“Herman.” Panggil Bude Rima ketika melihat anaknya pulang namun buru-buru pergi lagi.
“Ibu, aku harus segera kembali ke rumah sakit. Kasihan Syena kalau sendirian di sana.” Jawab Rahman sambil merapikan beberapa pakaiannya dan pakaian milik Syena yang tadi sudah diambilnya ke dalam tas.
“Kalau hanya untuk mengambil pakaian, kenapa tidak telepon Ibu saja. Biar Ibu yang antar.” Kata Bude Rima mengikuti anaknya yang sedang berjalan tergesa menuju keluar rumah.
Rahman hanya terdiam, kini ia sudah naik ke vespa miliknya dan siap melajukan kendaraan itu, ketika tiba-tiba Sarah datang bersama dengan Gladys.
“Ayah mau ke mana? Buru-buru sekali.” Tanya Gladys dengan wajah semringah yang justru dibalas dengan tatapan tidak suka oleh ayahnya.
“Ya pasti kembali ke rumah sakit lah. Anak kesayangannya kan sedang dirawat sekarang. Sampai tidak ingat pulang ke rumah.” Kata Sarah dengan nada menyindir.
“Mau ke mana, Ratih?” Tanya Pak Hadi ketika melihat Ratih keluar dari rumah dengan terburu-buru.“Eh, Pak Hadi. Mau ke minimarket depan sana sebentar, Pak. Beli susunya si kembar. Saya lupa cek. Ternyata susu mereka sudah habis. Apalagi setiap mau tidur mereka selalu minum susu, kasihan kalau nanti malam mereka tidak minum susu. Saya permisi dulu, Pak.” Jawab Ratih.“Tidak mau saya antar? Saya hanya khawatir jika terjadi apa-apa lagi.” Kata Pak Hadi.“Tidak perlu, Pak. Lagi pula saya hanya sebentar. Mari, Pak.” Jawab Ratih lagi kemudian berlalu pergi.Saat itu hari sudah sore. Jalanan terlihat agak sepi, lengang. Setelah sampai di minimarket yang dituju, Ratih segera membeli susu itu, membayar di kasir dan kemudian pulang. Namun di perjalanan, tangannya tiba-tiba dicekal dari belakang oleh seseorang. Ratih terkejut ketika menoleh dan mendapati Frans di sana. Tapi kali ini penampilannya biasa saja. Tidak mema
Syena mengerjapkan matanya perlahan, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela berhasil membangunkannya. Ia melihat pakdenya berdiri di ambang jendela, penglihatannya mengarah ke taman. Begitu menyadari Syena sudah terbangun, Rahman segera mendekat ke arah Syena.“Mau jalan-jalan ke taman?” tanya Rahman dengan senyum semringah.Syena mengangguk, tapi terlebih dulu Rahman membersihkan wajah Syena dengan washlap yang telah dicelupkan pada air hangat yang telah ia siapkan. Setelah selesai, Rahman membawa kursi roda dan membantu Syena turun dari ranjang kemudian duduk ke kursi roda.“Mari kita jalan-jalan.” Kata Rahman pada Syena.Mereka menyusuri lorong rumah sakit yang masih terlihat sepi. Hanya ada beberapa keluarga penunggu pasien yang terlihat sedang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Mereka menuju taman yang berada tepat di belakang ruangan Syena dirawat. Sesampainya di sana, wajah Syena mulai berubah. Udara sej
Vania tengah menyiram tanaman di halaman rumah sekarang, dia bahkan terdengar bersenandung. “Vania, biar saya saja yang menyiram tanamannya. Masak majikan menyiram tanaman sedangkan ada pembantu di rumah.” Kata Ratih pada Vania. Vania tertawa kecil mendengar ucapan Ratih. “Sudahlah, kamu masak saja sana di dapur. Lagi pula ini juga bukan pekerjaanmu. Ini pekerjaan tukang kebun yang kebetulan izin karena istrinya hendak melahirkan.” Jawab Vania masih asyik dengan kesibukannya tanpa begitu menghiraukan keberadaan Ratih. “Baiklah kalau begitu saya permisi, dulu.” Kata Ratih. “Eh, Ratih. Kapan jadwal pergi ke pasar? Rasanya aku rindu sekali dengan jajanan pasar.” Kata Vania, kini dia berhenti menyiram tanaman dan mengajak Ratih berbincang. “Dua hari lagi. Tapi Oma Rahma tidak akan mengizinkanmu pergi ke pasar lagi. Aku juga takut akan terjadi apa-apa padamu seperti waktu itu.” Jawab Ratih menunjukkan kekhawatirannya. “Iya, aku tahu
“Sudah siap semua, Syena? Pastikan tidak ada satu pun barang yang tertinggal.” Kata Rahman kepada Syena. Hari ini, Syena sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Jadi mereka akan segera pulang. “Sudah, Pakde.” Jawab Syena. Kemudian Rahman mengambilkan kursi roda untuk Syena. Namun justru Syena menolak. “Untuk apa kursi roda itu, Pakde? Aku sudah sehat, sudah sembuh. Aku bisa berjalan sendiri.” Kata Syena sambil menyunggingkan senyuman kepada pakdenya. “Oh, baiklah. Mari kita pulang.” Kata Rahman menggandeng tangan Syena. Bahkan pulang pun mereka naik motor. Syena sudah sembuh, meskipun perban di kepalanya juga belum dilepas. Rencananya akan dilepas ketika kontrol nanti dam jika memang semua lukanya sudah sembuh total. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sekitar 2p menit. Akhirnya mereka sampai di rumah, dari kejauhan sudah terlihat Bude Rima yang sedang menyapu halaman
Frans sedang bersantai di tempat persembunyiannya di Hongkong. Hari ini, dia sedang malas melakukan sesuatu. Apalagi dengan tugas yang baru saja diberikan oleh ibunya. Bukannya semangat untuk segera mengerjakan, dia justru malas-malasan. Dia bosan harus selalu menuruti keinginan ibunya untuk mengerjakan segala urusan yang ia anggap penting. Hal seperti itu selalu membuat Frans sibuk dan akhirnya urusannya sendiri dalam mencari tahu keberadaan anaknya sendiri selalu tersisihkan. Ya, motif Frans selalu mengintai Vania adalah ingin mengetahui keberadaan anaknya. Frans dan Vania dulu adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, hingga suatu hari Vania memperkenalkan Frans pada keluarganya. Semua menyambut Frans dengan baik. Hingga kemudian Frans menceritakan siapa ibunya dan membuat keluarga Vania menolaknya mentah-mentah. Marlina adalah saingan terbesar bisnis keluarga Vania. Marlina memang pebisnis perempuan yang hebat namun memiliki banyak musuh. Keluarga Vania mengusir Fra
“Nenek,” teriak Syena berlari ke arah Bude Rima untuk melihat keadaannya. Mendengar teriakan Syena, Rahman, Sarah serta Gladys berlari menuju sumber suara. Rahman sangat terkejut ketika mendapati ibunya sudah pingsan dengan Syena di sampingnya. “Apa yang telah terjadi pada ibuku?” tanya Rahman panik, segera mengangkat tubuh ibunya dan menidurkannya ke sofa ruang tamu. Sarah segera mengambilkan minyak angin sedangkan Gladys kini duduk di samping neneknya. Bude Rima terlihat sangat pucat dan badannya lemas. “Nenek kenapa, Pakde?” tanya Syena khawatir. “Pakde juga tidak tahu, Syena.” Jawab Rahman sambil meletakkan minyak angin yang telah diberikan oleh Sarah di dekat hidung ibunya. Sampai sekitar 10 menit, Bude Rima tak juga sadarkan diri. Rahman semakin panik. Dia menghubungi temannya yang memiliki mobil, hendak meminjam mobilnya untuk membawa Bude Rima ke rumah sakit. Selama menunggu kedatangan mobil yang akan membawa Bude Rima
Pagi ini, Rahman menengok ke kamar ibunya sebelum berangkat kerja. Dia juga membawakan sarapan dan teh hangat untuk ibunya. Ibunya terlihat masih sangat pucat. “Bu, ini Rahman bawakan bubur ayam untuk sarapan. Dimakan ya, Bu. Rahman mau pamit kerja dulu.” Pamit Rahman dengan nada setengah berbisik, tidak mau membangunkan ibunya yang terlihat masih tertidur lelap. Setelah itu Rahman keluar dari kamar ibunya, anak-anak sudah berangkat sekolah sejak tadi. Sedangkan Sarah tengah pergi belanja. Drrrt drrrt drrrt “Siapa telepon pagi-pagi begini?” Gumam Rahman sambil merogoh sakunya dan mengambil benda yang bergetar itu. Ratih, melihat nama yang terpampang jelas di ponselnya itu Rahman segera mengangkat telepon tersebut. “Pagi, Mas Rahman,” Sapa Ratih dari sambungan telepon. “Iya, Ratih. Ada apa telepon pagi-pagi begini?” tanya Rahman penasaran. “Maaf mengganggu, Mas. Aku hanya ingin menanyakan kabar Syena. Apa dia sudah pulan
Pagi itu Syena berangkat ke sekolah seorang diri seperti biasanya. Masih dengan buku di tangannya, ia berjalan sambil belajar. Ulangan susulan hari ini adalah pelajaran biologi. Pelajaran yang kurang disenangi oleh Syena karena penuh dengan hafalan dan juga nama-nama latin. Pelajaran ini adalah satu-satunya yang selalu mendapat nilai di bawah 8. Saat sedang sibuk menghafal, tiba-tiba ada dua anak laki-laki berlarian dari belakang Syena. Salah satu dari mereka menyenggol bahu Syena sampai buku yang dari tadi dipegangnya terjatuh. Tanpa melihat kiri kanan, Syena langsung saja mengambil buku itu. “Awas !” teriak seseorang sambil menarik lengan Syena. Syena dan orang yang menolongnya sama-sama terjatuh ke pinggir jalan yang dipenuhi rerumputan. Syena terkejut, hampir saja sebuah mobil menabraknya hanya karena ia ingin mengambil bukunya yang terjatuh. Jantungnya masih berdetak sangat kencang, untung saja setelah ia mengambil buku itu orang tadi sigap menarik lengannya.
Sepulang dari jalan-jalan, waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Tepat saat sampai di rumah, terdengar azan magrib berkumandang. Dari kejauhan Romi dapat melihat Rahman yang sedang mengambil air wudu di samping rumahnya. Saat mobil mulai memasuki halaman rumah, Rahman yang hendak masuk ke dalam rumah menghentikan langkahnya sejenak. Dia melihat ke arah mobil dengan dahi berkerut, penasaran dengan siapa yang ada di dalam mobil. Setelah melihat Romi, Gladys dan Syena turun dati mobil, Rahman terlihat tersenyum. Rahman menghampiri Romi dan mereka pun saling berpelukan. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu, bagaimana keadaanmu?” tanya Rahman sambil melepas pelukan. “Maaf atas kesibukanku, aku baik-baik saja seperti dirimu.” Jawab Romi memperlihatkan senyumnya. Mendengar mereka bercakap-cakap, Gladys dan Syena memilih untuk masuk ke dalam rumah. “Mari masuk, kita salat magrib berjamaah dulu.” Kata Rahman. Romi hanya mengangguk, ia mengambil air
Frans sedang duduk di toko depan sekolah Syena, dia sebenarnya belum tahu nama anak itu. Jadi dia ingin tahu lebih banyak tentang keponakannya itu. Menurut perkiraannya, anak sekolah sebentar lagi akan pulang. Dan benar saja, baru dia meneguk air dari minuman dingin yang dia beli di toko itu terlihat satpam sudah membuka pintu gerbang dan diikuti oleh beberapa anak di belakangnya. Dia segera menyeberang jalan, dia sudah mengatur rencana agar seolah-olah pertemuannya dengan Syena tanpa disengaja. “Eh, maaf.” Ucap Syena ketika merasa menabrak seseorang, dia sedang berjalan sambil memeriksa isi tasnya. Frans memanfaatkan momen itu sehingga seolah tidak disengaja. “Iya, tidak apa-apa. Kamu anak yang tadi pagi, kan?” Tanya Frans menunjuk Syena. Syena mengangguk sambil tersenyum. “Syena, tunggu. Kita pulang bareng ya.” Ucap Gladys dari belakang. Frans terkejut melihat Gladys, jantungnya berdetak kencang. Entah mengapa dia seperti menemukan seseorang
Pagi itu Syena berangkat ke sekolah seorang diri seperti biasanya. Masih dengan buku di tangannya, ia berjalan sambil belajar. Ulangan susulan hari ini adalah pelajaran biologi. Pelajaran yang kurang disenangi oleh Syena karena penuh dengan hafalan dan juga nama-nama latin. Pelajaran ini adalah satu-satunya yang selalu mendapat nilai di bawah 8. Saat sedang sibuk menghafal, tiba-tiba ada dua anak laki-laki berlarian dari belakang Syena. Salah satu dari mereka menyenggol bahu Syena sampai buku yang dari tadi dipegangnya terjatuh. Tanpa melihat kiri kanan, Syena langsung saja mengambil buku itu. “Awas !” teriak seseorang sambil menarik lengan Syena. Syena dan orang yang menolongnya sama-sama terjatuh ke pinggir jalan yang dipenuhi rerumputan. Syena terkejut, hampir saja sebuah mobil menabraknya hanya karena ia ingin mengambil bukunya yang terjatuh. Jantungnya masih berdetak sangat kencang, untung saja setelah ia mengambil buku itu orang tadi sigap menarik lengannya.
Pagi ini, Rahman menengok ke kamar ibunya sebelum berangkat kerja. Dia juga membawakan sarapan dan teh hangat untuk ibunya. Ibunya terlihat masih sangat pucat. “Bu, ini Rahman bawakan bubur ayam untuk sarapan. Dimakan ya, Bu. Rahman mau pamit kerja dulu.” Pamit Rahman dengan nada setengah berbisik, tidak mau membangunkan ibunya yang terlihat masih tertidur lelap. Setelah itu Rahman keluar dari kamar ibunya, anak-anak sudah berangkat sekolah sejak tadi. Sedangkan Sarah tengah pergi belanja. Drrrt drrrt drrrt “Siapa telepon pagi-pagi begini?” Gumam Rahman sambil merogoh sakunya dan mengambil benda yang bergetar itu. Ratih, melihat nama yang terpampang jelas di ponselnya itu Rahman segera mengangkat telepon tersebut. “Pagi, Mas Rahman,” Sapa Ratih dari sambungan telepon. “Iya, Ratih. Ada apa telepon pagi-pagi begini?” tanya Rahman penasaran. “Maaf mengganggu, Mas. Aku hanya ingin menanyakan kabar Syena. Apa dia sudah pulan
“Nenek,” teriak Syena berlari ke arah Bude Rima untuk melihat keadaannya. Mendengar teriakan Syena, Rahman, Sarah serta Gladys berlari menuju sumber suara. Rahman sangat terkejut ketika mendapati ibunya sudah pingsan dengan Syena di sampingnya. “Apa yang telah terjadi pada ibuku?” tanya Rahman panik, segera mengangkat tubuh ibunya dan menidurkannya ke sofa ruang tamu. Sarah segera mengambilkan minyak angin sedangkan Gladys kini duduk di samping neneknya. Bude Rima terlihat sangat pucat dan badannya lemas. “Nenek kenapa, Pakde?” tanya Syena khawatir. “Pakde juga tidak tahu, Syena.” Jawab Rahman sambil meletakkan minyak angin yang telah diberikan oleh Sarah di dekat hidung ibunya. Sampai sekitar 10 menit, Bude Rima tak juga sadarkan diri. Rahman semakin panik. Dia menghubungi temannya yang memiliki mobil, hendak meminjam mobilnya untuk membawa Bude Rima ke rumah sakit. Selama menunggu kedatangan mobil yang akan membawa Bude Rima
Frans sedang bersantai di tempat persembunyiannya di Hongkong. Hari ini, dia sedang malas melakukan sesuatu. Apalagi dengan tugas yang baru saja diberikan oleh ibunya. Bukannya semangat untuk segera mengerjakan, dia justru malas-malasan. Dia bosan harus selalu menuruti keinginan ibunya untuk mengerjakan segala urusan yang ia anggap penting. Hal seperti itu selalu membuat Frans sibuk dan akhirnya urusannya sendiri dalam mencari tahu keberadaan anaknya sendiri selalu tersisihkan. Ya, motif Frans selalu mengintai Vania adalah ingin mengetahui keberadaan anaknya. Frans dan Vania dulu adalah sepasang kekasih yang saling mencintai, hingga suatu hari Vania memperkenalkan Frans pada keluarganya. Semua menyambut Frans dengan baik. Hingga kemudian Frans menceritakan siapa ibunya dan membuat keluarga Vania menolaknya mentah-mentah. Marlina adalah saingan terbesar bisnis keluarga Vania. Marlina memang pebisnis perempuan yang hebat namun memiliki banyak musuh. Keluarga Vania mengusir Fra
“Sudah siap semua, Syena? Pastikan tidak ada satu pun barang yang tertinggal.” Kata Rahman kepada Syena. Hari ini, Syena sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Jadi mereka akan segera pulang. “Sudah, Pakde.” Jawab Syena. Kemudian Rahman mengambilkan kursi roda untuk Syena. Namun justru Syena menolak. “Untuk apa kursi roda itu, Pakde? Aku sudah sehat, sudah sembuh. Aku bisa berjalan sendiri.” Kata Syena sambil menyunggingkan senyuman kepada pakdenya. “Oh, baiklah. Mari kita pulang.” Kata Rahman menggandeng tangan Syena. Bahkan pulang pun mereka naik motor. Syena sudah sembuh, meskipun perban di kepalanya juga belum dilepas. Rencananya akan dilepas ketika kontrol nanti dam jika memang semua lukanya sudah sembuh total. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sekitar 2p menit. Akhirnya mereka sampai di rumah, dari kejauhan sudah terlihat Bude Rima yang sedang menyapu halaman
Vania tengah menyiram tanaman di halaman rumah sekarang, dia bahkan terdengar bersenandung. “Vania, biar saya saja yang menyiram tanamannya. Masak majikan menyiram tanaman sedangkan ada pembantu di rumah.” Kata Ratih pada Vania. Vania tertawa kecil mendengar ucapan Ratih. “Sudahlah, kamu masak saja sana di dapur. Lagi pula ini juga bukan pekerjaanmu. Ini pekerjaan tukang kebun yang kebetulan izin karena istrinya hendak melahirkan.” Jawab Vania masih asyik dengan kesibukannya tanpa begitu menghiraukan keberadaan Ratih. “Baiklah kalau begitu saya permisi, dulu.” Kata Ratih. “Eh, Ratih. Kapan jadwal pergi ke pasar? Rasanya aku rindu sekali dengan jajanan pasar.” Kata Vania, kini dia berhenti menyiram tanaman dan mengajak Ratih berbincang. “Dua hari lagi. Tapi Oma Rahma tidak akan mengizinkanmu pergi ke pasar lagi. Aku juga takut akan terjadi apa-apa padamu seperti waktu itu.” Jawab Ratih menunjukkan kekhawatirannya. “Iya, aku tahu
Syena mengerjapkan matanya perlahan, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela berhasil membangunkannya. Ia melihat pakdenya berdiri di ambang jendela, penglihatannya mengarah ke taman. Begitu menyadari Syena sudah terbangun, Rahman segera mendekat ke arah Syena.“Mau jalan-jalan ke taman?” tanya Rahman dengan senyum semringah.Syena mengangguk, tapi terlebih dulu Rahman membersihkan wajah Syena dengan washlap yang telah dicelupkan pada air hangat yang telah ia siapkan. Setelah selesai, Rahman membawa kursi roda dan membantu Syena turun dari ranjang kemudian duduk ke kursi roda.“Mari kita jalan-jalan.” Kata Rahman pada Syena.Mereka menyusuri lorong rumah sakit yang masih terlihat sepi. Hanya ada beberapa keluarga penunggu pasien yang terlihat sedang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Mereka menuju taman yang berada tepat di belakang ruangan Syena dirawat. Sesampainya di sana, wajah Syena mulai berubah. Udara sej