Aku memeriksa aplikasi cek-lokasi di ponselku yang sudah aku sambungkan di ponsel milik Mas Galih, suamiku.
Dengan jantung berdebar aku perlahan memperhatikan gerak lokasi yang sedang dituju olehnya. Titiknya kini berhenti disebuah kafe di pinggir kota, aku lalu menghubungi sepupuku untuk menemaniku menuju lokasi tempat Mas Galih sekarang berada.
“Kak Yuni, lagi sibuk gak?” tanyaku saat Kak Yuni menjawab teleponku.
“Gak Mur, lagi santai, ini kan hari minggu. Ada apa?” sahutnya sambil sesekali terdengar ia menyeruput minuman.
“Bisa temani aku ke Kafe Gemilang?” Ucapku sedikit gugup.
“Boleh, emangnya kamu gak masak hari ini?”
“Bukan, datang saja dulu nanti aku ceritain!” aku tidak sabar ingin segera mendatangi Mas Galih yang ku yakini sedang bersama wanita lain.
Sambil menunggu Kak Yuni datang menjemputku, aku terus menelepon Mas Galih namun tak kunjung dijawab. Malah kini Mas Galih mematikan ponselnya, membuat jantungku semakin berdegup kencang, air mataku berhasil lolos dari mataku yang sedari tadi terbendung.
“Assalamu’alaikum… Murti..!” Kak Yuni datang dan langsung masuk ke rumahku yang tidak terkunci.
Aku dengan cepat menghapus air mataku yang tak mau berhenti mengalir meski sudah berusaha keras untuk menenangkan diri sejak tadi.
“Loh, kamu nangis? Ada apa Mur?” Kak Yuni duduk lalu memeluk tubuhku.
“Aku belum tau pasti Mas Galih dengan siapa ke kafe itu, tapi firasatku sangat kuat, Kak. Sudah puluhan kali aku meneleponnya, tapi tak pernah diangkat, tadi dia reject, lalu sekarang dia mematikan handphonenya,” Aku kembali sesenggukan.
Kak Yuni yang masih belum mengerti dengan perkataanku mencoba perlahan bertanya kembali, “Maksud kamu gimana? Firasat apa?”
“Mas Galih selingkuh, Kak!” Aku kembali tersedu.
Kak Yuni membelalak mata mendengar pernyataanku, pasalnya Mas Galih yang selama ini ia kenal bukanlah tipe lelaki seperti itu. Selama ini ia melihat rumah tanggaku dan Mas Galih selalu bahagia dan harmonis.
“Kamu yakin, Mur? Apa Galih tega melakukan itu? Dia kancinta banget sama kamu,” kening Kak Yuni berkerut, namun ia terus mengelus punggungku agar aku tenang.
“Aku yakin kak, ayo kita lihat dia disana kalau kakak gak percaya sama aku!” Aku sudah mengetahui perselingkuhan Mas Galih dengan wanita ini bahkan sejak sebelum kami menikah, namun aku merahasiakan hal ini dari semua orang, terutama keluargaku.
Dengan jantung yang kian bergemuruh, Aku pergi ke lokasi dimana suamiku berada. Aku yakin saat ini Mas Galih bersama wanita selingkuhannya, karena saat sebelum dia pergi, Mas Galih menerima telepon dari seseorang yang membuatnya sangat riang, lalu bergegas meninggalkanku di rumah tanpa berpamitan.
Usia pernikahan kami kini sudah satu tahun, rahasia ini aku simpan rapat-rapat demi nama baik suamiku dan juga keluarga kami. Hari ini aku akan mengungkapkan rahasia itu di depan Kak Yuni, kakak sepupuku yang sangat dekat denganku. Dialah orang pertama yang nantinya akan mengetahui hal ini pertama kalinya.
Sesampainya di Kafe Gemilang, Aku semakin gugup dan gelisah. Kak Yuni terus mencoba menenangkanku. Melihat ekspresi wajahku yang sangat yakin dengan perselingkuhan Mas Galih, Kak Yuni pun terlihat percaya dengan apa yang ku ungkapkan.
“Mur, tenang, tarik nafas, istighfar!” titahnya.
Aku mencoba mengikuti apa yang dikatakan Kak Yuni. Kini kami berdua perlahan masuk ke dalam kafe tersebut dan menyusuri pondok-pondok lesehan yang bersekat-sekat.
Aku melihat sepasang sepatu milik suamiku yang berdampingan dengan sandal wanita di depan salah satu sebuah pondok lesehan. Gegas aku langsung mendatangi pondok itu, tidak salah lagi, memang benar Mas Galih berada disana sedang bercumbu dengan posisi manja, merebahkan kepalanya diatas paha perempuan itu.
“Mas, kamu ngapain disini? Ayo pulang!” Aku yang tidak berdaya melihat pemandangan itu, sudah tidak bisa lagi marah. Bibirku hanya bisa mengucapkan kalimat itu.
Aku sangat terkejut, marah, kesal, kecewa, perasaanku campur aduk tidak bisa lagi dijelaskan. Meskipun aku sudah tahu kalau selama ini suamiku berselingkuh, namun baru kali ini aku melihatnya secara langsung.
Mas Galih bahkan tidak kaget melihatku datang memergokinya, begitupun dengan wanita selingkuhannya, ekspresinya sangat tenang tidak ada raut diwajahnya yang menampakan perasaan bersalah, ia malah tersenyum sinis kepadaku.
“Kamu yang ngapain disini, sana pulang!” usir Mas Galih.
Tak sadar air mata Aku luruh, aku menangis dalam hati tanpa suara dan isakan. Entah kenapa aku tidak bisa menjambak rambut wanita itu atau bahkan menamparnya begitupun dengan suamiku.
Rasa cintaku terhadap Mas Galih yang begitu besar sukses membuatku meredam amarah. Wajarkah rasa cinta yang aku rasakan saat ini? Ataukah hanya kebodohan semata? Inikah yang dinamakan cinta buta? Benar-benar membutakan segalanya sampai aku rela menahan penderitaan dan sakit hati selama satu tahun pernikahan ini.
“Galih!!! Apa-apaan kamu! Tega-teganya kamu selingkuh! Kurang apa Murti ha? Dia bahkan lebih cantik dan lebih muda dari pada wanita murahan ini!!” hardik Kak Yuni yang tak bisa menahan emosi melihat perbuatan suamiku.
Galih memandangku dan Kak Yuni dengan tatapan acuh, tersenyum miring kepada kami, begitupun dengan wanita itu. Wajahnya memang tampak lebih tua dari pada Mas Galih, namun ku akui, wanita itu memang sangatlah cantik. Mas Galih seperti sedang tidak sadar dengan situasi saat ini.
“Mas, ayo pulang!” ajakku dengan suara serak.
Namun Mas Galih tak menanggapi, ia bahkan masih dalam posisi berbaring dalam pangkuan wanita selingkuhannya.
“Keterlaluan! kalian berdua memang bukan manusia!!!” bentak Kak Yuni lagi yang tak bisa menahan amarahnya.
Kemudian ia mendekati wanita itu yang sedari tadi hanya diam dan tersenyum kecut. Tanpa pikir panjang Kak Yuni langsung menarik rambut si wanita.
“Dasar wanita murahan! Gak tau diri! Tua bangka gak tau malu! Ini suami orang, jelas-jelas istri sahnya datang tapi kau malah gak peduli! Gak ada sedikitpun rasa bersalahmu, ha?” bentak Kak Yuni geram.
Mas Galih sontak bangkit dari rebahnya lalu menepis tangan Kak Yuni dengan tatapan membunuh.
“Lepasin! Kau siapa ikut campur urusanku ha? Pergi sana!” hardik Galih kepada Kak Yuni.
Kak Yuni hanya bisa menggeleng kesal, ia tak menyangka Mas Galih yang selama ini ia anggap seorang suami yang baik dan setia nyatanya berselingkuh terang-terangan di depanku.
Tangis ku pecah saat melihat kejadian di depan mataku, ketika suamiku lebih membela sang selingkuhan.
“Gak nyangka kakak Gas, liat kelakuan kamu kayak gini apalagi gara-gara membela dia kamu sampai berani membentak kakak.” Lirih Kak Yuni.
Sementara wanita selingkuhannya itu masih sibuk membenarkan rambutnya yang kusut akibat ditarik oleh Kak Yuni.
“Aku bukan perempuan murahan seperti yang kau ucapkan tadi! Galih sendiri yang memintaku untuk menjadi wanita simpanannya, dan kami saling menyukai,” ucap wanita itu dengan santai tanpa rasa bersalah.
“Hah, akhirnya kau bersuara. Tapi, apa tadi? Kau bilang bukan perempuan murahan? Lalu kau mengaku sebagai simpanan? Hahahah konyol sekali. Ini nih tandanya kalau orang gak pernah sekolah,” cibir Kak Yuni.
“Kak Yuni! Cukup kak! Ini bukan urusan kakak, gak usah ikut campur urusan rumah tanggaku! Sekarang silahkan kakak pergi, bawa Murti pulang!” bentak Mas Galih dengan tatapan tajam kepada Kak Yuni, rahangnya mengeras sambil mengepalkan tangannya.
Orang-orang dikafe sudah sejak tadi memperhatikan kejadian ini, beberapa dari mereka saling berbisik dan ada juga yang diam-diam merekam dengan ponselnya. Mungkin bagi mereka hal seperti ini adalah tontonan seru.
“Sudahlah kak, ayo kita pulang, percuma kita berdebat disini, yang ada kita menjadi tontonan orang-orang dan Mas Galih juga lebih membela wanita itu,” Aku mulai gerah dengan keadaan di kafe dan merasa malu.
“Mohon kepada sesiapa yang merekam, Hapus sekarang atau aku akan panggil polisi!” ancam Kak Yuni kepada para pengunjung yang menyaksikan perseteruan kami.
Seketika semuanya kembali ke dalam pondok dan beberapa kembali ke tempat duduknya masing-masing.
Betapa sakit hati dan malunya Aku, kejadian ini disaksikan oleh banyak orang, dan aku bahkan tidak mendapat perlakuan baik dari suamiku sendiri, aku mengharap setidaknya Mas Galih merasa bersalah dan menjelaskan kenapa dia bisa bersama wanita itu lalu meminta maaf dan mengejarku ketika pergi.
Namun nyatanya Mas Galih lebih memilih membela wanita itu dan sama sekali tidak menghiraukan keberadaanku sebagai istri sahnya.
“Mur.. kamu yang sabar ya, kalau kamu butuh bantuan, kapan saja silahkan hubungi kakak,” Kak Yuni mengusap punggungku yang masih tersedu di parkiran saat kami hendak pergi dari kafe itu. Dalam hatiku masih saja terus mengharap suamiku akan keluar lalu mengejarku dan meminta maaf. Namun harapanku sia-sia, aku bahkan sudah tahu kalau suamiku tidak akan melakukan itu. Harapan itu semakin membuatku kecewa saja. “Kak, aku mohon jangan cerita sama siapa-siapa, apalagi orang tuaku ya! masalah ini baru diketahui sama kakak saja,” pintaku memelas. “Kenapa gak boleh Mur, masalah ini harus diketahui oleh keluarga masing-masing pihak, supaya cepat diselesaikan, kalau tidak kamu akan tersiksa terus menerus,” ujarnya. “Gak kak, nanti aku akan cari cara lain, siapa tau Mas Galih masih bisa berubah,” ucapku meyakinkan Kak Yuni. Kak Yuni menarik nafas kasar, ia terlihat tak yakin bahwa Mas Galih akan berubah, melihat sikapnya yang sama sekali tidak merasa bersalah bahkan lebih memilih selingkuhann
"Murti, aku sa..sayang sama kamu," ucap Mas Galih terbata karena sedikit rasa bersalahnya mulai muncul. "Apa? Coba katakan sekali lagi Mas, aku kurang jelas tadi, apa kamu bilang? Sayang?" Aku menyeringai sambil meletakkan telapak tanganku disebelah telingaku. Sikap dinginku ternyata membuat Mas Galih semakin gugup, karena selama ini Aku selalu bersikap lemah lembut dan menurut dengannya. "Iya, aku sayang sama kamu, tapi aku juga sayang sama Winda." tuturnya. "Ooh.. Jadi namanya Winda.” Aku menyeringai. “Egois kamu Mas, sangat-sangat egois! Kalau kamu sayang sama aku, kamu gak selingkuh Mas!" kecamku. Mas Galih menelan ludah kasar, ia bingung bagaimana menjawabnya dan menghadapi sikapku yang seperti ini, istrinya tidak seperti biasanya, mungkin itu yang sedang ia pikirkan sekarang, aku sudah berani menjawab dan melawan ucapannya dengan suara lantang. “Kenapa diam? Jawab dong! Aku sudah tau kamu menjalin hubungan dengan dia sejak sebelum kita menikah, tapi aku yakin kamu akan ber
Tak terasa air mataku menetes. “Mur, kamu nangis?” Kak Dea mengernyit memperhatikan wajahku secara dekat. Kak Dea adalah seorang guru mata pelajaran Agama Islam, ia pernah mondok di pesantren. “Eh.. ngg.. enggak Kak, cuma perih aja mataku karena kelamaan natap komputer ini,” Aku nyengir menutupi kesedihanku. Mereka menganggapku sebagai wanita yang ceria. Tapi hari ini aku merasa Kak Dea menyadari kalau dari raut wajahku terukir beban masalah. “Kamu pikir kakak baru kenal kamu kemarin sore?” lirik mata Kak Dea menatapku sinis. “Hehehe… apa sih Kak,” Aku cengar-cengir mulai salah tingkah. “Kenapa? Cerita sama Kakak, siapa tau lega, atau siapa tau Kakak bisa kasih solusi, ya kan?” tawarnya. Aku mulai berpikir, kenapa sangat kebetulan sekali ketika aku ingin mencari seseorang untuk teman curhat, tiba-tiba Kak Dea datang menawarkan diri untuk menjadi pendengarnya. Tak ingin basa-basi terlalu banyak, Aku langsung menghampiri beliau yang tengah sibuk membaca buku pelajaran. “Kak, sebe
Siang itu, sepulang kerja, Aku langsung berbaring di kamar, aku ingin bermalas-malasan, tidak ingin mengurus rumah seperti biasanya, barang-barang Mas Galih aku biarkan berserakan. Rumah juga ku biarkan kotor. Dulu Mas Galih pernah bilang ingin mempekerjakan seorang asisten rumah tangga, namun aku menolak karena berpikir aku masih bisa mengerjakan semuanya sendiri. Saat ini aku merasa lega telah mencurahkan isi hatiku kepada orang yang ku percayai. Mulai saat ini aku memutuskan akan belajar merubah diri menjadi lebih baik. “Huhft… pasti mereka lagi berduaan di Mall sekarang.” Aku menghembuskan napas berat. Rasanya tidak ada lagi rasa peduliku pada Mas Galih, meski sebenarnya masih ada rasa cemburu yang membara. Aku yakin, dia akan memainkan perannya dengan baik sehingga tidak banyak orang tahu perbuatannya kepadaku. Aku coba melihat aplikasi chat Mas Galih yang sudah ku sadap, namun tak ada percapakan apapun setelah tadi pagi. “Apa mungkin dia udah tau kalau aku sadap.” Gumamku.
Dengan malas aku membukakan pintu kamar yang digedor begitu keras oleh Mas Galih. Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Seketika aku memegangi pipiku yang memanas oleh tamparan yang begitu keras. Ku sentuh sudut bibirku yang perih, ternyata ada sedikit darah. “Oh, demi siluman tua itu kamu bahkan tega menampar aku!” ucapku dengan nada dingin dan suara sedikit serak. “Aku gak bermaksud kasar sama kamu, tapi kamu udah bener bener keterlaluan, Murti!” bentaknya. “Yang keterlaluan itu kamu, Mas! Kamu bisa ngaca gak?” balasku dengan suara sedikit meninggi. “Apa salahku, Mur?” tanyanya lemah. Sepertinya Mas Galih benar benar kehilangan akal dan pikiran. “Hahahahaha…” aku tertawa terbahak mendengar pertanyaan konyol Mas Galih. Bagaimana bisa dia bertanya apa salah dirinya? Apa dia sudah tidak waras? “Kamu, ikut aku!” tiba tiba Mas Galih menarik lenganku dengan kasar. “Mau kemana, Mas!” ucapku lalu menepis tangannya. Aku mengusap lenganku yang tergambar bentuk jari jari Mas Gali
Keesokan harinya, di sekolah. “Sudahlah Ti, ceraikan saja suamimu itu, gugat dia! untuk apa bertahan kalau dia saja tidak mau berubah!” tegas Kak Sumi, guru mata pelajaran seni.Aku melotot kaget mendengar ucapan wanita bertubuh gempal yang memecahkan keheningan di ruang guru.“Ka..kakak tau dari mana?” ucapku gugup seraya menoleh ke Kak Dea.Namun Dea juga berekspresi kaget, ia mengangkat kedua bahunya, menggelengkan kepalanya menandakan bahwa dia tidak membongkar rahasia itu.“Maaf kalau kalian berdua kaget, aku gak sengaja mendengar percakapan kalian berdua kemarin, aku sedang duduk di meja piket depan, tiba-tiba mendengar Murti menangis, tapi aku gak berani masuk, sekali lagi maaf.” Ucap kak Sumi.Aku dan Kak Dea menarik nafas panjang, pasrah, karena rahasiaku telah di dengar orang lain.“Aku gak bisa Kak, berat banget rasanya ninggalin dia,” ucapku lemah. “Kakak tolong jangan cerita ke siapa-siapa ya,” pintaku lagi.“Kita perempuan jangan mau diinjak, harus tegas! Ambil keputusa
Siang itu, Aku, Pak Dodi dan Kak Sumi pergi bareng untuk ngebakso, naik mobil milik Pak Dodi.“Kita mau makan bakso dimana, Pak Dod?” tanyaku.“Oh, tenang, ada langganan saya, recomended banget deh ini baksonya enak, ada mie ayam juga. Menu lainnya juga banyak.” Ucap pak Dodi sambil fokus menyetir.“Bapak mentang mentang duda, bebas banget ya kesana kemari sama ciwi ciwi cakep.” Celetuk kak Sumi.Pak Dodi seketika menoleh ke Kak Sumi yang duduk di sampingnya.“Siapa?” tanya Pak Dodi.“Ya kita kita ini.” Kak Sumi menunjuk dirinya dan menoleh ke belakang menunjuk diriku.“Kalian mah bukan ciwi ciwi, sudah bersuami semua, gak level deh! Hahaha.” Kami bersenda gurau selama perjalanan.Sekitar dua puluh lima menit kami sampai di warung bakso yang di maksud Pak Dodi. Tempatnya cukup mewah, juga banyak spot untuk berfoto, ditambah pemandangan sawah di dekatnya, juga terdapat sungai kecil yang airnya sangat jernih.Membuat suasana sejuk dan asri. Tak heran warung bakso ini ramai pengunjung. S
Melihat kami tertawa dan bercanda ria, membuat Mas Galih gerah. Kembali dia mendatangi kami saat kami tengah asyik menyantap makanan. “Pulang sekarang!” Pria yang masih berstatus suamiku itu menarik lenganku dengan kasar, sehingga aku tertarik untuk berdiri. “Apaan sih, sakit!” pekikku sambil menepis tangannya. “Pantes aja kamu gak peduli lagi sama keadaan rumah tangga kita, di tambah lagi kamu sudah berani melawan, ternyata ini alasannya!” Hardik Mas Galih sambil menatap sinis pada Pak Dodi. Pak Dodi memutar bola mata, jengah dengan ucapan Mas Galih yang tak masuk akal. “Hah,” aku setengah tertawa mendengar ucapan Mas Galih, sungguh tak sadar diri. Orang orang mulai memperhatikan kami dengan raut wajah heran. “Jangan buat keributan disini! Please!” Aku memohon dengan menekan suara. Seakan tak peduli dengan permintaanku, Mas Galih menatap penuh emosi kepada Pak Dodi. Pria berbadan berbaju olahraga itu menarik napas kasar lalu berdiri seakan menerima tantangan dari suamiku. “M
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do