"Alen?" Ucap Kiana dengan kedua alisnya berkendut.
"Yah, itu!""Mama darimana, sih?" Tanya Kiana sembari mengambil kantong plastik yang Dania bawa."Dari minimarket, tadi mau jalan-jalan cari matahari sehat. Eh, keterusan sampai minimarket," ucap Dania sembari membuka gendongan yang melekat pada tubuhnya, gendongan yang cukup membuat nyaman meski terus saja di pakai."Seru loh, tadi banyak yang puji Jona anak yang cantik. Mama senang dengarnya, kaya Dejavu pas kamu umur-umur segini,"Dania menceritakan semuanya dengan semangat, senyum bahagia tak henti-hentinya terukir di wajah keriputnya."Iya dong, orang jonanya imut nan cantik," jawab Kiana sembari terus mengrasak-grusuk kantongan itu, seperti seorang kucing yang sedang mencari makanan."Ini kamu beli gendongannya Dimana? Nyaman banget di pakai.""Oh, di toko pinggir jalan menuju kampus Kiana,"ucapnya masih sibuk mengeluarkan satu perSuara serak Joan yang berat di pagi itu membuat Kiana menjadi gugup, di tambah lagi karena Joan yang mencium pipinya kemarin sore.baru saja ingin duduk Kiana sudah memasang ekspresi datar."Hey, kenapa pergi? Aku baru saja ingin ikut mengobrol dengan kalian," ucap Joan dengan kening berkerut, baru saja ia ingin ikut mengobrol namun Kiana dengan cepat bangkit dari posisinya."Ah, anu … aku … aku mau mandi! Ya aku mau ke kamar mandi," Kiana segera berjalan cepat menuju kamarnya, matanya tak berani menatap Joan."Ada apa dengan anak gadis mama itu? Sakit?"tanya Joan dengan heran, tingkah Kiana sangat aneh bagi dirinya. tidak bisanya ia bersikap seperti itu, pasti ada yang ia ingin sembunyikan dari Joan."Entahlah, palingan mau buang air besar habis sarapan tadi," tepis Dania bodo amat, toh palingan Kiana sakit perut karena habis makan. gadis itu memang tak biasa makan pagi, pasti ujung-ujungnya ke toilet.Kedua alis Joan tersentak bersama-sama."Oh ya? Sarapan apa memangnya?" Tanyanya den
"Apa aku menanyakannya lagi? Bagaimana kalau aku di usir? Setidaknya kau mencoba Joan! Coba,"Joan berbicara pada dirinya sendiri, mengambil kaos polos berwarna hijau tua yang ada di lemarinya lalu keluar untuk kembali mengetuk kamar Kiana."Kiana … bolehkah kita berbicara? Aku butuh kepastian darimu," saat mencoba membuka pintu kamar itu kembali, ternyata sudah tak terkunci. Entah gadis itu lupa menguncinya atau memang sengaja."Ah, tak di kunci ternyata. Kiana aku masuk …,"saat memasuki kamar itu, Joan tak menemui siapapun. Namun terdengar suara Kiana yang tengah bersenandung di dalam kamar mandi."Sedang mandi rupanya, aku tunggu saja,"sembari menunggu Kiana, Joan mengelilingi kamar itu melihat apa saja yang gadis itu bawa dari rumahnya. Mulai dari make up, pakaian, hingga beberapa popok Jona pun tersedia di kamar itu."gadis ini sangat siapa siaga sekali, tak heran aku menyukainya,"Joan terkekeh kecil melihat itu, barang-bar
Kiana akan menjelaskan semuanya pada Sena, setidaknya jika keberadaan Jona benar-benar ketahuan. Kiana bisa menjadikan gadis itu sebagai saksi jika Jona tidak lahir dari perbuatan kotor dirinya atau pun joan.Sena: baiklah aku akan menunggu di sana.Setelah 10 menit, Kiana akhirnya datang memakai Hoodie oversize dengan kacamata hitam dan topi. Walaupun tak terlalu terkenal, terkadang ada beberapa paparazi dari pihak media yang mengambil gambar dirinya tanpa izin. "Kau sebenarnya ada dimana? Dirumah tapi menolak keluar untukku? Atau kau tak ingin kita datang ke pesta bersama?"Sena langsung mencerca banyak pertanyaan pada Kiana, gadis itu bahkan belum sempat duduk.Sebelum menjawab pertanyaan dari Sena, Kiana memperhatikan sekitarnya. Pembicaraan mereka jangan sampai ada yang mengetahui, rahasia yang sebenarnya tak harus di ketahui oleh banyak orang. Namun karena keadaan, Kiana harus jujur pada beberapa orang tentang itu.Kiana menarik nafas dalam-dalam lalu menatap Sena dengan tajam."
"Siapa yang awalnya mau merawat Jona?"tanya Sena penasaran, hal yang mereka ghibahkan kali ini benar-benar membuatnya bersemangat."Joan, bahkan ia berhenti meminum alkohol dan ke club karena bayi kecil itu. Sungguh ajaib, kan?"jawab Kiana sembari membuat beberapa sketsa baju yang mungkin cocok untuk membuat foto keluarga nanti."Pak, nanti di depan sana ada toko bahan kue. Berhenti sebentar ya?"pinta Kiana masih serius menggambar itu di iPad miliknya, di tasnya selalu ada barang itu untuk mengisi kegabutannya di tengah keramaian."Loh, mau mampir lagi? Mau beli apa kamu di toko kue?"tanya Sena keheranan sembari memandang keluar jendela mobil, tampak beberapa kendaraan yang terjebak macet karena lampu merah rusak."Ini mama titip mau di belikan bahan kue, jika tidak ia terus saja mengancam ingin pulang terlebih dahulu,"jelas Kiana dengan bibir manyun.Sena tidak paham dengan perkataan Kiana, apa salahnya jika wani
"Ah, berhenti membicarakan hal seperti ini. Aku jadi jijik,"ucap Sena dengan ketus, kembali memainkan ponselnya."Sena, Sena … dilihat-lihat kau sama saja dengan Joan," ucap Kiana dengan suara berbisik, keras kepala Sena sama seperti Joan. gadis itu tak mau kalah sama sekali, ia harus tetap ada di atas."Mengapa aku terus saja di kirimkan orang-orang dengan duplikat seperti Joan?" Kiana menghela nafas panjang lalu menatap keluar jendela, suasana yang selalu sama setiap harinya. Bunyi mesin kendaraan dan beberapa orang-orang yang menawarkan cemilan ataupun koran yang sudah tak bernilai untuk zaman sekarang, semuanya sudah ada dalam satu alat yaitu ponsel. sangat di sayangkan waktu berlalu begitu cepat, banyak yang berubah tanpa sebab. dunia semakin tuan dan lelah melayani para manusia-manusia yang tak tahu diri.Sesampainya di rumah Joan, Kiana segera mengetuk pintu rumah dengan rasa lelah. Pasalnya barang-barang yang di ambil Leon sangatlah banyak, Kiana merasa banyak barang yang tak
"Ah, tidak mungkin. Sepertinya itu karena Joan lebih dekat dengan Jona jadi terlihat mirip, darah Jona saja O sedangkan Joan golongan darahnya AB jelaslah itu mematahkan semua argumen jika Joan adalah ayah biologisnya,"tegas Kiana, semuanya sudah jelas sebelum Jona masuk rumah sakit. Kiana sudah menebak jika bayi itu memang benar-benar bukan darah daging Joan, karena senakal-nakalnya Joan. Ia tak akan mau menyentuh wanita secara sembarangan, apalagi sampai menghamili wanita asing."dilihat-lihat Jona sedikit mirip dengan wajahmu juga,"ucap Sena dengan enteng."huh, Sena! berhenti berkata seperti itu, Jona bukanlah bagian dari keturunan keluargaku ataupun Joan, berhenti ya?"pinta Kiana."Sudah ada akte kelahiran dan kartu keluarganya?"tanya Sena sembari mengelus-elus lembut pipi chubby Jona."Belumlah! Mungkin Joan akan membuatnya saat Jona sudah berusia 1 tahun,"ucap Kiana sembari merapihkan beberapa pakaian dan popok Jona yang berantakan di atas meja.Mata sena menyipit mendengar uca
Merasa muak terus saja di goda oleh Joan, Kiana langsung menatap Joan dengan tatapan tajam. Tangan kanannya lalu memegang rahang tegas lelaki tampan itu." Dengar aku baik-baik Joan, aku tidak marah atas apapun padamu. Tolong berhenti," Kiana lalu bangkit dari posisinya pergi dari ruangan itu dengan langkah tergesa-gesa. "mengapa tanganmu terasa dingin Kiana? kau baik-baik saja,kan?" teriak Joan berbalik menatap punggung Kiana yang mulai menghilang."Kak Joan, minta tolong ambil Jona dulu. Aku mau kejar Kiana,"ucap sena segera memberikan Jona pada Joan, mereka para gadis pasti bisa membicarakan itu. sekaligus Sena sebagai jembatan untuk Joan agar mengetahui mengapa gadis itu.Tok! Tok! "Kiana … ini aku Sena, buka pintunya dong. Aku datang kesini tidak untuk melihat pertengkaran mu dengan Joan,"gerutu Sena dengan ketus membuat Kiana tersadar."bodoh sekali! mengapa aku mengikut campurkan masalah ini dengan Sena,"Kiana merasa bodoh, berulangkali memukul jidatnya.Kiana akhirnya membuka
"Aman …," Kiana menghela nafas lega berhasil menghindari Joan dengan mudah, rasanya sangat tenang.Hampir 30 menit Kiana berada di ruangan itu, Joan sengaja menunggu gadis itu di depan pintu dengan pakaian yang sudah rapih. Hanya saja ia tidak tahu cara memasang dasi, Joan sengaja tak meminta bantuan Dania agar bisa menjadikan itu sebagai alasan untuk meminta bantuan dari Kiana.Saat kunci pintu mulai terdengar di putar, Joan dengan cepat menerobos masuk keruangan itu, masih ingin menanyakan hal-hal yang mengganjal pikirannya. ia sudah frustasi memikirkan dimana letak kesalahannya sampai-sampai Kiana memberikan jarak dengan dirinya."Jo-an!" Belum sempat Kiana berucap Joan sudah menutup mulutnya dengan satu tangan, Mengunci satu tangan gadis itu dengan mudah.Kiana segera menutup matanya saat Joan mulai mendekati wajahnya mengambil ancang-ancang untuk menciumnya, entah mungkin disitulah first kissnya hilang atau tidak."Kau sangat berubah Kiana, membuat hatiku porak-poranda,"ucap Joan
"Kami hanya orang desa yang terjebak oleh kemiskinan, anak saya terpaksa membuang putri kecilnya karena tak mampu menerima omongan para tetangga saat pulang ke kampung halaman tanpa membawa suami," nenek tua itu membuat suasana hening.Suaranya terdengar gemetar, bagai penuh tekanan batin. Pandangannya benar-benar meminta untuk di kasihani dan diberi kesempatan."Anak gadis saya di tipu dan di ambil begitu saja keperawanannya tanpa pertanggung jawaban, dan saya yang miskin ini tak mampu membantu anak saya keluar dari masalah yang telah ia tuai sendiri," sambungnya, kini tampak matanya berkaca-kaca saat menatap Hendra.Tatapan mata lelaki itu tampak sendu, wajahnya yang galak tampak mengharu mendengar curhatan isi hati nenek tua itu."Kami orang-orang miskin hanya bisa tertunduk bisu di depan orang-orang kaya yang berkuasa seperti kalian, saya malu menampakkan diri ke depan anda dengan gelar sebagai ibu dari seorang gadis bernama Melati yang dengan kejamnya membuang putri kecilnya send
"Ayah ingin orang bodoh yang memimpin perusahaan besar itu?" Ucap Joan dengan nada ketus, melayangkan tatapan dingin kearah Hendra.ucapan Hendra malah terasa menghardik dirinya, lelaki tampan itu tak ingin memimpin sebuah perusahaan dengan otak kosong, ia tak ingin malah tangan kanannya nanti yang lebih tahu tentang perusahaan."Kau sudah layak Joan, tidak kau lihat puluhan pialamu yang terpajang di ruang prestasi? Itu sudah cukup membuat ayah bangga kau dalam dunia pendidikan," tegas Hendra dengan penekanan."sekarang ayah ingin kau mengukir kemampuanku dalam dunia bisnis, hanya kamu yang bisa memimpin. ayah tidak bisa mempercayai orang lain selain putra ayah sendiri," sambungnya dengan salah satu tangan mengelus lembut punggung Joan."Ayah tidak bisa hanya mengambil satu pandangan saja, setiap orang berhak memilih," Joan menimpal dengan nada ketus sama menekannya seperti Hendra."Lagi pula itu hanyalah piala dalam bidang olahraga.""Namun setiap orang tua tak ada yang mau anaknya m
"Anak ini gila!? Banyak sekali pembalut yang ia beli, obat pereda? Untukku?" Kiana memandangi beberapa kotak obat pereda nyeri untuk wanita menstruasi, gadis itu cukup terkejut Joan membeli itu untuknya."Kenapa dia begitu peka akhir-akhir ini? Apa ada yang salah?"Kiana bergumam sendiri, mematung masih menatap kotak obat itu merasa tersipu malu sekaligus keheranan.Memang akhir-akhir ini Joan terlihat seperti suami siap siaga, apa ia sedang berlatih sebelum mendapatkan gelar itu?"Kiana … hey … apa semua yang ku beli benar? Buka pintunya," suara Joan dari luar terdengar seperti sedang berbisik, lelaki tampan itu menempelkan mulutnya di celah pintu agar Kiana dapat mendengarnya.malu rasanya jika Hendra dan Vera melihat kebucinannya pada Kiana, rasanya pasti akan terasa canggung."Ya, ada apa?" Kiana segera mendekat ke arah pintu, ia tak langsung membukakan pintu untuk lelaki tampan itu karena takut kewarasannya kembali hilang.tahu sendiri Joan kalau sudah tak bersama Jona atau Kiana
"Pak, ini semua barang permintaan anda," pegawai lelaki itu muncul dengan troli yang sudah full, melayangkan senyuman bahagia ke arah Joan.Joan sudah ia tandai sebagai pembeli VIP, lelaki tampan itu jika berbelanja sendirian selalu menghabiskan jutaan rupiah, entah memang ia bodoh atau tak tahu hidup di dunia dengan baik."Oh, sudah? Selamat tinggal, semangat bekerja Pak wartawan," Joan berlenggang meninggalkan kumpulan wartawan itu, tak lagi menjawab pertanyaan yang lebih dulu mereka lontarkan.padahal dirinyanya yang wartawan itu pusingkan, sudah beberapa kali mereka mencoba masuk ke dalam komplek perumahan lelaki tampan itu namun sudah di blokir untuk kedamaian."Wah, saya baru kali Ini melihat seorang lelaki membeli pembalut wanita sebanyak itu ….""Eh, tunggu! Bukannya dia bujangan yang baru saja mengadopsi seorang anak? Apa dia ingin mencari istri kedua dan meninggalkan anak dan istri pertamanya? Tidak heran, gayanya saja seperti itu. Padahal di balik maskernya terdapat wajah y
"Wah, hidup orang-orang berada nikmat sekali ya, semua orang yang ada di dunia ini bisa menjadi pesuruhnya," pria itu mematung sesaat memandangi punggung Joan yang mulai menjauh, ia melamun membayangkan sedang berada di posisi lelaki tampan itu.siapa yang tidak ingin hidup di kelilingi oleh harta dan di kejar-kejar oleh uang? sekali menjadi model saja uang sudah mengalir deras ke dalam black card-nya."Bukan nikmat lagi, sudah di atas level nikmat. Tapi di lihat-lihat wajahnya tak asing, seperti sering di lihat namun siapa?" Wanita itu kembali menimpal seraya tersenyum tipis ikut memandangi postur tubuh Joan yang benar-benar kriteria sejuta umat wanita."Hm, biasalah orang kaya memang begitu, vibesnya semuanya hampir sama. Jangan lupakan kata-kata singkatnya yang menusuk hingga ke ginjal," ucap pria itu dengan helaan nafas panjang, menggeleng pelan merasa posisi Joan adalah langit cerah yang sulit tergapai.semua orang pasti akan bermimpi tampil menjadi orang yang di hormati seperti
"Lihatlah ayah, bayi ini lucu sekali," bagai terhipnotis, Vera langsung mengelus lembut kepala Joan dengan haru. Tampak sangat excited ingin menggendong bayi kecil itu, raut wajahnya tampak begitu bahagia melihat keberadaan Jona dalam dekapan Kiana.."Dimana Joan? Anak itu tak ada lelahnya membuat saya pusing!" Berbeda dengan respon Vera, Hendra malah tampak sangat mendidih. ia sangat tak Abar bertemu dengan putra semata wayangnya penerus perusahaan besar keluarga. Kemarahannya tak dapat di redam oleh apapun, sepertinya kali ini ia benar-benar murka."Silahkan masuk kedalam, beberapa hari ini banyak wartawan yang meliput di sekitar sini," Kiana mempersilahkan keduanya untuk masuk, takut jika tiba-tiba ada wartawan yang malah menyorot dari sudut pandang yang berbeda.Vera tampak terkejut menatap tiap sudut rumah itu."terawat ya, bunda pikir akan jadi rumah angker atau gudang. Sudah berapa hari kamu menginap di sini?""Sudah … 2 Minggu lebih mungkin, Kiana tidak ingat," ucap Kiana deng
"Saya tahu kamu mulai tergila-gila dengan ketampanan saya, tapi untuk saat ini kita harus serius, okey? Kamu bisa paham, kan?" Alen berusaha menahan rasa malunya karena tersipu oleh ucapan gadis itu."Baru sedikit bumbu centil sudah terpancing," gerutu Alexa, padahal ia sendirilah yang terus memancing. Mengapa jadi kesal sendiri dengan respon Alen?"Baiklah, jelaskan semuanya dengan sejelas-jelas mungkin. Aku akan mendengarkannya, sayang …," gadis ini memang gila, jika saja Alen menggubrisnya dengan serius mana berani ia berucap demikian.Gadis itu tidak tahu saja seobsesi apa Alen pada tubuh seorang wanita, terkhusus dengan hasratnya pada Kiana."Kita akan memata-matai keduanya dari jarak jauh, kita mendekat pada mereka hanya untuk mengambil gambar yang mungkin bisa menjadi masalah," Alen kembali menekankan, mengambil keputusan sesuka hati. ya, kita tahu, dialah yang berkuasa di sana."Hm, terus …?" Alexa semakin memancing, memasang senyuman manis bak seorang istri yang menunggu untu
"Yah! Untuk hal itu akan segera kita lakukan, saya hanya perlu membujuk anak gadis saya untuk bersiap-siap menjadi seorang istri," ucap Rifky dengan senyum getir, ia benar-benar takut mengucapkan kata yang mungkin menyinggung hati lelaki yang ada di hadapannya.kekuasaan lelaki tampan itu sungguh melambung jauh dari Rifky.Rifky berperilaku seolah sangat akrab dengan lelaki tampan itu, padahal harga dirinya tengah di pertaruhkan. Dania sama sekali tidak mengetahui jika suaminya dalam tindasan pemaksaan karena hutang piutang yang berakar.Ya! Hutang, Rifky sempat berhutang pada perusahaan lelaki itu dengan jumlah yang sangat besar untuk menutupi kerugian yang membuat perusahaannya hampir bangkrut.selama ini ia tak pernah bercerita Lika liku perusahaan mereka pada kedua wanita yang sangat ia cintai, betapa kecewanya Dania jika tahu perusahaan turun temurun milik kedua orang tuanya yang di gabung oleh perusahaan Rifky jatuh bangkrut begitu saja."Ingat! Saya tidak akan tinggal diam jika
Joan segera berlari kecil menuju Kiana yang tampak sudah keberatan menggendong Jona. gadis itu sudah seperti seorang ibu muda.keduanya mendapati pintu dalam keadaan terkunci, dalam pikiran mereka harusnya ada Alexa di dalam."Pintunya di kunci? Apa gadis itu sedang tak ada di rumah?" Joan kembali mengambil ponselnya bertujuan untuk menanyakan kunci rumah pada Alexa yang mungkin ada di dalam namun tak tahu keduanya ada di depan pintu.Alexa: Alen, kunci rumah ada di pot sebelah kanan.Pesan lama dari Alexa baru saja di baca oleh Joan, lelaki tampan itu cukup terkejut. Namun di akhir senyum tipis terukir di bibirnya.Kiana menatap Joan dengan heran."Mengapa hanya tersenyum? Apa Alexa ada di dalam?" Joan masih terus menatap layar ponselnya, tatapan matanya tampak serius penuk seksama membaca tiap pesan Alexa.Joan lalu mendongak dengan mata berbinar dan senyum bahagia."Dia sudah pulang."Kiana melongo mendengar ucapan Joan, bibirnya terkatup masih tak paham."Pulang? Pulang ke Australia m