"Iya, maaf! Aku memang salah dan kamu selalu benar.""Ya iyalah. Wanita memang selalu benar. Untung cuma dibuat bannya kempes. Nggak dibakar.""Maksudnya, kamu yang membuat banku kempes? Keterlaluan kamu!""Kalau aku keterlaluan, kupotong saluran remnya biar blong sekalian.""Tap-tapi bagaimana kamu bisa melakukan semua itu?""Ada uang semua beres. Aku tidak perlu mengotori tanganku.""Cuma sekali ini, Sayang! Aku berjanji nggak akan mengulanginya lagi. Lagian Selena cuma menjebakku. Aku tetap I Lone You istriku."Aira mencelos, memutar badan. Tak sepatah kata pun dia berikan. Didiamkan seperti ini menjadikanku merasa lebih berdosa.***Entah berapa uang yang sudah kukeluarkan selama enam bulan di kampung ini. Nggak ada pembukuan dan hitungan yang nyata. Perjanjian satu bulan. Tapi kenyataaannya aku cukup bisa beradaptasi selama ini.Belum lagi setiap Aira mengirim saldoku ke rekeningnya tanpa bertanya dulu padaku. Alasannya selalu aku melakukan kesalahan.Kini rumah ibu mertua sudah
Setelah hampir satu jam perjalanan kami sampai disebuah rumah ber-cat putih. Rumah itu masih terlihat baru karena kubeli belum ada satu tahun. Pemiliknya terlilit hutang sehingga terpaksa menjual kediamannya senilai satu milyar ini.“Kenapa kamu hobi banget membeli rumah dengan ukuran besar sih, Mas? Kita Cuma tinggal berdua. Aku takut jika di rumah sendirian. Apa lagi ini di pinggir jalan raya. Berasa nggak punya tetangga tahu nggak?”Tanpa menjawab pertanyaan Aira aku melenggang begitu saja. Kalau ditanggapi, dia akan semakin berkacu. “Mas, kita ke rumah yang lebih kecil saja. Aku nggak mau kalua harus tinggal di sini dan mengulang masa lalu dengan menjadi babu gratisan,”umpatnya sembari mengekoriku.“Surprise …!”Sebuah balon meledak di atas kepalaku dan bertaburan kertas-kertas kecil dari dalamnya. Ternyata teman-temanku benar-benar menyambut kedatangan kami.“Apa kabar setelah enam bulan di desa, Brow? Kulitnya makin gelap. Ceritakan, Vin. Kamu di sana mandi berapa kali sehari?
“Dari kampung bawa buah tangan apa, Vin?“Lihat saja di mobil. Aku capek mau mengangkat.”Teman-temanku berlarian ke mobil dan membukanya. Mereka menurunkan dan membukanya di halaman. Sementara aku lebih memilih rebahan di kursi. Tangan dan kaki butuh pelenturan setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.“Mas, apa kamu nggak lapar?” tanya Aira. Sejak datang ke rumah ini lebih banyak diam.Dalam beberapa menit memilih menyimak.Lima belas menit berlalu, teman-temanku tak juga masuk. Aku dan Aira penasaran dan mengecek keadaan yang ada di sekitar rumah baru kami. Mabilku masih ada. Tapi, mobil mereka sudah kosong. Aku membuka bagasi dan di sana tidak terlihat lagi karung-karung yang berisi ubi juga jagung. Padahal dengan itu kami bisa berhemat untuk beberapa minggu ke depan. Ponselku berbunyi. Dengan kecepatan tangan aku menerima panggilan video call dari grup yang berisi aku juga teman-temanku.“Terima kasih ya, Brow! Lumayan satu karung jagungnya bisa buat bakar-bakar di ruma
Pov AIRA"Hai!" seorang laki-laki di pesta ulang tahun menyapa dan menyalamiku. "Aku nggak menyangka kalau kita bisa bertemu di sini setelah beberapa tahun lamanya." Pria itu mengulas senyum menatapku dan suamiku secara bergantian, "Dan Aira, kamu masih tetap cantik dan sexi," pujinya. Aku tidak banyak menyahut demi menjaga hati Mas Kevin. Akhir-akhir ini dia sangat sensitif.Aku mendongak dan sedikit memicingkan mata untuk mengetahui raut wajah suamiku yang saat ini menoleh ke arah lain. Pasti dia sangat cemburu melihatku bertegur sapa dengan Radit. "Ka-kamu kok di sini? Dan dia ...?" Kutunjuk anak kecil yang ada di sampingnya. Gadis kecil imut bergaun pink."Oh iya. Ini putriku--namanya Amira. Kebetulan dia satu sekolah PAUD dengan Aska."Radit menoleh putrinya. "Sayang, kenalkan ini namanya Tante Aira dan yang di sebelahnya Om Kevin.""Hallo, Tante, Om! Namaku Amira.""Hallo juga cantik!" sahutku. Tapi Mas Kevin seperti kanebo kering. Dia diam mematung tanpa sudi menoleh atau men
"Aku nggak mau mengasuh anak orang.""Kalau nggak mau mengasuh anak orang, asuh saja anak ikan.""Benar! Asuh saja anak ikan." Mas Kevin menatap Kristin dengan tajam."Mm. Maaf. Aku pergi dulu. Selesaikan masalah kalian di rumah." Kristin berlari.Hah.Aku dan Mas Kevin terhenyak menatap kepergian wanita tersebut. Kami saling menatap dan ternyata orang-orang di sekitar juga mengamati perdebatan yang aku dan suamiku lakukan."Ayo pulang!" ***"Kenapa sih, kamu tidak pernah mau mendengarkan omonganku? Kalau kita program bayi tabung, kesempatan untuk mempunyai buah hati sangat besar. Rumah jadi lebih ramai."Aku memilih diam dari pada menanggapi setiap ucapan yang keluar dari mulut Mas Kevin ketika sampai rumah. Aku memakluminya karena dia juga tidak tahu apa yang kumau. Dari rumah sakit, di jalan, dan sampai rumah pun tak berhenti membahas tentang program bayi tabung yang sama sekali tak kuminati."Kenapa diam? Kalau kamu membisu, masalah ini tidak akan selesai."Aku duduk di samping r
Pov Kevin"Ada apa, Vin? Tumben kamu mengajak aku ketemuan di sini."Aku menunduk lesu tanpa menjawab pertanyaan Angga. Sebelumnya aku tidak pernah membahas persoalan pribadi pada sahabat. Aku memilih memendam dan mengurainya sendiri."Angga, kamu tahu diantara teman-teman kita, aku sendiri yang belum memiliki momongan. Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu, kamu sangat bijak dalam memberikan sebuah nasehat. Tidak seperti Zaki--dia cuma mengejek tanpa memberi solusi."Aku mengusap wajah dan menghirup oksigen bebas kemudian membuangnya perlahan. "Aku sudah membujuk Aira untuk mengikuti program bayi tabung. Tapi dia menolak dan memilih mengadopsi anak. Aku dan dia kan tidak mandul. Ngapain mengadopsi anak coba? Malahan, ada yang minta aku harus membiayai kehamilan si ibu hamil. Siapa dia ... istri bukan, saudara juga bukan."Angga mengulas senyum sesaat, kemudian tertawa ngakak mendengar curhatanku."Kenapa nggak sekalian biayai bapak, ibu, atau neneknya?" Kupikir tidak ada yang lucu
"Mas, jangan keterlaluan. Dia di sini cuma hari ini.""Tapi kenapa? Apa kamu sudah menjadi ibu sambungnya? Apa kamu naksir dengan papanya? Apa?! Apa alasannya?"Aku yakin ini hanya akal-akalan Radit agar bisa dekat dengan istriku."Jaga bicaramu, Mas! Radit cuma menitipkan putrinya sebentar karena dia harus kerja. Lagi pula aku juga jadi nggak kesepian di rumah sendiri, Mas. Anak itu bisa menemaniku. Dia nggak nakal kok.""Nggak nakal bagaimana? Kamu lihat rumahku sudah seperti kapal pecah. Aku nggak suka tempat yang berantakan. Lagi, kenapa kamu harus mau dititipi? Kamu kan bisa menolak. Katanya dia juga kaya. Seharusnya dia bisa mencari pengasuh pribadi.""Rumah anak itu di mana? Biar kuatar dia sekarang. Aku nggak mau waktumu habis untuk anak orang."Aku melangkah menemui balita itu."Rumahmu di mana?""Aku baru pindah ke rumah depan situ Om? Om mau main ke rumahku?" Dia menatapku dengan polos.Sepertinya Radit memang sengaja pindah ke rumah depan agar bisa mendekati istriku. Aku a
"Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!
Tidak, tidak. Aku dan Ikhsan hanya sahabat. Karena saat kecil aku tidak punya teman wanita. Tidak ada yang mau main denganku karena aku nggak pernah bawa uang jajan. Saat kecil aku tergolong pendiam dan takut dengan anak-anak sebaya. Mereka hanya mau bermain denganku ketika aku membawa rupiah agar bisa diajak jajan ke warung. Jika tidak, aku akan bermain dengan anak culun itu di depan rumah.Tapi tidak mungkin jika Ibu menginginkanku bercerai. Sementara beliau kerap kali menasehatiku agar selalu bersabar dalam ujian rumah tangga. "Aira ...! Sayang ...! Habislah sudah!" Rengekannya seperti anak kecil. Muak aku mendengar."Aira ...!" ulangnya lagi.Karena Mas Kevin terus berteriak, Kuletakkan ponsel di nakas, kumudian keluar menemuinya di depan TV."Ada apa? Kenapa kok seperti belut sawah begitu?"Badannya menggeliat seperti cacing kepanasan sembari menarik ujung rambut lurusnya. Mata terpejam dan kepalanya terus bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Malu dong sama umur, kelakuan seperti a
POV AIRAMas Kevin sungguh keterlaluan. Dia selalu saja menilai sesuatu dari nominal uang. Padahal isi amplop kondangan nggak setiap hari. Orang mengadakan hajatan juga tidak setiap tahun. Dari pada aku datang dan diantar dengan mengisi amplop di bawah lima ribu, aku memilih untuk tidak menghadiri sekalian. Aku masih ingat putri Bu Tuti saat itu memberiku hadiah bad cover dan juga amplop berisi uang lembaran merah. Setidaknya, aku juga menghargai dengan bawaan yang senilai. Apa lagi suamiku bisa dikatakan orang yang berada.Setelah kucopot gamis, sepatu, dan menghapus riasan wajah, aku memilih mengurung diri di kamar dan memberi kabar pada Ibu melalui video call."Aira, kamu pulang kapan?" tanya Ibu di seberang sana. Dia cuma memakai daster biasa, karena biasanya ibu mendapat bagian dapur ketika di tempat hajatan. Tangan dan tenaga ibu yang cekatan membuat h yang mengandungku sembilan bulan itu menjadi langganan masak nasi. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
Aira menghela napas, kemudian menundukkan sebagian badannya dan berbisik pada wanita tersebut, "Bahkan untuk menjadi pembantu di rumahku pun aku nggak memgizinkan. Mbak, aku sudah nggak minat dengan bayimu. Jadi, jangan lupa bayar hutangmu."Mata wanita itu membulat sempurna."Ayo, Mas!" Aira menggandeng tanganku."Mbak! Pikirkan dulu, Mbak! Lihatlah bayiku begitu cantik dan lucu."Wanita yang masih terbaring di ranjang itu meneriaki dengan suara yang cukup memekikkan indera pendengaran."Enak saja meminta syarat seperti itu. Dia pikir dia itu siapa? Masak aku harus merawat bayinya, kedua balitanya, dan mengizinkan ibunya tinggal di rumah kita."Sembari terus berjalan ke arah parkiran mobil, Aira terus merancau. "Jika ada wanita lain yang seatap dengan kita, itu artinya awal dari kehancuran rumah tangga. Bisa saja kalau dia khilaf dan kita lengah, dia akan merayu dan menggodamu, Mas."Aku mengulum senyum dan membuang muka. Dada rasanya berbunga-bunga seperti mengalami jatuh cinta ya
"Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!
"Mas, jangan keterlaluan. Dia di sini cuma hari ini.""Tapi kenapa? Apa kamu sudah menjadi ibu sambungnya? Apa kamu naksir dengan papanya? Apa?! Apa alasannya?"Aku yakin ini hanya akal-akalan Radit agar bisa dekat dengan istriku."Jaga bicaramu, Mas! Radit cuma menitipkan putrinya sebentar karena dia harus kerja. Lagi pula aku juga jadi nggak kesepian di rumah sendiri, Mas. Anak itu bisa menemaniku. Dia nggak nakal kok.""Nggak nakal bagaimana? Kamu lihat rumahku sudah seperti kapal pecah. Aku nggak suka tempat yang berantakan. Lagi, kenapa kamu harus mau dititipi? Kamu kan bisa menolak. Katanya dia juga kaya. Seharusnya dia bisa mencari pengasuh pribadi.""Rumah anak itu di mana? Biar kuatar dia sekarang. Aku nggak mau waktumu habis untuk anak orang."Aku melangkah menemui balita itu."Rumahmu di mana?""Aku baru pindah ke rumah depan situ Om? Om mau main ke rumahku?" Dia menatapku dengan polos.Sepertinya Radit memang sengaja pindah ke rumah depan agar bisa mendekati istriku. Aku a
Pov Kevin"Ada apa, Vin? Tumben kamu mengajak aku ketemuan di sini."Aku menunduk lesu tanpa menjawab pertanyaan Angga. Sebelumnya aku tidak pernah membahas persoalan pribadi pada sahabat. Aku memilih memendam dan mengurainya sendiri."Angga, kamu tahu diantara teman-teman kita, aku sendiri yang belum memiliki momongan. Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu, kamu sangat bijak dalam memberikan sebuah nasehat. Tidak seperti Zaki--dia cuma mengejek tanpa memberi solusi."Aku mengusap wajah dan menghirup oksigen bebas kemudian membuangnya perlahan. "Aku sudah membujuk Aira untuk mengikuti program bayi tabung. Tapi dia menolak dan memilih mengadopsi anak. Aku dan dia kan tidak mandul. Ngapain mengadopsi anak coba? Malahan, ada yang minta aku harus membiayai kehamilan si ibu hamil. Siapa dia ... istri bukan, saudara juga bukan."Angga mengulas senyum sesaat, kemudian tertawa ngakak mendengar curhatanku."Kenapa nggak sekalian biayai bapak, ibu, atau neneknya?" Kupikir tidak ada yang lucu
"Aku nggak mau mengasuh anak orang.""Kalau nggak mau mengasuh anak orang, asuh saja anak ikan.""Benar! Asuh saja anak ikan." Mas Kevin menatap Kristin dengan tajam."Mm. Maaf. Aku pergi dulu. Selesaikan masalah kalian di rumah." Kristin berlari.Hah.Aku dan Mas Kevin terhenyak menatap kepergian wanita tersebut. Kami saling menatap dan ternyata orang-orang di sekitar juga mengamati perdebatan yang aku dan suamiku lakukan."Ayo pulang!" ***"Kenapa sih, kamu tidak pernah mau mendengarkan omonganku? Kalau kita program bayi tabung, kesempatan untuk mempunyai buah hati sangat besar. Rumah jadi lebih ramai."Aku memilih diam dari pada menanggapi setiap ucapan yang keluar dari mulut Mas Kevin ketika sampai rumah. Aku memakluminya karena dia juga tidak tahu apa yang kumau. Dari rumah sakit, di jalan, dan sampai rumah pun tak berhenti membahas tentang program bayi tabung yang sama sekali tak kuminati."Kenapa diam? Kalau kamu membisu, masalah ini tidak akan selesai."Aku duduk di samping r