“Tidak!” kata Callista dengan nada sedikit meninggi. Dia tidak terima kalau temannya yang bernama Richard itu adalah bos mafia. Dirinya melanjutkan, “Aku sudah bertemu dengan bos ValHolitz dan bukan pria itu bos mereka. Kenapa kau dan Fritz mengatakan hal yang sama? Padahal kalian belum melihat bos mereka yang sebenarnya, iya, kan?”“Kau yakin yang kau temui itu bos mereka? Aku rasa kau bertemu orang yang berbeda,” balas Alberto membuat Callista membelalakkan mata. Kenapa sang bos berkata begitu? Apakah mungkin yang dikatakannya benar? Kini Callista menjadi kebingungan sendiri.“Ah! Aku lupa kalau aku tidak boleh banyak bicara. Ya, itu terserah dirimu mau berteman dengannya atau tidak, asalkan kelompok ini tidak terlibat masalah dengan mereka. Walaupun Fritz memiliki masalah dengan orang-orang itu, aku yakin masalah tersebut akan cepat selesai, apalagi akan ada yang membalas dendam. Aku harap balas dendam ini tidak menjadi masalah besar untuk kami,” lanjutnya seraya meneguk segelas mi
Fritz Ryker menghentikan langkahnya untuk mempertanyakan apa keinginan orang yang mengikutinya itu, tapi orang tersebut hanya menatapnya lalu pergi begitu saja, seakan-akan enggan untuk berbicara dengan Fritz. Dia menduga kalau orang tadi adalah suruhan bos ValHolitz untuk memantaunya. Entah berapa orang yang mengawasi gerak-gerik Fritz, dia harus sangat berhati-hati dalam mengambil tindakan, termasuk ketika berbicara dengan Callista. Ada kemungkinan kalau orang tadi akan melaporkan hasil pemantauannya kepada sang bos.Dia melanjutkan lagi langkahnya dan membiarkan para pembuntut untuk mengikuti dia. Sesampainya di markas, beberapa orang yang mengenal Fritz dan tahu apa yang terjadi, mempertanyakan keadaan pria ini. Fritz tidak menjawab, dia hanya tersenyum. Kesulitan untuk berbicara membuatnya tidak bisa menjawab semua pertanyaan dan kekhawatiran dari teman-temannya itu. Dengan terpaksa hanya senyuman saja yang dia tunjukkan.“Fritz Ryker … akhirnya kau d
Fritz mengamuk, bahkan sampai melempar handphonenya ke sembarang tempat. Beberapa orang yang ada di ruangan itu menolehkan kepala. Salah satu pria yang mengenal Fritz mempertanyakan apa yang terjadi, sayangnya Fritz tidak menjawab. Dia mendorong temannya itu dengan kasar lalu mengambil handphonenya dan pergi begitu saja. Dengan emosi, dia menemui Alberto untuk segera menyuruhnya melakukan misi. Dirinya ingin misi tersebut tidak hanya satu melainkan lebih.Karena melihat betapa emosinya Fritz, dengan cepat Alberto memerintahkannya untuk melakukan tiga misi di tempat yang berbeda. Alberto sedikit senang karena baginya, kalau anak buah sedang emosi, maka pekerjaan akan dilakukan dengan cepat. Mungkin besok Fritz akan kembali dan meminta misi lagi. Dengan begitu, target yang ingin dimusnahkan oleh Forezsther akan mati dalam waktu dekat.Sebelum Fritz pergi, Alberto sempat berpesan. Dia berkata, “Ryker, jangan melakukan hal ceroboh dan gegabah! Tetap waspada karena ak
“Kau benar kalau perusahaanku ada di seberang kawasan ini,” lanjut Richard membuat Callista bernapas lega. Dia terkejut karena ternyata pria itu berkata begitu, bukan hal yang tidak ingin dia dengar. Dirinya mengira kalau perusahaan Richard ada di kawasan ValHolitz. Pria tersebut kembali berkata, “Jujur saja aku takut kalau melalui jalanan ini, apalagi terkenal dengan kawasan mafia. Namun aku tidak memiliki pilihan lain, hanya jalanan ini yang dekat dengan perusahaanku. Kalau aku memutar jalan lain, akan memakan waktu banyak.” “Kenapa kau tidak pindahkan saja perusahaanmu ke tempat lain?” tanya Callista. “Sebenarnya aku berencana untuk pindah, hanya saja belum ada waktu yang pas untuk melakukan hal itu, apalagi aku cukup sibuk dan nyaman berada di sana. Rasanya sayang sekali kalau pindah,” jawabnya. “Oh begitu,” balas Callista. Richard hanya menganggukkan kepala. “Kau tahu, Fleischer? Aku sering mendengar desas desus tentang keburukanku di luar sana, entah siapa yang menyebarkannya
Callista tertawa pelan seraya berkata, “Kau sampai terkejut begitu. Aku hanya bilang seandainya kalau musuhmu seorang mafia, apa yang akan kau lakukan?”Dengan malu, Richard tertawa seraya menggaruk kepalanya. Dia terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan wanita itu. “Jika musuhku seorang mafia, kemungkinan aku akan membawa polisi hehe,” tawa Richard membuat Callista tertawa.“Kau ini … ku kira kau akan menjawab sesuatu yang lebih keren yang mungkin bisa kau lakukan. Bukankah sebelumnya kau bilang kau tidak takut?” balas Callista. Pria itu hanya cengengesan. Callista melanjutkan, “Kalau seandainya polisi tidak membantumu, apakah kau akan tetap mengandalkan mereka?”“Sepertinya aku akan pasrah karena aku begitu takut dengan mafia,” jawab Richard. Tampak Callista kecewa dengan jawaban itu. Jelas saja karena dia ingin tahu apa yang akan dilakukan orang lain ketika berada di posisi yang sama sepertinya. Namun jawaban Richard begitu mengecewakan, bukan seperti
Callista menceritakan kalau dia pernah terlibat dengan kriminalitas. Dirinya tidak memberi tahu tentang pekerjaan sebenarnya dan hanya bilang kalau dia pernah menjadi pengedar narkoba. Karena kesulitan mencari pekerjaan lain, makanya dia bekerja dengan cara kotor demi mendapatkan sejumlah uang. Namun sekarang dia sudah berhenti melakukan hal tersebut.Karena pernah membuat masalah ketika masih menjadi pengedar narkoba, banyak masalah yang dia hadapi termasuk melawan mafia, tapi tidak sampai melawan bos mereka. Callista mengaku kalau dia bisa berkelahi, hanya saja tidak begitu mahir. Setidaknya mampu untuk melarikan diri ketika dalam situasi genting.Tidak semua cerita yang disampaikannya benar. Wanita ini masih memiliki sedikit keraguan dalam hatinya untuk memberi tahu Richard semua yang sedang dia lakukan dan rasakan sekarang. Setidaknya dia ingin agar Richard tahu bahwa saat ini dirinya sedang menghadapi masalah yang rumit. Meski Richard tidak membantu banyak, tapi dia tetap ingin m
DUAR!Terdengar suara ledakan yang cukup besar, terdengar dari arah luar gedung. Dia dan beberapa anak buah Forezsther pun keluar dari sana. Tidak jauh dari tempat Callista berdiri, sebuah bangunan yang sudah tidak terpakai terbakar cukup hebat. Dengan cepat mereka berlarian untuk mendekati kebakaran itu. Selain mereka, para warga pun menyaksikan juga serta bertanya-tanya.“Apa yang terjadi?” gumam Callista. Dia menoleh ke sana kemari, mencoba untuk mencari seseorang yang mungkin mencurigakan. Namun sayang, terlalu banyak orang sehingga dia kesulitan untuk melihat orang yang pantas untuk dicurigai.“Siapa yang sudah meledakkan bangunan itu?” tanya seseorang membuat Callista menoleh, ternyata Letizia. Wanita tersebut tampak terkejut seraya menatap ke arah bangunan yang terbakar.“Kemungkinan seseorang menaruh bom, tidak mungkin bangunan yang sudah tidak terpakai meledak tanpa sebab,” jawab Callista.“Kau benar, Zouch. Kira-kira siapa pelakunya?”“Tidak tahu, terlalu banyak orang di sin
Callista menjelaskan apa yang dia dapatkan kepada Federico. Setelah pria itu mengerti, sambungan telepon pun dihentikan. Federico bilang kalau dirinya akan mencari tahu siapa pemilik dari sidik jari itu, selagi menunggu Callista memikirkan tentang huruf V yang ada di salah satu benda di bom rakitan yang dia duga pemiliknya adalah ValHolitz. Untuk mengetahui benar atau tidaknya dugaan tersebut, dia kembali ke gedung bekas pengeboman pada tengah malam. Tidak ada rasa takut yang dia rasakan, bahkan sampai masuk ke akses yang paling sulit.Meski berbahaya, Callista tetap melangkahkan kakinya untuk masuk lebih dalam lagi. Dia juga mengangkat barang-barang yang menghalangi jalannya. Tidak lama kemudian, dia menemukan sebuah kartu identitas yang tergeletak menuju ke lantai dua. Kartu itu tampak tidak gosong atau terbakar, justru masih dalam kondisi yang bagus. Callista curiga kalau sebelum dirinya ke sini, ada orang lain yang masuk.“Aku meninggalkannya di sini.”