"Ayolah Kiana! Angkat, apa kedua tanganmu itu sulit sekali untuk mengangkat telfon dariku!?"gerutu Joan, sudah puluhan kali ia menelpon gadis itu namun satu panggilan pun tak di jawab olehnya.
Tiba-tiba pandangan sang dosen tertuju pada Joan, memang sedari tadi lelaki tampan itu terlihat sibuk sendiri."Joan? Sedari tadi saya lihat kamu sepertinya sibuk sekali dengan ponselmu, kenapa?"tanyanya dengan ekspresi datar."Tidak Pak, beberapa hari ini nomor asing sering muncul di notifikasi layar handphone saya,"ucap Joan malu-malu, kini pandangan semua mahasiswa tertuju padanya."Penggemar kamu itu! Makanya jangan punya wajah tampan," ucap Pak dosen lalu tertawa terbahak-bahak, apa yang lucu? Beberapa mahasiswa pun tertawa keheranan."Haha … terdengar garing," Joan ikut tertawa kecil mendengar itu, tidak ada yang lucu namun dosen itu tertawa, Aneh sekali."Oke, baik. Maaf, kita lanjutkan materinya lagi."KAlen menepuk-nepuk dada bidang Joan."Santai, sabar … apa maksudmu berita palsu? Saya menyebarkan berita tentang apa?" Tanya Alen dengan raut wajah memelas."Jangan pura-pura bodoh! Alen sang anak konglomerat merat yang memiliki penyakit kejiwaan!"teriak Joan dengan suara berat, namun ekspresi Alen kini benar-benar datar, Tak ada rasa takut atau amarah yang menguasainya.Alen lalu menyeringai."Oh, berita itu. Kenapa? Kau tak menyukainya? Uh … saya hanya bermain-main, santailah," ia lalu tertawa kecil tepat di depan wajah Joan.Emosi Joan semakin meledak-ledak mendengar ucapan Alen, mulutnya enteng sekali berucap seperti itu."Sebagai seorang lelaki, cara bermainmu seharusnya tak seperti ini! Pecundang gila!" Ia lalu menghempas genggamanny dari kerah baju Alen, menatap lelaki tampan itu dengan tajam berusaha mengatur nafasnya yang terengah-engah.Alen mendekatkan wajahnya pada Joan, ia berucap."Lalu harus bagaimana? Coba jelaskan
"Jangan diam saja! Penjelasan seperti apa yang mau kamu berikan pada bunda!?"tanya Vera sekali lagi membuat Joan terdiam, ekspektasinya benar-benar di luar keinginannya. Baru kali ini ia mendengar Vera menggunakan nada tinggi padanya.Kiana dan Dania juga ikut terdiam, mereka memandangi Joan yang hanya bisa mematung setelah mendengar makian Vera."Bunda tidak ingat hari ini ada apa?"tanya Joan dengan seringainya, ia mencoba menghilangkan harapannya pada ucapan selamat yang seharusnya Vera berikan detik itu juga. percuma mendengar ucapan selamat jika sudah mendengar ucapan jelek seperti itu, hanya menghancurkan perasaan saja."Jangan mencoba mengalihkan topik pembicaraan!! Kamu maunya apa Joan!? Bunda hanya minta kamu diam dan tidak banyak bertingkah, kamu bukan lagi anak umur 5 tahun yang harus terus di awasi! Bunda mohon pengertian dari kamu, jangan sampai bunda menyebut kamu anak tak berguna,""Hari ini hari ulang tahun Joan!
"kenapa ma? Ada yang salah?" Pekik Joan sembari memegangi kepalanya yang memang tidak sakit tapi itu membuat ia terkejut.Dania memasang ekspresi judes."Salahlah! Kamu ini main kecup-kecup saja, lamar Kiana sekarang! Mama maksa!"ucap Dania lalu tertawa terbahak-bahak, pasti ekspresi wajah Kiana berubah kusut mendengar mereka membahas itu lagi."Kiana, pinjam jonanya."Kiana memberikan Jona tanpa sadar pada Joan, tiba-tiba saja suasana hatinya berubah."Mama … Kiana kangen papa,"celetuk Kiana membuat Dania langsung melirik dengan kening berkerut, kenapa anak gadisnya jadi mewek begitu?"Tumben, kangen kenapa anak mama?"Dania menghampiri Kiana dan langsung memeluknya dengan erat, maklumlah Rifky pulang hanya sekali setahun."Kiana kangen di peluk papa …,"tangis Kiana pecah, ia menangis dalam dekapan erat Dania. Wanita itu paham betul bagaimana rasa cinta putrinya itu pada Rifky, mereka sangat dekat. Bahkan Kiana sering menceritakan keluh kesahnya pada rifky karena menganggapnya seperti
"Yah … sudah jadi mantan,"ucap Dania dengan lesu, ia sangat mendukung jika Kiana mau membangun hubungan yang lebih dekat dengan Joan. Joan menyandarkan tubuhnya ke sofa lalu menghela nafas panjang."Sedikit sekali waktunya, tapi tidak apa-apa. Setidaknya sekarang aku memiliki seorang mantan pacar,"ucap Joan tersenyum manis membuat perasaan Kiana menjadi aneh lagi dan lagi."maksudnya apa senyam-senyum begitu?"Kiana membatin sembari menatap wajah tampan Joan dengan heran."Joan belum pernah pacaran ya?"tanya Dania penasaran, bagaimana bisa lelaki dengan ketampanan level tertinggi itu masih jomblo? apa ia terlalu pemilih sehingga sampai sekarang belum berpacaran.Joan terkekeh kecil, seharusnya ia sudah memiliki puluhan mantan pacar dengan wajah tampan itu." Iya belum pernah ada yang memikat hati Joan selain anak gadis mama itu,"seringai Joan malah membuat ketampannya semakin terlihat."Tuh! Kiana, kamu dengar tadi Joan bicara apa!? Tidak ada yang memikat hati dia selain kamu,"ucap Dani
"Aku mencintaimu, tapi … untuk satu waktu aku tidak memiliki perasaan padamu, tetapi terkadang jantungku akan berdebar kencang saat dekat denganmu beberapa hari ini. Ada perasaan aneh yang tak ku ketahui apa penyebabnya, sepertinya aku jatuh cinta padamu untuk yang kesekian kalinya setelah aku hapus perasaanku saat melihatmu berpelukan dengan Alexa tiga tahun yang lalu,"ucap Kiana dengan lirih, berat sekali rasanya mengungkapkan itu semua pada Joan. Pertanyaan dari Joan tak terjawab jelas olehnya, menjawab ia mencintai Joan mungkin saja akan menjadi kesalahan besar."Sekarang bolehkah kuminta kau menuliskan kembali perasaan cintamu padaku seperti tiga tahun yang lalu?"pinta Joan dengan suara lembut, ia lalu menggenggam kedua tangan Kiana dengan erat."Entahlah, kita terlalu sering bersama. Aku tidak bisa lagi membedakan rasa cinta itu dengan rasa sayang sebagai seorang sahabat,"ucap Kiana dengan lesu, ia dilema dengan perasaan yang tidak jelas ini.
"Joan, ambil Jona dulu. Aku ingin membuat susu yang baru,"Kiana kembali memberikan Jona pada Joan, mungkin saja karena susu yang ada di dalam botol susu itu dingin Jona jadi menolaknya.Sembari menunggu Kiana, Joan terus menepuk-nepuk lembut punggung Jona sama seperti yang di lakukan Kiana. Ia lalu membuka satu jendela, mungkin suhu ruangan itu memang pengap bagi Jona.Tak sengaja mata Joan tertuju pada mulut Jona, terlihat sesuatu yang tumbuh di bagian gusi bayi itu."Jona? Itu di mulut kamu apa, nak?" Joan mengamati dengan seksama mulut Jona hingga akhirnya telunjuknya memaksa agar Jona membuka mulut, Joan ingin memegang benda apa yang ada di mulut bayi kecil itu."Gigi?! Jona tumbuh gigi, ya?" Tanya Joan dengan wajah sumringah, baginya tumbuh gigi berarti Jona sudah tumbuh menjadi anak yang hebat dan sehat.Kiana akhirnya selesai membuat sebotol susu hangat, gadis itu segera berlari kecil menuju arah Joan."Kiana! Coba perhatikan baik-baik, yang tumbuh di mulut Jona itu gigi, kan?"u
"Anak ayah yang paling cantik dan baik hati … tidur ya? Ayah mengantuk sekali,"Joan memasang wajah lesu di depan Jona, berharap bayi kecil itu memahami perasaanya."Ditimang Joan, bukan dijadikan tempat curhat,"celetuk Kiana dengan mata tertutup, ia memang tidak bisa tertidur nyenyak sedari tadi. setidaknya tubuhnya sudah bisa berbaring dengan nyaman."Joan …,"panggil Kiana dengan suara lirih."Hm?""Besok kita tidur sampai siang saja, bagaimana? Aku harus menyiapkan diri sebelum ke pesta Alen besok malam, jangan bangunkan aku ya?"Kiana membuka sedikit matanya menatap Joan dengan lesu."Kiana! Basah," teriak Joan, matanya terbelalak saat merasakan ada air yang hangat terasa di tangannya."Pipis itu …,"ucap Kiana dengan enteng mengubah posisi tidurnya membelakangi Joan."Bangun dulu gantilah!"pinta Joan dengan nada ketus."Ah! Joan, kau kan sudah tahu cara menggantinya,"Kia
"Alen?" Ucap Kiana dengan kedua alisnya berkendut."Yah, itu!""Mama darimana, sih?" Tanya Kiana sembari mengambil kantong plastik yang Dania bawa."Dari minimarket, tadi mau jalan-jalan cari matahari sehat. Eh, keterusan sampai minimarket," ucap Dania sembari membuka gendongan yang melekat pada tubuhnya, gendongan yang cukup membuat nyaman meski terus saja di pakai."Seru loh, tadi banyak yang puji Jona anak yang cantik. Mama senang dengarnya, kaya Dejavu pas kamu umur-umur segini,"Dania menceritakan semuanya dengan semangat, senyum bahagia tak henti-hentinya terukir di wajah keriputnya."Iya dong, orang jonanya imut nan cantik," jawab Kiana sembari terus mengrasak-grusuk kantongan itu, seperti seorang kucing yang sedang mencari makanan."Ini kamu beli gendongannya Dimana? Nyaman banget di pakai.""Oh, di toko pinggir jalan menuju kampus Kiana,"ucapnya masih sibuk mengeluarkan satu per