Setelah Firman pergi ke kantor, Winda kelabakan mengurus dua bocah yang berlarian. Fira mengejar minannya yang di bawa oleh Farhan.
“Duh, gimana ini? Mereka terus berlarian dan tidak mau mendengarkanku. Ish Firman, anakmu ini.“ ia mendengus kesal.“Aku yakin, ibu mereka juga sama menyebalkan, makanya melahirkan anak yang menyebalkan juga.” gumamnya, tanpa di sadari Winda telah membicarakan dirinya sendiri.“Hei, bisa tidak kalian jangan berlarian, nanti jatuh. Bisa-bisa aku yang di marahi ayahmu.”Dan, baru saja Winda mengatakannya. Fira terjatuh, dia menangis.“Tuh 'kan, apa Tante bilang? Jangan berlarian nanti jatuh, jatuh kan?!” ujarnya.“Mama~~” Fira menangis.Entah mengapa Winda merasa iba. Padahal sebelumnya dia merasa kesal. Winda mendekat kemudian langsung menggendongnya.“Sudah jangan menangis,” tiba-tiba saja perasaannya menghangat saat menatap wajah Fira, sangat mirip dengan Firman. Dia juga melihat k“Itu dulu, sekarang kau istriku,” ujar Firman dengan sudut bibir terangkat. Winda menatapnya takut.Bugh!“Aw!” Firman memekik, kesakitan saat Winda menendang senjatanya.“Makanya jangan berani macam-macam padaku!” ketusnya, dia segera duduk dan mengusap bibirnya yang sedikit basah.“Aw, sakit!” Firman meringis memegangi sel4ngkanganya.“Iyu akibatnya berani kurang ajar. Meskipun sekarang aku adalah istrimu, bukan berarti kamu bisa seenaknya. Kamu tidak boleh menyentuh, tanpa seizin ku, paham?!”Firman tak menjawab, dia masih meringis kesakitan di atas ranjang. Melihat itu Winda menjadi khawatir, padahal sebelumnya dia sangat merasa puas.“Fi—Firman, kau tidak apa-apa?”“Aw, sakit sekali.” gumamnya.“Ma—mana yang sakit.”“Tentu saja yang ini. Kamu harus tanggung jawab! Kamu harus mengobatinya, Winda.”“Bagaimana caranya?” Winda merasa risih, dia melihat ke arah celana Firman.
BRAK!Winda yang tengah berbaring terkejut saat pintu kamarnya di buka secara paksa, dia menatap tajam seseorang yang berdiri di sana.“Firman!” Winda segera terduduk, dia langsung menutupi pahanya yang terekspos. piyama yang ia kenakan tersingkap. Winda segera berdiri.“Mau apa kau kemari? Apa kau tidak punya sopan santun? Membuka pintu, tanpa mengetuknya lebih dulu?!” Winda berdecak kesal.Dengan tergesa Firman berjalan mendekat. Dia menarik tangan Winda dengan paksa.“Aw, sakit, lepaskan!”“Apa yang kau katakan pada Farhan? Sehingga bocah laki-laki itu menangis? Hah!” wajah Firman terlihat memerah, rahangnya mengeras, apa yang Winda lakukan kali ini benar-benar membuatnya marah. “Memangnya apa yang dia adukan tentang diriku?” Winda tak kalah sengit menatap Firman.“Mengapa kau mendorongnya hingga dia terjatuh? Kau tahu, lututnya berdarah?!”Winda gelagapan, dia membuang pandangan ke arah lain.
Setelah selesai mandi dan berpakaian lengkap. Winda segera turun ke bawah. Dia meringis sambil memegangi perutnya yang sudah keroncongan meminta untuk segera di isi.Di sana sudah ada Firman dan kedua anaknya, Fira dan Farhan. Winda merasa canggung. Dia menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Kemudian dengan ragu-ragu berjalan mendekat.Firman menatapnya, kemudian beralih mengambilkan telur mata sapi untuk Farhan.“Hai, Mama ....” sapa Fira dengan riangnya. Sedangkan Farhan hanya melirik sekilas.Winda duduk di samping Farhan, sedangkan Fira duduk bersampingan dengan Firman. Winda berniat untuk meminta maaf atas kejadian kemarin. “Selamat pagi Farhan?” sapanya saat sudah duduk di sana.Farhan hanya menoleh sekilas, kemudian turun dari kursi.“Papa, aku sudah kenyang.” ujarnya, kemudian berlari kecil menuju kamarnya.“Hei, makanan mu belum habis? Farhan ....” teriaknya.Senyum di wajah Winda memudar. Dia tidak menyangka Farhan semarah itu. Apa mungkin dirinya benar-benar ketergan
Pagi hari ....Firman terbangun saat mencium aroma masakan yang sangat lezat. Aroma yang sangat ia rindukan. “Siapa yang masak pagi-pagi begini?” gumamnya.Firman terheran, sebab ia tak pernah menyuruh asisten rumah tangganya itu untuk memasak. Selama ini Winda lah yang menyiapkan untuk urusan perutnya dan anak-anak.“Ahh ... Aku harus melihat nya.”Firman bergegas bangun dari sofa. Meregangkan badan. Tubuhnya terasa lelah. Tidur di sofa terus menerus membuat badannya terasa pegal-pegal. Dia melangkahkan kaki menuju dapur berada.Di dapur, Firman berdiri di depan pintu. Sejenak ia tertegun melihat sang istri tengah berkutat dengan peralatan dapur. Senyum di bibirnya mengembang. Pemandangan pagi ini membuat matanya segar.Winda yang menyadari kehadiran Firman menoleh, “Selamat pagi ....” ucapnya.Firman merasa tak percaya, apakah istrinya itu telah kembali? Jika iya, dia sangat bersyukur.“Sa—sayang ....” gumamnya, Firman melangkahkan kaki mendekati Winda di sana.“Kenapa? Kok kaget,
Senyum di wajah Delia mendadak pudar, dia merasa kesal melihat pemandangan di depan mata.Delia segera membuang pandangan ke arah lain. Pemandangan di depannya membuat Delia merasa cemburu.“Maaf, Firman.”“Tidak apa-apa, pergilah, nanti aku akan menyusul.”Mendengar kata menyusul, membuat Winda merasa bergidik. Dia terus mengingat belelai Firman. Winda segera menggelengkan kepala. Tak mau berpikiran ke sana.Delia bernapas lega, saat melihat Winda berjalan menjauh. Membiarkan dirinya berduaan dengan Firman.Delia mengulum senyum saat melirik Firman. Sayangnya pria itu malah fokus pada kedua anaknya.“Em, Firman. Apa kamu ada jadwal meeting besok?”Firman menoleh, berpikir sebentar, kemudian menggeleng,“Hemm tidak ada, memangnya kenapa?”“Syukurlah. Aku ingin membahas sesuatu sama kamu besok. Jika kamu tidak keberatan, meja makan siang aku akan datang ke perusahaan tempat kamu bekerja.” Firman mengernyitkan kening. Apa yang hendak Delia bahas?“Membahas apa maksudmu?”“Ah, jangan sal
‘Apa ini? Perasaan macam apa ini?’ batin Winda.Winda mengalihkan pandangan ke arah lain. Menghindari tatapan Firman yang terus memandang dirinya. “Hmm, ayok, makan.” ucap Firman, Winda langsung menoleh, kemudian mengangguk.Mereka makan malam bersama, Winda terus mencuri-curi pandang ke arah Firman. Saat Firman menatap balik dirinya, dia segera menatap cicak yang menempel di dinding.“Hihihihihi ....” Firman terkikik, ada-ada saja kelakuan wanita yang telah ia nikahi selama lima tahun itu.Winda makan dengan sangat lahap. Dia benar-benar lapar sehingga tidak bisa tidur dengan nyenyak. Beruntung Firman juga merasakan hal yang sama, lapar!Melihat Winda yang makan dengan terburu-buru. Membuat Firman mengulum senyum, ada noda saus di bibir Winda.“Mbak, ada saus di bibir mu.” ucapnya.Winda langsung terhenyak. Dia berusaha membersihkan mulutnya. Namun, noda itu masih ada.Firman segera mengulurkan tangan membersihkan noda di bibir Winda. Sejenak tatapan mereka beradu. Jari jempol Firma
Delia tertawa sambil memainkan laptop, “Lihat Firman. Aku kurang paham yang bagian ini. Apa kamu bisa mengajariku dan apa ada saran lain darimu?” Delia terus bicara. Sedangkan Firman hanya fokus pada bibirnya.Suasana semakin terasa panas, Firman mulai melepas jaz kerjanya. Lalu membuka dua kancing bagian depan untuk mengurangi rasa panas di tu buhnya.“Firman hei, kau kenapa?” Delia menyentuh pahanya. Membuat Firman terhenyak sesuatu di bawah sana semakin tak bisa di kendalikan. Sentuhan itu kini semakin terasa. Firman menghembuskan napas kasar, ia menginginkan hal lebih dari ini.Melihat Firman yang gelisah, dengan deru napas nya yang tidak beraturan, membuat Delia tersenyum. Rencananya telah berhasil.“Apa kamu merasa gerah, sama aku juga. Sepertinya akan datang hujan.” Delia melepas blazer yang ia kenakan sejak tadi memperlihatkan bahunya yang mulus.Firman yang terbakar gairah. Mulai tak tenang, ada sesuatu yang harus dia tuntaskan.Ia segera bangun dari sofa. Namun matanya masi
“Ya, aku percaya, sangat percaya padamu sayang.” bisik Firman dengan lembut. Membuat darah Winda berdesir.Firman mendekat, menaruh dagunya di bahu Winda. Membuat wanita itu menjadi gugup. Firman menghirup aroma shampoo yang di pakai Winda. Selalu manis, sama seperti awal mereka dekat. Shampoo beraroma strawberry yang membuat Firman jadi bertekuk lutut padanya.“Fi—Firman ....” suara Winda terdengar lirih. Dia bertopang pada sisi lemari. Selimut yang melekat di tubuh Firman jatuh sehingga belalai itu langsung menyentuh paha Winda yang mu lus. Berdiri tegak begitu gagahnya. Napas Winda memburu saat Firman mencium tengkuknya.“Firman, a—aku ....” Winda tergagap.“Sudhalah, semalam kamu sangat menikmatinya.”Ya, memang Winda akui semalam dia sangat menikmati permainan Firman di atas r@njang. Tapi bukan itu yang ingin dia sampaikan tadi.Winda bergeming menatap ke arah lain. Firman memeluknya dengan erat. Setidaknya Winda hanya lupa, bukan menolaknya.“Ayolah sayang, kita ulangi permainan
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu ... Aku dan anak-anak terus mencoba untuk menghibur Winda. Jangan sampai dia sedih dan terus memikirkan Farah. Ternyata, tidak ada usaha yang menghianati hasil. Winda yang tadinya menangisi Farah setiap malam. Kini sedikit berkurang. Hari ini adalah hari jadi pernikahan kami yg ke 6 tahun, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Aku berencana mengajaknya liburan di bali sekaligus merayakan anniversary kami. Anak-anak sengaja kutitipkan pada Kak Santi selama aku liburan di bali.Kami sampai di resort Bali setelah sebelumnya naik pesawat selama 2 jam. Winda langsung merebahkan diri di kamar hotel. Aku tau dia pasti kelelahan.Setelah memasukan isi koper ke dalam lemari, aku langsung membuka tirai jendela. Terlihat deburan ombak yang sangat kencang di sertai dengan pemandangan yang sangat cantik. Aku sengaja memilih resort yang menghadap langsung dengan laut. Jadi, saat berdiri di jendela seperti yang kulakukan i
“Bagaimana? Apa ada perkembangan?” itu suara Kak Santi. Aku segera menoleh ke arah nya. Kemudian menggeleng, “Belum, Winda masih belum sadar.” jawabku. Aku menatap ke arah ranjang di mana ada Winda yang tengah berbaring dengan luka perban di kepalanya. Kejadian dua hari yang lalu membuatnya tak berdaya di rumah sakit ini. “Anak-anak bagaimana, mereka sama siapa?” Aku menghela napas sejenak, “Bersama asisten rumah tangga kami.” “Kakak ke rumahmu ya, kasian keponakanku. Dua kali ibu mereka masuk rumah sakit.” Aku mengangguk,“Terima kasih, Kak.” “Ya sudah. Kakak pamit ingin menemui mereka. kamu jangan terus bersedih, doakan saja istrimu cepat pulih.“ “Oh iya, bagaimana dengan pelaku yang menyebabkan Winda begini?” “Aku sudah melaporkannya kepada pihak berwajib, biarkan mereka yang mengurusnya.” Kak Santi tersenyum, “Aku tau, adikku tau apa yang harus di lakukan.”
POV Firman Aku baru saja sampai di kantor. Berbarengan dengan aku masuk ke dalam loby, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Aku segera mengangkatnya karena itu berasa dari rumah. Aku sangat takut terjadi sesuatu di rumah. Apalagi itu menyangkut Winda. Kondisi nya masih belum stabil. “Halo, Bibik. Ada apa?” “Halo, Pak. Ibu ... Ibu ....” “Ada apa? Bicara yang jelas?! Winda kenapa?” bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan, aku benar-benar merasa khawatir. “Ada apa dengan Winda?” “Tadi Ibu pamit keluar sebentar katanya, dia membawa tas.” Ah, aku meraup wajah kasar. “Sudah kuduga, dia pasti akan berpergian. Harusnya aku tetap di rumah.” Aku menyesal. Kupikir memang benar Winda hanya per
Pagi hari .... Firman membuka matanya perlahan. Kepala yang semalam terasa berat, kini menghilang perlahan. Meskipun dia demam tinggi semalam, tapi dia ingat semalam Winda mengompres dirinya. Firman pikir Winda percaya pada ucapan seseorang yang mengatakan dirinya adalah penyebab kematian Hendra—kakaknya sendiri. Ternyata wanita itu masih perduli padanya. Firman mengulum senyum. Dia menoleh ke samping. Kosong! Winda tidak ada di sana. Entah semalam istrinya itu tidur di mana dia tidak tau. Sebab, setelah minum obat matanya terasa berat. Dia tertidur dan baru bangun sekarang. Firman menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Dia harus segera pergi ke kantor. Hari ini ada jadwal meeting pagi. Sebagai manager yang disiplin tentu saja Firman tidak ingin telat. Meskipun tubunya masih terasa tidak enak. Namun, semangatnya tidak berkurang sedikitpun. Ada wajah Fira dan Farhan, yang menjadi semangatnya ketika rasa malas itu datang. D
Setelah itu Winda mendekat ke arah Firman duduk di sampingnya, dia menatap muka wajah yang tengah terlelap. Wajah yang sangat teduh, tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang saat menatapnya. Winda menyentuh dadanya sendiri. Deg Deg Deg!Benar, jantungnya berdebar-debar. Padahal Firman Tengah tertidur.“Perasaan apa ini? Apakah aku jatuh cinta pada Firman?”“Ah, sudahlah. Jika memang iya, bukankah tidak apa-apa. Toh, dia suamiku.” Winda mengulum senyum.Senyum di wajah Winda pudar saat melihat bibir Firman bergetar.“A—aku tidak melakukan apapun, Win. Tidak ...” gumam Firman dengan mata yang masih terpejam.Winda langsung menyentuh keningnya.“Sshh, panas!”“Ternyata Firman demam, pantas saja dia tidak turun untuk makan malam.”Winda segera bangun dari ranjang. Kemudian keluar dari kamar. Dia mengambil sesuatu kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Sambil membawa bak berisi air hangat dan juga
Firman pulang setengah jam kemudian. Setelah menyelesaikan permasalahannya di kantor. Dia segera memarkirkan mobilnya ke garasi. Sebelumnya, dia sudah mendapatkan kabar dari asisten rumah tangganya bahwa Winda sudah pulang.Dengan tergesa dia segera masuk ke dalam rumah. Terlihat Winda tengah duduk di sofa, dengan tangan bersedekap dada. Pandangannya tajam lurus ke depan.Firman tersenyum kemudian berjalan perlahan ke arah nya.“Sayang kamu dari mana saja,” ujarnya saat sudah dekat. Firman duduk di samping Winda. Jarak di antara mereka hanya satu jengkal saja.Winda melirik tajam ke arah Firman. Pria di sampingnya tanpa aba-aba langsung merangkul pundak nya.“Sejak tadi aku mencarimu. Kamu membuatku khawatir, tapi syukurlah kamu sudah pulang.”“Sayang ...”“Berhenti memanggilku dengan sebutan sayang, Firman!” Winda menepis kasar tangan Firman.“Ka—kamu kenapa?”“Aku sudah tau apa yang telah kamu lakukan
Pintu ruangan terbuka membuat keduanya terkejut. Delia dan Firman menoleh ke arah sumber suara.Terlihat seorang Office boy datang membawa ember dan kain pel. Dia terkejut melihat Firman yang sedang berada di sana. Berdebat dengan seorang wanita. Wanita yang tentu saja bukan pegawai di sana.“Ma—maaf, Pak. Saya kira bapak tidak masuk hari ini. Sebelumnya saya di tugaskan untuk membersihkan ruangan bapak.” ujar sang office boy dengan wajah menunduk, takut. Dia takut di pecat karena kelancangannya ini.Namun, Firman malah bersyukur. Adanya dia di sana akan membebaskan dirinya dari Delia. Wanita tidak war4s yang ingin menjadi madunya.“Tidak apa-apa, masuk lah. Kau juga tidak lama kan?”“I—iya, Pak.”Delia menghela napas. Dia membuang pandangan ke arah lain. Kedatangan Office boy di sana mengganggu saja.Firman menatap ke arah Delia kembali. Terlihat wajah wanita itu seperti kesal.“Delia, pergilah. Aku harus bekerja.” pinta Firman. “Firman, ku mohon ... Jadikan aku istri keduamu.”“A
“Ya, aku percaya, sangat percaya padamu sayang.” bisik Firman dengan lembut. Membuat darah Winda berdesir.Firman mendekat, menaruh dagunya di bahu Winda. Membuat wanita itu menjadi gugup. Firman menghirup aroma shampoo yang di pakai Winda. Selalu manis, sama seperti awal mereka dekat. Shampoo beraroma strawberry yang membuat Firman jadi bertekuk lutut padanya.“Fi—Firman ....” suara Winda terdengar lirih. Dia bertopang pada sisi lemari. Selimut yang melekat di tubuh Firman jatuh sehingga belalai itu langsung menyentuh paha Winda yang mu lus. Berdiri tegak begitu gagahnya. Napas Winda memburu saat Firman mencium tengkuknya.“Firman, a—aku ....” Winda tergagap.“Sudhalah, semalam kamu sangat menikmatinya.”Ya, memang Winda akui semalam dia sangat menikmati permainan Firman di atas r@njang. Tapi bukan itu yang ingin dia sampaikan tadi.Winda bergeming menatap ke arah lain. Firman memeluknya dengan erat. Setidaknya Winda hanya lupa, bukan menolaknya.“Ayolah sayang, kita ulangi permainan
Delia tertawa sambil memainkan laptop, “Lihat Firman. Aku kurang paham yang bagian ini. Apa kamu bisa mengajariku dan apa ada saran lain darimu?” Delia terus bicara. Sedangkan Firman hanya fokus pada bibirnya.Suasana semakin terasa panas, Firman mulai melepas jaz kerjanya. Lalu membuka dua kancing bagian depan untuk mengurangi rasa panas di tu buhnya.“Firman hei, kau kenapa?” Delia menyentuh pahanya. Membuat Firman terhenyak sesuatu di bawah sana semakin tak bisa di kendalikan. Sentuhan itu kini semakin terasa. Firman menghembuskan napas kasar, ia menginginkan hal lebih dari ini.Melihat Firman yang gelisah, dengan deru napas nya yang tidak beraturan, membuat Delia tersenyum. Rencananya telah berhasil.“Apa kamu merasa gerah, sama aku juga. Sepertinya akan datang hujan.” Delia melepas blazer yang ia kenakan sejak tadi memperlihatkan bahunya yang mulus.Firman yang terbakar gairah. Mulai tak tenang, ada sesuatu yang harus dia tuntaskan.Ia segera bangun dari sofa. Namun matanya masi