“Capek ya habis nangis?!” Niel membelai puncak kepala Zeu. Gadis itu akhirnya mau dirinya peluk setelah seluruh tubuhnya lemas. Seluruh energi gadis itu sepertinya terkuras habis untuk meratapi takdir. “Cup.. Cup.. Cup.. Sayang.” Di dalam dekapannya, isakkan sesekali masih terdengar, tapi tak separah sebelumnya. Beruntunglah ada kata lelah di dunia ini. “Udah ya, jangan nangis terus. Aku minta maaf.” Zeu memijat pelipisnya. Ia tampak seperti anak kecil yang ditenangkan oleh papanya sekarang. Sayangnya, pria yang mendekatinya bukanlah sang papa, melainkan pemuda yang berulang kali menjadi alasannya menangis pilu. “Baju aku mana?!” tanya-nya tak ingin berlarut pada keadaan. “Di luar. Mau apa?! Gini aja dulu, Sayang. Nggak apa-apa. Kan aku udah liat semuanya,” bisik Niel. Ia lebih menyukai Zeu terlilit selimut dibandingkan terbalut pakaian. Salahkan saja otaknya yang tidak beres. Namun di matanya Zeu memang terlihat jauh lebih cantik tanpa apa-apa. “Dingin, Niel.” “Mau aku panasi
Mimpikah ini? Zeu memejamkan matanya, mencoba meresapi wangi tubuh pria yang mendekapnya. Ia mengerahkan seluruh indera penciumannya untuk merasakan kehadiran Niel. Mencari pembenaran atas apa yang bagian tubuhnya tangkap. Nathaniel nyata— Apa yang ditemuinya pagi ini bukanlah sebuah bunga tidur. Keberadaan pria itu di ranjangnya, nyata adanya. Tetes-Demi-Tetes air mata lolos. Air itu turun melalui sudut-sudut matanya yang indah. Setelah sekian lama bersabar, suaminya kembali ke dalam pelukannya. Pria itu memilihnya. Niel menepati janji mereka saat kecil. Tubuhnya bergetar— merasakan kebahagiaan yang tak dapat dirinya jabarkan. “Hey.. Kamu nangis? Kenapa? Ada yang sakit? Aku meluknya kekencengan?!” Panik Niel terbangun. “Sayang?!” Zeu menggelengkan kepalanya, “ini bukan mimpi,” racaunya, begitu lirih terdengar di telinga Niel. Mengetahui apa yang membuat istrinya menangis, Niel menghembuskan napasnya, lega. Ia pikir terjadi sesuatu dengan sang istri sampai wanita itu terisak di
"Eta Babang Niel?!" Celetuk Rega, ragu, melihat Niel membukakan pintu untuk Zeu. "Bukan! Supir baru, Neng Cantik, Gue!," balas Zikri nge-gas. Sudah tahu sahabatnya malah bertanya. Agak buta sepertinya mata Rega. Pagi-Pagi matanya sudah tercemar dengan ke-uwu-an bosnya. Ia kerap melihat Niel membukakan pintu untuk Meyselin, tapi baru kali ini menyaksikan binar idiot sahabatnya. Efek ena-ena dasyat banget di dia— batin Zikri, bergidik. Jatuh cinta dan tolol lengkap tersaji di wajah sahabatnya. "Lebih idup komuk dia," ucap Alvian menyenggol lengan Jeno. Jeno menimpalinya dengan anggukan. "Lah, Anjing! Abis ena-ena muka lo kenapa bonyok, Bos?!" Rega membolak-balikan wajah Niel. Lebam biru berkat tamparan berapi-api sang mama memang membekas sempurna. Jangan lupakan benjol di kepalanya karena hantaman Hermes milik wanita itu. Kalau bukan karena ijab kabul, pusingnya mungkin tak akan hilang sampai detik ini. "Kena grebek Nyokap gue." "Bukannya sengaja?!" "Si Anjing! Kok lo tau, J
Niel membenamkan wajah Zeusyu ke dadanya. Ia memeluk erat sang istri. Sesekali memberikan kecupan-kecupan di pelipis wanita itu. Keduanya masih berada di dalam ruang kelas. Keduanya menjadi bahan tontonan meski tak ada teman-teman Zeusyu yang berani membicarakan mereka. Hanya sesekali kamera ponsel diarahkan untuk merekam tindakan romantis Niel. “Ada apa ini?” Dosen pengampu mata kuliah Zeusyu memasuki ruangan kelas tempatnya mengajar. “Kalian yang disana, ini kampus, bukan taman buat pacaran!” Jeno maju turun tangan. Pemuda itu memberitahukan kronologi yang menimpa Zeusyu dan tentang keberadaan mereka di kelas itu, setelahnya ia menghampiri Niel. “Bawa pulang aja. Kasihan. Dia pasti shock.” “Zeusyu Tirto, untuk hari ini saya izinkan kamu tidak mengikuti kelas. Saya akan minta komting untuk memberikan informasi jika ada tugas.” “Gih.. Urusan lo, biar gue yang ngomong ke dosen nanti.” “Thanks, Jen.” Bantuan teman-temannya sungguh berarti. Ia memapah tubuh Zeusyu, mengucapkan teri
“Lo dipanggil ke ruangan Dekan.” “Dekan?” Ulang Meyselin memastikan siapa yang memanggil dirinya. “Iya tadi ada bagian Tata Usaha yang ngasih tahu.” “Ada apaan ya?” Raut bingung tercetak jelas di wajahnya. Ia tidak mengerti mengapa orang nomor satu di fakultas tempatnya menempuh pendidikan sampai memanggilnya. “Wah kurang tau ya gue. Cuman nyampein pesen aja.” “Ah, oke. Thanks infonya.” Gadis itu merapikan peralatannya ke dalam tas lalu bangkit untuk segera beranjak pergi. Ia menyusuri lorong kampus, berjalan dengan tanda tanya besar yang memenuhi kepalanya. Sebelum membuka pintu ruang dekan, ia sempat melakukan ketukan beberapa kali. “Permisi Pak. Saya Meyselin,” ujarnya memperkenalkan diri. “Masuk. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan. Silahkan duduk Nona Meyselin.” Meyselin mengangguk. Ia duduk dengan tangan berada di atas pahanya. Entah apa yang akan dibicarakan oleh dekannya. Meyselin tak tahu. Seingatnya ia tak pernah membuat kesalahan. Akademiknya bagus dan ia tak
Plak!! “Papa! Kenapa Papa tampar, Zelin?” Mama Zelin menjerit. Suaminya baru saja tiba tanpa sebuah salam dan laki-laki itu langsung melayangkan tangannya di pipi putri mereka. “Anak ini pantas mendapatkannya!” “Pah ada apa ini?” tanya Zelin. Tangannya memegangi pipinya yang berdenyut. Tamparan papanya begitu kuat sampai sempat membuat ia terhuyung. “Papa yang seharusnya tanya, Zelin! Apa yang kamu pikir, sudah kamu lakukan, Hah?” “Maksudnya, Pah?!” “Dimana otak kamu ketika merundung anak perempuan Tirto?!” “Merundung?” Wanita yang menganggap Zelin seperti putrinya sendiri itu kaget. Ia menatap sang putri lekat, “Papa kamu nanya apa, Zelin? Dia nggak bener kan? Papa salah paham kan?” “Salah paham apa?! Wajah anak ini viral di media social! Gara-Gara itu kerjasama ku dengan Hanggono Tirto dibatalkan sepihak. Aku rugi, Mah. Mereka narik investasi mereka!” Zelin menunduk. Ia tidak tahu jika perundungannya akan menjadi sebuah masalah. Tujuannya hanya ingin membuat perhitungan dan
Zeusyu menuruni ranjang ketika kamar Niel diketuk. Ia membuka pintu dan menemukan Amel berdiri di sana sembari tersenyum. “Hi, Sayang. Nielnya mana? Nggak keluar kan?” “Nggak kok, Mah.” Zeusyu menggeser posisinya sehingga menampakkan sosok Niel yang sedang bermain ponsel. “Lagi main gim dia, Mah.” ‘Rafaela, Anjing! Ulti biar ke-stun naga beraknya.’ ‘Rega bangsat!! Skill dua monyet! Lo tau nyawa gue kritis kenapa nggak lo bantuin.’ ‘Support nggak guna!’ ‘Lah lo pada ke mana?! Kok tinggal assasin doang yang ke sisa? Gue nge-lag tadi. Wifi mendadak mati.’ Manusia yang sedari tadi dimaki-maki karena tak becus menggunakan hero-nya tersebut akhirnya muncul membuat Niel mengeram. “Bentar Mah. Hampir defeat!” Ujar Niel tak ingin diganggu. Hidup dan mati rank-nya sedang dipertaruhkan karena kebodohan rega sebagai support. “Udah gue bilang lo mending pake tank, Babi!! Ngapain segala pake Rafaela!! ULTIIII!!” Sembur Niel, kesal. Sebentar lagi mereka kembali mythic setelah pergantian seas
Telapak tangan kecil Zeusyu terasa sangat pas di dalam genggamannya. Niel merasakan kenyamanan yang membuat hatinya menghangat. Tangan itu berada di atas dadanya dengan sang istri yang berbaring pada rengkuhan tubuhnya. Wanita cantik itu sudah berusaha begitu keras untuk menenangkannya dari kemarahan. Bagaimana ia tak tersentuh jika rasa hangat terus membakar lubuk hatinya karena kelembutan tutur katanya. “Jangan diulangin lagi, ya? Nggak baik bentak-bentak orang kayak gitu, Niel.” See? Betapa sempurnanya Tuhan menciptakan wanita ini. Untuk seseorang yang pernah menjadi penyebab kehancurannya saja, ia masih berbaik hati membela. Entah terbuat dari apa hatinya itu. Mengapa tak ada sedikit pun dendam yang bersarang setelah apa yang dirinya dan Meyselin lakukan di masa lalu. “Kita move on, jangan bahas dia lagi,” pinta Niel mencium pelipis Zeusyu. Membicarakan Meyselin membuatnya muak. Niel tak menyukai pembahasan tentang mantan kekasihnya itu. “Terus ngomongin apa? Aku belum ngantuk
Ceplak!!Xavier mengerang tatkala sebuah sandal mendarat pada wajah tampannya.Sandal tersebut jatuh ke atas lantai setelah mengenai targetnya, tergeletak dengan posisi tengkurap tak berdaya, berkebalikan dengan korbannya yang mereog-reog, mencari sosok tersangka dibalik penyerangannya.“Papa yang ngelempar! Mau apa kamu?!” tanya Niel, menantang.Pria yang berdiri tegap dengan tangan terlipat didadanya itu menatap tajam sang putra.Ia benar-benar geram merasakan kelakuan ajaib putranya.“Otak kamu geser kan?! Papa benerin biar balik ke tempat semula!” sentak Niel, berapi-api.“Otak Abang geser?” beo Aurelia dengan polosnya. Ia memegangi kepala Xavier, menggoyang-goyangkannya ke kanan dan kiri.“Qu-ee-een.. Kamu ngapa-iiin...” Suara Xavier bergetar seiring dengan goyangan sang istri pada kepalanya.“Mampus kamu, digoclak-goclak nggak tuh!” cicit Niel. Ia teramat menyukai kepolosan sang menantu. Kepolosan itu mendekati kebodohan sehingga begitu menghiburnya diwaktu-waktu tertentu.Yeah,
“Abang, beli rumahnya udah?”Pertanyaan Aurelia itu membuat gerakan tangan Xavier yang hendak meloloskan kaos dalamnya terhenti di udara.‘Belom 2*24 jam loh, Rel!’ batin Xavier miris. Melaporkan orang hilang ke pihak kepolisian saja membutuhkan waktu, apalagi membeli rumah yang syarat-syaratnya cukup meresahkan sampai memusingkan isi kepala.Nggak mendadak gegar otak aja Alhamdulillah nih gue!!“Papi tanya loh, Abang.. Aurel jawab apa ini?” tanya Aurelia sembari menunjukkan ruang obrolannya bersama sang papi diponselnya.“Bales aja, sabar Pi, kalau nggak sabar mabur.” Ucap Xavier mengutip kalimat yang pernah dirinya lihat dibelakang sebuah truk bermuatan sayur saat pulang dugem.“Mabur?”Xavier pun terkekeh. Ia menarik turun ujung kaos dalamnya, mengembalikan kaos tersebut ke tatanan semula.“Artinya terbang, Queen..” bebernya dengan tangan membelai puncak kepala Aurelia.“Nggak usah dibalesin aja.. Nanti Abang yang telepon Papi kamu. Buat sekarang rumahnya masih dicari. Kalau rumahny
“Huwaa— Papi masih kangen,’ rengek Jeno sembari mengayun-ayunkan tangan putrinya yang saat ini tengah ia genggam.“Aurel juga, Papi..” Sama seperti sang papi, Aurelia ikut merengek.Keduanya lalu berpelukan dengan rengekkan yang terus saja mengudara.Didekat ayah dan anak itu, sepasang saudara memutar bola mata mereka.“Untung Papa nggak senajisin Om Jeno..” lontar Xaviera. Ia bersyukur papanya tak lebih mencintai dirinya dibandingkan cintanya kepada sang mama. Dengan begitu, ia tak perlu mempunyai papa yang sikapnya seperti bocil Paud.“Ssst..” Xavier membenturkan lengannya pada tangan adik perempuannya. “Tahan, Ces.. Mertuanya Aban itu..” bisik Xavier ditelinga sang adik.Jeno pun melepaskan pelukannya.“Nggak bisa!!”Tirto bersaudara terperanjat tatkala mendengar Jeno memekik keras. “Wah, bakalan lama nih..” gumam Xaviera, mencium akan adanya penambahan chapter terbaru dari drama seorang ayah yang tak pernah ikhlas putrinya dipinang orang.“Papi kenapa?” tanya Aurelia. Gadis itu t
“… Ah, satu lagi! Dia lulus kuliah dulu..”“Heum.. Bisa diatur.. ASAL!” kata Xavier, sengaja menggantung kalimatnya.“Apa?”“Om janji nggak nyentuh mami mertuanya Xavi juga. Gimana? Adil kan jadinya?!”Duarr!!!‘Keputer soundtrack sinema azab nggak tuh di kepalanya? Orang kok sukanya nyiksa! Ya kali bobok bareng Ayang nggak ena-ena! Kayak yang sendirinya bisa tahan aja!’ dumel Xavier di dalam hati.Jeno angkat ketiak ketika Xavier menyebutkan persyaratan yang harus dirinya penuhi agar sang putri terbebas dari jamahan anak itu.Come on! yang benar sajalah!Ia mana bisa untuk tidak menyentuh istri tercintanya!Hah!Betapa pintarnya rubah ekor sembilan yang dihasilkan benih sahabatnya. Anak itu sangat mirip papanya, tak ada satu pun gen Nathaniel Tirto yang tercecer darinya. Semuanya mengalir ke dalam diri Xavier, termasuk kecerdasan otaknya yang digunakan untuk tindak kelicikan.“Ya udah, main aman aja! Om belom pengen punya cucu, Xav.” Ucap Jeno sesaat setelah mengibarkan bendera putih
“Kak Viera.. Kakak dari tadi di depan sini? Kenapa nggak masuk aja ih?”“He-he..” balas Xaviera, kehilangan kata-katanya. Bagaimana mungkin ia menerobos masuk ke ruangan Dekan. Ia kan bukan orang yang berkepentingan.“Jangan langsung balik ke kantor, Xav! Ikut Om dulu!”Adik Xavier itu melirik kakak dan omnya. Tampang keduanya tampak tak enak untuk dilihat.“What happen, Rel?” tanya Xaviera.“Eh? Nggak ada apa-apa kok, Kak.” Aurelia lalu berteriak, “Papi, Papi! Tungguin Aurel!”Juno menghentikan langkah kakinya. “Aurel juga mau ikut?”“Loh! Nggak boleh ya?”“Anu, bukannya nggak boleh, Sayang. Papi mau ngobrol empat mata sama Xavier.”“Tambah empat mata lagi nggak bisa? Aurel kan pengen ikut, terus Kak Viera juga. Masa Kak Viera ditinggal sendirian. Kan kasihan, Papi.”Juno pun mendesah. Mana mungkin ia tega untuk mengatakan tidak pada anak semata wayangnya. “Iya, boleh,” ucapnya, terpaksa. Padahal ia ingin memarahi Xavier karena telah membuat Aurelianya pingsan. Kalau begini, ia kan j
“Eh, kalian udah denger belom. Anak semester satu yang namanya Aurel, yang suka ke kantin bareng Aidan.. Katanya dia married by accident.”“Serius lo? Nggak mungkin ah! Anaknya keliatan polos gitu.”“Yeee! Aidan sendiri yang ngomong ke gue. Mereka putus gara-gara tuh cewek ketahuan mahidun. Si Aidannya ngerasa belom ngapa-ngapain tuh cewek, tapi udah keburu hamil sama cowok laen. Makanya diputusin sama Aidan.”“Buset! Nggak nyangka gue! Keliatannya polos mendekati bloon loh padahal.”“Itu kali yang bikin dia hamil. Gara-gara kebloonannya, jadinya gampang dipake sama orang. Zaman sekarang kan ada kondom kali biar nggak kebobolan. Kalau pinter mah nggak bakalan sampe hamil.”“Anjay-lah!”Brak!Xaviera yang mendengar kakak iparnya digosipkan pun meradang. Tangannya yang terkepal ia hantamkan pada daun meja dihadapannya.“Anjing!” maki adik Xavier itu keras. Ia jelas tak terima jika Aurelia diolok-olok, terlebih menggunakan bahan yang mereka tak ketahui kebenarannya. Jelas-jelas Aurelia-l
Xavier merasakan pergerakan dari tubuh yang semalaman dirinya dekap. Perlahan, ia pun membuka matanya.Jantungnya berdegup tatkala netranya bertemu dengan sepasang bola mata indah, yang kini juga tengah menatapnya.“Morning, Queen..” sapa Xavier. Senyum hangat terbit dari bibirnya.“Morning, Abang.”“May I kiss you? Ciuman selamat pagi.”Aurelia menutup mulutnya, cepat-cepat. “Bau jigong, Abang. Aurel baru melek, belum sikat gigi.” Ucap gadis itu dibalik bekapan tangannya. Ia malu meski ingin kembali merasakan ciuman Xavier.Bagaimana jika nanti suaminya pingsan?— pikir Aurelia.“Abang suka semua bagian dalam diri kamu, karena Abang cinta kamu, bau jigong kamu pasti wangi.”Eh?Begitu ya, kalau cinta seseorang?! Bau jigong jadi wangi kalau cinta sama orangnya?!Dalam otak kecil Aurelia, gadis itu tengah berpikir sangat keras.“Boleh ya?” tanya Xavier, kembali meminta persetujuan. Padahal bisa saja jika dirinya langsung menyosor. Namun Xavier tidak akan melakukannya. Ia membutuhkan ker
“Hiks, Abang sakit! Kak Viera bilang, sakitnya cuman sedikit, ini kok banyak, huhuhuhu!”“Sakit banget ya?” tanya Xavier. Ia jadi tidak tega melanjutkan malam pertama yang tertunda. Namun untuk menarik milik-nya yang sedikit bersarang pun, ia juga tak rela.Sangat, sangat tidak relah bahkan.“Queen, kamu masih bisa tahan sakitnya kan? Sedikit aja. Katanya kalau udah masuk, sakitnya bakalan ilang.”“Sakit banget. Aurel kayak lagi ditusuk pisau.”Bagaimana ini?! Xavier dilema. Istrinya menangis.Apakah sesakit itu rasanya? Kok perasaan dirinya enak-enak saja.“Ya udah, kita nggak usah lanjutin,” putus Xavier. Apalah artinya keenakan sendiri jika gadis yang dirinya cintai kesakitan. Xavier tak ingin egois. Mungkin ia harus mencari tahu bagaimana cara bercinta tanpa menyakiti pasangannya.“No! Jangan!” Tangan Aurelia memeluk Xavier. “Nggak boleh, harus lanjut! Kata Kak Viera harus berhasil malam ini.” Gadis itu tak mengizinkan lelaki di atasnya beranjak.“Tapinya kamu kesakitan, Queen. Aba
“Abang!”Xavier kontan memutar kepalanya saat pintu ruangan yang dirinya gunakan untuk merokok, terbuka dengan menampilkan sosok sang adik.“Bau asep, Dek! Nanti kamu pengen ngerokok, Abang yang dimarahin Mama!” Seloroh Xavier. Adiknya beberapa waktu lalu ketahuan masih merokok. Hal tersebut tentu membuat mama mereka marah sekaligus bersedih.Sialnya, ia sebagai kakak ikut terkena imbas. Berkat dirinya yang selalu memanjakan Viera, ia dinilai tak dapat menjaga Princess mereka. Padahal jelas-jelas di keluarga mereka bukan hanya dirinya yang merokok.“Aman.. Adek udah nggak pengen ngerokok kok, Abang. Adek udah insaf!” Cengir Viera sembari menunjukkan deretan giginya. “Adek kan sekarang pakenya pot, jadi nggak bakalan ketauan Mama, hehehe!”Hah!Anak muda jaman now!Larangan adalah bentuk perizinan tak tertulis bagi mereka. Contohnya seperti saat sang papa melarang Viera mengejar-ngejar cinta Om Rega, bukannya mematuhi larangan itu, Viera justru semakin getol memperlihatkan ketertarikann