"Minum dulu, Nona Liona." Rex menyodorkan sebotol air mineral pada gadis muda yang kini duduk di kursi tunggu.Mata Rex tak lepas menatap wajah lelah gadis itu."Apa Anda bermimpi buruk lagi?" Tanya Rex mencoba membuka obrolan.Tak ada jawaban, hanya tatapan sendu yang terlihat jelas dari kedua iris mata kecoklatan itu. Hal tersebut sukses membuat Rex menghela napas pelan.Ia cukup paham, bahkan sangat tahu. Kecelakaan yang terjadi tiga bulan lalu benar-benar mengguncang psikis gadis muda itu, cicit dari Tuannya.Masih terekam jelas di benak Rex malam itu. Malam di mana ia memberi laporan pada Kakek Lingga mengenai pergerakan kelompok mafia di Italia. Dan tanpa diduga mendengar kabar yang cukup mengejutkan, di mana cicit perempuan Tuannya menabrak seseorang dan melarikan diri.Tiga bulan yang lalu.Suara dering ponsel mengusik ketenangan dalam ruang kerja kakek Lingga.Pria paruh baya itu menatap lekat ponsel di atas meja, mengulurkan tangan dan meraihnya.Keningnya yang keriput terli
Hening tak ada yang mengeluarkan suara. Semua mata sesekali melirik ke arah pintu ruang operasi yang belum juga terbuka."Raila, ayo kembali ke ruang rawatmu. Kamu harus istirahat agar segera keluar dari rumah sakit," ucap Kaisar lembut mengusap puncak kepala Raila yang hanya menunduk sejak tadi.Tak ada jawaban. Raila tetap setia menundukkan kepalanya. Sesekali terlihat menggigit bibir bawahnya menahan rasa sesak di dada.Jika ingin jujur, hati gadis itu tak bisa dikatakan baik-baik saja saat ini. Apalagi mendengar hal yang terucap dari bibir Lion saat tiba di rumah sakit pagi tadi."Zara, bantu aku melakukan operasi besar pagi ini. Aku tidak yakin bisa menyelesaikannya sendiri, aku butuh bantuanmu.""Baiklah. Aku harus meminta izin pada pihak rumah sakit lebih dulu, karena aku tidak bekerja di rumah sakit ini." jelas Zara."Aku sudah meminta izin pihak rumah sakit.""Kamu terlihat panik. Jika boleh tahu, siapa orang itu?""Dia kakek istriku."Seketika Raila terisak mengingat ucapan
Kedua mata Adelia terbelalak kala sesuatu yang dingin menyentuh bibirnya. Jantungnya kini memompa dua kali lebih cepat dengan tangan gemetar mencoba mendorong bahu sosok yang kini meraup bibirnya, seolah akan menghabiskannya tanpa sisa."Emp."Sedang Kaisar memejamkan kedua matanya. Menikmati bibir atas dan bawah Adelia secara bergantian, tanpa peduli pada dorongan pelan di bahunya."Ah!" Adelia memekik tertahan kala gigitan cukup keras terasa di bibirnya. Sontak ia membuka bibirnya, membuat Kaisar dengan segera memasukkan lidahnya ke dalam sana.Kaisar mengangkat tubuh Adelia tanpa melepas ciumannya. Berjalan mendekat ke arah tempat tidur, lalu merebahkan tubuh Adelia perlahan.Suara deru napas saling bersahutan di dalam kamar itu. Kaisar menatap lama wajah Adelia yang kini mencoba meraup oksigen saat ciuman mereka terlepas.Senyum kecil terbit di bibir Kaisar, merasa lucu dengan ekspresi Adelia saat ini.Seketika napas Adelia tercekat di tenggorokan saat tangan besar Kaisar kini ber
Kesunyian menguasai salah satu ruang rawat VIP. Sosok Rex terlihat berdiri diam memandang pria yang saat ini duduk berdua di sofa bersama dengan Cucu Tuannya."Dokter Lionardo, bisa kita bicara berdua?" Tanya Rex dengan wajah datar.Seketika pandangan Lion mengarah pada Rex. Menarik napas dalam, lalu beranjak dari duduknya. Mengikuti langkah kaki Rex yang berjalan lebih dulu keluar dari ruang rawat itu."Mari, kita bicara di ruanganku." Ucap Lion sesaat setelah menutup pintu.Rex hanya diam mengikuti langkah Lion ke ruangan pria itu.Sesaat setelah tiba di sana, tatapan Rex kini berubah tajam menatap punggung Lion yang mendekati kursi dalam ruangan bernuansa putih tersebut."Jadi... Hal apa yang ingin kau katakan, Rex?" Tanya Lion to the point."Soal tawaran Anda... Saya tidak yakin dapat mengabulkannya."Senyum miring terbit di bibir Lion, membuat Rex menelan kasar ludahnya."Itu urusanmu. Janjiku sudah terpenuhi, melakukan operasi dan menyelamatkan nyawa Tuan-mu, urusan diterima ata
'Malam ini terasa lebih sunyi dari kemarin malam.' batin Adelia lalu tersenyum simpul.Sungguh, jika ia bisa berbicara. Mungkin saat ini Adelia akan berceloteh riah mengungkapkan rasa senangnya. Sosok yang selalu memicu ketakutannya akhirnya pergi walau hanya sementara.Adelia menggigit bibir bawahnya. Degup jantungnya kini berdetak tak karuan. Apakah dirinya masih bisa mengeluarkan suaranya suatu saat nanti?Pertanyaan itu kini terlintas di benak Adelia.Tetapi ia segera menepisnya. Mulai tersenyum kala mengingat jalan-jalan singkat antara dirinya dan Lora di taman tadi sore.Tubuh Adelia tersentak saat mendengar suara samar di luar kamar, lalu keheningan menyelimuti kembali.'Ada apa di luar?' batin Adelia mulai merasakan perasaan tidak enak.Sesaat kening Adelia mengerut melihat asap yang masuk melalui celah bawah pintu.Adelia mengibaskan tangan di depan wajahnya. Mencoba menyingkirkan asap yang perlahan mulai memenuhi ruangan itu.'Kepalaku... Pusing.'Sayup-sayup suara pintu ter
Langkah pelan Adelia menyusuri taman luas mansion mewah itu. Menyentuh sekilas bunga-bunga yang tengah bermekaran, terus melangkah sambil mengedarkan pandangan menatap sekeliling.Tidak terasa, sudah satu Minggu dia berada di tempat itu. Tak ada hal aneh yang terjadi seperti kebanyakan penculikan yang sering Adelia baca di buku NovelDia tidak terkurung di dalam kamar. Atau harus melakukan hal yang menyenangkan bagi pria bernama Demian itu.Adelia berucap syukur dalam hati. Meski tetap merasa resah sesekali. Perlakukan orang-orang di mansion itu membuat ia canggung. Dia diperlakukan seperti Nyonya rumah, disediakan segalanya hingga bahkan memakai baju selalu ada pelayan yang membantunya.Bukan karena ia ge-er atau sebagainya, hanya saja perlakuan para pelayan itu benar-benar membuat hatinya resah gelisah. Bagaimana jika pria itu menculiknya untuk dijadikan istri?Heh! Membayangkannya membuat Adelia bergidik. Masa iya keluar kandang singa masuk kandang macan!?Tiba-tiba, Adelia menghen
Kaisar mengerjapkan kedua matanya perlahan. Berusaha menegakkan posisi duduknya. Sedikit mendesis kala rasa nyeri menyerang.Seluruh tubuhnya benar-benar pegal pagi ini. Sudah seminggu ini dia tidak pernah tertidur di atas ranjang dalam kamarnya. Sofa, lantai, dan kursi kerjanya, entah besok di mana dia akan tidur lagi.Perlahan Kaisar beranjak dari duduknya. Melangkahkan kaki menyusuri lantai ruang kerjanya yang penuh dengan pecahan kaca dan buku yang tak pada tempatnya."Adelia," lirih Kaisar melangkah cepat keluar dari ruang kerjanya. Ia berjalan mendekati tangga, naik ke lantai dua menuju kamarnya. Kebiasaannya setiap pagi sejak tiga hari yang lalu, di mana setiap bangun ia akan segera memasuki kamar. Berharap saat membuka pintu akan ada sosok Adelia yang tertidur pulas di atas ranjang.Ceklek!Kaisar membuka lebar pintu kamarnya. Wajahnya yang sempat ceria, perlahan berubah sendu dengan bibir bergetar menahan tangis."Shit!" Kaisar mengumpat pelan, mengacak rambutnya yang beranta
"Tangan Kakak kenapa?" Raila bertanya dengan raut khawatir terlihat jelas di wajahnya.Tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti antara dirinya dan Kakaknya di ruang tamu.'Sepertinya terjadi sesuatu pada Kakak, Dia terlihat begitu menderita.' batin Raila menatap prihatin penampilan kakaknya yang begitu berantakan.Bulu-bulu halus terlihat begitu lebat memenuhi rahang Kakaknya. Apa kakaknya itu lupa untuk bercukur?"Kenapa keluar sendiri? Apa tidak ada orang yang menemanimu?" Tanya Kaisar setelah sepersekian detik diam tanpa berbicara.Raila menggeleng pelan. Ia datang ke tempat itu hanya diantar oleh sopir keluarganya. Lagipula dia sudah dinyatakan sembuh, buktinya sudah diperbolehkan pulang ke rumah 5 hari yang lalu. Jadi tak ada hal yang perlu ditakutkan."Kakak belum mandi?" Tanya Raila, meski ia dapat menebak. Melihat pakaian Kaisar tiga hari yang lalu masih melekat di tubuh kekar itu.Kaisar menghela napas pelan. Mengusap kasar wajahnya dengan tangan yang terbalut kain
Suara decitan ban terdengar memenuhi bandara pribadi keluarga Salvatore saat sosok putra kedua di keluarga itu mengerem dadakan mobilnya.Devian segera membuka pintu. Berlari dengan tergesa-gesa mendekati jet pribadi miliknya yang siap lepas landas menuju La Spezia. Tepat saat tiba di samping pintu jet, Devian menoleh ke belakang. Menatap sepupunya yang masih berada dan diam dalam mobil."CEPATLAH, KAISAR! KAMU INGIN BERDIAM DI SINI LEBIH LAMA, HAH!" teriak Devian frustasi.Kaisar mengerjap mendengar teriakan itu. Teriakan yang seolah menyatakan jika sepupunya tengah melampiaskan amarah padanya.Apa salahnya? Sejak tadi Kaisar hanya diam, bahkan saat Devian menambah kecepatan mobil itu Kaisar tetap tak membuka suara dan hanya menggenggam erat sabuk pengaman.Sedang Devian mengusap kasar wajahnya. Hatinya sedang tidak tenang setelah menerima telepon bawahannya tadi. Telepon yang mengatakan jika terjadi sesuatu tak terduga di depan mansion Kakaknya. Kehadiran beberapa orang yang terliha
“Terima kasih atas kerja kerasnya, Nona. Sampai ketemu di esok hari.”Perlahan pintu tertutup rapat, meninggalkan Adelia sendiri di dalam kamarnya dengan bulir keringat dingin yang terlihat jelas membasahi keningnya. Adelia menghela napas lega dengan tubuh mendadak lemas. Kegugupan itu mampu membuat Adelia sulit untuk berkonsentrasi.‘Rasanya lelah sekali,’ Adelia membatin sambil menggigit bibir bawahnya, ‘tapi aku tidak boleh mengeluh. Pasti Tuan Demian sudah mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk membayar guru privat untukku. Aku harus bekerja keras agar bisa membayar semua kebaikan yang Tuan Demian berikan.’Adelia menyentuh dadanya. Di dalam sana jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Dia sungguh berterima kasih, tapi juga merasa terbebani. Dan lagi, sisi hatinya terus saja merindukan sosok yang telah menyiksanya dahulu.Apakah dia mengalami kelainan hingga merindukan sosok kejam itu? Segera Adelia menggelengkan kepala mengusir segala pemikiran aneh dalam benaknya. Semakin k
Sosok pemillik dari perusahaan KR Group itu kini terlihat duduk melamun dalam ruang tamu apartemen adiknya. Kaisar menghela napas pelan sambil mengusap kasar wajahnya. Lagi-lagi dia melamun membayangkan kehadiran Adelia di sisinya. Nyatanya semua hanya angan sahaja.Penampilan Kaisar sudah sedikit berubah hari ini. Begitu berbeda dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di Milan. Raila sungguh mengurus kakaknya dengan baik.Wanita cantik itu terus saja mengingatkan kakaknya untuk makan tepat waktu, bahkan saat Raila tak berada di apartemen tersebut, dia selalu menyempatkan diri menelepon Kaisar meski hanya beberapa menit.“Kakak, tadi malam aku mimpi indah. Aku melihat kakak tersenyum begitu manis pada seorang wanita di sebuah taman yang penuh dengan bunga bermekaran.” Raila bercerita begitu antusias mengenai mimpinya, membuat Kaisar tersenyum kecil menanggapi hal itu sebelum akhirnya Raila berpamitan untuk pergi ke Universitas.“Adelia…” Kaisar bergumam lirih dengan punggung bersan
Pembicaraan penting masih berlanjut di ruang keluarga kediaman Salvatore. Namun, ada hal yang terasa berbeda di ruangan itu, hingga membuat Kaisar sesekali melirik penuh tanya pada sepupunya yang mendadak menjadi pendiam setelah ia kembali dari dalam kamar mengambil beberepa dokumen penting.“Masih ada beberapa hal penting yang kurang bagiku dalam kontrak kerja sama ini.” Devian meletakkan dokumen yang ia baca ke atas meja, menatap fokus pada Kaisar yang tak mengalihkan pandangan darinya sejak tadi, “kamu tidak keberatan jika aku menambahkan beberapa hal penting ‘kan?”Kaisar segera menggeleng, “bukankah itu hal wajar? Lagi pula aku masih akan melihatnya sebelum menyetujuinya.”“Baiklah. Tapi, sepertinya itu akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Kamu akan tinggal berapa hari lagi di Negara ini?” ucap Devian mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak ingin membalas tatapan mata sepupunya yang terlihat menyipitkan mata curiga.Sejenak keheningan mencekam menguasai. Kaisar tak kunjung
‘Akhirnya tiba juga.’Kaisar menatap sekeliling bandara dengan tatapan datar. Ia menghela napas pelan, menaikkan sebelah alisnya menatap sosok pria yang tengah melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum.Perlahan Kaisar melangkah mendekati sosok itu. Menarik pelan koper kecilnya dengan wajah datar yang senang tiasa terlihat.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Kaisar menaikkan sebelah alisnya bertanya.Kekehan pelan terdengar keluar dari bibir Devian, sosok kembaran dari Demian.“Menjemputmu,” balas Devian santai. Tak terlalu peduli dengan ekpresi yang terlihat di wajah sepupunya itu. Karena Devian cukup mengenal seperti apa sifat seorang Kaisar Argantara.“Seharusnya tidak perlu.” Keduanya mulai melangkah keluar, “seharusnya kamu tidur saja. Aku bisa ke hotel terdekat menggunakan taksi,” lanjut Kaisar yang terlihat tak dipedulikan oleh Devian.Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Devian memasuki mobilnya. Kaisar hanya bisa menggeleng pelan melihat hal tersebut. Segera masuk setelah mel
Keheningan masih menguasai di dalam ruang tamu sebuah mansion. Sosok wanita yang duduk di sofa panjang itu hanya menunduk dengan meremas kuat tangannya. Ia takut untuk mendongak, menatap pria yang terlihat seperti orang lain saat ini.“Sepertinya sudah saatnya aku untuk pergi.” Ucap Devian tiba-tiba, melihat arloji yang melingkar di tangannya.Adelia menoleh ke sumber suara. Mengerjap menatap sosok yang kini beranjak dari duduknya, bersiap untuk pergi meninggalkan mansion itu. Padahal sosok itu baru saja tiba tiga puluh menit yang lalu.Devian tersenyum simpul pada wanita yang kini menatapnya bingung, “kalau begitu, aku pamit undur diri. Masih ada hal yang harus aku lakukan, jika ada kesempatan aku aka mengunjungimu lain kali. Dan lain kali aku membawa buah tangan, sampai jumpa.”Devian melambaikan tangannya pada Adelia, berjalan begitu santai sambil bersiul riah hingga menghilang di balik pintu.Kedua mata Adelia mengerjap beberapa kali. Namun, ia segera mencoba untuk menstabilkan pe
“Mansion siapa ini?” Devian bergumam menatap seksama tembok mansion di hadapannya. Setelah tadi mengikuti mobil Demian, kini ia telah tiba di depan gerbang mansion yang entah milik siapa. Seingatnya, kakaknya itu tak pernah membeli mansion itu. Dengan segera Devian merogoh saku celana kainnya. Meraih benda pipih di sana, lalu segera menghubungi nomor Kakaknya. Tidak lama berdering, sosok di seberang telepon mengangkat panggilannya. “Hm.” Hanya suara dehaman yang terdengar, menandakan jika kakaknya tak ingin diganggu saat ini. “Kau ada di mana?” tanya Devian, kembali mengedarkan pandangan menatap sekeliling. Terlihat cukup asri dan nyaman di pandang. “Di luar,” jawab singkat Demian. Sesaat hening menguasai, hingga Devian kembali membuka suara. “Kau berada di Milan ‘kan?” Keheningan kembali menguasai setelah Devian mengutarakan pertanyaan itu. Pria berusia dua puluh dua tahun itu tahu, jika kakaknya tengah terkejut saat ini dan pasti berpikir keras akan maksud pertanyaannya. “A
Kedua mata Kaisar mengerjap beberapa kali. Memandang lama ke arah Ayahnya yang baru saja melemparkan bantal sofa, hingga tepat mengenai wajah tampannya. “Aneh-aneh saja kamu,” ucap Revan menggeleng pelan, menyandarkan punggungnya ke sofa. Rania menghela napas pelan, berniat untuk bangkit dari duduknya dan memasuki dapur. “Aku serius, Dad.” Ucap Kaisar tanpa ragu. Seketika kedua orang tuanya menatapnya terkejut, “aku sudah menikah diam-diam dengan seorang wanita.” Lanjutnya lirih. Revan mematung di sofa dengan mulut sedikit terbuka mendengar ucapan lirih Putranya. Sedikit melirik ke arah istrinya yang tak jauh berbeda, benar-benar terkejut mendengar kejujuran Putra sulung mereka. “Kaisar…” panggil Revan dengan suara bergetar. Pria setengah baya itu mencoba mengatur deru napasnya yang tidak beraturan, mencoba untuk tenang agar tak mencerca Putranya dengan pertanyaan. “Kapan?” tanya Revan pelan, memijit pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Rania kembali duduk di tempatnya. Me
Kaisar menggenggam erat ponsel di tangannya mendengar ucapan di seberang sana. Ia tahu jika hal itu sangat menganggu, tetapi amarah dan rasa penasaran tak bisa menghentikan niatnya untuk segera menghubungi sepupunya itu."Aku tanya, kamu waras?" Tanya Demian lagi, terdengar jelas nada datar di seberang telepon.Sesaat Kaisar tetap diam. Tatapannya menajam menatap tembok ruang kerjanya, tak memedulikan sosok adiknya yang kini memasuki ruangan itu."Aku tanya, di mana dia?!" Sentak Kaisar mengabaikan pertanyaan Demian.Helaan napas pelan terdengar di seberang telepon."Dia siapa?"Terdengar jelas nada tak tahu dari ucapan sepupunya itu."Adelia!" Sentak Kaisar mengebrak meja kerjanya.Tubuh Raila terkesiap mendengar suara teriakan dan gebrakan meja itu. Ia menatap kakaknya dengan mengerjapkan mata beberapa kali.'Adelia... Apa itu nama Istri Kak Kaisar?' batin Raila mulai menyimpulkan.Keheningan menguasai di seberang sana, membuat kening Kaisar mengerut lalu menjauhkan benda pipih itu d