"Pa.. Silahkan jelasin ini semua!" ucap Mas Galih tegas.Mama tampak biasa saja namun ada kegelisahan di wajahnya. Berkali-kali dia menarik napas kasar. "Gak ada yang perlu Papa jelasin," jawabnya singkat."Lalu apa itu tadi?" tante Hanum mulai emosi."Ma.. Maafin Dilla.." lirih wanita hamil delapan bulan itu."Papa selingkuh sama Dilla?" semprot Mas Galih."Jangan sembarangan bicara!" wajah Papa berubah sangar dan sangat menakutkan. Dia berdiri dengan dada naik turun menahan emosi, matanya menatap kami satu persatu.Aku mengerutkan dahi, ada apa dengan Papa? Kenapa dia sangat marah? Seharusnya yang marah itu Mama.Dilla menangis sesenggukan sambil menggenggam tangan Mamanya. Bagiku itu hanya akting belaka, atau sekedar air mata buaya. Aku tidak bisa mempercayai wanita itu meskipun dia menangis meraung sekuatnya.Papa pergi meninggalkan ruangan itu tanpa menjelaskan apa pun. "Papa!" Mas Galih bangkit mencoba mengejar sang Papa, tapi Mama segera mencegahnya, menarik tangan anaknya hi
Mas Galih sampai di rumah sekitar lima belas menit kemudian."Mur.. kamu gak marah, kan?" cicitnya saat masuk ke kamar, suamiku itu berlutut lalu menggenggam kedua tanganku yang tengah duduk termenung di tepi ranjang.Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tapi ada rasa kesal, mungkin karena aku sedang sensitif."Anaknya Dilla cewek, dia adikku, kan? Eh.. bukan... dia adik kamu..." ucap Mas Galih ragu, kepalanya menunduk."Mas, sudahlah jangan pikirkan dia siapanya kita, sekarang kita fokus aja sama anak kita sendiri. Aku harap Dilla berhenti membuat kamu merasa kasihan, membuat kamu merasa bersalah. Semua itu bukan salah kita, Mas. Aku juga gak mau ini terjadi.." ucapku mulai terisak.Mengingat aku bukan anak kandung Bapak rasanya begitu sakit, mengetahui suamiku entah siapa ayahnya, membuat hatiku tambah terluka."Yang terpenting sekarang Ibuku gak perlu tau semuanya, agar tetap berjalan seperti biasanya.." sambungku.Mas Galih menunduk. Air matanya menetes di tanganku. Lelaki y
"Kenapa melamun terus, pamali!" Peringatnya.Aku tersenyum, sambil menggandeng lengannya masuk ke dalam."Bi, Murti lagi pengen minum yang asem-asem seger gitu, deh." Aku merengek manja layaknya seorang anak pada ibunya."Es asam jawa, mau?" tawarnya.Aku mengangguk, "boleh deh. Bi. Makasih ya.." Wanita bergegas ke dapur untuk membuatkanku es asam jawa. Otakku kembali memutar kejadian-kejadian yang selama ini menimpaku. Mulai dari pertemuanku dengan Mas Galih, menikah dengannya, masalah perselingkuhan, penculikan, sampai akhirnya aku hamil sekarang ini. Masih belum percaya rasanya, bahwa takdir menggiring kami untuk bertemu dan berujung pada ungkapan kenayataan yang begitu mencengangkan.Selalu terngiang mata-kata Mama saat menjelaskan sebuah kenyataan, juga terbayang ketika beliau depresi berat bahkan berusaha menahan semuanya. Jika aku berada di poisis itu, sudah pasti aku tak akan sanggup. Kalau boleh memilih, aku lebih baik tidak usah pernah mengetahui kebenarannya.Suara panggi
"Bapak yakin sudah bisa pulang? Obatnya jangan lupa diminum ya, Pak!" Titahku saat mereka sudah masuk ke mobil bersama Kak Rian dan Ibu.Bapak hanya mengangguk yakin."Kamu pulang istirahat ya, Nak. Maaf, kedatangan Ibu tadi jadi buat kamu emosional," ucap Ibu merasa bersalah."Gak kok, Bu. Jangan merasa bersalah begitu. Murti ikut ke rumah ya, boleh?" tanyaku.Ibu menoleh pada Bapak dan Kak Rian, kemudian akhirnya mengangguk menyetujui.Aku bersama supir dari kantor Mas Galih melaju santai di belakang mobil Kak Rian.Sebelumnya aku sudah izin pada Mas Galih untuk pergi ke rumah Ibu sebentar dengan alasan karena Bapak sakit.***Sampai di rumah Ibu.Kak Rian langsung pamit untuk kembali ke kantor karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Sebagai gantinya nanti Kak Nita akan datang membantu Ibu jika diperlukan.Ibu pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang yang terlambat. Sementara itu, aku duduk berdua dengan Bapak di teras. Bapak senang duduk santai di teras karena banyaknya an
“Bu… ada apa?” aku bertanya perlahan sambil mengusap lembut bahunya dari belakang.Tubuhnya semakin terguncang, namun suaranya tertahan agar tidak terdengar sedang menangis.“Hati ibu hancur…” ungkapnya dengan suara bergetar nyaris tak jelas, namun masih bisa ku tangkap kalimat apa yang keluar dari mulut Ibu.Aku menggigit bibir bawah, menelan saliva dengan susah payah. Mengira dan menerka, apakah tadi ibu mendengar perbincanganku dengan Bapak? Jika benar begitu, sudah pasti hatinya saat ini begitu hancur. Tapi seharusnya ibu meminta penjelasan dariku dan Bapak, bukan menangis seperti ini.“Apakah Ibu….” Aku berucap ragu. Keringat mulai bercucuran dari pelipisku.“Hati ibu sakit, Nak. Seharusnya Ibu selalu berada di sisi kamu disaat-saat kamu seperti ini. Tapi Ibu tidak bisa sering-sering mengunjungimu karena kondisi Bapak dan Ibu yang belakangan kurang sehat. Kamu mengalami masa-masa kehamilan yang begitu emosional tanpa ada orang yang menemani, mendampingi kamu untuk sekedar meluapk
Keesokan harinya, aku berencana menemui Intan. Siapa tahu aku bisa mendapat petunjuk darinya atas keberadaan Papa. Memang aku sempat merasa tak acuh saat Papa kabur dan meninggalkan semua kepedihan di tanah air, namun belakangan ini aku merasa Papa harus bertanggung jawab atas perbuatannya pada Lisa, Mama dan juga Ibu.Sialnya, Mas Galih tidak mengizinkanku untuk pergi kemana-mana. Dia tahu kalau semalam saat di rumah Ibu, aku ngedrop tiba-tiba. Semua dia ketahui karena tak sengaja membaca pesan dari Ibu saat aku sedang berada di kamar mandi.Ibu menanyakan bagaimana keadaanku setelah kemarin hampir pingsan. Ibu kembali mengingatkanku untuk tidak banyak pikiran dan lebih baik di rumah saja istirahat. Aku terpaksa jujur dan menjelaskan semuanya."Pokoknya hari ini kamu di rumah aja, jangan kemana-mana!" ucap Mas Galih tegas."Tapi aku harus menemui Intan, Mas. Ada hal penting yang harus aku omongin sama dia," jawabku sambil menunduk."Katakan saja padaku apa yang ingin kamu bicarakan p
Saat aku masuk kembali ke dalam rumah, tak kutemui Intan di ruang tamu. Seketika jantungku berdegup kencang, baru saja Mas Galih berpesan, apakah Intan benar-benar tidak bisa dipercaya lagi?“Intan… Bi Karti..” aku memanggil dengan suara keras sambil memegang perutku yang kian membesar.Tak ada yang menyahut panggilanku. Sampai ke dapur, kamar belakang juga tak ada orang sama sekali.“Ya Allah, kemana mereka?” gumamku.“Non.. kita lagi di belakang..” Bi Karti keluar dari pintu taman belakang, aku menarik nafas lega, kemudian menghampiri mereka ke taman belakang.“Mbak.. maaf aku lancang. Tadi aku minta Bi Karti buat nemani melihat kamar bekas Kak Lisa, tiba-tiba aku tadi berhalusinasi, melihat Kak Lisa ada di taman belakang ini..” Intan berujar sambil berdiri melihat kedatanganku.“Ya udah, gak apa-apa. Kamu mau nginep disini dulu juga boleh, biar besok balik ke kampung diantar sama supir, kopenya bawa masuk aja, masih ada kamar satu lagi biar dibersihin sama Bi Karti, ya?” aku menawa
"Halo..." sapaku saat telepon tersambung."Mbak... Sebaiknya kamu tanyakan pada suamimu, apakah dia benar-benar setia dan mencintaimu seutuhnya!" ucapnya sarkas.Aku melihat kembali nomor yang meneleponku. Benar, nama yang tertera adalah nama suamiku. Tapi kenapa Intan yang menelponnya? "Maksud kamu apa? Kenapa kamu..."Panggilan terputus, sebelum itu terdengar suara Mas Galih seperti panik. Aku mencoba menelpon kembali Mas Galih, namun kini ponselnya mati.Kutelepon Mas Yanto, supir kantor yang biasanya mengantar Mas Galih kemana-mana."Halo, Mas. Kamu sedang bersama Pak Galih?" tanyaku."Enggak, Bu. Tadi Pak Galih bilang ingin pergi sendiri, jadi saya tidak ikut. Sekarang saya di kantor, Bu. Ada apa?" Mas Yanto menjelaskan, kemudian bertanya."Oh, gak apa-apa. Kok HP-nya gak aktif. Kalau begitu makasih ya, Mas." Aku masih berpikir, kenapa Intan meneleponku dari HP Mas Galih, apa lagi yang disembunyikan suamiku kali ini? Kenapa mereka berdua bisa bersama. Dan kata-kata Intan tadi m
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do