Di belakang, Amira melihat Santi yang sedang menatapnya dengan senyum meremehkan. Perempuan yang merupakan mantan kakak iparnya itu terlihat menggelengkan kepala. “Sudah ganti selera rupanya kamu, Mir? Apa kamu sudah tidak laku dengan yang lebih muda, hingga aki-aki pun kamu embat juga.” Manusia
POV Lilik Aku tak bisa begini terus! Tidak ada lagi yang bisa membantuku selain diriku sendiri! Menjadi orang baik ternyata malah sesakit ini. Lebih baik menjadi orang jahat sekalian! Yang aku lihat, orang-orang jahat itu hidupnya lebih enak. Ekonominya lebih mapan, mereka berkelimpahan harta bisa
POV Tama “Kok sepi, Bu? Ke mana Lilik dan Zidane?” tanyaku begitu pulang dari tempat kerja. Aku menjatuhkan bobot tubuh di depan ibu. Ibu yang sedang ngaso di atas sofa terdiam sesaat. Entah apa yang beliau pikirkan? Tapi yang jelas raut wajahnya terlihat mendung, seolah setumpuk masalah sedang b
POV 3 “Seingat Ibu, dulu Ibu selalu baik dengan Amira. Ibu juga tidak pernah mencari masalah dengan mantan istri pertama itu. Orang-orang itu ngawur, asal bicara seolah-olah ibu ini jahat pada Amira. Padahal, tidak. Kalaupun Ibu marah sesekali sama dia, itu wajarlah. Itu gara-gara istrimu yang memb
Motor yang memotong jalan Amira, sukses membuat Amira mengerem kendaraannya secara mendadak. Dengan degup jantung yang bertalu-talu, Amira mengedarkan pandangannya ke arah sekeliling. Enam pasang mata menatapnya tajam, senyum smirk terbit dari bibir para laki-laki yang sedang mengelilinginya. Entah
“Mau ke mana kamu, Tam?” tanya Mumun yang melihat Tama berdiri dari tempat duduknya dengan tergesa. Laki-laki yang hanya mengenakan t-shirt berwarna putih itu itu menoleh ke arah ibunya sekilas. “Aku mau keluar sebentar, Bu. Ada urusan penting.” Tama menjawab sambil mengayun langkah menuju kam
“Sebenarnya tadi itu suara sirine polisi betulan bukan, sih?” Amira bertanya-tanya pada dirinya sendiri sembari menstarter motor maticnya. Amira yang sudah mulai melajukan motornya itu, kembali memikirkan siapa pemilik sirine yang telah berhasil membuat para preman itu kocar kacir. “Siapapun it
“Bondan Kenapa nomornya Marugul tidak aktif? Tidak sengaja dimatikan, kan? Bagaimana hasil tangkapannya? Kenapa sampai jam segini belum juga kalian setorkan ke saya?” tanya seseorang di seberang sana dengan memburu. Bondan yang baru turun dari motor hanya bisa menelan ludah dengan payah. Dengan l
“Ini tempatnya, Mbak?” Tama menatap perempuan yang merupakan tetangga kontrakan Lilik tersebut dengan kening mengkerut. “Iya, ini, Mas. Beberapa hari yang lalu juga ada yang mencari Mbak Lilik. Perempuan. Bahkan dia menitipkan sesuatu untuk Zidane.” Tama terdiam, tapi otaknya berpikir menerka-nerk
Amira terdiam, menunggu jawaban Tama. Sebenarnya dia sendiri ragu, tidak yakin dengan idenya ini. Tapi, Amira merasa perlu melakukan itu demi kebaikan Zidane. [Jangan memintaku yang tidak-tidak, Mir! Mustahil aku kembali dengan Lilik. Itu tidak mungkin terjadi.] Tama mengirimkan pesan balasan pada
“Lilik?” Samar, Amira memanggil wanita yang sedang menuntun bocah cilik sambil menenteng tas yang terlihat berisi dagangan. “Pak tolong berhenti sebentar.” Amira meminta kepada sopir taksi. “Tapi argonya tetap jalan, ya, Mbak.” Sopir mengingatkan. “Nggak masalah, Pak. Nanti saya lebihkan untuk
“Kapan acara lamarannya, De?” tanya Fikri di negeri seberang sana. Amira baru saja menceritakan niat baik Reza yang ingin melamarnya kepada Fikri. “Rencananya empat hari lagi, Bang. Abang sekarang sudah merestui ‘kan?” tanya Amira yang belum begitu yakin sepenuhnya terhadap restu Fikri. “Insya
“Terima kasih banyak, ya, Mas. Maaf nggak bisa menyuruh mampir. Ini susah sangat malam.” Amira menghampiri pria yang berada di balik kemudi bulat setelah memarkirkan motornya di depan rumah. “Memang seharusnya aku tidak mampir, De. Kalau mampir nanti bahaya,” kelakar laki-laki di balik kemudi yang
“Mau sampai kapan kamu diam di situ, Lilik? Mau sampai kapan kamu membiarkan Zidane mengacak-acak permainannya? Cepat bereskan rumah ini! Aku muak melihat kamu yang seperti ini terus! Sudah berapa kali aku bilang? Jangan biarkan anakmu mengacak-acak ruang tamu atau ruang tengah dengan permainannya i
[Bi, tolong sampaikan ke Ibu, aku tidak bisa pulang sore ini. Mungkin, nanti malam baru pulang. Aira meninggal dunia, Bi. Aku bantu-bantu sekalian di sini.] Amira mengirimkan pesan pada Bi Marmi, bibinya. Amira baru sempat memberi tahu keluarganya. Derap langkah kaki yang memasuki ruang tamu membu
“Mas Tama, Mbak.” Amira menyodorkan ke handphone Santi yang baru kembali dari kamar ibunya. “Mungkin mau bicara sama kamu, Mir.” Santi kembali menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Amira. “Nggak, dia sengaja menelpon Mbak Santi, kok.” Tama sengaja menghubungi Santi melalui Amira, sebab handphon
Di depan pintu Santi menyambut Amira dengan penuh kesedihan. Sesuai permintaan Tama, Amira akhirnya pergi ke rumah Mumun. Memastikan bahwa keluarga mereka baik-baik saja. Tama sengaja mengutus Amira sebab nomor handphone Santi tidak bisa dihubungi. “Apa kabar, Mbak?” Amira mengulurkan tangan ke ar