"Maaf, Nona. Sesuai perintah beliau, Nona datang saja ke alamat ini." Salim merogoh sesuatu dari balik celananya dan menyodorkan padaku. Sebuah kartu nama.
Ingin sekali aku menumpahkan kekesalan, tapi kutahan sekuat tenaga karena tak ada gunanya. Aku harus segera mencari Bibi Sartika, pangkal utama masalah ini dan bertanya apa maksud dia melakukan semuanya.
***
Seharusnya, aku datang ke kampung ini dengan berjuta rindu yang siap menemui tepi, tapi nyatanya masalah ini sudah menguapkan semuanya. Entah apa yang dipikirkan Bibi Sartika. Bahkan kepulanganku setelah dua tahun di rumahku sendiri seperti tamu tak diundang.
"Kenapa kau semarah itu, Hara? Bukankah ini justru keuntungan besar? Kebunmu sudah terbengkalai dan tak menghasilkan lagi. Harga panen rendah sekali ditambah pohon-pohon itu juga sudah tua. Kalaupun kau tebangi dan menanam pohon baru, siapa yang akan mengurusnya? Bibi sudah tua, Hara." Wanita di depanku ini begitu tenang berucap, seolah yang dilakukannya hanyalah menjual sebuah gerobak tua.
"Bahkan jika lahan itu harus menjadi hutan, aku tak apa-apa, Bi," sahutku serak, tapi masih berusaha sabar. Tenggorokanku begitu kering. Sedari Subuh, hanya air kemasan gelas yang mengisi perutku. Sementara ini sudah pukul setengah satu siang.
"Berpikirlah lebih pintar, Hara. Apa gunanya kau kuliah jauh-jauh ke kota jika tak bisa menghitung untung rugi? Percuma kau pertahankan kebunmu itu, sampai mati pun kau menanamnya, tak akan terkumpul uangmu lima miliar. Lima miliar, Hara. Itu uang yang sangat banyak dan kau tinggal menikmati saja."
"Lalu apa Bibi kira orang-orang itu bodoh dengan membeli sebuah ladang gersang seharga lima miliar?" Demi Bapak Ahzan Malik yang telah membuat aku ada di dunia ini, emosi yang sudah sampai batang leher, kuturunkan kembali ke perut dengan sepenuh kekuatan.
Lima miliar terlalu murah untuk bukit yang memiliki kandungan emas. Namun, bisa jadi Bibi Sartika memang tak tahu apa-apa karena Ayah dulu sengaja merahasiakan hal itu. Makanya angka lima miliar sudah membuatnya gelap mata. Sementara aku, meski triliunan rupiah, aku tidak akan rela menukarnya sedikitpun.
"Tentu saja mereka bisa melakukan apa saja karena mereka mempunyai uang, Hara. Bayangkan jika kau sendiri yang mengelola, kau tebang pohon itu dan tanam yang baru, kapan akan panen hasil? Sekian tahun waktumu hanya menunggu saja, iya kalau panenmu bertemu harga bagus. Kalau seperti yang sudah berlalu bagaimana? Sampai ubanan kau tidak akan pernah bertemu uang miliaran, Hara."
"Tapi aku tidak ingin menjualnya, Bibi. Tak ada alasan aku harus menjualnya. Aku tidak tergiur uang lima miliar, dan aku masih bisa menghidupi diri sendiri dengan bekerja. Kenapa aku harus menjual warisan ayahku?"
"Keras kepala, kau, Hara! Apapun alasannya aku sebagai walimu dari kecil sudah setuju lahan itu dijual. Kau tinggal terima hasil dan berterima kasih padaku. Dasar gadis bodoh." Wanita lima puluhan itu berdiri, sepertinya hendak meninggalkanku begitu saja.
"Aku tidak setuju, Bibi. Aku ulangi, aku tidak setuju," tekanku. Dadaku membara mendengar perkataan Bibi Sartika.
"Kau ingin kurang ajar, Hara? Siapa yang membesarkanmu selama ini? Hanya karena aku memikirkan kebaikanmu kau menjadi durhaka padaku? Aku ini bibimu, Hara. Mana mungkin aku menjerumuskanmu." Suaranya yang lemah lembut jauh berbeda dengan kata-kata yang diucapkannya. Bibi Sartika memang sangat pandai memainkan emosinya.
"Tolong jangan mengungkit jika tidak ingin kuungkit juga, Bibi Sartika. Anda melewati batas dan aku tidak akan diam lagi!"
Membesarkanku katanya? Sejak dua belas tahun lalu, aku tahu siapa dia. Hanya karena tidak ingin ribut saja makanya aku diam. Tapi kali ini aku tidak akan membiarkannya lagi.
"Oh. Rupanya Hara sudah besar. Aku mengerti." Tiba-tiba nada suara Bibi Sartika melunak. "Aku paham gejolak emosimu. Anak muda seumuranmu memang suka menurutkan kata hati tanpa berpikir jangka panjang. Karena itulah bibi melakukan ini, Nak. Kau boleh protes sampai emosimu reda. Setelahnya kau akan menyadari apa yang kulakukan ini benar."
"Batalkan semuanya, Bibi!" teriakku tak tahan lagi melihat wanita itu melenggang ke arah kamarnya. Bukan. Kamar yang selama ini ditempatinya. Ini rumahku dan Bibi Sartika tinggal di sini dengan alasan lebih leluasa merawatku.
"Tidak bisa, Hara. Bibi sudah menerima uang muka. Dan ya ... surat jual beli yang sah secara hukum sedang diurus. Jadi sepertinya kamu terlambat datang, Sayang."
Bagaimana bisa dia menjual tanpa sertifikat asli? Aku ingat betul di mana sertifikat tanah itu tersimpan. Apakah Bibi Sartika sudah melakukan sesuatu?
Saat aku sedang berusaha mengendalikan diri, Bibi Sartika keluar dari kamar dan meletakkan sesuatu di depanku, lalu menyelipkan pulpen di antara jemariku.
"Ayo, Hara. Mumpung kau datang, biar semuanya lebih cepat. Tanda tangan di sini. Percayalah, ini demi masa depanmu, Sayang."
"Bibi!"
***
Pintu rumah panggung bergaya lama itu terbuka seiring munculnya seraut wajah dibaliknya. Bukan Ari yang menyambutku, melainkan perempuan tua dengan tubuh masih terlihat bugar. Aku menghela napas berat, berusaha untuk tidak terlalu kecewa."Nona Hara?" "Ari, ada, Bu?" tanyaku pada Bu Sarmiah. Asisten rumah tangga yang telah berkerja puluhan tahun di rumah Ari, sahabatku.Rasanya bertemu Ari akan membuat semua kelelahan dan sesak ini terobati. Ari yang memberitahuku tentang kabar penjualan lahan itu, dia yang tak hadir di wisudaku kemarin dan membuatku sedikit menyimpan kekecewaan. Namun, hari ini semuanya menguap begitu saja."Den Ari sempat singgah, Non. Tapi kemarin sore sudah pergi lagi. Mbah Kakung meninggal dan Den Ari belum kembali."Aku terduduk di undakan tangga dengan tenaga yang terkikis habis. Lemas seluruh tulang belulangku. Sedih, haus, lapar, lelah dan pusing semua menjadi satu."Mbah Kakung?" Kesedihan menyapu dadaku. Terbayang wajah tua yang ikut mewarnai masa kanak-ka
"Sst. Ini aku, Ari." Pria itu membuka maskernya, bersamaan dengan lepasnya tangan yang sempat membungkamku bicara. "Ayo kita pulang, secepatnya," bisiknya tergesa.Belum habis keterkejutanku, Ari sudah menarik tanganku--setengah menyeret-- hingga kami benar-benar berlari kencang menuju jalan raya. Motor King Cobra tua milik Ari telah menanti dan segera meraung membelah jalanan yang menanjak. Saat itulah baru aku sempat menoleh ke belakang. Mencoba mencari jawab atas tanya yang sempat menyelinap ketika Ari menyeretku seperti kesetanan. Lima orang berbaju hijau daun serupa hansip baru saja muncul di pinggir jalan. Arahnya dari jalan setapak tempat aku masuk tadi.Oh.Sekarang aku merasa dadaku akan meledak oleh detak jantung yang memburu.***"Jadi, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" Berbanding terbalik dengan harapan setipis kertas serta ketegangan yang mencekik menjelang senja tadi, sekarang semangat dan kelegaan luar bisa memenuhi dadaku. Meski ini hanya sebatas harapan, tapi
"Hara Kayyisa Malik?" Aku lebih terkejut lagi ketika dia memanggil nama lengkapku, seiring dengan tubuh jangkungnya yang memangkas jarak antara kami. "Kak ... Sananta?" ulangku ragu. Kemudian menyadari sesuatu. Kami tidak pernah berkenalan secara langsung, kenapa saling sapa satu sama lain seperti teman yang lama tak bertemu? Uluran tangan kokoh di depanku membuatku salah tingkah. Pertemuan telapak tangan kami mengirimkan sensasi panas ke wajahku. Tanpa bisa dicegah, pipiku merona merah jambu. *** Aku ingat sekali, bagaimana sosok itu hadir pertama kali dan kesan yang ditinggalkannya. Saat menjadi mahasiswa baru, Kak Sananta telah berada di tingkat akhir. Dia mengambil jurusan teknik sipil dan selalu mendapat IPK tertinggi di tiap semester. Satu malam di tengah meriahnya pentas seni, resleting gaunku melorot di belakang punggung. Aku yang sedang bersama beberapa pemuda pengisi acara lainnya, malu setengah mati dan panik mau minta tolong pada siapa. Sementara hanya ada aku yang
Hara 6 "Benar, Ayah. Aku sudah menunggunya selama tiga tahun, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat?" Tunggu! Apa ini? Apa yang dikatakan Kak Sananta pada ayahnya sehingga kata-kata ini yang kudengar? "Miss Malik, apakah Anda benar-benar menyukainya juga?" Mata pria setengah baya itu menyipit. Tatapannya mengintimidasi. "Saya ...." Aku benar-benar terkejut. Ini di luar prediksiku. Aku datang ke sini untuk negosiasi soal penjualan tanahku, bukan untuk pertanyaan aneh seperti ini. Kualihkan pandangan pada Kak Sananta. Dia terlihat begitu tenang tanpa membalas tatapanku. "Haruskah Ayah menanyakan itu padanya? Dia pasti malu, Ayah." Kak Sananta menjawab pertanyaan itu dengan ringan. Dibalas oleh Tuan Saddil dengan senyuman tipis yang tak bisa kuartikan. Pria gundul itu terlihat mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan sofa. "Hmm ... bisakah kau beri aku waktu beberapa menit untuk bicara dengannya?" "Tentu saja, Ayah." Suara Kak Sananta terdengar yakin. Membuat praduga semakin m
TPD 7Setengah terhuyung aku keluar dari rumah besar itu. Kakiku terasa begitu ringan sementara otakku dipenuhi pikiran-pikiran yang tumpang tindih."Ingat saja, Bi. Jika ada gangguan pada perjalanan kami lagi atau sesuatu terjadi pada Hara, Bibi akan jadi orang pertama yang dicari polisi." Langkahku melambat mendengar Ari yang sedang memunggungiku. Dia sedang menelepon dan mendengar kata bibi, aku rasa dia sedang bicara dengan Bibi Sartika."Kenapa tidak? Aku sudah melaporkan dua plat motor yang mengikuti kami tadi ke polisi dan meminta perlindungan perjalanan. Bibi diam, atau bibi terancam." Ari terlihat kesal ketika mematikan ponselnya, lalu terkejut ketika aku sudah berada di belakangnya."Bagaimana? Berhasil, tidak?" Aku mengembangkan senyum lebar seraya mengangguk. Ari mengepalkan tangan senang. Dia segera membuka pintu mobil dan memintaku masuk."Syukurlah, kukira kita akan kesulitan menyelesaikan apa yang
Pertanyaan Ari membuatku menoleh cepat. Pandangan kami bersirobok. Dan aku tak kuasa menentang tatapan matanya. Kepalaku tertunduk dengan wajah bersemu merah. Aku lupa jika Ari begitu gampang membacaku. "Kapan?""Siapa?""Kenapa kamu tak pernah cerita jika kamu menjalin hubungan dengan seseorang?" Pertanyaan beruntun Ari persis seperti wawancara. Dia bertanya, aku menjawab apa adanya. "Kukira kamu akan jadi perawan tua selamanya." Kali ini suaranya terdengar mencemooh, seperti orang yang dibohongi. Aku mendelik. Dia pasti menyindirku soal ketidaktertarikanku pada laki-laki selama ini."Kamu cinta dia?" Yang ini terdengar begitu tajam, sekaligus begitu dalam."Aku ...." Benarkah aku mencintai Kak Sananta? Atau itu hanyalah sebuah perasaan kagum semata? Semacam obsesi yang bertahan sekian tahun karena tak pernah berkesempatan dekat dengannya? Lalu apa namanya ini. Poros dunia yang
TDP 9Ari bilang pengakuan Kak Sananta hanya alibi, agar aku masuk perangkap mereka dengan sukarela. Sementara aku berusaha menjelaskan karena dari apa yang kulihat dan kudengar, Kak Sananta tak tahu apa-apa soal tanah warisanku. Dia murni terlihat --jika boleh berlebihan-- seperti pungguk menemukan bulan."Ayo ke rumahku." Aku terperanjat kaget saat wajah Ari muncul begitu aku membuka pintu."Aku minta maaf untuk semalam. Aku terlalu over thinking." Senyuman Ari terukir. "Sekarang ayo pulang. Kamu harus istirahat." Pemuda itu menarik tanganku. Aku tersaruk mengikutinya."Terima kasih, Ari. Maaf, perasaanku membuat aku menjadi begitu keras kepala dan egois begini." Jujur, aku mulai memikirkan prasangka Ari dengan intens. Aku mengenal Ari hampir seumur hidup, sementara Kak Sananta? Bahkan kemarin adalah kali pertama kami berkenalan. "Aku yakin kamu tidak akan salah jatuh cinta, Hara. Maafkan aku yang memandangmu sebagai anak ke
TDP 10Kata-kata Ferdinand membuatku terus berpikir. Matanya, caranya bicara, entah kenapa aku merasa lelaki itu tengah menyembunyikan sesuatu. Sepanjang malam aku tak bisa tidur dan hanya berguling-guling di pembaringan.Mereka tidak akan menyerah dengan mudah. Itulah yang kupikirkan. Aku merasa mereka memiliki rencana tapi entah apa.Paginya, aku kesiangan bangun dan memutuskan ke taman belakang sebentar untuk menghirup udara segar yang lama tak kurasakan di sana."Bodoh sekali kita harus mengembalikan satu miliar, oh tidak, semuanya. Hara itu aset kita dan sebagaimana aset, ia tak boleh jatuh ke tangan siapapun."Aku tercekat sembari cepat menyelinap ke balik rumpun bunga dahlia yang sedang mekar. Setahuku Bibi Sartika tak pulang tadi malam, tapi tak jauh di depan, wanita itu sedang duduk di kursi taman entah dengan siapa.Kapan wanita itu kembali? Dan, oh ... kata-katanya terdengar menakutkan."Tapi dia berkata akan
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
"Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara
Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind
"Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi
"Aku menemukannya." Seusai sarapan, aku menghampiri Ari di ruang tengah tempat dia biasa membuka laptop. Di samping pria itu terdapat sepiring cemilan dan cangkir kopi."Apa?" tanggapnya tanpa menoleh."Ini." Kusodorkan foto lama yang bahkan warnanya mulai memudar. Ari mengerutkan keningnya sejenak. Tentu saja dia tak akan mengenali orang itu dengan mudah. Dia tak pernah bertemu langsung dan hanya sempat melihatnya di galeri ponsel fotoku beberapa kali. Lagipula, penampilannya sangat jauh berbeda dengan yang sekarang."Siapa?" Ari menyerah. "Tuan Saddil." Ari membesarkan bola matanya, lantas mengambil foto yang kuletakkan di atas meja dan mendekatkan ke wajahnya. "Kenapa beda sekali?""Tentu saja. Yang ini dia gondrong, yang sekarang botak. Ini juga pakai kumis, sekarang semuanya licin."Di samping Tuan Saddil, ayahku nampak tersenyum lebar. Dan ini bukan hanya foto satu-satunya bersama Tuan Saddil.
Cukup lama kami berada di gudang itu. Mungkin sudah lebih satu jam. Aku sudah mendapatkan setumpukan benda yang akan kubawa. Kunaikkan kembali kardus-kardus itu ke tempatnya. Tapi perutku yang besar sedikit membuatku kerepotan. Beban pas mengangkat tidak sama ketika hanya mengambilnya turun.Sementara Bu Sarmiah yang lebih pendek dariku merapikan rak yang lebih rendah."Biar aku saja." Ari mendekat. Aku sedikit bergeser ke samping. Pemuda itu lincah menaikkan beberapa kardus ke atas. Prang.Suara benda bersenggolan terdengar seiring sesuatu menimpa pucuk kepalaku."Aduh." Aku menjengit, sakit dan kaget. Sepertinya sesuatu tersenggol oleh kardus yang dinaikkan Ari hingga isinya berhamburan di lantai disertai suara berisik."Nona!""Kamu tak apa?" Ari tergopoh mendekat. Memeriksa kepalaku dengan raut cemas."Tak apa. Cuma sedikit kaget. Apa sih itu tadi?" Puncak kepalaku terasa panas dan perih. Aku bahk
Sambungan di ujung telepon hening sesaat. Sebelum akhirnya beberapa detik kemudian terdengar lagi suara."Tak ada tanggapan sama sekali?" Suara Kak Sananta terdengar hilang-hilang timbul. Jaringan nampak sekali tidak stabil. "Tidak. Pihak pertambangan menutup akses untuk bertemu dengan masyarakat. Aku tidak tahu akan separah ini. Apakah dunia tambang memang seperti ini?" Aku mengembuskan napas pelan. "Biasanya tidak seperti ini. Tetap ada dana khusus yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Nanti aku akan mengurusnya lagi. Kamu tenang saja."Percakapan kami kemudian beralih lagi ke hal remeh temeh. Rasanya cukup lega mengetahui Kak Sananta tiba dengan selamat. Dia sudah langsung terjun ke proses pengolahan lahan hingga kami tak memiliki banyak waktu luang untuk bercerita. Kubayangkan jika Kak Sananta yang mengepalai proses pertambangan kebunku. Tapi kemudian andaian itu segera kuenyahkan. Jika Kak Sananta ya