“Tidak ada, aku hanya kesal dengan kejadian tadi pagi. Ayo pulang,” kata Elena, dia pergi meninggalkan Alvaro begitu saja dan berjalan mendahului pria itu. Sebelum, Alvaro sempat membuka pintu mobil, dia sudah membuka pintu itu duluan. Ekspresi Alvaro terlihat bertanya-tanya dengan perubahan sikap Elena itu.Tanpa banyak bicara dia masuk ke dalam mobil. Dia menoleh ke Elena, wanita itu sibuk melihat ke ponselnya. “Apa rencanamu setelah ini?” tanya Alvaro.“Aku ada interview,” kata Elena, tanpa melihat Alvaro. Entah kenapa hatinya kesal sekali dengan Alvaro, mendengar kehamilan Delisa sedikit membuatnya terpukul sekaligus marah. Elena melirik Alvaro dari sudut matanya. Pria yang dengan lantang mengatakan tak ingin menikahi wanita itu, ternyata menghamilinya. “Brengsek!” umpat Elena dalam hati.Padahal dia pikir, Alvaro lebih baik dari Vincent. Ternyata semua pria sama. “Ada baiknya, dia segera mendapat pekerjaan sehingga dia bisa menghindar dari pria ini,” batin Elena.“Aku antar.”
Malam harinya, Elena menyiapkan makan malam. Dia mengomel selama memasak. “Jam segini belum pulang juga, kemana dia.” Lalu dia terdiam, menyadari sesuatu yang tidak seharusnya. “Kenapa aku jadi marah, bukankah seharusnya aku lega jika Alvaro menikah dengan Delisa. Aku bisa bebas, tetapi kenapa hatiku sakit.” Elena mematikan kompornya, lalu mengambil segelas air dari lemari es. “Apakah aku mulai ada rasa sama dia?” Elena menyentuh dadanya, merasakan apa yang tengah terjadi pada hatinya. Yang entah sejak kapan telah tumbuh cinta untuk Alvaro. “Tidak, Elena. Kamu tidak boleh, dia bukan pria biasa yang bisa kamu cintai. Kalian berasal dari dunia yang berbeda.” Elena bermonolog, meyakinkan bahwa perasaan itu tak semestinya. Sebelum sakit terlalu dalam, dia harus mengubur perasaan itu dalam-dalam. Jangan sampai pria itu tahu. Dia melihat ke makanan yang ada di atas wajan. Dia sudah tak bernafsu untuk makan. Dia pun memutuskan untuk mandi dan langsung tidur. Dia menyalakan kera
Elena yang tengah menikmati sarapan bersama Alvaro menoleh ke arah pintu dengan ekspresi tenang. Perasaan aneh sudah muncul dalam dirinya sejak pagi, seolah firasatnya berkata bahwa akan ada masalah yang datang. Dengan tatapan penuh arti, ia melirik Alvaro, yang juga tampak menyadari sesuatu.“Siapa?” gumam Alvaro, meletakkan cangkir tehnya dengan perlahan. Tatapannya penuh tanda tanya ke Elena.Elena menarik napas, lalu berdiri dengan anggun. “kita lihat siapa yang datang,” jawabnya, berjalan menuju pintu.Saat pintu terbuka, Elena sedikit terkejut. Delisa berdiri di depan sana, mengenakan gaun mahal yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya dipoles rapi, meski sorot matanya menunjukkan kemarahan. Namun, senyum penuh kemenangan tersungging di bibirnya.“Dimana Alvaro,” sapanya lembut, tapi dengan nada licik yang tidak bisa disembunyikan. “Aku datang untuk bicara dengannya.”Elena tidak bergeming. Ia menatap Delisa dengan ekspresi datar.“Kau ingin membahas soal kehamilanmu lag
Morgan dengan suaranya yang penuh percaya diri, menggelegar di ruang rapat. Kasak kusuk terdengar.“Tak disangka, Alvaro pria tak bertanggungjawab. Habis sebar benih, tak mau bertanggungjawab.”Alvaro tetap bergeming. Perlahan, senyum sinis terukir di bibirnya. Matanya menatap Morgan dengan tatapan tajam yang mengintimidasi."Aku menghormatimu, Morgan." Suaranya rendah namun penuh tekanan. "Hentikan lelucon ini sekarang."Morgan terkekeh, menganggap kata-kata Alvaro sebagai usaha putus asa untuk menghindar. "Kau pikir bisa berkelit dengan mudah? Oh iya Don, ku harap kamu bijak. Dan menepati janjimu, agar persahabatan kita terjaga.”Don diam, wajahnya penuh pertimbangan. Sesekali dia melirik ke Alvaro yang masih terlihat santai namun tetap waspada.“Apa yang kamu janjikan ayah?” tanya Alvaro tenang.Namun sebelum Don menjawab, Morgan langsung menyela.“Dia berjanji akan memberikan 10% sahamnya pada menantunya. Dan itu berarti Delisa berhak untuk itu.”Alvaro menghela napas, lalu bersa
Pria mengangkat sebuah kursi di atas kepala, entah dari mana kursi itu berasal, yang pasti kursi itu terlihat berbeda dari kursi staff lain di ruangan ini.“Al, ka..kamu dapat dari mana?”Pria itu tak menjawab, hanya menepuk dudukan kursi itu pelan, seolah memastikan kursi itu nyaman. “Coba duduk,” kata Alvaro. Bersamaan dengan itu, kepala tim desain keluar dari ruangannya dan melihat Elena yang sedang mencoba duduk di kursi itu. Alvaro yang sedang berdiri membelakangi, sedang tersenyum puas begitu Elena menempelkan pantatnya di kursi itu. “Bagaimana?” tanya Alvaro. “Nyaman,” jawab Elena, sedikit ragu.“Apa-apaan ini?” Teriakan sang kepala tim desain menggema di seluruh ruangan. Namun itu tak membuat Alvaro bergeming. Dia masih menatap Elena yang terlihat sedikit takut dan ragu antara duduk dan kembali berdiri. “Siapa kamu? Dari mana kursi ini? Tunggu, bukankah ini kursi Presdir? Lancang!”Ruangan tiba-tiba terasa tegang. Semua orang yang berada di sana menahan napas, menunggu r
Elena terengah-engah setelah berlari mengejar Alvaro. Pria itu berhenti di depan mobilnya yang terparkir di halaman kantor. Dengan santai, dia membuka pintu mobil, lalu menoleh ke Elena yang berdiri dengan tangan di pinggang, masih mencoba mengatur napas."Ayo masuk," katanya singkat.Elena mendelik. "Eh? Ke mana?""Ke kantor pusat," jawab Alvaro datar.Elena semakin mengernyit. "Sekarang? Aku belum mengajukan pengunduran diri, loh dari sini.”Alvaro menutup pintu mobil, lalu menyandarkan tubuhnya di sisi kendaraan sambil menyilangkan tangan. "Tak perlu.”Elena berkedip beberapa kali, mencoba mencerna kata-katanya. Sial, benar juga. Dengan statusnya sebagai Presdir, Alvaro bisa melakukan apa saja. Tapi tetap saja, ini terlalu tiba-tiba. Apakah dirinya siap?"Apakah kamu yakin aku jadi asisten pribadimu?” Alvaro menarik pinggang Elena lebih dekat, “Kenapa? Keberatan?”“Tidak…tidak.”Elena menggoyang-goyangkan kedua tangannya di depan Alvaro, untuk menolak ucapan Alvaro. Alvaro tertaw
Semua mata kini menoleh ke sumber suara, ternyata itu suara Jose. Pegangan Selena dan Pak Dante pun terlepas. “Apa yang terjadi di sini? Nyonya, Tuan mencari Anda.”“Baik, aku segera ke kantor.”Selena yang tidak terima, Elena pergi begitu saja. Menarik kembali tangan Elena. “Kita belum selesai, mau kemana kamu?”“Nona Selena, biarkan Bu Elena pergi. Presdir memanggilnya,” ucap Jose.“Apa? Ba..bagaimana bisa?” Selena terkejut, tak menyangka.“Asal Anda tahu, Bu Elena mulai hari ini adalah asisten pribadi Presdir. Jadi menyinggungnya berarti menyinggung Presdir. Jika kamu tidak ingin dipecat, biarkan dia pergi. Dan semuanya, kembali bekerja!”Jose bicara dengan lantang, membubarkan kerumunan. Selena mundur satu langkah, genggaman tangannya yang menarik Elena pun mulai mengendur. Elena hanya bisa menatap wanita itu dengan kesal. Lalu pergi meninggalkan kerumunan menuju ruangan Alvaro bersama Jose. Sedang Selena mengepalkan tangan, kesal. “Awas kamu Elena,” lirih Selena. “Terima kas
“Vincent, lepaskan aku!”Elena berusaha melepaskan diri, tetapi genggaman Vincent terlalu kuat. Tatapan pria itu penuh kebencian."Kamu pikir aku akan membiarkanmu hidup bahagia setelah menghancurkan rencanaku?" bisik Vincent dengan suara penuh kemarahan.Elena meronta, tetapi Vincent semakin erat mencengkram lengannya. Dengan kasar, ia menarik Elena ke dalam mobilnya yang terparkir di depan gedung."Vincent! Lepaskan! Alvaro akan membunuhmu," teriak Elena, tetapi tidak ada yang mendengar.Vincent hanya menyeringai sinis. "Persetan dengan bajingan itu!"Dengan satu kali hentakan keras, tubuh Elena terlempar ke dalam mobil. Vincent, segera masuk ke dalam kursi belakang kemudi.“Kamu brengsek, Vincent! Buka pintunya!’Elena berusaha membuka pintu mobil, tetapi Vincent sudah menginjak pedal gas, melajukan mobilnya ke arah hotel terdekatDi dalam kamar hotel, Elena mendorong tubuh Vincent sekuat tenaga, tetapi pria itu semakin agresif.“Jika Alvaro tahu, dia pasti membunuhmu.”Mendengar i
Elena diam di tempat. Matanya menatap Alvaro tanpa ekspresi. Alvaro yang tidak sabar, berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Elena. Tanpa aba-aba, pria itu langsung mengangkat tubuh Elena di pundaknya bak sebuah karung beras. “Lepaskan, Al. Kita sedang di kantor.”“Tidak peduli,” seru Alvaro. Teriakan Elena tak cukup untuk membuat pria itu menghentikan aksinya. Dari semalam dia sudah menahan diri, sekarang saat masalah sudah selesai. Elena masih bersikap dingin padanya. Itu membuatnya sangat marah. Elena meronta di atas pundak Alvaro, tangannya memukul punggung pria itu dengan sia-sia. "Alvaro! Turunkan aku sekarang juga!"Tapi Alvaro tetap berjalan dengan langkah besar danw emosi. Para karyawan yang kebetulan lewat di lorong terkejut tapi tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa orang buru-buru menunduk, pura-pura tak melihat. Dengan wajah datar nan tegas, Alvaro membuka pintu lift dan masuk sambil tetap menggendong Elena di pundaknya. Begitu pintu lift menutup, suasana semakin pan
Keesokan harinya, di dalam ruangan rapat direksi.Suasana ruang rapat terasa begitu menegangkan. Para petinggi duduk berderet dengan wajah penuh tanya. Sebagian berbisik pelan, sebagian lagi hanya sibuk melirik jam.Pukul delapan tepat, Alvaro masuk dengan langkah tegap, wajahnya terlihat serius. Di belakangnya, Jose membawa laptop dan map. Suasana hening seketika.Alvaro langsung memberikan isyarat kepada Jose. Jose pun mengangguk dan mulai berbicara. “Terima kasih sudah hadir dalam rapat hari ini,” suara Jose tegas. Ia berdiri di depan meja rapat, sedang Alvaro duduk dengan tatapan tak lepas ke arah Elena yang duduk di kursi paling ujung.“Menindaklanjuti kasus Elena kemarin, ada satu hal penting yang harus kalian lihat.” Jose bergerak cepat. Ia menyalakan proyektor dan menghubungkan laptopnya. Tak butuh waktu lama, layar besar di depan ruangan menampilkan serangkaian bukti.“Beberapa minggu terakhir, akun milik Elena digunakan untuk mengakses sistem keuangan perusahaan dari peran
Alvaro menatap layar ponselnya lama. Pesan singkat dari Elena membuatnya semakin gelisah.“Shit!”Ia menghubungi Jose lagi. "Percepat penyelidikannya!”"Saya mendapat sesuatu Tuan. Ada satu ha yang menurut saya sangatl mencurigakan. Saya sudah mengecek log IT minggu lalu. dan saya menemukan ada aktivitas login dari perangkat berbeda, menggunakan VPN, ke akun Elena. Di luar jam kerja."“Siapa?”Wajah Alvaro menegang. “Masih kami telusuri. Tapi… ada satu nama yang muncul beberapa kali di sistem audit internal. Asisten Delisa—Rani. Aku rasa dia tahu sesuatu.”“Cari dia! buat bicara!”“Baik.”Alvaro mematikan panggilan. Dia menatap lurus ke depan dengan tajam. Tangannya menggenggam setir kemudi dengan erat.***Di salah satu ruangan kecil yang biasa digunakan untuk istirahat staf, Rani duduk gelisah. Ia memainkan flashdisk kecil di tangannya. Berkali-kali ia menoleh ke pintu. Wajahnya cemas.Sejak kejadian siang tadi, ia tak bisa berhenti merasa bersalah. Ia memang tidak tahu apa-apa d
Langkah Elena terasa berat saat ia berjalan menuju ruang rapat direksi. Nafasnya memburu, telapak tangannya dingin. Suasana kantor yang biasanya ramai dan sibuk kini sunyi. Tatapan semua orang menyudutkan. Elena merasa yakin, ada sesuatu yang tidak beres. Sesampainya di depan pintu ruang rapat, Elena menarik napas panjang, lalu mengetuk pelan.“Masuk,” suara berat dari dalam menyambutnya.Dengan perlahan, Elena membuka pintu. Di dalam, sudah duduk tujuh orang petinggi perusahaan, termasuk kepala keuangan, kepala divisi hukum, dan yang membuat dadanya berdegup lebih keras, Alvaro sudah duduk kursi paling ujung. Mata elangnya langsung menangkap ke arahnya.Deg! jantung Elena langsung berdetak dua kali lebih cepat. Mata Delisa langsung bergerak ke samping Alvaro, di sana sudah duduk Delisa dengan ekspresi datar.“Silakan duduk.” ucap salah satu anggota dewan.Elena menurut. Ia duduk di kursi yang tampaknya memang telah disediakan khusus untuknya.“Bisa jelaskan kenapa namamu muncul dal
Elena baru saja sampai ketika seorang staf menghampirinya dan berkata bahwa Delisa—putri dari salah satu pemegang saham besar di perusahaan—memanggilnya ke ruangannya. Elena sempat ragu. Sejak insiden dengan Lucas, ia selalu waspada. Tapi tetap saja, ia tidak memiliki alasan menolak. Apalagi saat ini dia berada di perusahaan. Sesampainya di sana, Delisa menyambutnya dengan senyum lebar, seolah tak pernah terjadi apa pun. "Elena! Duduk, aku mau bicara sebentar," ucap Delisa lembut sambil menyilakan Elena duduk di sofa mewah yang tersedia di ruangannya. Elena sedikit kaku, tapi tetap duduk. “Aku dengar kamu jadi asisten Alvaro dengan Jose. Melihat karakter Alvaro, aku yakin kamu tidak belajar apapun dengannya, karena dia pasti tidak akan memberimu pekerjaan berat. Benar?” Elena hanya mengangguk kecil. Delisa tersenyum kecil, “kalau begitu, aku punya tawaran menarik untukmu.“” Elena semakin waspada, tetapi sebisa mungkin dia tak menampakkan kegelisahannya itu di depan Delisa. “
BRAK!Sebuah vas bunga mahal jatuh dan pecah di lantai. Air dan kelopak bunga mawar putih berceceran, menyatu dengan pecahan kaca yang berserakan di atas karpet. Nafas Delisa memburu. Wajahnya merah karena marah, dan tatapannya penuh api.Di depannya, seorang pria muda dengan setelan jas hanya bisa berdiri kaku, menunduk, takut bicara lebih jauh.“Apa maksudmu Lucas gagal?!” bentak Delisa. Suaranya menggema di ruangan besar bergaya modern itu. “Lucas bahkan nggak menyentuh Elena?!”Pria itu menelan ludah. “Iya, Bu… Dia bilang, eh… dia nggak bisa melakukan itu. Katanya… Elena baik banget. Bahkan dia terlihat kayak orang jatuh cinta…”Delisa langsung membalikkan badan, menatap tajam ke arah pria itu. “Jatuh cinta?! Astaga!” serunya, melotot. “Aku nyuruh dia jebak Elena, bukan malah main perasaan! Apa otaknya udah benar-benar rusak?!”Ia berjalan mondar-mandir, tangan terkepal di sisi tubuhnya. Setiap langkahnya terdengar keras di lantai marmer.“Lucas itu udah kubayar mahal. Semua udah k
Elena melihat sekelilingnya, tak ada seoran pun di rumah ini selain dirinya dan Lucas. Melawan pria ini, tak akan menguntungkan. Karena itu, dia harus mengulur waktu sembari menunggu kesempatan atau pertolongan. Meskipun tak yakin akan ada pertolongan.“Lucas…aku ingatkan padamu. Kamu pasti tahu siapa Alvaro kan?” Elena mencoba terlihat tenang. Dia berjalan perlahan menuju sofa. Lucas tertawa pelan, nada suaranya seperti mengejek. Dia berjalan mendekat.“Tentu saja aku tahu siapa dia. Semua orang takut padanya.” Tatapannya membara, ada obsesi di sana.Elena mundur perlahan, menjaga jarak. Dia tahu jika dia panik, pria ini bisa makin tak terkendali. Jadi dia menenangkan napasnya, menatap Lucas dengan tenang meski tubuhnya mulai gemetar.“Kamu pikir Alvaro akan diam kalau tahu aku ada disini?” Suara Elena terdengar dingin dan tajam.Lucas menyeringai. “Itu sebabnya aku harus cepat. Sebelum dia datang.” Elena merasakan detak jantungnya melonjak. Tapi wajahnya tetap datar. Dia berpiki
“Terima kasih,” ucap Elena pada Alvaro.“Sudah selesai?” tanya Alvaro.Elena melihat komputer sekilas lalu mengangguk. Pria itu melihat jam tangannya sesaat. Saat akan bicara, Jose datang membisikkan sesuatu. “Aku ada rapat,” kata Alvaro. “Tidak apa, aku bisa pulang sendiri.”“Kabari setelah di rumah.”Elena mengangguk. Setelah itu, Alvaro pergi bersama Jose entah kemana. Elena meregangkan tangannya, setelah seharian berkutat dengan angka yang sangat membosankan. Dia menyimpan hasil kerjanya dan mematikan komputernya. Meskipun dia merasa lebih nyaman memasak tetapi dia harus bertahan beberapa bulan di pekerjaan ini. Karena dia ingin membuka sebuah toko kue, dari hasil pekerjaannya di sini. “Semangat Elena, kamu bisa!”Dia menuliskan sebuah pesan ke Alvaro sambil berjalan keluar kantor. Karena tidak melihat jalanan, dia tak tahu ada sebuah mobil yang berjalan begitu cepat ke arahnya. “Awas!” teriak seseorang.Suara itu membuat Elena terkejut, hingga menoleh ke sumber suara dan mo
“Kamu yakin? Tidak takut?”“Aku sudah lama membiarkannya, ini saatnya menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa dia injak seenaknya.”Alvaro hanya tersenyum tipis mendengar kalimat yang keluar dari bibir wanita di sampingnya itu. Begitu mobil berhenti di depan gedung perusahaan, Alvaro segera keluar lebih dulu. Dengan langkah tenang, ia membuka pintu untuk Elena, membuat wanita itu menatapnya sesaat.“Keluar,” ucap Alvaro singkat.Elena menghela napas, lalu turun dari mobil. Saat mereka melangkah masuk, Jose dan beberapa pengawal berjalan di belakang mereka.Begitu sampai di lantai tertinggi gedung ini. Sebelum masuk ke ruangan Alvaro. “Jose.”“Ya, Tuan?”“Ajari dia pekerjaanmu.”Jose menatap Elena sekilas sebelum kembali menatap Alvaro, memastikan ia tidak salah dengar. “Maksud Tuan, saya harus mengajarkan pekerjaan saya kepada Nyonya?”Alvaro mengangguk tanpa ragu. “Ya.”Elena mengernyit. “Tunggu, maksudmu aku bekerja dengan Jose?”Alvaro yang semula hendak melangkah ke ruangannya,