Kanisa kembali ke mansion karena dia kehilangan jejak Tendero ditambah lagi Netra sudah berkali-kali menghubunginya, memberitahunya kalau Tera terus saja menangis makannya Kanisa pun terpaksa menyudahi kegiataanya memata-matai Tendero.
Meletakan tas yang dia bawa di atas meja Kanisa pun segera mengambil alih Tera dari pangkuan Netra, begitu dia menggendongnya Tera yang sejak dari tadi terus menangis pun langsung berhenti begitu dia tahu kalau kini dirinya sudah berada di dekapan sang ibu.
Kanisa menghela nafas, dia pun memilih menyusui Tera sambil duduk di sopa.
“Nona habis dari mana saja seharian ini?” tanya Netra membuat Kanisa menoleh kepada wanita itu.
“Hanya jalan-jalan saja, kenapa memangnya?” jawab Kanisa.
Netra menggelengkan kepalanya dan tersenyum, “Saya pikir nona ada hal penting makannya nona tadi perginya terlihat buru-buru sekali.”
“Kau tidak kemana-mana.” “Kenapa tidak boleh, aku hanya ingin jalan-jalan sebentar.” “Kau tidak tahu apa pun, jadi diam saja di rumah.” “Egois.” Tendero yang sedang duduk di sopa, menatap Kanisa yang bersiap untuk pergi sambil bersidekap. Pandangan matanya tampak tajam. “Siapa yang akhir-akhir ini menghubungimu,” tanya Tendero. “Tidak ada.” “Kau yakin tidak ada?” “Aku sudah tahu apa yang sebenarnya kau sembunyikan,” ujarnya Tendero. “Memangnya apa yang aku sembunyikan.” “Apa maksudmu, aku tidak paham.” Tendero berdecak, “Tidak perlu pura-pura bodoh. Kamu pikir bisa membodohiku.” “Kau mau tahu dia tidak akan lagi menghubungimu.” Tendero tersenyum kecil. Kanisa yang melihatnya hanya terdiam.
Kanisa mengecek ponselnya, “Siapa sebenarnya orang itu. Sebenarnya apa yang Tendero rahasiakan dariku?”Kanisa memandang Tera yang ada dalam pangkuannya. Netra juga ada di sebelahnya. Tampak memerhatikan Kanisa yang tengah gelisah.“Kenapa nona terus-terusan menatap ponsel. Apa ada sesuatu?” tanya Netra.“Aku... ”Belum selesai Kanisa berbicara, sebuah pesan masuk ke ponselnya.[Suamimu sangat gila. Apa kau percaya padanya? Kanisa.]Netra mengambil alih Tera dari pangkuan Kanisa.[Apa maksudmu?][Kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Tentu saja tidak.][Siapa kau sebenarnya][Coba tebak, siapa aku? Kau sudah tahu aku. Kita pernah memiliki hubungan khusus.][Bayi. Kau pernah hamil sebelumnya, selain Tera.
Pagi-pagi sekali Kanisa sudah dibuat repot mengurus suami dan ketiga anaknya. Hari ini adalah hari keberangkatan Kanisa dan sekeluarga ke indonesia untuk menemui keluarganya yang sudah sangat lama tidak Kanisa kunjungi. Bukan hanya Kanisa saja yang merasa excited pergi ke indonesia tapi juga Tera si anak pertama pun terlihat sangat excited, tidak sabar untuk bertemu dengan nenek, kakek dan bibinya yang ada di indonesia. Sementara untuk Tendero sendiri, dia terlihat biasa saja namun tak ayal debaran pada jantungnya terasa lebih kencang dan juga merasa gugup. Mungkin karena ini kali pertamanya bagi Tendero menemui keluarga mertuanya dengan niat baik-baik itu sebabnya Tendero merasa gugup tapi dia tidak menunjukan perasaan gugupnya itu secara terang-terangan kepermukaan terutama pada Kanisa. Jika Kanisa sampai tahu perasaan Tendero yang sebenarnya istrinya itu pasti malah akan meledeknya. “Mah sepatuku mana?” teriak Tera dari kamarnya. “Sayang kaos kakiku yang warna putih mana?” teriak
Kanisa pun cukup rutin mengunjungi keluarganya di indonesia. Entah itu karena Tera yang ingin menghabiskan waktu bersama kakek, nenek dan bibinya atau saat Kanisa yang mulai kembali merindukan dan ingin bertemu dengan mereka. Selain untuk mengakrabkan ketiga anaknya dengan nenek, kakek dan bibinya. Terkadang kunjungan Kanisa dan Tendero ke indonesia juga untuk menjalankan bisnis yang digeluti oleh Tendero. Setidaknya saat Tendero tengah bekerja dia tidak akan mencemaskan Kanisa dan ketiga anaknya karena mereka aman berada dikediaman keluarga mertuanya. Tentunya selama Tendero bekerja dia juga tidak lupa menempatkan banyak penjagaan di sisi Kanisa untuk melindungi keluarga mertuanya, istri dan juga ketiga anaknya dari bahaya yang bisa datang tidak terduga karena mulai banyak musuh-musuh Tendero yang kembali bergerak mengincar keluarganya demi untuk menekan Tendero. Selain semakin dekat dengan keluarganya. Persahabatan Kanisa dan juga Anera yang sempat putus setelah pertemuan terakhir
Sejak awal menginjakan kaki di mansion mewah yang super megah itu untuk pertama kalinya Kanisa langsung di sambut baik dan sangat diperlakukan hormat oleh para pelayan dan para penjaga yang bekerja di mansion tersebut.Sikap lembut dan ramah dari setiap orang di dapatkannya dalam sekejap. Tidak, bukannya Kanisa tidak ingin diperlakukan layaknya ratu, tentu saja setiap orang menginginkan posisi itu termasuk dirinya. Hanya saja itu membuatnya sangat bingung. Pasalnya, Kanisa tahu betul semenjak sang bos Mafia meminta dirinya menjadi jaminan pelunas hutan keluargannya, mulai sejak itu juga dia adalah pelayan sang bos besar itu. Di mansion itu dirinya tidak lebih dari seorang pelayan, atau lebih tepatnya budak pribadi Tendero yang harus melayani sang tua di saat pria itu menginginkannya. Baginya menjadi pelayan mansion biasa yang pekerjaan hanya mengurus mansion dan memasak adalah hal yang derajatnya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan dirinya yang tidak lebih dari seorang budak p
“Kita mau kemana?” tanya Kanisa, menoleh pada Tendero yang sedang menyetir di sebelahnya. Tendero tersenyum melirik sekilas pada Kanisa dan kembali fokus menatap jalanan di depan. “Acarannya akan dimulai nanti malam, sekitar jam 8. Makannya sebelum kita pergi ke pesta, aku akan membawamu ke mall dan kelinik kecantikan terlebih dulu. Selama ini kamu sudah terlalu lama diam di mansion dan tidak jalan-jalan keluar selain disekitar halaman mansion. Makannya, sekarang kamu boleh belanja dan mempercantik dirimu, sepuas yang kamu mau.” “Tapi bukankah kita sudah sepakat akan pergi jalan-jalan seusai pesta nanti malam?” “Mumpung sekarang masih ada banyak waktu, kenapa tidak dimanfaatkan. Setelah pesta nanti kita juga akan jalan-jalan lagi ke tempat-tempat yang kamu inginkan.” Tendero meraih tangan Kanisa yang berada di pangkuan wanita itu dan menggenggamnya dengan lembut. “Enjoy baby,” ucapnya kemudian mengecup punggung tangan Kanisa. Kanisa hanya bungkam, menatap Tendero yang meliriknya
“Ya rabb, musnahkan Maharani Nurpalah.” “Ya Allah, hancurkan Maharani Nurpalah.” “Ya Allah, lenyapkan Maharani Nurpalah.”Pencela dia selalu berkata kasar, dia selalu berbicara keburukan, dia selalu berbuat keburukan dan kejahatan namun dia tak pernah mengetahui setiap kejahatan dan keburukannya sendiri. Dia selalu mementingkan dirinya dengan mengorbankan yang lain. Dia selalu lebih perduli pada dirinya sendiri dengan mengorbankan yang lain. Pencela itu tidak tahu apa pun. Dia tak pernah mengetahui apa pun dan tidak pernah perduli apa pun. Dia selalu berbuat keburukan dan kejahatan tanpa takut dengan dosa. Dia tak perduli dengan dosa, itu sebabnya dia tak pernah merasa takut dalam berbuat kejahatan dan keburukan. Dia selalu berbuat berbagai kejahatan dan keburukan namun sekalipun dia tak pernah menyadari akan dosa dosa dari setiap kejahatan dan keburukannya. Kemalasan yang tidak dapat, apa pun. Kemalasan yang tidak dipahami oleh apa pun. Kemalasan yang selalu tertidur di kegelapan.
“Aku tak paham dengan perubahan akhir-akhir ini,” Alwar menatap jendela disampingnya yang berembun. Hujan deras menimpa kota kelahiranya sejak dari tadi malam bahkan sampai siang menyapa hujan tak kunjung berhenti juga. Alwar merasa heran saja bagaimana bisa hujan datang di saat belum musimnya. Seorang paman tua memanggil Alwar dan Alwar pun segera menghampiri sang paman yang baru saja memanggilnya tersebut. “Apa ada hal yang aneh dari jendela yang kau tatap terus itu,” ujar sang paman kemudian menatap Alwar. Alwar mengerutkan keningnya, “Aku tak tahu kalau paman memerhatikanku.” Paman itu mengedikan bahunya, “Entah lah. Aku hanya merasa heran saja, untuk apa kau terus menatap jendela tersebut.” Alwar kembali diam, “Hanya menatapnya saja, tidak lebih. Aku hanya heran saja kenapa hujan terus mengguyur meski sudah siang pun.” Tanpa menatap Alwar lebih lama, paman tersebut pergi dari hadapan Alwar dia mengambil payung lalu keluar dari toko, meninggalkan Alwar sendiri di toko tersebut