“Tidaaaaaak!” teriakannya menggema di seluruh ruangan.Tangan Firman bergetar ketikan menyentuh penutup kain berwarna putih tersebut. Dia membukanya secara perlahan. Firman meremas kain tersebut, saat sosok mungil wajah putrinya terlihat, pucat dan kaku.“Tidak!“ Firman menggeleng pelan.Firman menepuk pelan wajah yang dingin itu, “Farah, bangun sayang. Farah, ini Papa ....” lirihnya, hatinya terasa remuk. Tak sanggup harus kehilangan salah satu anaknya.“Farah, jangan tinggalkan Papa ....” Firman memeluk erat tubuh mungil Farah.“Pak, tolong ikhlaskan putrimu. Biarkan kami membersikan jenazahnya.” ujar seorang perawat.“Tolong tabahkan hati anda, ini semua sudah takdir. Kami sudah berusaha untuk menyelamatkannya tapi .....”“Tidak! Jangan bawa putriku kemanapun. Dia masih hidup.” Firman menggeleng, matanya memerah, wajahnya terlihat kacau. Dia masih tak terima bila harus kehilangan Farah, bocah kecil yang lebih manja, dari anak-anaknya yang lain.“Farah ayo bangun sayang.” Kali ini F
Firman terbangun saat cahaya matahari masuk melalui ventilasi jendela. Dia meregangkan badan kemudian mengucek matanya. Yang pertama kali dia lihat adalah wajah Winda yang masih terpejam. Padahal dokter mengatakan, luka di kepalanya ringan. Kenapa sampai saat itu Winda tak kunjung bangun? Batin Firman berkecamuk.Dia mendekatkan wajah nya pada Winda, berbisik pelan di telinga nya, “Cepat bangun sayang ....” kemudian mengecup pelan pipi itu.Firman tersenyum lirih, dadanya terasa sesak kembali. Namun, dia mencoba untuk menahannya.Tak berselang lama, dering ponselnya berbunyi. Firman segera mengambilnya yang tergeletak di atas meja. Dia melihat nama yang tertera di layar, sepertinya itu telepon dari rumah.Firman segera mengangkat telepon itu, kemudian berbicara pada seseorang ditelepon. “Halo ....”“Papa, papa di mana? Kapan pulang? Mama juga kapan pulang.” terdengar suara si sulung Farhan dari seberang telepon, pertanyaannya membuat hati Firman teriris.“Sebentar lagi Papa akan pula
“Gadis itu tidak bisa berjalan, dia juga bisu. Tolong pikirkan kembali keputusanmu. Aku akan mengganti semua kerugian, dan biaya rumah sakit, tetapi jika untuk nyawa .... Maaf aku tidak bisa, aku bukan Tuhan.”Firman bimbang, di satu sisi dia ingin mendapat keadilan. Di sisi lain, melihat gadis tersebut membuatnya iba. Firman menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Bagaimana-pun kecelakaan kemarin adalah takdir, kematian putrinya juga takdir, tapi merenggut kasih sayang seorang ayah dari putrinya, mengambil satu-satu nya orang yang di miliki gadis itu, adalah tindakan tidak manusiawi juga.Dengan berat hati Firman menoleh ke arah Delia.“Bagaimana keputusan mu? Jika memang kamu masih ingin memenjarakan dia, silahkan, aku sudah berusaha.”Firman melirik ke arah ayah dan anak tersebut, kemudian pandangannya beralih pada Delia.“Baiklah, aku memaafkannya. Lain kali jangan sampai lalai, cukup aku saja yang merasakan kehilangan anak. Jangan sampai hal ini terjadi lagi pad
Firman bergeming, jika Delia mau dia bisa memesan taksi. Kenapa harus menumpang pada dirinya?“Baiklah,” dengan berat hati Firman mengiyakan.“Maaf, aku merepotkan mu.” lirih Delia.Firman tersenyum simpul, “Nggak apa-apa, santai saja.”Delia mengekori Firman menuju mobilnya, dia tersenyum saat hendak membuka pintu mobil depan. Namun, “Maaf Delia, di depan untuk Fira dan Farhan, kau bisa duduk di belakang.”Delia terhenyak, “A—apa belakang? Em, ba—baiklah.” ujarnya, kemudian melangkah dengan lesu membuka pintu belakang.‘Aneh!’ batin Firman.Setelah semuanya masuk, Firman segera mengendarai mobilnya. Delia tampak mencebik, dia hanya melihat ke luar jendela. Firman hanya memperhatikan nya dari spion mobil.“Kamu mau pulang ke rumah atau kemana?” tanya Firman kemudian.Seketika Delia tersenyum, dia menoleh, “Pulang ke rumah, jika kamu mau, kamu bisa ajak anak-anak mu bermain di sana. Aku punya halaman rumah yang sangat luas. Tentunya aman untuk anak-anak mu, bagaimana?” ujar Delia. Dia
JEBLUG!Firman terkejut, dia segera menoleh ke tempat oven, di sana telah keluar asap hitam dari oven yang terbuka.Firman mendekat, kemudian menarik keluar kue yang setengah gosong. Ia meringis, kemudian mendesah pelan.“Bagaimana ini?” gumamnya, matanya melirik ke arah ruang tengah, di mana anak-anak nya berada.Firman menghembuskan napas kasar, sepertinya dia harus membuatnya lagi. Jika tidak, anak-anaknya pasti rewel.Butuh waktu 20 menit, Firman berhasil menyelesaikan semuanya. Untung saja oven miliknya tidak rusak.Dia bergegas membawa kue itu ke ruang tengah, di mana Fira dan Farhan berada.Fira dan Farhan gembira, mereka sampai berjingkrak-jingkrak melihat kedatangan Firman yang membawa nampan.Seketika kegembiraan mereka pudar kala melihat kue buatan Firman yang sedikit hancur. Bentuknya juga tidak secantik buatan Ibu mereka.“Papa, ini apa?” tanya Fira, dia menatap kue yang Firman bawa.“Cake, kan kalian minta Papa buatin.”“Kenapa bentuknya mirip kue apem?” kini giliran Far
“Dimana suamiku?”Hah?Firman terbeliak, “Aku suamimu,” dia berusaha mendekat lagi.Winda menelisik Firman dari atas sampai bawah. Kemudian ia terkekeh, “Jangan becanda Firman, di mana suamiku? Mas Hendra?”Firman meraup wajah kasar, ia tak mengerti apa maksud perkataan Winda.“Aku suamimu, tolong jangan bercanda, aku sangat bahagia melihatmu telah sadar. Jangan mengerjaiku seperti ini.” ujar Firman menatapnya dengan nanar.Tak ada raut kebohongan di wajah Winda, dia menatap Firman dengan wajah serius.“Kau Yang jangan bercanda Firman, aku ini istri kakakmu, Mana mungkin aku menikah denganmu?!”Firman tak menjawab perkataan Winda. Pandangannya beralih pada Dokter yang terlihat bingung.“Mohon bersabar dulu Pak, kami akan memeriksa kondisi pasien lebih lanjut. Jika memang dia lupa padamu, itu bisa saja terjadi, karena pasien mengalami benturan pada aspal meskipun tidak terlalu keras. Sebaiknya Anda sabar dulu, kami akan segera mengecek kondisi kepala pasien.” ujar sang dokter, menenang
“Mau apa kamu?!” ujarnya setengah panik. Begitu juga dengan Firman, dia sedikit terkejut melihat Winda membuka mata.Winda segera terduduk, melihat ada Firman di sana.“Jangan berani macam-macam ya, atau aku akan teriak?”Glek!Firman menelan ludah.“Nggak, siapa yang mau macam-macam? Orang cuma mau usir nyamuk.”“Hah? Nyamuk?”“Iya, tadi di pipi kamu ada nyamuk, makanya aku usir, harusnya aku usir lebih keras, biar kamu nggak nuduh yang bukan-bukan.” jawab Firman.Mau macam-macam pun boleh, toh mereka pasangan suami istri, tidak bisa di laporkan, Firman punya bukti untuk itu. Namun, untuk saat ini bukan waktu yang pas, dia harus bisa membuat Winda ingat sedikit demi sedikit, meskipun sepertinya akan sulit.Winda terhenyak, kemudian menyentuh pipinya.“Oh, maaf.” gumamnya.“Aku di sini hanya untuk menjagamu, apalagi kamu nggak punya siapa-siapa, takutnya kamu kesulitan saat butuh
Winda mondar-mandir di dalam kamar, dia sedikit merasa menyesal. Apa dirinya keterlaluan? Dia hanya merasa tidak nyaman dekat dengan anak-anak, meskipun menyukainya. Namun, ada rasa sesak di hatinya saat melihat kedua anak itu berkaca-kaca.“Apa Firman marah padaku?” gumamnya, seorang diri.Winda segera mengenyahkan pikiran tersebut, “Ah sudahlah, untuk apa aku memikirkan pria itu. Dia gak akan berani mengusirku, di rumah ini ada uang milik Mas Hendra, itu artinya aku juga berhak atasnya.”“Firman memang gak pernah berubah, sudah waktu dulu menumpang di rumah kami. Dan, kini ... Malah ingin menguasai peninggalan kakaknya yang harusnya menjadi milikku.” pikiran Winda melambung pada kejadian lima tahun lalu. Di mana dia dan Firman baru tinggal bersama. Winda sangat acuh, dia selalu menjaga jarak dengan Firman. Winda benar-benar melupakan semua tentang Firman, termasuk pernah mencintai pria itu.Winda naik ke atas ranjang, sebaiknya dia tidur, kepala
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu ... Aku dan anak-anak terus mencoba untuk menghibur Winda. Jangan sampai dia sedih dan terus memikirkan Farah. Ternyata, tidak ada usaha yang menghianati hasil. Winda yang tadinya menangisi Farah setiap malam. Kini sedikit berkurang. Hari ini adalah hari jadi pernikahan kami yg ke 6 tahun, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Aku berencana mengajaknya liburan di bali sekaligus merayakan anniversary kami. Anak-anak sengaja kutitipkan pada Kak Santi selama aku liburan di bali.Kami sampai di resort Bali setelah sebelumnya naik pesawat selama 2 jam. Winda langsung merebahkan diri di kamar hotel. Aku tau dia pasti kelelahan.Setelah memasukan isi koper ke dalam lemari, aku langsung membuka tirai jendela. Terlihat deburan ombak yang sangat kencang di sertai dengan pemandangan yang sangat cantik. Aku sengaja memilih resort yang menghadap langsung dengan laut. Jadi, saat berdiri di jendela seperti yang kulakukan i
“Bagaimana? Apa ada perkembangan?” itu suara Kak Santi. Aku segera menoleh ke arah nya. Kemudian menggeleng, “Belum, Winda masih belum sadar.” jawabku. Aku menatap ke arah ranjang di mana ada Winda yang tengah berbaring dengan luka perban di kepalanya. Kejadian dua hari yang lalu membuatnya tak berdaya di rumah sakit ini. “Anak-anak bagaimana, mereka sama siapa?” Aku menghela napas sejenak, “Bersama asisten rumah tangga kami.” “Kakak ke rumahmu ya, kasian keponakanku. Dua kali ibu mereka masuk rumah sakit.” Aku mengangguk,“Terima kasih, Kak.” “Ya sudah. Kakak pamit ingin menemui mereka. kamu jangan terus bersedih, doakan saja istrimu cepat pulih.“ “Oh iya, bagaimana dengan pelaku yang menyebabkan Winda begini?” “Aku sudah melaporkannya kepada pihak berwajib, biarkan mereka yang mengurusnya.” Kak Santi tersenyum, “Aku tau, adikku tau apa yang harus di lakukan.”
POV Firman Aku baru saja sampai di kantor. Berbarengan dengan aku masuk ke dalam loby, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Aku segera mengangkatnya karena itu berasa dari rumah. Aku sangat takut terjadi sesuatu di rumah. Apalagi itu menyangkut Winda. Kondisi nya masih belum stabil. “Halo, Bibik. Ada apa?” “Halo, Pak. Ibu ... Ibu ....” “Ada apa? Bicara yang jelas?! Winda kenapa?” bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan, aku benar-benar merasa khawatir. “Ada apa dengan Winda?” “Tadi Ibu pamit keluar sebentar katanya, dia membawa tas.” Ah, aku meraup wajah kasar. “Sudah kuduga, dia pasti akan berpergian. Harusnya aku tetap di rumah.” Aku menyesal. Kupikir memang benar Winda hanya per
Pagi hari .... Firman membuka matanya perlahan. Kepala yang semalam terasa berat, kini menghilang perlahan. Meskipun dia demam tinggi semalam, tapi dia ingat semalam Winda mengompres dirinya. Firman pikir Winda percaya pada ucapan seseorang yang mengatakan dirinya adalah penyebab kematian Hendra—kakaknya sendiri. Ternyata wanita itu masih perduli padanya. Firman mengulum senyum. Dia menoleh ke samping. Kosong! Winda tidak ada di sana. Entah semalam istrinya itu tidur di mana dia tidak tau. Sebab, setelah minum obat matanya terasa berat. Dia tertidur dan baru bangun sekarang. Firman menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Dia harus segera pergi ke kantor. Hari ini ada jadwal meeting pagi. Sebagai manager yang disiplin tentu saja Firman tidak ingin telat. Meskipun tubunya masih terasa tidak enak. Namun, semangatnya tidak berkurang sedikitpun. Ada wajah Fira dan Farhan, yang menjadi semangatnya ketika rasa malas itu datang. D
Setelah itu Winda mendekat ke arah Firman duduk di sampingnya, dia menatap muka wajah yang tengah terlelap. Wajah yang sangat teduh, tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang saat menatapnya. Winda menyentuh dadanya sendiri. Deg Deg Deg!Benar, jantungnya berdebar-debar. Padahal Firman Tengah tertidur.“Perasaan apa ini? Apakah aku jatuh cinta pada Firman?”“Ah, sudahlah. Jika memang iya, bukankah tidak apa-apa. Toh, dia suamiku.” Winda mengulum senyum.Senyum di wajah Winda pudar saat melihat bibir Firman bergetar.“A—aku tidak melakukan apapun, Win. Tidak ...” gumam Firman dengan mata yang masih terpejam.Winda langsung menyentuh keningnya.“Sshh, panas!”“Ternyata Firman demam, pantas saja dia tidak turun untuk makan malam.”Winda segera bangun dari ranjang. Kemudian keluar dari kamar. Dia mengambil sesuatu kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Sambil membawa bak berisi air hangat dan juga
Firman pulang setengah jam kemudian. Setelah menyelesaikan permasalahannya di kantor. Dia segera memarkirkan mobilnya ke garasi. Sebelumnya, dia sudah mendapatkan kabar dari asisten rumah tangganya bahwa Winda sudah pulang.Dengan tergesa dia segera masuk ke dalam rumah. Terlihat Winda tengah duduk di sofa, dengan tangan bersedekap dada. Pandangannya tajam lurus ke depan.Firman tersenyum kemudian berjalan perlahan ke arah nya.“Sayang kamu dari mana saja,” ujarnya saat sudah dekat. Firman duduk di samping Winda. Jarak di antara mereka hanya satu jengkal saja.Winda melirik tajam ke arah Firman. Pria di sampingnya tanpa aba-aba langsung merangkul pundak nya.“Sejak tadi aku mencarimu. Kamu membuatku khawatir, tapi syukurlah kamu sudah pulang.”“Sayang ...”“Berhenti memanggilku dengan sebutan sayang, Firman!” Winda menepis kasar tangan Firman.“Ka—kamu kenapa?”“Aku sudah tau apa yang telah kamu lakukan
Pintu ruangan terbuka membuat keduanya terkejut. Delia dan Firman menoleh ke arah sumber suara.Terlihat seorang Office boy datang membawa ember dan kain pel. Dia terkejut melihat Firman yang sedang berada di sana. Berdebat dengan seorang wanita. Wanita yang tentu saja bukan pegawai di sana.“Ma—maaf, Pak. Saya kira bapak tidak masuk hari ini. Sebelumnya saya di tugaskan untuk membersihkan ruangan bapak.” ujar sang office boy dengan wajah menunduk, takut. Dia takut di pecat karena kelancangannya ini.Namun, Firman malah bersyukur. Adanya dia di sana akan membebaskan dirinya dari Delia. Wanita tidak war4s yang ingin menjadi madunya.“Tidak apa-apa, masuk lah. Kau juga tidak lama kan?”“I—iya, Pak.”Delia menghela napas. Dia membuang pandangan ke arah lain. Kedatangan Office boy di sana mengganggu saja.Firman menatap ke arah Delia kembali. Terlihat wajah wanita itu seperti kesal.“Delia, pergilah. Aku harus bekerja.” pinta Firman. “Firman, ku mohon ... Jadikan aku istri keduamu.”“A
“Ya, aku percaya, sangat percaya padamu sayang.” bisik Firman dengan lembut. Membuat darah Winda berdesir.Firman mendekat, menaruh dagunya di bahu Winda. Membuat wanita itu menjadi gugup. Firman menghirup aroma shampoo yang di pakai Winda. Selalu manis, sama seperti awal mereka dekat. Shampoo beraroma strawberry yang membuat Firman jadi bertekuk lutut padanya.“Fi—Firman ....” suara Winda terdengar lirih. Dia bertopang pada sisi lemari. Selimut yang melekat di tubuh Firman jatuh sehingga belalai itu langsung menyentuh paha Winda yang mu lus. Berdiri tegak begitu gagahnya. Napas Winda memburu saat Firman mencium tengkuknya.“Firman, a—aku ....” Winda tergagap.“Sudhalah, semalam kamu sangat menikmatinya.”Ya, memang Winda akui semalam dia sangat menikmati permainan Firman di atas r@njang. Tapi bukan itu yang ingin dia sampaikan tadi.Winda bergeming menatap ke arah lain. Firman memeluknya dengan erat. Setidaknya Winda hanya lupa, bukan menolaknya.“Ayolah sayang, kita ulangi permainan
Delia tertawa sambil memainkan laptop, “Lihat Firman. Aku kurang paham yang bagian ini. Apa kamu bisa mengajariku dan apa ada saran lain darimu?” Delia terus bicara. Sedangkan Firman hanya fokus pada bibirnya.Suasana semakin terasa panas, Firman mulai melepas jaz kerjanya. Lalu membuka dua kancing bagian depan untuk mengurangi rasa panas di tu buhnya.“Firman hei, kau kenapa?” Delia menyentuh pahanya. Membuat Firman terhenyak sesuatu di bawah sana semakin tak bisa di kendalikan. Sentuhan itu kini semakin terasa. Firman menghembuskan napas kasar, ia menginginkan hal lebih dari ini.Melihat Firman yang gelisah, dengan deru napas nya yang tidak beraturan, membuat Delia tersenyum. Rencananya telah berhasil.“Apa kamu merasa gerah, sama aku juga. Sepertinya akan datang hujan.” Delia melepas blazer yang ia kenakan sejak tadi memperlihatkan bahunya yang mulus.Firman yang terbakar gairah. Mulai tak tenang, ada sesuatu yang harus dia tuntaskan.Ia segera bangun dari sofa. Namun matanya masi