Keluarga dari kolega bisnis David telah datang. David dan Laras menyambut dengan ramah sepasang suami istri, Wildo dan Olivia, beserta putra mereka yang bernama Ferry. Ferry Gionard Wildo adalah sosok pria perawakan tinggi, agak kurus, dan berjambang tipis. Ketiga tamu tersebut langsung diarahkan ke meja makan.“Silakan duduk, Pak Wildo, Bu Olivia, dan Nak Ferry,” ucap Laras mempersilakan dengan lembut.“Terima kasih, Bu Laras. Senang rasanya bisa berkumpul seperti ini,” sahut Olivia.“Tentu kami lebih senang lagi,” sahut Laras tertawa anggun.“Rumahmu memiliki interior yang bagus, David. Aku jadi terinspirasi,” celetuk Wildo yang disambut tawa renyah David.“Benar, Wildo. Istriku memang mempunyai selera interior yang tinggi dia yang merancangnya sendiri,” sahut David.“Wah, tak kusangka Bu Laras handal akan interior,” decak Wildo.Laras terdiam sambil melirik dingin suaminya, tetapi ia langsung tersenyum menatap ke arah tamu. “Sejujurnya aku hanya mengikuti khayalan aku saja. Aku tak
Bintara sedari tadi menunggu balasan pesan kekasihnya dengan bersandar di ranjangnya. Ia tak bisa tidur membayangkan kekasihnya sedang terlibat dalam pertemuan keluarga yang sudah jelas untuk perjodohan. Rasanya Bintara ingin langsung mendatangi rumah ayahnya dan menarik Viona dari sana. Ingin juga ia langsung menyerang Laras yang seenaknya menjodohkan kekasihnya dengan pria lain, padahal Viona adalah kekasihnya.“Mengapa kekasihku terlahir dari wanita itu?’’Bintara kembali memeriksa room chat-nya dengan Viona yang masih belum ada pesan terbaru. Tak lama Viona mengirimkan rekaman sepanjang makan malam tadi. Bintara pun menegakkan tubuhnya sambil membuka rekaman suara itu.“Sialan! Apa yang ada dipikiran wanita ular itu. Dia sungguh mementingkan kebahagiaannya sendiri daripada kebahagiaan putrinya. Dia sungguh ingin balas dendam denganku dengan cara seperti ini? Tunggulah pembalasanku, Laras!”Bintara menghubungi Viona, tetapi Viona sama sekali tak menyahutinya. Tak berburuk sangka, B
“Ferry Geonard Wildo. Apa kau mengenal pria itu?” tanya Viona.Barulah Bintara mengingat orang itu. Bintara berdecak sebal sambil melonggarkan dasinya. Ia menatap kekasihnya yang menunggu kata-kata yang akan ia luncurkan. Melihat lingkaran hitam di bawah mata kekasihnya membuat Bintara merasa kasihan. Ia sungguh akan menghancurkan siapa saja yang melakukan hal tersebut pada kekasihnya.“Dia adalah sainganku di bidang elektronik. Sudah tiga kali dia mencoba bersaing denganku, tetapi dia selalu kalah mendapatkan apa yang ia mau. Selama ini aku mengenalnya dengan nama MR. Geo bukan Ferry. Aku baru mengenalkan ketika kau menyebutkan nama lengkap itu,” tutur Bintara menjelaskan.“Ini akan sulit, Bin. Kemungkinan dia juga akan menggunakan perjodohan kami untuk menjatuhkanmu. Bagaimana ini? Aku sudah sangat frustrasi memikirkan ayahku, Bin. Aku tak tahu harus bertindak seperti apa.” Viona menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya sendiri.“Aku akan urus semuanya hari ini. Kau tenang saj
“Lapor, Tuan. Ayah dari Nona Viona yang bernama Marvin ditemukan di sebuah rumah sakit umum. Menurut informasi keadaan pasien, Marvin mengalami koma.”Bintara menatap anak buahnya tak percaya. Apa katanya, koma? Yang benar saja. Bintara mengira Laras hanya akan menyekap ayahnya Viona untuk menekan Viona. Jika Viona melawan, baru Laras akan melakukan sesuatu pada mantan suaminya tersebut. Namun, kabar yang ia dapatkan barusan malah sebaliknya.“Kirimi aku alamatnya,” pinta Bintara.“Baik, Tuan,” sahut perwakilan tim anak buah Bintara.“Selanjutnya, Boni. Kau membawa laporan yang bagus?” tanya Bintara pada pimpinan penyelidikan kedua. Pria perawakan tinggi itu pun menghampiri Bintara.“Kami sudah menyelidiki dua buah hutan dan beberapa gedung yang mencurigakan. Tapi kami belum bisa menemukan titik terang keberadaan Nyonya Rusmini. Maafkan kami, Tuan. Kami akan mencoba menyelidiki ke tempat lain lagi,” ucap pria itu memberi hormat dan mundur ke belakang.Bintara mengembuskan napasnya pas
David berlari menuju dapur rumahnya dengan jantung berdebar dengan kencang. Sesampai di dapur ia menuang air putih dan meminumnya hingga tandas. David duduk di depan panty dengan napas tak beraturan. Apa yang ia lihat di kamar nyaris membuatnya gila.“Apa tadi? Jelas sekali itu Kelvin. Bagaimana ia bisa ada di kamarku seperti hantu? Jika pun Bintara yang menyamar jadi Kelvin, bagaimana bisa ia masuk dengan begitu cepat dan berada di hadapanku? Ini sungguh tak masuk akal,” monolog David terlihat frustrasi.David melihat jam yang melingkar di lengannya. Sudah pukul sembilan malam tetapi istrinya tak kunjung pulang. Ia merasa ini mencurigakan. David mulai khawatir sehingga mengirimkan pesan pada anak buahnya untuk mencari sang istri.“Ayah David belum tidur?” tanya Viona yang berjalan menuju dapur.David menoleh lalu tersenyum. “A-ah, iya, Viona. Tiba-tiba saja Ayah merasa haus dan memutuskan untuk minum. Ibumu belum pulang, apa kau tahu itu?” tanya David.Viona menggeleng tanda tak tahu
Viona dan Bintara dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat ayah Viona dirawat. Viona terlihat sangat cemas sepanjang perjalanan. Mendengar bahwa ayahnya berada di rumah sakit dengan kondisi koma, membuat Viona menangis. Ia tak dapat menahan gelojak amarah di hatinya hingga menyumpahi ibunya yang sudah seperti kerasukan iblis.“Ibu macam apa dia? Dia lebih seperti wanita yang kerasukan iblis! Bin, mengapa ibuku tega melakukan hal ini pada ayah? Apa tak ada rasa bersalah sedikit pun di hatinya setelah melihat ayahku dalam kondisi seperti itu?“Apa yang membuatmu heran, Vi. Dia bahkan menyuruh anak buahnya menghabisiku dan menculik ibuku. Dia juga yang membuat ibuku sakit. Apa itu sudah cukup menjawab pertanyaanmu?” sahut Bintara. Viona langsung menoleh padanya.“Pantas saja kau sangat terluka.”Bintara menoleh pada kekasihnya sambil mengulas senyum tipis. “Tenanglah. Pasti semua ini ada ujungnya. Di saat ujungnya sudah berhasil aku temukan, tolong jangan benci aku jikalau aku menghuku
Seorang wanita berambut ranjang dengan jepitan rambut hitam yang merapikan rambutnya ke belakang, sedang duduk melamun di depan jendela sebuah kamar. Jendela tersebut dipasangi pagar besi yang teramat kokoh, tak membiarkan sedikit pun celah untuknya keluar. Wanita tanpa riasan apapun pada wajahnya itu adalah Rusmini. Tubuhnya jauh lebih kurus daripada tiga tahun terakhir. Tulang pipinya sangat jelas tercetak dan bawah matanya yang terlihat sedikit menghitam. Sejak tiga tahun mendekam dalam kamar itu, membuat Rusmini nyaris gila. Ia tak makan dengan baik, tak tidur dengan nyanyak, dan selalu memikirkan kondisi putranya.“Di mana dirmu, Sayang? Apakah kau masih ada di dunia ini atau tidak. Jika tidak, tak ada alasan lagi untuk ibu bertahan. Untuk apa hidup hanya untuk dimanfaatkan oleh wanita ular itu.” Rusmini menunduk bersamaan dengan air matanya yang menetes.“Apa yang harus aku lakukan supaya bisa keluar dari tempat terkutuk ini?”Rusmini memperhatikan kamarnya yang tak mempunyai ce
Erdo menghentikan mobil di sebuah hutan yang besar. Bintara melirik tajam beberapa penjaga di depan hutan tersebut yang berdiri tegap dengan perawakan tinggi besar. Bintara membuka mobilnya, lalu keluar dari sana. Sontak tatapan semua penjaga itu tertoleh padanya. Ada seorang penjaga yang berbisik pada temannya di samping.Bintara berjalan depan santai mendekati hutan dengan kedua tangan terselip di celana. Erdo mengikutinya dari belakang dengan tubuh tegap. Begitu Bintara hampir memasuki hutan, para penjaga tersebut langsung menghadang di depannya. Bintara menatap santai, tetapi setelahnya tersenyum sinis.“Minggirlah. Jangan menghalangi jalanku,“ titah Bintara.“Hutan ini tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang,” sahut salah satu dari mereka.“Tapi aku bukan sembarang orang. Aku bahkan bisa membeli hutan ini. Minggirlah,” sahut Bintara dengan tenang.“Jangan membuat kami melakukan kekerasan. Pulanglah dengan damai, Tuan,” pinta mereka.“Aku pantang pulang sebelum mendapatkan yang
Bintara dan Viona melanjutkan makan malam mereka yang tertunda, membiarkan Rusmini dan David entah langsung pulang atau mengunjungi tempat lain. Setelah sekian lama Viona sudah tak melihat wajah bahagia yang polos kekasihnya. Terakhir ia lihat ketika zaman sekolah SMA dulu.“Kau ingat hari pertama kali kita menjadi sepasang kekasih? Aku yang menyatakan cinta lebih dulu,” sindir Viona tersenyum geli.Tentu saja Bintara merasa terlukai harga dirinya. Ia menatap malas Viona yang sedang menertawakannya. “Itu karena aku sadar diri. Dulu aku tak setampan ini dan memiliki banyak kekurangan. Aku tuli dan penyakitan. Aku juga bukan anak yang diharapkan oleh ayahku. Jadi kepercayaan diriku lenyap karena itu. Aku sungguh tak menduga bagaimana bisa kau menyukaiku yang dulu? Jika aku yang dulu adalah aku yang sekarang, sangat wajar kau menyukai pria tampan, hebat, dan mapan ini,” tutur Bintara yang awalnya merendahkan diri berakhir membanggakan diri. Viona berdecih mendengarnya.“Itu karena kau or
Bintara berdesis saking gemasnya dengan kelakuan Viona yang ternyata hadir ke kampus. Siang ini Bintara menjemput kekasihnya itu sekalian meminta penjelasan mengapa kekasihnya itu tak mendengarkan saran darinya.“Halo, Sayang aku!” Viona langsung memeluk Bintara yang tak membalas pelukannya.“Mengapa kau tak menurutiku?” Pertanyaan dingin dari Bintara membuat Viona melepaskan pelukan itu dengan tampang cemberut.“Hari ini ada test penting. Aku harus hadir ke kampus, Bin. Lagipula aku sudah tak apa. Kau jangan terlalu khawatir seperti ini. Yang harus kau khawatirkan adalah keadaan perutku, aku sangat lapar,” ucap Viona sedikit merengek.“Merengek memang andalanmu,” sahut Bintara berjalan lebih dulu ke arah mobilnya. Ia tetap membukakan pintu untuk Viona walau tak menunggu gadis itu masuk langsung berjalan ke arah pintu mobil bagian kemudi.Bintara menjelankan mobil meninggalkan kampus Viona. Tujuan mereka adalah sebuah restaurant ala Korea yang tak jauh dari kampus Viona. Bintara memes
Rusmini telah pulang ke rumahnya, begitu pun dengan David. Sore ini Viona sudah diperbolehkan pulang, hanya saja ia menunggu infus habis. Bintara dengan setiap menungguinya.“Vi, apa menurutmu baiknya Ibu kembali pada ayah? Mendengar ayah akan pergi ke Paris dan memutuskan untuk menyendiri, rasanya aku juga merasakan kesepian yang ayahku rasakan. Ketulusan ayah juga tampak ketika ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah bercerai dengan ibumu,” lontar Bintara sembari mengupas buah apel.“Kalau menurutku … lebih baik persatukan mereka lagi, Bin. Walau aku tak begitu dekat dengan ibumu, tapi entah mengapa aku bisa melihat bahwa ibumu masih menyimpan perasaaan pada ayahmu. Hanya saja ibumu mempertimbangkan banyak hal hingga tak ingin menuruti kemauan hatinya. Salah satunya juga trauma yang ibumu miliki, Bin. Ibumu pasti takut jikalau ayahmu kembali seperti yang dulu dan menyakiti kalian lagi. Maka jalan satu-satunya yang bisa kau ambil adalah menyakinkan ibumu bahwa pemikiran buruk
Laras tertangkap saat mencoba melarikan diri ke luar kota bersama dengan anak buahnya. Berita tentang penangkapan itupun masuk berita pada pagi hari ini. Viona dan Bintara menatap layar televisi di rumah sakit. Tampak Laras dengan tampilan berantakan diborgol polisi. Tatapan wanita itu sangat kosong dan tubuhnya sangat lesu. Viona sudah mengetahui hal itu sejak ia bersama dengan ibunya di mobil.“Ibu pasti sangat tertekan hingga mentalnya terguncang. Ibu sangat mengerikan ketika membentakku di mobil waktu itu. Sorot matanya tak wajar, antara takut dan juga marah yang membumbung tinggi.” ungkap Viona.Bintara mengusap pundak kekasihnya dengan lembut dan memeluknya dari samping. “Mungkin kau sedih melihat ibuku seperti itu, Sayang. Tapi itulah yang terbaik untuk ibumu. Tak ada yang bisa mengendalikan ibumu selama ini. Dia terus saja membuat rencana-rencana jahat yang merugikan keluargaku, aku, dan juga dirimu. Aku tak ingin menyaksikan dan merasakan kesakitan keluargaku lagi karena dia,
Viona tak tahu kemana ia akan dibawa, tetapi ibunya terlihat sangat tenang. Walau bersama sang Ibu, tetapi Viona merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Apakah ini normal? Mengapa ia justru merasa tak akan ketika bersama dengan ibunya sendiri? Viona menoleh ke belakang, tampak sebuah mobil mengikuti mereka. Bukan mobil Bintara, tetapi mobil anak buahnya.“Bu, sepertinya kita diikuti,” ucap Viona.“Tenang, Viona. Anak buah ibu adalah mantan pembalap dulunya. Dia lihai untuk menghindari kejaran itu. Kau tenang saja, mereka tak akan menemukan kita setelah ini,” sahut Laras tersenyum penuh arti.“Memangnya kita akan ke mana, Bu?”“Tentu saja ke tempat yang tenang dan tak ada siapapun yang dapat menemukan kita,” sahut Laras.“Mengapa tak ke kantor polisi saja? Mereka tak akan macam-macam kalau kita ke kantor polisi, Bu,” ucap Viona memberi saran.“Diam kau, Viona! Jangan sekali-sekali kau sebut nama tempat itu! Ibu tak ingin mendengar tempat terkutuk itu!” Hardik Laras dengan tatapan tajam
Usai membayar ganti rugi, Laras pun dibebaskan oleh polisi. Ia keluar dari kantor polisi dengan keadaan yang berantakan. Tatapannya kosong, eyeliner-nya luntur, dan rambutnya berantakan. Laras tak peduli dengan tatapan orang-orang padanya. Sesaat dirinya seperti tak memikirkan apa-apa, lalu tiba-tiba ia teringat kembali dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Bagaimana bahagianya ia berselfi dengan David, kedatangan Hendrik yang tiba-tiba merusak suasana, dan hadirnya Bintara yang menjadi akhir dari hubungan dengan suaminya.“Semua ini gara-gara Bintara! Dia pasti telah menyusun rencana ini untuk menghancurkan hidupku! Cih, baiklah. Lihat bagaimana aku bisa menghancurkan hidupmu Bintara! Lihat! Aku bahkan tak peduli meski harus mengorbankan putri Marvin itu!”Laras memesan taksi. Ia menunggu di pinggir jalan dengan berbagai rencana yang saling berlalu lalang di kepalanya. Berbagai kemungkinan buruk pun terbayang-bayang. Apa yang akan dilakukan David setelah ini? Menceraikannya atau
“Apa benar semua itu, Laras?” David bertanya dengan nada dingin.Laras langsung bersujud di hadapan David sambil menangis tersedu untuk meminta ampun.“Mas, maafin aku. Aku nggak bermaksud membohongimu. Aku awalnya tak tahu jikalau Sonny adalah anak dari Hendrik. Aku pikir memang anak kita karena kita juga melakukan hubungan suami istri, bukan?”“Tapi kau tak bicara apapun setelah mengetahui Sonny bukan anakku! Kau menipuku hingga hari ini, Laras! Bahkan kau menikahiku karena orang tuamu memiliki dendam terhadap keluargaku? Pantas saja kau selalu memaksaku untuk mengalihkan kepemilikan perusahaan atas namamu dan juga Sonny. Begitu aku bangkrut, kau akan pergi dan bahagia dengan pria itu!” bentak David dengan tatapan berapi-api.Laras semakin menangis sambil menangkup kedua tangannya di hadapan wajah. Ia memohon pada David dengan sejadi-jadinya bahwa ia sangat menyesali perbuatannya. “Aku mohon maafkan aku, Mas. Kali ini saja maafkan aku. Aku memang awalnya menuruti permintaan orang tu
Laras berdandan dengan sangat cantik malam ini. Ia menggenakan gaun hitam selutut yang ketat dan lipstick yang tebal merah merona. Belum lagi highheel yang ia pakai membuatnya merasa bak modal di depan cermin ketika mematut dirinya sendiri. Laras sangat bangga dengan penampilannya malam ini. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, Laras merasa jikalau David pasti sudah menyiapkan kejuatan ulangtahun untuknya, membayangkan saja sudah membuat Laras kegirangan bukan main.David sudah menunggu di dalam mobil. Ia menoleh ke arah pintu, Laras dan Sonny belum kunjung keluar juga. David memutuskan untuk menelepon Bintara untuk memastikan rencana mereka hari ini seperti apa.“Halo, Yah?’’“Halo, Bintara. Jadi gimana, Ayah dan Laras beserta Sonny akan segera berangkat ke restaurant itu. Kapan kalian akan datang? Takutnya setelah selesai makan, kalian baru datang. Timingnya nanti tidak tepat, Nak. Apa perlu Ayah kasih kode nanti lewat pesan?”“Tidak perlu, Yah. Kami sudah stand by di parkiran resta
Rusmini datang bersamaan dengan Laras yang datang ke kantor. Laras mencoba tak peduli dengan wanita yang ia anggap musuh berat tersebut. Begitu pula dengan Rusmini yang memilih acuh tak acuh dengan raut wajah yang sangat tenang. Begitu mereka memasuki kantor, setiap karyawan yang mereka lewati lebih memilih menyapa Rusmini. Jika dibandingkan 7:3 yang menyapa mereka. Tentunya banyak yang menyapa Rusmini. Hal itu membuat hati Laras terasa terbakar. Mereka memasuki lift yang sama. Laras sengaja melakukanya karena ada sesuatu yang ingin ia ucapkan pada Rusmini.“Kemarin suamiku mengajak aku dan putraku makan bersama di hari ulang tahunku. Lega rasanya mendengar dia masih memperhatikanku. Aku pikir dia kepincut dengan janda rendahan di sekitarnya,” ucap Laras dengan nada menyindir.Rusmini tersenyum tenang mendengarnya. “Syukurlah dia tak kepincut janda di luar sana. Jadi ketika dia ingin kembali padaku, aku tak ragu untuk menerimanya.”Laras menatap nyalang Rusmini di sampingnya. “Kau tak