Bintara baru selesai dengan pekerjaannya di kantor. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Matanya sudah memberat karena banyaknya pekerjaan yang harus ia selesaikan. Bintara memeriksa ponselnya, barang kali ada kabar dari anak buahnya soal beberapa penyelidikan yang berlangsung.“Mereka belum mengabariku. Apa wanita itu memilih tempat penyekapan di luar kota?” monolog Bintara bingung.“Jika demikian, tak mungkin mudah untuk menemukan tempat penyekapan itu. Aku perlu menambah anak buah untuk melakukan pencarian di luar kota.”Bintara meraih jas hitamnya yang tersampir di kursi. Setelah membereskan laptop, Bintara segera keluar dari ruangannya.Erdo sudah pulang lebih dulu karena ada urusan dengan istrinya yang entah ke berapa. Membuat Bintara Mengemudi mobilnya sendiri menuju mansion. Matanya yang lelah tetap terjaga memperhatikan jalanan. Tak sengaja matanya melirik spion. Sebuah mobil Kijang hitam mengikutinya.“Ada-ada saja,” gumam Bintara mempercepat laju mob
Surat KeduaAku awalnya masih tak mengerti apa yang sebenarkan wanita itu maksud. Tapi setelah tahu apa yang dia lakukan padaku, membuatku paham mengapa dia tak membunuhku saja. Dia mempertahankanku karena perusahaan. Para kolega yang bekerja sama dengan perusahaan itu hanya mengenalku, tidak dengan Laras. Mereka yang menyukai ide kreatifku membuat kerja sama kami terus berlanjut hingga sekarang. Setiap kali rapat online dengan kolega, dia menggunakanku tampil di hadapan mereka. Wanita itu juga menggunakanku untuk meminta suntikan dana pada orang tua David. Ternyata ini alasan dia selalu ingin melenyapkanku. Wanita ini sungguh gila harta. Dengan tak tahu malu merebut suamiku dan mengincar hartanya. Jika aku diberi kesempatan hidup lebih lama, aku ingin menyuarakan pada dunia semua keburukannya.Bintara kembali membuka surat ketiga. Ia menelan kekesalannya dengan susah payah, agar bisa membawa semua surat yang telah ibunya tulis. Bukan tanpa tujuan ibunya menuliskan surat itu, pasti ia
David memasuki ruangan bawah tanah tempat disekapnya Rusmini. Tibalah David di depan sebuah pintu dengan pagar kecil di bagian atas pintu sebagai akses untuk melihat ke dalam. David menilik isi kamar lewat pagar kecil itu, tampak seorang wanita sedang duduk di kursi sambil menjahit pakaian. Melihat wanita itu, membuat hati David mencelos. Sudah tiga tahun lamanya, akhirnya ia bisa melihat mantan istrinya tersebut. Bukan, David bahkan belum bercerai dengannya.David menyuruh anak buahnya untuk membuka pintu tersebut. Begitu pintu terbuka, ia melangkah masuk. Ternyata Rusmini tak terusik dengan suara kedatangannya. David menguatkan dirinya, ia pun mengetuk pintu. Tampak Rusmini menoleh padanya, wanita itu terkejut melihat sosok pria yang sudah sangat lama tidak ia jumpai. Rusmini berdiri, ia menatap geram pada David yang mematung tanpa ekspresi apapun.“Mau apa kau ke sini?” Rusmini bertanya dengan raut wajah dingin.“Hanya mampir karena kebetulan tempat meeting-ku di kota ini,” sahut D
Sepanjang perjalanan pulang David terus saja termenung. Ia memikirkan apa yang terjadi hari ini. Mulai dari pertama kalinya melihat sosok Rusmini setelah tiga tahun, Rusmini yang menatapnya penuh kebencian, Rusmini yang memohon, dan Rusmini yang tersenyum padanya. Semua itu berputar di kepala David seolah-olah kaset rusak yang tak akan berhenti. David mengepalkan tangannya, ia menggeleng segera.“Tidak. Aku tak seharusnya mempunyai pemikiran seperti ini. Aku tak seharusnya memikirkannya. Aku telah mencampakannya dan membuat dia terluka. Tak seharusnya aku mulai ….”David kembali memutar rekaman suara Rusmini yang terdengar manis untuk putranya. Mendengar suara itu membuat David menggenggam erat ponselnya. Ia berjuang melawan rasa asing yang memporak-poranda hatinya hari ini. Ini tak seharusnya ia rasakan, ia tak seharusnya memiliki pemikiran seperti ini.“Apa nomor telepon Bintara masih sama seperti nomor teleponnya yang dulu?” pikir David.David mencoba menghubungi nomor itu tanpa ada
David baru saja pulang ke rumahnya. Ia mendapati Laras yang sedang minum kopi di dapur. Saat David hendak melanjutkan langkah ke kamar, suara Laras membuat langkahnya berhenti.“Kenapa baru pulang, Mas?” tanya Laras.“Macet. Singgah juga buat makan,” sahut David seadanya.“Tak singgah ke tempat penyekapan dulu menjenguk mantan istri?” sindir Laras. David tentu saja terkejut. Dari mana Laras tahu soal itu? Berarti ada salah satu dari anak buahnya yang memihak Laras.“Aku hanya ingin melihat. Apakah sungguh dia masih hidup. Itu saja,” sahut David melanjutkan berjalan ke kamar.Laras berdecih. “Apa dia mulai tertarik dengan wanita itu? Lihat saja apa yang aku lakukan padanya jika sungguh tertarik dengan Rusmini lagi.Di sisi lain, Viona dan ibu tirinya sedang duduk santai di depan televisi sambil menikmati beberapa camilan di atas meja. Mereka berdua langsung akrab hanya satu bulan setelah ayahnya membawa Bunga ke rumah. Menurut Viona, wanita itu memiliki sikap keibuan yang sangat tulus
“Jika kau ingin ayahmu segera bangun dari komanya, aku bisa memberikan penawarnya padamu, Viona.”Mendengar penuturan Ferry barusan, membuat Viona menghentikan langkahnya. Ia menoleh pada Ferry yang tersenyum manis. Ferry berjalan mendekati Viona dengan langkah percaya diri.“Apa maksudmu punya penawarnya? Apa kau ada hubungannya dengan racun itu?” tuding Viona.Ferry lekas menggeleng. “Tentu saja aku tak ada hubungannya. Kau tahu bukan aku sangat dekat dengan ibumu? Sehingga ibumu dengan mudah memberikan padaku apa yang aku mau. Aku mengatakan bahwa ingin mendekatimu dengan mengandalkan penawar obat itu. Maka ibumu dengan sukarela memberikannya,” pungkasnya.Viona menatap tajam ke arah Ferry dengan rahang mengeras. “Aku tak berminat. Aku memiliki Bin yang bisa mendapatkan penawar itu. Dia sedang melakukan penyelidikan soal racun itu, jadi aku tak butuh bantuan darimu,” sahut Viona.Ferry tertawa sumbang di hadapan Viona, membuat gadis itu mengeryitkan keningnya heran. Ferry bersedeka
Viona tiba di rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Ia berjalan gontai keluar dari ruangan dokter. Viona menanyakan perihal perkembangan ayahnya, tetapi dokter menyampaikan hal yang tak sesusai harapannya. Viona kembali ke kamar ayahnya, ia mendekat dan duduk di samping brankar.“Harus sampai kapan ayah seperti ini?”Viona merogoh ponselnya, lalu menghubungi sang kekasih. Ia ingin menanyakan pada Bintara sekali lagi tentang pabrik racun dan Penawar itu.“Halo, Sayang. Di mana kau sekarang?”“Aku lagi di rumah sakit.”“Kau mengunjungi ayahmu? Bagaimana keadaannya?”“Tak ada perkembangan yang aku harapkan. Sepertinya akan sama sebelum kau menemukan Penawar itu. Apa sudah ada titik terang, Bin?”“Maafkan aku. Tapi aku yakin sebentar lagi anak buahku akan menemukannya. Kau yang sabar, aku akan segera menemukan penawarnya.”“Baiklah. Semoga lekas ketemu. Bin, aku akan pulang. Aku tutup teleponnya.”“Baiklah. Hati-hati di jalan, Vi.”“Heum.”Viona menutup sambungan telepon itu dengan pandangan
Laras memasuki rumah sakit tempat Barnad dirawat. Laras tampak menahan kesal membuka tirai tempat di mana Barnad terbaring dengan beberapa luka di wajahnya. Laras dengan tampang datarnya, duduk di kursi tepat di samping Barnad.“Kupikir mengandalkanmu akan membawa keberhasilan,” sindir Laras. Sontak mendapatkan tatapan tak terima dari Barnad.“Apa maksudmu? Aku telah berhasil melumpuhkan semua orang yang berjaga di mansion pria itu. Bahkan pria itu juga tumbang karenaku,” protesnya tak terima diremehkan.“Lalu, apa semua ini?” Laras menatap tajam.“Dia bukan pria biasa. Aku tegaskan padamu, dia memiliki suatu kekuatan yang tak dimiliki oleh manusia biasa. Pria itu pasti menganut ilmu tertentu sehingga ia tahan lama dengan seranganku bahkan dia dapat bertahan dari racun semprot yang kami gunakan untuk melumpuhkan para penjaga itu,” cetus Barnad.Laras menegang mendengarnya. Ia teringat kejadian-kejadian di luar nalar yang ia dan suaminya alami ketika didatangi oleh Bintara. Memang sanga
Bintara dan Viona melanjutkan makan malam mereka yang tertunda, membiarkan Rusmini dan David entah langsung pulang atau mengunjungi tempat lain. Setelah sekian lama Viona sudah tak melihat wajah bahagia yang polos kekasihnya. Terakhir ia lihat ketika zaman sekolah SMA dulu.“Kau ingat hari pertama kali kita menjadi sepasang kekasih? Aku yang menyatakan cinta lebih dulu,” sindir Viona tersenyum geli.Tentu saja Bintara merasa terlukai harga dirinya. Ia menatap malas Viona yang sedang menertawakannya. “Itu karena aku sadar diri. Dulu aku tak setampan ini dan memiliki banyak kekurangan. Aku tuli dan penyakitan. Aku juga bukan anak yang diharapkan oleh ayahku. Jadi kepercayaan diriku lenyap karena itu. Aku sungguh tak menduga bagaimana bisa kau menyukaiku yang dulu? Jika aku yang dulu adalah aku yang sekarang, sangat wajar kau menyukai pria tampan, hebat, dan mapan ini,” tutur Bintara yang awalnya merendahkan diri berakhir membanggakan diri. Viona berdecih mendengarnya.“Itu karena kau or
Bintara berdesis saking gemasnya dengan kelakuan Viona yang ternyata hadir ke kampus. Siang ini Bintara menjemput kekasihnya itu sekalian meminta penjelasan mengapa kekasihnya itu tak mendengarkan saran darinya.“Halo, Sayang aku!” Viona langsung memeluk Bintara yang tak membalas pelukannya.“Mengapa kau tak menurutiku?” Pertanyaan dingin dari Bintara membuat Viona melepaskan pelukan itu dengan tampang cemberut.“Hari ini ada test penting. Aku harus hadir ke kampus, Bin. Lagipula aku sudah tak apa. Kau jangan terlalu khawatir seperti ini. Yang harus kau khawatirkan adalah keadaan perutku, aku sangat lapar,” ucap Viona sedikit merengek.“Merengek memang andalanmu,” sahut Bintara berjalan lebih dulu ke arah mobilnya. Ia tetap membukakan pintu untuk Viona walau tak menunggu gadis itu masuk langsung berjalan ke arah pintu mobil bagian kemudi.Bintara menjelankan mobil meninggalkan kampus Viona. Tujuan mereka adalah sebuah restaurant ala Korea yang tak jauh dari kampus Viona. Bintara memes
Rusmini telah pulang ke rumahnya, begitu pun dengan David. Sore ini Viona sudah diperbolehkan pulang, hanya saja ia menunggu infus habis. Bintara dengan setiap menungguinya.“Vi, apa menurutmu baiknya Ibu kembali pada ayah? Mendengar ayah akan pergi ke Paris dan memutuskan untuk menyendiri, rasanya aku juga merasakan kesepian yang ayahku rasakan. Ketulusan ayah juga tampak ketika ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah bercerai dengan ibumu,” lontar Bintara sembari mengupas buah apel.“Kalau menurutku … lebih baik persatukan mereka lagi, Bin. Walau aku tak begitu dekat dengan ibumu, tapi entah mengapa aku bisa melihat bahwa ibumu masih menyimpan perasaaan pada ayahmu. Hanya saja ibumu mempertimbangkan banyak hal hingga tak ingin menuruti kemauan hatinya. Salah satunya juga trauma yang ibumu miliki, Bin. Ibumu pasti takut jikalau ayahmu kembali seperti yang dulu dan menyakiti kalian lagi. Maka jalan satu-satunya yang bisa kau ambil adalah menyakinkan ibumu bahwa pemikiran buruk
Laras tertangkap saat mencoba melarikan diri ke luar kota bersama dengan anak buahnya. Berita tentang penangkapan itupun masuk berita pada pagi hari ini. Viona dan Bintara menatap layar televisi di rumah sakit. Tampak Laras dengan tampilan berantakan diborgol polisi. Tatapan wanita itu sangat kosong dan tubuhnya sangat lesu. Viona sudah mengetahui hal itu sejak ia bersama dengan ibunya di mobil.“Ibu pasti sangat tertekan hingga mentalnya terguncang. Ibu sangat mengerikan ketika membentakku di mobil waktu itu. Sorot matanya tak wajar, antara takut dan juga marah yang membumbung tinggi.” ungkap Viona.Bintara mengusap pundak kekasihnya dengan lembut dan memeluknya dari samping. “Mungkin kau sedih melihat ibuku seperti itu, Sayang. Tapi itulah yang terbaik untuk ibumu. Tak ada yang bisa mengendalikan ibumu selama ini. Dia terus saja membuat rencana-rencana jahat yang merugikan keluargaku, aku, dan juga dirimu. Aku tak ingin menyaksikan dan merasakan kesakitan keluargaku lagi karena dia,
Viona tak tahu kemana ia akan dibawa, tetapi ibunya terlihat sangat tenang. Walau bersama sang Ibu, tetapi Viona merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Apakah ini normal? Mengapa ia justru merasa tak akan ketika bersama dengan ibunya sendiri? Viona menoleh ke belakang, tampak sebuah mobil mengikuti mereka. Bukan mobil Bintara, tetapi mobil anak buahnya.“Bu, sepertinya kita diikuti,” ucap Viona.“Tenang, Viona. Anak buah ibu adalah mantan pembalap dulunya. Dia lihai untuk menghindari kejaran itu. Kau tenang saja, mereka tak akan menemukan kita setelah ini,” sahut Laras tersenyum penuh arti.“Memangnya kita akan ke mana, Bu?”“Tentu saja ke tempat yang tenang dan tak ada siapapun yang dapat menemukan kita,” sahut Laras.“Mengapa tak ke kantor polisi saja? Mereka tak akan macam-macam kalau kita ke kantor polisi, Bu,” ucap Viona memberi saran.“Diam kau, Viona! Jangan sekali-sekali kau sebut nama tempat itu! Ibu tak ingin mendengar tempat terkutuk itu!” Hardik Laras dengan tatapan tajam
Usai membayar ganti rugi, Laras pun dibebaskan oleh polisi. Ia keluar dari kantor polisi dengan keadaan yang berantakan. Tatapannya kosong, eyeliner-nya luntur, dan rambutnya berantakan. Laras tak peduli dengan tatapan orang-orang padanya. Sesaat dirinya seperti tak memikirkan apa-apa, lalu tiba-tiba ia teringat kembali dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Bagaimana bahagianya ia berselfi dengan David, kedatangan Hendrik yang tiba-tiba merusak suasana, dan hadirnya Bintara yang menjadi akhir dari hubungan dengan suaminya.“Semua ini gara-gara Bintara! Dia pasti telah menyusun rencana ini untuk menghancurkan hidupku! Cih, baiklah. Lihat bagaimana aku bisa menghancurkan hidupmu Bintara! Lihat! Aku bahkan tak peduli meski harus mengorbankan putri Marvin itu!”Laras memesan taksi. Ia menunggu di pinggir jalan dengan berbagai rencana yang saling berlalu lalang di kepalanya. Berbagai kemungkinan buruk pun terbayang-bayang. Apa yang akan dilakukan David setelah ini? Menceraikannya atau
“Apa benar semua itu, Laras?” David bertanya dengan nada dingin.Laras langsung bersujud di hadapan David sambil menangis tersedu untuk meminta ampun.“Mas, maafin aku. Aku nggak bermaksud membohongimu. Aku awalnya tak tahu jikalau Sonny adalah anak dari Hendrik. Aku pikir memang anak kita karena kita juga melakukan hubungan suami istri, bukan?”“Tapi kau tak bicara apapun setelah mengetahui Sonny bukan anakku! Kau menipuku hingga hari ini, Laras! Bahkan kau menikahiku karena orang tuamu memiliki dendam terhadap keluargaku? Pantas saja kau selalu memaksaku untuk mengalihkan kepemilikan perusahaan atas namamu dan juga Sonny. Begitu aku bangkrut, kau akan pergi dan bahagia dengan pria itu!” bentak David dengan tatapan berapi-api.Laras semakin menangis sambil menangkup kedua tangannya di hadapan wajah. Ia memohon pada David dengan sejadi-jadinya bahwa ia sangat menyesali perbuatannya. “Aku mohon maafkan aku, Mas. Kali ini saja maafkan aku. Aku memang awalnya menuruti permintaan orang tu
Laras berdandan dengan sangat cantik malam ini. Ia menggenakan gaun hitam selutut yang ketat dan lipstick yang tebal merah merona. Belum lagi highheel yang ia pakai membuatnya merasa bak modal di depan cermin ketika mematut dirinya sendiri. Laras sangat bangga dengan penampilannya malam ini. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, Laras merasa jikalau David pasti sudah menyiapkan kejuatan ulangtahun untuknya, membayangkan saja sudah membuat Laras kegirangan bukan main.David sudah menunggu di dalam mobil. Ia menoleh ke arah pintu, Laras dan Sonny belum kunjung keluar juga. David memutuskan untuk menelepon Bintara untuk memastikan rencana mereka hari ini seperti apa.“Halo, Yah?’’“Halo, Bintara. Jadi gimana, Ayah dan Laras beserta Sonny akan segera berangkat ke restaurant itu. Kapan kalian akan datang? Takutnya setelah selesai makan, kalian baru datang. Timingnya nanti tidak tepat, Nak. Apa perlu Ayah kasih kode nanti lewat pesan?”“Tidak perlu, Yah. Kami sudah stand by di parkiran resta
Rusmini datang bersamaan dengan Laras yang datang ke kantor. Laras mencoba tak peduli dengan wanita yang ia anggap musuh berat tersebut. Begitu pula dengan Rusmini yang memilih acuh tak acuh dengan raut wajah yang sangat tenang. Begitu mereka memasuki kantor, setiap karyawan yang mereka lewati lebih memilih menyapa Rusmini. Jika dibandingkan 7:3 yang menyapa mereka. Tentunya banyak yang menyapa Rusmini. Hal itu membuat hati Laras terasa terbakar. Mereka memasuki lift yang sama. Laras sengaja melakukanya karena ada sesuatu yang ingin ia ucapkan pada Rusmini.“Kemarin suamiku mengajak aku dan putraku makan bersama di hari ulang tahunku. Lega rasanya mendengar dia masih memperhatikanku. Aku pikir dia kepincut dengan janda rendahan di sekitarnya,” ucap Laras dengan nada menyindir.Rusmini tersenyum tenang mendengarnya. “Syukurlah dia tak kepincut janda di luar sana. Jadi ketika dia ingin kembali padaku, aku tak ragu untuk menerimanya.”Laras menatap nyalang Rusmini di sampingnya. “Kau tak