"Firmaaaan!" Aku terduduk, napasku tersengal. Aku mimpi buruk tentang Firman. Aku melirik ke arah jam di dinding menunjukkan pukul 4 sore.Tok tok tok!Aku mendesah pelan, "Ah, siapa lagi ini."Dengan mata yang masih mengantuk berat aku berjalan ke arah pintu.Mataku yang memang mengantuk berat terbuka sedikit, "Firman!" gumamku dalam hati.Terlihat Firman tersenyum sambil bersandar di pintu, dengan sebelah tangan menopang kepalanya."Selamat sore, Mbak Winda." sapanya, masih dengan tersenyum. Kemudian mengedipkan sebelah matanya."Tidak, tidak! Aku pasti masih bermimpi. Ini pasti mimpi lanjutan. Aku yakin itu, sudah lama aku tidak pernah bertemu dengan Firman, jadi mana mungkin Firman datang ke rumahku!" gumamku lagi.Aku mengabaikannya, kemudian masuk ke dalam. Aku menguap kembali, aku merbahkan tubuh kembali di ranjang berharap segera bangun."Bisa, bisanya aku bermimpi bertemu Firman." Aku memejamkan mata kembali."Hi hi hi hi, fffttthh!" Aku mempertajam indra pendengaran. Suara s
Menjadi janda ternyata tidak enak rasanya, para tetangga baruku mulai terlihat sinis. Bahkan ada yang mengataiku sebagai janda gat*l, sebab suaminya selalu menggodaku. Aku merasa tidak nyaman, selalu menjadi bahan gunjingan mereka. Selama 3 hari ini aku berpikir keras untuk menerima lamaran Firman. Kurasa sudah waktunya, aku juga tidak dapat membohongi perasaanku. Ingin selalu dekat dengan Firman. Bahkan setiap malam, aku tak bisa tidur memikirkannya.Sore hari, Firman datang ke rumahku. Dia menanyakan perihal lamarannya tempo lalu. Aku mengiyakannya. Aku menerima lamarannya. Firman terlihat senang, dia langsung memelukku.Seminggu kemudian pesta sederhana tergelar, sesuai dengan keinginanku meminta pesta yang biasa saja. Untung saja para tetanggaku tidak tau jika Firman adalah adik dari mendiang mantan suamiku. Jadi aku tak terlalu malu.Firman menatapku tak berkedip saat memakai kebaya putih, dengan rambut di sanggul. Tak lupa juga menggunakan make up tipis-tipis agar tak nampak ku
Aku begitu kewalahan mengurus si kembar tanpa pengasuh. Terkadang yang satu menangis yang satunya juga ikut menangis. Satu tidur yang satunya juga ikut tertidur. Mungkin memang karena mereka kembar jadi ... Semuanya harus sama.Oekkk .... Oekk... Oekkk..."Duh, kenapa menangis semua," lirihku.Aku sedang menenangkan Fira, dan tak lama kemudian Farah juga ikut menangis."Mas, Mas Firman!" teriakku memanggil suamiku.Tak berselang lama Firman datang sambil menggendong putra sulung kami.Namun ada yang membuatku geli, yaitu diapers yang berada di kepala keduanya."Ada apa sayang?" ujarnya menghampiriku."Fira dan Farah menangis terus sejak tadi, aku tidak bisa menenangkan mereka. Itu kamu, kenapa memakai diapers di kepala?" Aku menahan tawa."Kami sedang bermain."Oekk.... Oekk...Firman menurunkan Farhan yang berada dalam gendongannya, "Sayang, tunggu sebenta ya, Ayah mau gendong adik kamu dulu." ujarnya.Farhan mengangguk, untung saja putra sulungku itu sangat penurut."Sini, Fira biar
POV Author Lima tahun berlalu ...Pernikahan firman dan Winda sudah terbilang bahagia. Dengan ketiga anak-anak mereka. Farhan si sulung, dan juga si kembar Fira dan Farah.“Hei, jangan bertengkar!” teriak Winda kelimpungan, melihat kedua anak perempuannya berebut sebuah boneka.Fira dan Farah terkejut mendengar teriakan yang menggema, bocah lima tahun itu mendekat ke arah Firman yang tengah bersantai di sofa.“Papa, Fira takut, Mama serem.” ujar bocah kecil itu sambil menyentuh lengan Firman.Winda menatap sinis, pasti mereka akan mengadu pada ayahnya.“Papa, Farah juga takut.” lirih Farah ikut menimpali.Firman menggendong keduanya, mendudukkannya di paha kanan dan kirinya.“Siapa yang seram?” tanya Firman. Winda yang tak jauh dari sana mencebik. Firman melirik sekilas ke arah istrinya, kemudian beralih menatap Fira dan Farah bergantian.“Mama!” seru keduanya.“Jadi, Mama seram begitu?” tanya Firman tatapan mata lekat ke arah mereka, dia menanyai putrinya dengan sangat serius.“Iya,
“Tidaaaaaak!” teriakannya menggema di seluruh ruangan.Tangan Firman bergetar ketikan menyentuh penutup kain berwarna putih tersebut. Dia membukanya secara perlahan. Firman meremas kain tersebut, saat sosok mungil wajah putrinya terlihat, pucat dan kaku.“Tidak!“ Firman menggeleng pelan.Firman menepuk pelan wajah yang dingin itu, “Farah, bangun sayang. Farah, ini Papa ....” lirihnya, hatinya terasa remuk. Tak sanggup harus kehilangan salah satu anaknya.“Farah, jangan tinggalkan Papa ....” Firman memeluk erat tubuh mungil Farah.“Pak, tolong ikhlaskan putrimu. Biarkan kami membersikan jenazahnya.” ujar seorang perawat.“Tolong tabahkan hati anda, ini semua sudah takdir. Kami sudah berusaha untuk menyelamatkannya tapi .....”“Tidak! Jangan bawa putriku kemanapun. Dia masih hidup.” Firman menggeleng, matanya memerah, wajahnya terlihat kacau. Dia masih tak terima bila harus kehilangan Farah, bocah kecil yang lebih manja, dari anak-anaknya yang lain.“Farah ayo bangun sayang.” Kali ini F
Firman terbangun saat cahaya matahari masuk melalui ventilasi jendela. Dia meregangkan badan kemudian mengucek matanya. Yang pertama kali dia lihat adalah wajah Winda yang masih terpejam. Padahal dokter mengatakan, luka di kepalanya ringan. Kenapa sampai saat itu Winda tak kunjung bangun? Batin Firman berkecamuk.Dia mendekatkan wajah nya pada Winda, berbisik pelan di telinga nya, “Cepat bangun sayang ....” kemudian mengecup pelan pipi itu.Firman tersenyum lirih, dadanya terasa sesak kembali. Namun, dia mencoba untuk menahannya.Tak berselang lama, dering ponselnya berbunyi. Firman segera mengambilnya yang tergeletak di atas meja. Dia melihat nama yang tertera di layar, sepertinya itu telepon dari rumah.Firman segera mengangkat telepon itu, kemudian berbicara pada seseorang ditelepon. “Halo ....”“Papa, papa di mana? Kapan pulang? Mama juga kapan pulang.” terdengar suara si sulung Farhan dari seberang telepon, pertanyaannya membuat hati Firman teriris.“Sebentar lagi Papa akan pula
“Gadis itu tidak bisa berjalan, dia juga bisu. Tolong pikirkan kembali keputusanmu. Aku akan mengganti semua kerugian, dan biaya rumah sakit, tetapi jika untuk nyawa .... Maaf aku tidak bisa, aku bukan Tuhan.”Firman bimbang, di satu sisi dia ingin mendapat keadilan. Di sisi lain, melihat gadis tersebut membuatnya iba. Firman menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Bagaimana-pun kecelakaan kemarin adalah takdir, kematian putrinya juga takdir, tapi merenggut kasih sayang seorang ayah dari putrinya, mengambil satu-satu nya orang yang di miliki gadis itu, adalah tindakan tidak manusiawi juga.Dengan berat hati Firman menoleh ke arah Delia.“Bagaimana keputusan mu? Jika memang kamu masih ingin memenjarakan dia, silahkan, aku sudah berusaha.”Firman melirik ke arah ayah dan anak tersebut, kemudian pandangannya beralih pada Delia.“Baiklah, aku memaafkannya. Lain kali jangan sampai lalai, cukup aku saja yang merasakan kehilangan anak. Jangan sampai hal ini terjadi lagi pad
Firman bergeming, jika Delia mau dia bisa memesan taksi. Kenapa harus menumpang pada dirinya?“Baiklah,” dengan berat hati Firman mengiyakan.“Maaf, aku merepotkan mu.” lirih Delia.Firman tersenyum simpul, “Nggak apa-apa, santai saja.”Delia mengekori Firman menuju mobilnya, dia tersenyum saat hendak membuka pintu mobil depan. Namun, “Maaf Delia, di depan untuk Fira dan Farhan, kau bisa duduk di belakang.”Delia terhenyak, “A—apa belakang? Em, ba—baiklah.” ujarnya, kemudian melangkah dengan lesu membuka pintu belakang.‘Aneh!’ batin Firman.Setelah semuanya masuk, Firman segera mengendarai mobilnya. Delia tampak mencebik, dia hanya melihat ke luar jendela. Firman hanya memperhatikan nya dari spion mobil.“Kamu mau pulang ke rumah atau kemana?” tanya Firman kemudian.Seketika Delia tersenyum, dia menoleh, “Pulang ke rumah, jika kamu mau, kamu bisa ajak anak-anak mu bermain di sana. Aku punya halaman rumah yang sangat luas. Tentunya aman untuk anak-anak mu, bagaimana?” ujar Delia. Dia
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu ... Aku dan anak-anak terus mencoba untuk menghibur Winda. Jangan sampai dia sedih dan terus memikirkan Farah. Ternyata, tidak ada usaha yang menghianati hasil. Winda yang tadinya menangisi Farah setiap malam. Kini sedikit berkurang. Hari ini adalah hari jadi pernikahan kami yg ke 6 tahun, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Aku berencana mengajaknya liburan di bali sekaligus merayakan anniversary kami. Anak-anak sengaja kutitipkan pada Kak Santi selama aku liburan di bali.Kami sampai di resort Bali setelah sebelumnya naik pesawat selama 2 jam. Winda langsung merebahkan diri di kamar hotel. Aku tau dia pasti kelelahan.Setelah memasukan isi koper ke dalam lemari, aku langsung membuka tirai jendela. Terlihat deburan ombak yang sangat kencang di sertai dengan pemandangan yang sangat cantik. Aku sengaja memilih resort yang menghadap langsung dengan laut. Jadi, saat berdiri di jendela seperti yang kulakukan i
“Bagaimana? Apa ada perkembangan?” itu suara Kak Santi. Aku segera menoleh ke arah nya. Kemudian menggeleng, “Belum, Winda masih belum sadar.” jawabku. Aku menatap ke arah ranjang di mana ada Winda yang tengah berbaring dengan luka perban di kepalanya. Kejadian dua hari yang lalu membuatnya tak berdaya di rumah sakit ini. “Anak-anak bagaimana, mereka sama siapa?” Aku menghela napas sejenak, “Bersama asisten rumah tangga kami.” “Kakak ke rumahmu ya, kasian keponakanku. Dua kali ibu mereka masuk rumah sakit.” Aku mengangguk,“Terima kasih, Kak.” “Ya sudah. Kakak pamit ingin menemui mereka. kamu jangan terus bersedih, doakan saja istrimu cepat pulih.“ “Oh iya, bagaimana dengan pelaku yang menyebabkan Winda begini?” “Aku sudah melaporkannya kepada pihak berwajib, biarkan mereka yang mengurusnya.” Kak Santi tersenyum, “Aku tau, adikku tau apa yang harus di lakukan.”
POV Firman Aku baru saja sampai di kantor. Berbarengan dengan aku masuk ke dalam loby, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Aku segera mengangkatnya karena itu berasa dari rumah. Aku sangat takut terjadi sesuatu di rumah. Apalagi itu menyangkut Winda. Kondisi nya masih belum stabil. “Halo, Bibik. Ada apa?” “Halo, Pak. Ibu ... Ibu ....” “Ada apa? Bicara yang jelas?! Winda kenapa?” bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan, aku benar-benar merasa khawatir. “Ada apa dengan Winda?” “Tadi Ibu pamit keluar sebentar katanya, dia membawa tas.” Ah, aku meraup wajah kasar. “Sudah kuduga, dia pasti akan berpergian. Harusnya aku tetap di rumah.” Aku menyesal. Kupikir memang benar Winda hanya per
Pagi hari .... Firman membuka matanya perlahan. Kepala yang semalam terasa berat, kini menghilang perlahan. Meskipun dia demam tinggi semalam, tapi dia ingat semalam Winda mengompres dirinya. Firman pikir Winda percaya pada ucapan seseorang yang mengatakan dirinya adalah penyebab kematian Hendra—kakaknya sendiri. Ternyata wanita itu masih perduli padanya. Firman mengulum senyum. Dia menoleh ke samping. Kosong! Winda tidak ada di sana. Entah semalam istrinya itu tidur di mana dia tidak tau. Sebab, setelah minum obat matanya terasa berat. Dia tertidur dan baru bangun sekarang. Firman menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Dia harus segera pergi ke kantor. Hari ini ada jadwal meeting pagi. Sebagai manager yang disiplin tentu saja Firman tidak ingin telat. Meskipun tubunya masih terasa tidak enak. Namun, semangatnya tidak berkurang sedikitpun. Ada wajah Fira dan Farhan, yang menjadi semangatnya ketika rasa malas itu datang. D
Setelah itu Winda mendekat ke arah Firman duduk di sampingnya, dia menatap muka wajah yang tengah terlelap. Wajah yang sangat teduh, tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang saat menatapnya. Winda menyentuh dadanya sendiri. Deg Deg Deg!Benar, jantungnya berdebar-debar. Padahal Firman Tengah tertidur.“Perasaan apa ini? Apakah aku jatuh cinta pada Firman?”“Ah, sudahlah. Jika memang iya, bukankah tidak apa-apa. Toh, dia suamiku.” Winda mengulum senyum.Senyum di wajah Winda pudar saat melihat bibir Firman bergetar.“A—aku tidak melakukan apapun, Win. Tidak ...” gumam Firman dengan mata yang masih terpejam.Winda langsung menyentuh keningnya.“Sshh, panas!”“Ternyata Firman demam, pantas saja dia tidak turun untuk makan malam.”Winda segera bangun dari ranjang. Kemudian keluar dari kamar. Dia mengambil sesuatu kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Sambil membawa bak berisi air hangat dan juga
Firman pulang setengah jam kemudian. Setelah menyelesaikan permasalahannya di kantor. Dia segera memarkirkan mobilnya ke garasi. Sebelumnya, dia sudah mendapatkan kabar dari asisten rumah tangganya bahwa Winda sudah pulang.Dengan tergesa dia segera masuk ke dalam rumah. Terlihat Winda tengah duduk di sofa, dengan tangan bersedekap dada. Pandangannya tajam lurus ke depan.Firman tersenyum kemudian berjalan perlahan ke arah nya.“Sayang kamu dari mana saja,” ujarnya saat sudah dekat. Firman duduk di samping Winda. Jarak di antara mereka hanya satu jengkal saja.Winda melirik tajam ke arah Firman. Pria di sampingnya tanpa aba-aba langsung merangkul pundak nya.“Sejak tadi aku mencarimu. Kamu membuatku khawatir, tapi syukurlah kamu sudah pulang.”“Sayang ...”“Berhenti memanggilku dengan sebutan sayang, Firman!” Winda menepis kasar tangan Firman.“Ka—kamu kenapa?”“Aku sudah tau apa yang telah kamu lakukan
Pintu ruangan terbuka membuat keduanya terkejut. Delia dan Firman menoleh ke arah sumber suara.Terlihat seorang Office boy datang membawa ember dan kain pel. Dia terkejut melihat Firman yang sedang berada di sana. Berdebat dengan seorang wanita. Wanita yang tentu saja bukan pegawai di sana.“Ma—maaf, Pak. Saya kira bapak tidak masuk hari ini. Sebelumnya saya di tugaskan untuk membersihkan ruangan bapak.” ujar sang office boy dengan wajah menunduk, takut. Dia takut di pecat karena kelancangannya ini.Namun, Firman malah bersyukur. Adanya dia di sana akan membebaskan dirinya dari Delia. Wanita tidak war4s yang ingin menjadi madunya.“Tidak apa-apa, masuk lah. Kau juga tidak lama kan?”“I—iya, Pak.”Delia menghela napas. Dia membuang pandangan ke arah lain. Kedatangan Office boy di sana mengganggu saja.Firman menatap ke arah Delia kembali. Terlihat wajah wanita itu seperti kesal.“Delia, pergilah. Aku harus bekerja.” pinta Firman. “Firman, ku mohon ... Jadikan aku istri keduamu.”“A
“Ya, aku percaya, sangat percaya padamu sayang.” bisik Firman dengan lembut. Membuat darah Winda berdesir.Firman mendekat, menaruh dagunya di bahu Winda. Membuat wanita itu menjadi gugup. Firman menghirup aroma shampoo yang di pakai Winda. Selalu manis, sama seperti awal mereka dekat. Shampoo beraroma strawberry yang membuat Firman jadi bertekuk lutut padanya.“Fi—Firman ....” suara Winda terdengar lirih. Dia bertopang pada sisi lemari. Selimut yang melekat di tubuh Firman jatuh sehingga belalai itu langsung menyentuh paha Winda yang mu lus. Berdiri tegak begitu gagahnya. Napas Winda memburu saat Firman mencium tengkuknya.“Firman, a—aku ....” Winda tergagap.“Sudhalah, semalam kamu sangat menikmatinya.”Ya, memang Winda akui semalam dia sangat menikmati permainan Firman di atas r@njang. Tapi bukan itu yang ingin dia sampaikan tadi.Winda bergeming menatap ke arah lain. Firman memeluknya dengan erat. Setidaknya Winda hanya lupa, bukan menolaknya.“Ayolah sayang, kita ulangi permainan
Delia tertawa sambil memainkan laptop, “Lihat Firman. Aku kurang paham yang bagian ini. Apa kamu bisa mengajariku dan apa ada saran lain darimu?” Delia terus bicara. Sedangkan Firman hanya fokus pada bibirnya.Suasana semakin terasa panas, Firman mulai melepas jaz kerjanya. Lalu membuka dua kancing bagian depan untuk mengurangi rasa panas di tu buhnya.“Firman hei, kau kenapa?” Delia menyentuh pahanya. Membuat Firman terhenyak sesuatu di bawah sana semakin tak bisa di kendalikan. Sentuhan itu kini semakin terasa. Firman menghembuskan napas kasar, ia menginginkan hal lebih dari ini.Melihat Firman yang gelisah, dengan deru napas nya yang tidak beraturan, membuat Delia tersenyum. Rencananya telah berhasil.“Apa kamu merasa gerah, sama aku juga. Sepertinya akan datang hujan.” Delia melepas blazer yang ia kenakan sejak tadi memperlihatkan bahunya yang mulus.Firman yang terbakar gairah. Mulai tak tenang, ada sesuatu yang harus dia tuntaskan.Ia segera bangun dari sofa. Namun matanya masi