" Pundak Ari menegang. Mata kami reflesk bertatapan. Aku memberi kode agar Ari menyalakan loudspeaker lagi."Iya, Den. Mungkin Ibu salah dengar, tapi Ibu yakin Den Sananta barusan menelepon, menyuruh seseorang menyusul Den Ari, lokasinya sudah ditemukan. Makanya Ibu telepon kirain Aden kena musibah. Syukurlah Den Ari baik-baik saja.""Aku baik-baik saja, Bi, jangan khawatir. Aku akan pulang secepatnya."Panggilan itu ditutup diiringi tatapan kami yang terkunci di udara. Tanpa bicarapun, aku yakin isi pikiranku dan Ari sama.Sananta sudah menemukan tempat ini lewat panggilannya barusan. Dan kami mungkin sekarang akan menjadi buron."Segera selesaikan catatanmu. Setelahnya kita berangkat," titah Ari segera. Dia keluar kamarnya, lalu kembali lagi ke kamarku untuk mengambil ponselnya yang sudah berisi catatan keperluanku."Kunci pintunya rapat-rapat. Jangan bukakan siapapun yang datan