Daniel menunggu Sasha membuka mulutnya, namun Sasha masih terdiam sambil menatap Daniel, seolah sedang menimbang-nimbang. "Why?" tanya Daniel setengah kecewa karena Sasha tidak terlalu terlihat excited. Sasha menghela nafas,"Pernikahan gak semudah itu Dan, apa gak terlalu cepat buat kita melangkah sejauh itu," tukas Sasha hati-hati. Daniel menyandarkan tubuhnya ke dipan,"Why should we wait kalau kita sudah yakin satu sama lain?" sahut Daniel. "Marriage is not only about us, ini melibatkan keluarga kita juga, especially my family, I can't just leave them like that," ujar Sasha pelan. Daniel menatap Sasha penuh tanda tanya, "leave them? What do you mean? Kita hanya akan menikah Sha bukan pergi kamana-mana, we are not going to leave your family," tukas Daniel meyakinkan Sasha. Sasha memegang tangan Daniel, "Take it slow please, step by step. I just, I'm not ready for the marriage thing," pikiran Sasha terbang berputar mengingat Jasmine dan Katia yang masih harus ia besarkan. Haru
"Babe, did you see my phone?" tanya Daniel saat Sasha terbangun. Jam digital menunjukkan pukul 7.00 pagi. Sasha mengernyit silau karena Daniel sudah membuka tirai lebar-lebar. "No, where did you put it?" sahut Sasha parau, ia mengikat rambutnya lalu beranjak menuju kamar mandi. Daniel menggumam tidak jelas. Sampai Sasha selesai mandi Daniel masih mencari-cari ponselnya, "Gak ketemu?" tanya Sasha sambil ikut mencari. Daniel menerawang, mengingat-ingat dimana ia terakhir meletakkan ponselnya. Lalu ia menepuk dahinya, "Astaga! I think I left it in the car!" tukas Daniel tiba-tiba. Sasha hanya menarik nafas, tak habis pikir. "Babe, can you call Gianna, maybe she kept my phone," Daniel menghampiri Sasha yang sedang mengeringkan rambut. "How can I? I don't even have her number," sahut Sasha singkat. Daniel mengernyitkan dahi, "You guys are office mate, kamu harusnya punya nomor dia Sha, just for office matter you know," tukas Daniel datar, tak bermaksud menyinggung Sasha. Sasha me
Sasha : Babe, I'm sorry, I left the office earlier, I need to see Raga, he got an accident. Daniel : Oh God, is he okay? Sasha : I haven't see him yet, I hope he is.Daniel : Should I come? Sasha : Nope, I'm fine. I'll just take taxi to get home. Will text you the update, Love you. Daniel : Okay, take care please. Don't worry Babe, Raga will be alright. Love you more! Sasha memasukan lagi ponselnya ke dalam tas lalu setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang rawat inap tempat Raga di rawat. Wajahnya benar-benar pucat, ia sangat takut jika harus kehilangan Raga. "Tante!" pekik Sasha memanggil Ibu Raga yang baru saja keluar dari ruang rawat inap. Ibu Raga menoleh, lalu tersenyum menyambut Sasha. "Tante, gimana keadaan Raga tan? Maaf aku baru sempat kesini," tukas Sasha pelan, belum apa-apa ia sudah ingin menangis. Ibu Raga memeluk Sasha hangat, "Gak pa pa Sha, masuk aja, mumpung Raga belum minum obat. Nanti kalau udah minum obat dia bakal tidur terus," Ibu Raga m
Dua minggu kemudian, seluruh departemen di Luke & Park Communications disibukkan dengan rencana launching produk keuangan baru untuk klien mereka, HBI. Tim Sasha dari Media Department dan Tim Arayi Hilman dari Creative Department sudah berjam-jam berdiskusi di ruang meeting sampai lupa jika jam makan siang sudah berlalu dua jam sebelumnya. Semenantara Daniel dan Tim Gianna sedang sibuk dengan akuisisi klien selanjutnya dari SIB yang merupakan Bank yang berasal dari Singapura. Dua minggu juga sudah berlalu sejak terakhir kali Sasha mengetahui jika Raga mengalami kecelakaan, sejak saat itu sampai detik ini setiap pulang kerja Sasha selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi Raga yang sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Sasha selalu berusaha menghibur Raga karena Raga mungkin akan mengalami tekanan pasca kecelakaan yang menyebabkan kakinya patah sehingga harus menunggu selama delapan bulan hingga satu tahun sebelum ia bisa kembali normal seperti biasanya. Daniel seperti kebanyakan
Hari ini hari Sabtu. Sasha membuka matanya dan tak mendapati Daniel di sisinya. Dengan malas ia berjalan ke kamar mandi, menyikat gigi dan mencuci wajahnya, lalu beranjak menuju dapur dimana aroma omelet tercium dengan nikmat. Di dapur, Daniel terlihat sedang memasak omelet dan nasi goreng untuk sarapan mereka. "Good morning Babe," tukas Daniel saat Sasha memeluknya dari belakang. "Smell delicious!" ujar Sasha sambil melongok nasi goreng kacang polong yang masih belum selesai dimasak. "Of course it is!" sahut Daniel bangga, yang langsung dihadiahi kecupan di pipinya oleh Sasha. Setelah itu mereka menikmati sarapan sambil mengobrol ringan mengenai beberapa hal yang terjadi, sampai akhirnya Daniel mulai menanyakan lagi apakah Sasha bisa ikut datang ke acara reuni Columbia University alumni atau tidak. Sasha menyeruput kopinya pelan, berpikir. Apakah sebaiknya ia mengesampingkan rasa mindernya dan tetap menemani Daniel, atau ia tidak usah ikut saja. Ditambah nanti di sana akan
Sasha memejamkan mata, mengendalikan emosinya. Pasti ini hanya salah paham, pasti ada penjelasan dibalik apa yang dilihatnya. Sambil menarik nafas dan membuangnya perlahan, Sasha melangkah menghampiri Daniel yang memunggunginya, sementara Gianna yang sedang memeluk Daniel dengan mata terpejam entah karena insting atau apa, segera membuka matanya, dan ia dapat dengan jelas melihat Sasha yang sedang berjalan ke arah mereka. Seolah sengaja membuat Sasha dan Daniel bertengkar, Gianna dengan gerakan cepat, memegang pipi Daniel dan menciumnya, membuat Daniel terkejut dan langsung melepaskan Gianna. Tapi sayang Sasha yang melihat semua itu terlanjur terluka, rasanya mendengar penjelasan apapun tetap akan membuatnya marah. Daniel berbalik badan dan terkejut melihat Sasha berdiri di sana dengan kaki gemetar. "Babe, ini gak seperti yang kamu pikirkan! She is drunk!" jelas Daniel sambil berusaha meraih tangan Sasha. Namun Gianna yang entah benar-benar mabuk atau hanya pura-pura, memeluk Dan
Enam bulan sudah berlalu sejak kejadian Gianna menggila di acara reuni alumni Columbia University. Sejak saat itu Daniel yang sudah berjanji pada Sasha untuk menjaga jarak dengan Gianna, mulai mengurangi jadwal meeting yang melibatkan Gianna. Sedangkan Sasha yang mulai muak dengan sikap sok bossy Gianna mulai menunjukkan taringnya. Ia melakukan semua tugas di departemen nya dengan baik, sehingga pihak klien memberikan apresiasi yang tinggi bagi mereka. Selama satu semester penuh seolah nasib baik selalu berpihak pada Daniel dan Sasha, mereka seperti sepasang manusia yang gila kerja dan gila bercinta. Mereka mengagumi satu sama lain seolah tiada bosannya, membuat hubungan mereka semakin hari semakin intim dan tak terpisahkan. Di lain sisi, Sasha juga mulai mengurangi jadwal kunjungannya pada Raga, karena kondisi Raga yang semakin membaik, dan hanya membutuhkan kesabaran beberapa bulan lagi sampai ia bisa berjalan seperti sedia kala. "Iya Jas?" Sasha mengangkat panggilan telepon dar
Hujan gerimis membasahi tanah pemakaman tepat saat Oma selesai dikebumikan. Sasha masih membeku di samping nisan Oma, wajahnya seperti manusia yang tak bernyawa, hanya air mata yang terus mengalir yang mengindikasikan bahwa ia adalah manusia. Rasanya semua terjadi begitu cepat, Sasha menyesal karena tidak menghabiskan lebih banyak waktu dengan Oma di hari-hari terakhir Oma. Ia menyalahkan diri sendiri karena bekerja terlalu keras dan memilih untuk tinggal bersama Daniel sepulang kerja, bukannya kembali ke rumahnya. Ia membenci dirinya sendiri karena belum bisa membahagiakan orang yang paling ia sayang dunia. Rasanya ia ingin menggali kuburan Oma dan ikut tidur bersama Oma di dalamnya. Daniel tak pernah beranjak sedikit pun dari sisi Sasha, ia terus menerus menjaga Sasha dan mulai khawatir karena Sasha tidak berbicara sama sekali sejak dokter memberitahu bahwa Omanya telah tiada. Jasmine dan Katia justru terlihat lebih tegar, mereka bisa berdiri tegak walau air mata terus saja meng
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"
Malam harinya saat Sasha kembali ke rumah, Raga terlihat tertidur di sofa ruang TV. Sementara di karpet, Jasmine dan Katia terlihat sedang menonton film. "Ssssttt," Jasmine meletakkan ibu jari di mulutnya saat Sasha nyaris membuka mulut. "Baru tidur tuh Kak Raga, kecapean kayaknya," tukas Jasmine sambil mengambil paper bag yang dibawa Sasha. "Wah cheese cake! Kakak dari mana?" tanya Jasmine sambil mengeluarkan cheese cake dari papar bag. "Abis ngobrol sama Kak Gendis, kalian udah makan?" tanya Sasha seraya meletakkan tas tangannya ke atas sofa. "Udah! Tadi Kak Raga bikin nasi goreng!" jawab Katia riang. "Oh ya? Enak gak?" tanya Sasha. "Banget!" sahut Jasmine dan Katia bersamaan, membuat Sasha mau tak mau tersenyum. Ia berjongkok di depan Raga, lalu meniup-niup wajah Raga pelan. Raga membuka matanya perlahan, "Eh, udah pulang sayang?" ujar Raga dengan wajah terkejut. Raga meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari tidurnya. "Capek ya?" tanya Sasha seraya duduk di sebelah Raga. "Lumayan,
Dua Bulan Kemudian. Tubuh Sasha masih saja ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak usia kandungan delapan minggu. Hari ini adalah jadwal kontrol rutin bulanan Sasha ke dokter Reina. Bulan lalu ia tidak kontrol karena merasa belum perlu, namun karena belakangan Sasha mulai sering merasa pusing dan blackout ia memutuskan untuk check up segera ke klinik dokter Reina. Dengan ditemani oleh Raga, Sasha berangkat menuju klinik dokter Reina. Hari adalah hari kerja sehingga pasien dokter Reina tidak begitu banyak. Sasha sudah hampir melupakan pesan yang ia duga dikirimkan oleh dokter Reina. Karena Raga tidak merespon pesan romantis itu, Sasha memutuskan untuk melupakannya saja. Walaupun demikian Sasha tetap merasa perlu tampil cantik dan menarik di depan dokter Reina agar ia tidak diremehkan. Ia ingin mempertegas bahwa Raga adalah miliknya, suaminya, ayah dari janin dalam kandungannya! "Sha, kamu gak pa pa? Kok kayak lagi mikir gitu sih?" tanya Raga yang melihat Sasha sedang melamun
Malam ini Sasha memutuskan untuk pulang ke rumah, ia sempat berpamitan dengan Daniel, namun Daniel hanya memunggunginya dan Raga tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Olin, saya titip Pak Daniel ya, kalau ada apa-apa do let me know, kamu udah save nomor saya kan?" tanya Sasha yang dijawab angguka sopan oleh Olin. Langkah Sasha terasa berat saat meninggalkan Penthouse. Meninggalkan Daniel dalam keadaan terpuruk seperti sekarang tentu saja tidak mudah bagi Sasha. Namun berada di dekat Daniel hanya akan membuat semuanya menjadi bertambah rumit. Sasha sama sekali tak ingin tahu lagi alasan mengapa Daniel mencampakkannya waktu itu. Ia benar-benar akan mengubur semua rasa ingin tahu itu jauh-jauh. Pernikahannya dengan Raga adalah hal yang jauh lebih penting. Raga selalu tampak sabar di depan Sasha walaupun Sasha tahu sebenarnya Raga cukup cemburu dengan Daniel. "Kita mampir ke Gandy's ya, aku mau beliin steak buat Jasmine dan Katia," tukas Raga sambil mengemudi. Hati Sasha dialiri rasa han