Bintara keluar dari ruangan tersembunyi pada rumah tengah hutan itu. Ia memasuki kamar yang dulu menjadi tempat ibunya disekap. Bintara menunduk sedih untuk sejenak, membayangkan ibunya sangat kesepian sambil menerka-nerka apakah dirinya masih hidup atau tidak, tentu itu sangat menyakitkan. Bintara sangat bersyukur ibunya tak gila karena tekanan besar itu.“Semenjak kedatangan wanita ular itu ibu sangat menderita. Namun kecintaaanya pada ayah membuatnya selalu bertahan. Padahal ibu bukan tipe wanita lemah, dia adalah wanita yang cerdas dan mandiri. Perusahaan yang ia bangun sungguh sangat sukses, tapi malah ia percayakan pada ayah yang sama sekali tak peduli padanya semenjak ibu tak dapat melahirkan anak lagi. Ibuku menahan derita juga karena memiliki anak cacat pendengaran sepertiku. Hanya kakek dan nenek yang berpihak pada kami dan menyayangi kami dengan tulus.” Bintara meneteskan air mata kesedihan,Bintara terdiam sejenak, ia baru mengingat soal hal penting yang tak terlintas dala
Tiana terlihat murung duduk di kelasnya. Pikirannya dipenuhi dengan sang Bapak. Sepan tidak mungkin main-main untuk melaporkan bapaknya ke polisi. Tiana menelungkup kepalanya di atas lipatan tangannya. Dila yang baru datang terheran melihat Tiana yang biasanya membaca buku, kini menengkulup di atas meja."Tiana, kamu sakit?"Tiana mengangkat kepalanya untuk sekadar menatap singkat Dila. "Enggak," sahut Tiana lalu kembali pada posisinya."Gak biasanya sendu gitu," gumam Dila. "Eh, kamu tahu gak Sepan kemarin masuk rumah sakit? Banyak luka lebam di wajahnya. Ulu, kasihan banget. Tapi tetap ganteng sih. Ehehe," ucap Dila menunjukkan cengirannya.Merasa tak ada sahutan dari Tiana, Dila menepuk punggung Tiana pelan."Na, lo denger gue ngomong gak sih!" kesal Dila."Denger kok, tapi gak penting," sahut Tiana, membuat Dila mengerucutkan bibirnya."Gue mau ke kantin deh. Mau ikut gak?""Enggak.""Ck, yaudah. Gue pergi dulu," Dila beranjak dari kursi, lalu berlari kecil ke arah luar.Kini Tiana
Laras memasuki ruangan bawah tanah rumahnya yang ia jadikan sebuah tempat ritual mengaktifkan cincin sakti dari Nyai Saruha. Ia mengunci pintu dengan rapat agar tak ada satu pun orang yang mengganggunya. Laras dengan aura gelapnya mendekati tempat dupa yang mengepul. Ia mengganti dupa itu dengan dupa yang baru. Di dalam ruangan itu Laras melakukan ritual yang disuruh oleh Nyai Saruha untuk menyakiti Bintara. Ia telah menyiapkan segala keperluannya dan memulai ritual ilmu hitam.Di sisi lain, Bintara sedang duduk tegak di hadapan laptopnya. Ia berdandan seperti Kelvin yang dulu. Membuat poni pada rambutnya dan mengenakan atasan lengan pendek berwarna hijau tua. Bintara mengirimkab pesan teks terlebih dahulu untuk menyapa sang nenek.Selamat Malam, Nek. Ini aku Kelvin Bintara. Bagaimana kabarmu di sana? Maaf baru menghubungi Nenek sekarang. Aku tiba-tiba merindukanmu.Usai mengirim pesan tersebut, Bintara mulai menghubungi neneknya di luar negeri untuk menyapanya setelah tiga tahun lam
Hari ini Viona menemani Bintara untuk melakukan serangkaian pemeriksaan ke dokter. Bagaimana pun kejadian tadi malam harus dipastikan kebenarannya. Bintara sama sekali tak mempunyai keluhan apapun soal Kesehatan, jadi tak mungkin tiba-tiba ia memiliki penyakit serius. Usai pemeriksaan, Bintara dan Viona sepakat untuk menuju rumah Salwa. Sesuai janjinya ingin membawa anak-anak Salwa ke panti asuhan tuna rungu untuk sementara.“Bin, aku akan menyelidiki ibuku. Apakah benar ia yang melakukannya atau tidak. Jika benar, aku akan mencoba menghalanginya sebisaku. Dugaanku sementara ibu menggunakan ilmu hitam dari dukun. Biasanya jika seseorang sakit tanpa ada sebab medis, sudah pasti karena hal mistis,” ucap Viona.“Aku akan menyelidikinya, kau jangan turun tangan, Vi.”“Tidak, Bin. Aku merasa bertanggung jawab sekarang atas perbuatan ibuku. Aku tak bisa membiarkannya terlalu jauh untuk pergi ke liang dosa. Sebab semakin jauh ia pergi ke sana, maka orang-orang incarannya akan semakin menderi
“Aku minta tolong untuk merawat mereka sementara waktu di sini. Mereka memang bukan anak tuna rungu, hanya saja orang tuanya akan melakukan operasi sekitar dua minggu lagi. Jadi aku ingin ibu mereka istirahat dengan baik tanpa pusing mengurus anak-anaknya. Oleh sebab itu, aku membawanya ke sini,” tutur Bintara menjelaskan pada Bu Yani.“Aku akan menjaga mereka dengan baik, Tuan. Pokoknya Tuan jangan khawatir. Mereka akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan anak-anak di sini.”Bintara mengangguk dengan perasaan lega. “Syukurlah. Oh iya, bagaimana keamanan panti? Apa kalian masih diganggu oleh seseorang atau ada yang melakukan penyerangan?’’“Syukurlah tidak ada, Tuan. Tidak ada orang yang mencurigakan lagi setelah kejadian waktu itu. Jadi aku berpikir apa bisa anak-anak untuk bersekolah umum seperti yang Tuan bicarakan sebelumnya?”“Tentu, Bu Yani. Aku akan utus kepercayaanku untuk membantumu mengurus soal anak-anak sekolah. Lakukan saja sesuai yang aku perintahkan saat itu. Aku tak
Viona dan ayahnya berjalan keluar rumah sakit. Ayahnya sudah diperbolehkan untuk pulang. Di depan sudah ada Bintara yang menjemput mereka. Bintara dengan sigap mengambil alih barang bawaan mereka dan memasukan ke bagasi. Viona dan Marvin pun duduk di kursi penumpang. Bintara segera menyusul dan menjalankan mobilnya.“Bagaimana soal kasusmu, Bintara? Apa namamu sudah bersih?” Marvin bertanya untuk memulai obrolan.“Polisi tak mempunyai bukti jikalau aku pelakunya. Video yang beredar juga sudah dihapus dari akun pertama yang menyebarkannya. Jadi aku rasa permasalahan ini sudah selesai. Aku hanya perlu membersihkan sedikit lagi namaku nanti,” tukas Bintara.“Baguslah. Aku khawatir jika itu memberatkanmu. Semua ini gara-gara Laras, aku tak menduga ia akan menjadi wanita seperti itu. Mengapa dia bertindak terlalu jauh?”Bintara tersenyum melihat kaca di atasnya. “Tak masalah, Yah. Aku bisa menghadapinya dengan baik.”“Oh ya, kata Viona kau sempat sakit tiba-tiba? Apa itu benar?’’“Soal itu
Laras sedang sibuk dengan laptop di hadapannya. Suara ketukan pintu terdengar, seorang staff mengatakan bahwa ada tamu yang akan menemuinya. Laras yang sudah tahu siapa orang itu, lantas menyuruhnya masuk sana. Tamu yang mendatangi Laras adalah Marvin. Marvin berjalan dengan tampang dingin menghampiri Laras dan duduk di depan wanita itu.“Katakanlah dengan cepat apa yang ingin kau katakan. Kau lihat sendiri aku sangat sibuk dengan pekerjaanku, Marvin.”“Kau bertingkah seolah tak terjadi apa-apa setelah membuatku koma selama beberapa minggu? Apa taka da rasa bersalah setelah kau melakukan hal itu?”“Aku bukan pelakunya.”“Tapi kau menyuruh anak buahmu untuk menculikku.”Laras berhenti mengetik, ia menatap Marvin dengan tatapan remeh. “Lalu, kau mau apa? Kau mau menuntutku dengan tuduhan telah menculikmu dan memberikanmu racun? Maka lakukanlah. Aku tak akan menemukan sedikitpun bukti atas tuduhan itu. Ingat Marvin, aku pelaku yang cerdas, jadi tak sulit bagiku untuk menutupi hal itu.”M
“Lapor, Nyonya. Baru saja Bintara meninggalkan kantornya.”“Bagus. Terima kasih untuk laporannya.”Laras kembali memasuki ruangan tempat ia melakukan ritual. Ia kembali ingin menghukum Bintara dengan mantra itu. Kali ini Laras melakukannya lebih serius. Ia ingin Bintara lenyap sehingga beban pikirannya berkurang. Setelah mendapatkan tekanan dari Marvin membuat Laras dilanda stress. Laras merasa harus melenyapkan satu per satu musuhnya agar hidupnya bisa lebih tenang.“Andai mantra ini boleh untuk dua orang, sudah pasti aku juga melakukannya padamu, Marvin. Berani sekali kau memperlakukanku seperti tadi,” oceh Laras sarat akan rasa dendam. Ritual pun dimulai, Laras mulai melakukan tahap demi taham untuk memenuhi pengucapan mantra.Di sisi lain, Bintara sedang dalam perjalanan pulang dari kantor. Jalanan tak begitu macet karena sudah melewati jam pulang kerja. Saat asyik mendengarkan lagu, Bintara mulai merasakan sesuatu yang aneh. Pernafasannya tiba-tiba saja menyempit, matanya pun men
Bintara dan Viona melanjutkan makan malam mereka yang tertunda, membiarkan Rusmini dan David entah langsung pulang atau mengunjungi tempat lain. Setelah sekian lama Viona sudah tak melihat wajah bahagia yang polos kekasihnya. Terakhir ia lihat ketika zaman sekolah SMA dulu.“Kau ingat hari pertama kali kita menjadi sepasang kekasih? Aku yang menyatakan cinta lebih dulu,” sindir Viona tersenyum geli.Tentu saja Bintara merasa terlukai harga dirinya. Ia menatap malas Viona yang sedang menertawakannya. “Itu karena aku sadar diri. Dulu aku tak setampan ini dan memiliki banyak kekurangan. Aku tuli dan penyakitan. Aku juga bukan anak yang diharapkan oleh ayahku. Jadi kepercayaan diriku lenyap karena itu. Aku sungguh tak menduga bagaimana bisa kau menyukaiku yang dulu? Jika aku yang dulu adalah aku yang sekarang, sangat wajar kau menyukai pria tampan, hebat, dan mapan ini,” tutur Bintara yang awalnya merendahkan diri berakhir membanggakan diri. Viona berdecih mendengarnya.“Itu karena kau or
Bintara berdesis saking gemasnya dengan kelakuan Viona yang ternyata hadir ke kampus. Siang ini Bintara menjemput kekasihnya itu sekalian meminta penjelasan mengapa kekasihnya itu tak mendengarkan saran darinya.“Halo, Sayang aku!” Viona langsung memeluk Bintara yang tak membalas pelukannya.“Mengapa kau tak menurutiku?” Pertanyaan dingin dari Bintara membuat Viona melepaskan pelukan itu dengan tampang cemberut.“Hari ini ada test penting. Aku harus hadir ke kampus, Bin. Lagipula aku sudah tak apa. Kau jangan terlalu khawatir seperti ini. Yang harus kau khawatirkan adalah keadaan perutku, aku sangat lapar,” ucap Viona sedikit merengek.“Merengek memang andalanmu,” sahut Bintara berjalan lebih dulu ke arah mobilnya. Ia tetap membukakan pintu untuk Viona walau tak menunggu gadis itu masuk langsung berjalan ke arah pintu mobil bagian kemudi.Bintara menjelankan mobil meninggalkan kampus Viona. Tujuan mereka adalah sebuah restaurant ala Korea yang tak jauh dari kampus Viona. Bintara memes
Rusmini telah pulang ke rumahnya, begitu pun dengan David. Sore ini Viona sudah diperbolehkan pulang, hanya saja ia menunggu infus habis. Bintara dengan setiap menungguinya.“Vi, apa menurutmu baiknya Ibu kembali pada ayah? Mendengar ayah akan pergi ke Paris dan memutuskan untuk menyendiri, rasanya aku juga merasakan kesepian yang ayahku rasakan. Ketulusan ayah juga tampak ketika ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah bercerai dengan ibumu,” lontar Bintara sembari mengupas buah apel.“Kalau menurutku … lebih baik persatukan mereka lagi, Bin. Walau aku tak begitu dekat dengan ibumu, tapi entah mengapa aku bisa melihat bahwa ibumu masih menyimpan perasaaan pada ayahmu. Hanya saja ibumu mempertimbangkan banyak hal hingga tak ingin menuruti kemauan hatinya. Salah satunya juga trauma yang ibumu miliki, Bin. Ibumu pasti takut jikalau ayahmu kembali seperti yang dulu dan menyakiti kalian lagi. Maka jalan satu-satunya yang bisa kau ambil adalah menyakinkan ibumu bahwa pemikiran buruk
Laras tertangkap saat mencoba melarikan diri ke luar kota bersama dengan anak buahnya. Berita tentang penangkapan itupun masuk berita pada pagi hari ini. Viona dan Bintara menatap layar televisi di rumah sakit. Tampak Laras dengan tampilan berantakan diborgol polisi. Tatapan wanita itu sangat kosong dan tubuhnya sangat lesu. Viona sudah mengetahui hal itu sejak ia bersama dengan ibunya di mobil.“Ibu pasti sangat tertekan hingga mentalnya terguncang. Ibu sangat mengerikan ketika membentakku di mobil waktu itu. Sorot matanya tak wajar, antara takut dan juga marah yang membumbung tinggi.” ungkap Viona.Bintara mengusap pundak kekasihnya dengan lembut dan memeluknya dari samping. “Mungkin kau sedih melihat ibuku seperti itu, Sayang. Tapi itulah yang terbaik untuk ibumu. Tak ada yang bisa mengendalikan ibumu selama ini. Dia terus saja membuat rencana-rencana jahat yang merugikan keluargaku, aku, dan juga dirimu. Aku tak ingin menyaksikan dan merasakan kesakitan keluargaku lagi karena dia,
Viona tak tahu kemana ia akan dibawa, tetapi ibunya terlihat sangat tenang. Walau bersama sang Ibu, tetapi Viona merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Apakah ini normal? Mengapa ia justru merasa tak akan ketika bersama dengan ibunya sendiri? Viona menoleh ke belakang, tampak sebuah mobil mengikuti mereka. Bukan mobil Bintara, tetapi mobil anak buahnya.“Bu, sepertinya kita diikuti,” ucap Viona.“Tenang, Viona. Anak buah ibu adalah mantan pembalap dulunya. Dia lihai untuk menghindari kejaran itu. Kau tenang saja, mereka tak akan menemukan kita setelah ini,” sahut Laras tersenyum penuh arti.“Memangnya kita akan ke mana, Bu?”“Tentu saja ke tempat yang tenang dan tak ada siapapun yang dapat menemukan kita,” sahut Laras.“Mengapa tak ke kantor polisi saja? Mereka tak akan macam-macam kalau kita ke kantor polisi, Bu,” ucap Viona memberi saran.“Diam kau, Viona! Jangan sekali-sekali kau sebut nama tempat itu! Ibu tak ingin mendengar tempat terkutuk itu!” Hardik Laras dengan tatapan tajam
Usai membayar ganti rugi, Laras pun dibebaskan oleh polisi. Ia keluar dari kantor polisi dengan keadaan yang berantakan. Tatapannya kosong, eyeliner-nya luntur, dan rambutnya berantakan. Laras tak peduli dengan tatapan orang-orang padanya. Sesaat dirinya seperti tak memikirkan apa-apa, lalu tiba-tiba ia teringat kembali dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Bagaimana bahagianya ia berselfi dengan David, kedatangan Hendrik yang tiba-tiba merusak suasana, dan hadirnya Bintara yang menjadi akhir dari hubungan dengan suaminya.“Semua ini gara-gara Bintara! Dia pasti telah menyusun rencana ini untuk menghancurkan hidupku! Cih, baiklah. Lihat bagaimana aku bisa menghancurkan hidupmu Bintara! Lihat! Aku bahkan tak peduli meski harus mengorbankan putri Marvin itu!”Laras memesan taksi. Ia menunggu di pinggir jalan dengan berbagai rencana yang saling berlalu lalang di kepalanya. Berbagai kemungkinan buruk pun terbayang-bayang. Apa yang akan dilakukan David setelah ini? Menceraikannya atau
“Apa benar semua itu, Laras?” David bertanya dengan nada dingin.Laras langsung bersujud di hadapan David sambil menangis tersedu untuk meminta ampun.“Mas, maafin aku. Aku nggak bermaksud membohongimu. Aku awalnya tak tahu jikalau Sonny adalah anak dari Hendrik. Aku pikir memang anak kita karena kita juga melakukan hubungan suami istri, bukan?”“Tapi kau tak bicara apapun setelah mengetahui Sonny bukan anakku! Kau menipuku hingga hari ini, Laras! Bahkan kau menikahiku karena orang tuamu memiliki dendam terhadap keluargaku? Pantas saja kau selalu memaksaku untuk mengalihkan kepemilikan perusahaan atas namamu dan juga Sonny. Begitu aku bangkrut, kau akan pergi dan bahagia dengan pria itu!” bentak David dengan tatapan berapi-api.Laras semakin menangis sambil menangkup kedua tangannya di hadapan wajah. Ia memohon pada David dengan sejadi-jadinya bahwa ia sangat menyesali perbuatannya. “Aku mohon maafkan aku, Mas. Kali ini saja maafkan aku. Aku memang awalnya menuruti permintaan orang tu
Laras berdandan dengan sangat cantik malam ini. Ia menggenakan gaun hitam selutut yang ketat dan lipstick yang tebal merah merona. Belum lagi highheel yang ia pakai membuatnya merasa bak modal di depan cermin ketika mematut dirinya sendiri. Laras sangat bangga dengan penampilannya malam ini. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, Laras merasa jikalau David pasti sudah menyiapkan kejuatan ulangtahun untuknya, membayangkan saja sudah membuat Laras kegirangan bukan main.David sudah menunggu di dalam mobil. Ia menoleh ke arah pintu, Laras dan Sonny belum kunjung keluar juga. David memutuskan untuk menelepon Bintara untuk memastikan rencana mereka hari ini seperti apa.“Halo, Yah?’’“Halo, Bintara. Jadi gimana, Ayah dan Laras beserta Sonny akan segera berangkat ke restaurant itu. Kapan kalian akan datang? Takutnya setelah selesai makan, kalian baru datang. Timingnya nanti tidak tepat, Nak. Apa perlu Ayah kasih kode nanti lewat pesan?”“Tidak perlu, Yah. Kami sudah stand by di parkiran resta
Rusmini datang bersamaan dengan Laras yang datang ke kantor. Laras mencoba tak peduli dengan wanita yang ia anggap musuh berat tersebut. Begitu pula dengan Rusmini yang memilih acuh tak acuh dengan raut wajah yang sangat tenang. Begitu mereka memasuki kantor, setiap karyawan yang mereka lewati lebih memilih menyapa Rusmini. Jika dibandingkan 7:3 yang menyapa mereka. Tentunya banyak yang menyapa Rusmini. Hal itu membuat hati Laras terasa terbakar. Mereka memasuki lift yang sama. Laras sengaja melakukanya karena ada sesuatu yang ingin ia ucapkan pada Rusmini.“Kemarin suamiku mengajak aku dan putraku makan bersama di hari ulang tahunku. Lega rasanya mendengar dia masih memperhatikanku. Aku pikir dia kepincut dengan janda rendahan di sekitarnya,” ucap Laras dengan nada menyindir.Rusmini tersenyum tenang mendengarnya. “Syukurlah dia tak kepincut janda di luar sana. Jadi ketika dia ingin kembali padaku, aku tak ragu untuk menerimanya.”Laras menatap nyalang Rusmini di sampingnya. “Kau tak