Terimakasih telah membaca novel pertama saya. Mohon maaf jika ada salah kata atau kurang enak dibaca.
Sani yang sudah terlanjur terbakar emosi pun memelototi Indra dengan penuh kebencian. Sifat emosian yang dimilikinya itu sudah diatas rata-rata. Padahal dulu dia tidak begitu. Sani sempat menjadi perempuan pengertian yang merebut hati Indra. “Aku kesini karena aku bingung. Makanya minta saran ke kamu, kalau kamu malah nyalahin aku mendingan aku mikir sendiri” gerutu perempuan tersebut sambil kembali duduk ke kursi. Ia menarik nafas, berusaha mendinginkan emosi yang ia rasa lalu beranjak meraih ponsel di dalam tasnya. “Aku nyadap anak kita bukan tanpa alasan, aku itu takut sebagai ibunya dia kena pergaulan yang aneh-aneh” ujarnya sambil menunjukkan aplikasi penyadap didalam ponselnya.Indra menatap kearah layar ponsel, sambil memicingkan matanya. Mencoba membaca tulisan di layar ponsel tersebut tanpa kacamata. Kemampuan melihat Indra memang menurut secara drastis sejak ia mulai sering menghabiskan waktunya didepan televisi.Pekerjaan yang sering tidak menentu me
“Aku nggak tahan lagi, Mama gila ya!!” Sedetik setelah kata tersebut keluar dari mulutnya, Nadia merasa menyesal. Ia secara reflek menutup mulutnya sendiri, tapi tentu saja tidak dapat menarik hal yang telah diucapkannya. Sani, ibu Nadia tak kalah kaget. Matanya terbelalak, kaget bukan kepalang. Anak satu-satunya yang biasanya penurut itu mengucapkan kata yang sangat menyakitkan. “Oke, silahkan pergi kalau kamu pikir bisa hidup tanpa mamah” gertaknya. "Oh jelas bisa!" Nadia melotot. Tangannya mengepal dipenuhi amarah yang meledak di dalam hatinya. "Selama ini Nadia udah terbiasa kerja banting tulang. Gak susah buat hidup sendiri!" lanjutnya, air mata berderai di pipinya. Nadia mengusa
Tanpa berkata apapun, dan dengan air mata yang menetes Nadia langsung keluar dari rumahnya. Ia menangis tanpa suara, dengan hati yang sangat hancur. Di malam yang dingin ini, untuk pertama kalinya ia merasa tidak berguna. Ia merasa benar-benar gagal sebagai seorang anak dan manusia. Selama ini, ia melakukan apapun untuk membuat ibunya bangga, namun ternyata ia masih dianggap sebagai manusia gagal oleh ibunya.“Mbak Nadia...”Suara dari Pak Gojek membuyarkan tangisan dan lamunan Nadia. Ia langsung bergegas menaiki motor. Sebenarnya ia punya motor yang dibelikan Sani untuknya. Ia sengaja meninggalkannya dirumah karena malas menggunakan pemberian dari Sani. Ia terlalu marah dengan ibunya. Ia tidak habis pikir kenapa ibunya melakukan tindakan di luar batas. Ibu mana yang menyadap WhatsApp anaknya sendiri? Ibu
“Ikutlah.. wait” Jean buru-buru masuk kembali ke rumah. Tak lama kemudian ia kembali dengan tas ranselnya yang penuh.Nadia tersenyum lebar. Wajahnya masih terlihat sayu akibat terlalu lama menangis, namun ia nampak lebih baik dengan senyum lebarnya. Ia merasa senang ketika menatap Jean. Betapa beruntungnya aku, batinnya ketika menatap wajah pacarnya. Jean memang benar-benar tampan, bisa dibilang ketampanannya nyaris tidak masuk akal di kehidupan nyata. Lebay sih, tapi itulah yang ada di pikiran Nadia.Wajah putih bersih, hidung mancung, mata sayu sempurna, dagu lancip dengan proporsi wajah yang alami membuat Jean nampak seperti aktor Korea. Waktu pertama kali bertemu dengan Jean, Nadia mengira Jean merupakan anak blasteran. Namun faktanya Jean mengaku kedua
“Just do what u think is right, are u ready to talk to her?” Jean memeluk Nadia. Mengecup dahinya dengan lembut, tangannya mengelus rambut panjang Nadia. “If u do, then u should” sambungnya.Nadia mengangguk lalu menekan logo merah pada layar HP nya.“No, I think I will prefer to do you” Nadia tersenyum nakal sambil mendorong tubuh Jean ke kasur.***Perasaan takut dibalut rasa emosi tengah berkecamuk di hati Sani. Hari ini ia jadi tak fokus berjualan, beberapa kali ia keliru memberikan uang kembalian pada pembeli. Ia sangat takut bahwa anak semata wayangnya akan meninggalkannya. Namun rasa takut itu
Ia sangat benci melihat anaknya bersama dengan Jean. Jean memang tampan dan sopan, tapi wajahnya terlalu membawa luka yang dalam di hati Sani. Ia tidak dapat mempercayai Jean. Meskipun tidak pernah sekalipun Jean berbuat salah padanya, ia tetap yakin suatu saat lelaki itu akan menyakiti Nadia sedalam-dalamnya. Seperti yang seseorang pernah lakukan padanya di masa lalu. Kenangan yang menyakitkan itu membangkitkan amarah Nadia, ia memencet logo merah pada HPnya sebelum panggilan diangkat.Kemudian, ia menulis pesan pada pada Nadia:| Dasar anak durhaka nggak tau diuntung. Gak usah balik kerumah!Terkirim. Sani menghela nafas panjang, dahinya bertumpu pada tangannya. Ia pusing, dan di lubuk hatinya ia kecewa karena tidak bisa menahan emosinya. Di sisi lain, separuh hatinya masih membenarkan apa yang dia lakukan pada an
Nadia tidak yakin apakah itu karena kepolosan atau kebodohan atau bahkan kebaikan Jean yang menyebabkannya selalu berfikiran baik tentangnya. Ia tidak pernah sama sekali membalas makian-makian yang terlontar, dan hanya menjawab dengan membahas pada hal lain. Jean berkata bahwa ia hanya berfikir Nadia sedang butuh melampiaskan amarahnya, dan hal tersebut membuat Nadia tidak pernah mencurigai adanya pesan-pesan yang tidak ia tulis tersebut karena Jean tidak pernah merespon makian tersebut.Sedangkan beberapa pesan yang Sani balas dari teman lelakinya yang lain adalah ajakan untuk berkumpul bersama. Sani selalu menolaknya, dan menghapus langsung ajakan yang belum sempat Nadia baca. Teman-temannya selalu maklum dan menganggap bahwa Nadia memang sibuk sehingga tidak pernah protes sama sekali.Padahal Nadia termasuk sering main HP, dan kenyataan bahwa ibunya bi
“Makan dulu yang” ucapnya sambil mengambil kotak makanannya sendiri.Nadia mengangguk, rasa lapar yang menyerbu membuatnya langsung memakan makanan di depannya. Aroma bebek bakar lengkap dengan lalapannya menggungah gairah makan Nadia. Bebek bakar adalah makanan favoritnya sejak kecil, ia sedikit terharu akan betapa romantis nya Jean dapat mengingat menu kesukaannya meskipun ia tidak pernah mengatakannya secara langsung. “Sialan!!” Nadia tersentak. Ia membelalakkan matanya dan langsung melompat dari kasur. Kotak makanannya sampai tersentak dan makanan tumpah sedikit ke kasur. Jean dengan sabar dan sigap membersihkannya dengan tisu. Di tengah enaknya makan, Nadia baru ingat bahwa ia memiliki jadwal kerja sampingan malam ini. Sebenarnya, setiap Senin Nadia harusnya libur. Namun ia harus datang
Sani yang sudah terlanjur terbakar emosi pun memelototi Indra dengan penuh kebencian. Sifat emosian yang dimilikinya itu sudah diatas rata-rata. Padahal dulu dia tidak begitu. Sani sempat menjadi perempuan pengertian yang merebut hati Indra. “Aku kesini karena aku bingung. Makanya minta saran ke kamu, kalau kamu malah nyalahin aku mendingan aku mikir sendiri” gerutu perempuan tersebut sambil kembali duduk ke kursi. Ia menarik nafas, berusaha mendinginkan emosi yang ia rasa lalu beranjak meraih ponsel di dalam tasnya. “Aku nyadap anak kita bukan tanpa alasan, aku itu takut sebagai ibunya dia kena pergaulan yang aneh-aneh” ujarnya sambil menunjukkan aplikasi penyadap didalam ponselnya.Indra menatap kearah layar ponsel, sambil memicingkan matanya. Mencoba membaca tulisan di layar ponsel tersebut tanpa kacamata. Kemampuan melihat Indra memang menurut secara drastis sejak ia mulai sering menghabiskan waktunya didepan televisi.Pekerjaan yang sering tidak menentu me
“Aku mau ngomong penting” ucap Sani ketika pintu rumah terbuka. Ia menarik nafas dan mengangkat kepalanya, membuatnya dapat melihat sosok yang berada di balik pintu. Di balik pintu rumah sederhana tersebut, lelaki yang berada pada usia pertengahan 40an itu nampak kaget dengan kehadiran tamunya. Wajahnya yang nampak lelah terkena pantulan sinar lampu yang membuatnya terlihat lebih tua. “Masuk” sahutnya singkat. Mempersilahkan mantan istrinya untuk memasuki rumahnya. Sani masuk dan menatap ke sekeliling rumah, mengamati detail rumah yang sedang ia kunjungi. Meskipun kecil, namun rumah tersebut nampak sangat rapi dan bersih. Furnitur-furnitur model tua terlihat ditata dengan rapi dan di cat ulang sehingga nampak baru. Lantainya juga sangat bersih tanpa noda meskipun bukan keramik. Matanya tertuju pada foto-foto yang ada di tembok. “Hah, kamu masih simpan, Ndra?” ia terkaget ketika menatap salah satu foto yang menampakkan dirinya sedang menggendong Nadia ketik
Nadia membolak-balik buku menu di hadapannya, tidak bisa menentukan pilihannya. “Yang Charcutelie itu apa sih?” ucapnya sambil menunjuk sub-menu di depannya. “Mana kutau, aku cuma tau crepes dan pasta doang” Jean terkekeh “Ini Restoran Perancis ya?” Nadia menatap layar ponselnya, mencari informasi tentang tempat yang mereka datangi. Mereka kemudian sibuk mencari menu makanan tersebut pada mesin pencari, berharap mendapatkan makanan yang akan mereka suka. “Aku mau beli Spaghetti aja deh” Jean menunjuk pada buku menunya. Membuat Nadia menatapnya tajam. Jean mengangkat bahunya, menatap Nadia dengan tatapan bingung. “Cari yang lain lah, Spaghetti doang aku mah sering bikin di tempat kerja aku” sahut Nadia meledek “Aku mau pesen ini ah” ia menunjukkan tulisan ‘Prime beef rib eye steak’ “Steak doang kamu kan juga sering bikin” Jean balas meledek Nadia menjulurkan lidahnya. “Biarin wlee,
“Aneh banget. Selama ini emang kamu ga ngerasa ada yang aneh sama dia?” Jean mengernyitkan dahinya, wajahnya nampak ragu. Ia mempertimbangkan apakah akan mengungkapkan kekhaawatirannya tentang Alena atau tidak. Bagaimanapun juga Alena adalah teman baik Nadia. Selama pacaran Nadia tidak pernah komplain mengenai Alena. “Aneh sih awalnya, tapi lama-lama biasa aja. Karena dia kan temen aku yaaang” Jauh di lubuk hatinya Nadia merasa aneh juga. Apalagi dari cara Alena berbicara malam ini yang membuatnya merinding. Tatapan matanya, nada suaranya, sentuhannya terasa bukan untuk seorang teman. “Apa jangan-jangan Alena naksir aku ya?” Ia menatap ke arah Jean dengan tatapan serius. Jean menatap Nadia lalu mengangguk mantap. “Aku rasa juga gitu” Nadia menghebuskan nafas berat, menunduk lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia memijat dahinya, seolah-olah itu akan membantunya menemukan jawaban. Ia bukanlah pembenci kaum LGBT tapi dia belum pernah merasakan pengal
Secara tiba-tiba Alena menarik tangan Nadia dan meletakkannya di dadanya. Ia menatap Nadia dengan tatapan serius. Suasana pun seketika berubah menjadi canggung. “Kamu tau kan aku sayang kamu?” ucapnya datar.Nadia hanya mengangguk. Jantungnya berdebar-debar tak karuan, badannya merinding. Entah kenapa Alena kelihatan tak normal. Nadia merasa tak nyaman, “Yaudah aku mandi dulu ya” dengan grogi Nadia langsung masuk ke kamar mandi, diikuti tatapan mata Jean yang melihat punggungnya.*** “Bu.. Nadia masih belum pulang ya?” suara Ilham yang lembut mengalihkan perhatian Sani. Entah sudah keberapa kali pelanggan harus menegurnya dahulu kalau hendak membayar, karena pikiran Sani teralihkan ke hal lain.Hampir seminggu Nadia pergi dan belum kembali, tentunya membuat Sani bingung tujuh kelililing. Ia sudah mulai merasa bersalah, namun bingung bagaimana cara memulai pembicaraan. Apalagi mimpi aneh tentang masa lalu yang ia alami masih juga menghantui pikiranny
Cahaya matahari menusuk mata, membangunkan Nadia yang kelelahan. Semalaman ia menangisi kehidupannya yang menyebalkan. Kecantikan adalah segalanya bagi sebagian orang tapi baginya? Itu adalah kutukan.Nadia meraih gelas air yang tersedia di sisi mejanya. Di bawah gelas, ada secarik kertas yang menarik perhatiannya. Ia meraihnya dan membaca pesan yang tertera disitu:“Nadia sayang,I’ll always be there for you, don’t miss me, I only gone for awhile. I Love You. See You Soon 😊”Senyumnya merekah, setidaknya aku punya pacar seperti Jean, batinnya senang. Ia meletakkan kertas catatan itu di dadanya, menutup kembali mata yang terasa lelah. Ketika tiba-tiba ia mendengar bunyi bel nyaring dari kamarnya. Nadia terkejut, ia segera berjalan menuju pintu kamar hotel dan mengintip melalui door viewer.Ia makin terkejut saat melihat sosok perempuan muda berwajah cantik yang berdiri di depan pintu. Seketika ia membuka pintu tersebut dan memekik senang. “Alena!!!” ia langsung memeluk sa
Sani terbangun dari tidurnya ketika jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Sebagai seorang pemilik warung yang memasak segala makanannya sendiri, ia biasa bangun pukul setengah 3 pagi. Namun kali ini terasa berbeda karena tidak ada Nadia dirumah. Biasanya, setelah bangun tidur ia akan curi-curi pandang ke kamar Nadia, menatap imutnya wajah tidur anaknya dari balik pintu. Kepala Sani pusing, obat tidur yang ada diatas meja menjelaskan semuanya. Saking pusingnya ia sampai minum obat tidur. Padahal selama ini ia paling anti minum obat karena tidak mau ketergantungan. “Apa Nadia nggak kepikiran aku ya?” gumamnya. Ia memejamkan matanya mencoba untuk kembali tidur.Namun bayang-bayang Nadia terus menghantui. Sebagai seorang ibu ia khawatir juga.Sani segera meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung mencari kontak Nadia.&nb
“Bu, Nadia ini rajin lho bu. Gak pernah telat sama sekali” Aryo menghela nafas lega setelah berhasil mengatakan kata tersebut. Ketika melihat wajah bosnya yang galak dan tegas, kemarahannya berubah menjadi rasa cemas dan takut. Bukan takut dimarahi, tetapi ia takut kehilangan pekerjaannya.Tatapan galak dan bengis dari bosnya seolah-olah mengisyaratkan bahwa ia bisa saja dipecat detik ini juga. “Kamu mau belain dia? Kamu mau bilang kalau saya ngomong asal?” suara bos meninggi. Ia mengalihkan pandangannya dari Nadia dan berjalan mendekati Aryo. Matanya melotot dan jarinya menunjuk kearah cucian piring yang menumpuk. “Mendingan kamu cuci deh itu piring!” suaranya melengking tajam. Bos kembali menat
“Makan dulu yang” ucapnya sambil mengambil kotak makanannya sendiri.Nadia mengangguk, rasa lapar yang menyerbu membuatnya langsung memakan makanan di depannya. Aroma bebek bakar lengkap dengan lalapannya menggungah gairah makan Nadia. Bebek bakar adalah makanan favoritnya sejak kecil, ia sedikit terharu akan betapa romantis nya Jean dapat mengingat menu kesukaannya meskipun ia tidak pernah mengatakannya secara langsung. “Sialan!!” Nadia tersentak. Ia membelalakkan matanya dan langsung melompat dari kasur. Kotak makanannya sampai tersentak dan makanan tumpah sedikit ke kasur. Jean dengan sabar dan sigap membersihkannya dengan tisu. Di tengah enaknya makan, Nadia baru ingat bahwa ia memiliki jadwal kerja sampingan malam ini. Sebenarnya, setiap Senin Nadia harusnya libur. Namun ia harus datang