"Mas.. perlahan perasaan kamu pasti akan berubah. Jika sering bersama, kamu akan semakin mempedulikannya, memperhatikannya, lalu timbul lah cinta.." ucapku lirih."Kenapa kamu ngomong kayak gitu, Mur? Padahal aku sudah berusaha menjadi suami yang baik untuk kamu," ucap Mas Galih kecewa."Selama ini kamu sudah banyak berkorban, selalu membahagiakanku, kamu sudah menjadi suami yang terbaik bagiku, Mas..." "Makasih sudah mengerti aku, Mur. Aku cuma berharap semoga kelak masalah ini bisa berakhir, dan Intan mendapat pasangan yang menerima dia dengan baik.. kami sudah berjanji untuk tidak menganggu masalah pribadi masing-masing. Aku hanya wajib memberinya nafkah lahir dan menjadi keluarganya, itu saja. Kamu harus bantu aku buat ngertiin keadaan ini, jangan paksa untuk aku harus begini dan begitu.. biarkan saja semuanya berjalan apa adanya, OK?!" Mas Galih memohon, menggenggam ganganku penuh harap.Aku mengangguk."Sekarang Intan gimana, Mas? Dia beneran balik kampung?" tanyaku."Iya, dia
Hari berganti hari, kini usia kandunganku sudah memasuki usia tujuh bulan. Mas Galih ingin membuatkan acara tujuh bulanan seperti syukuran. Mengadakan pengajian dan santunan anak yatim.Uang nafkah untuk Intan ia transfer saja. Sejauh ini belum pernah ada masalah dengan Intan. Aku merasa dia pengertian. Terutama saat Mas Galih mengatakan ingin fokus bersamaku sampai aku melahirkan. Aku rasa mimpi buruk Mas Galih waktu itu hanya sebagai bentuk rasa bersalahnya saja.Dekor dan katering sudah selesai, tinggal menunggu acara sehabis zuhur nanti."Sayangnya Ayah... sehat-sehat ya sampai kita ketemu nanti.." Mas Galih berlutut memegang perutku dan menciumnya saat aku tengah duduk di kursi rias.Bayi yang masih di alam rahim ini sangat responsif, dia selalu menendang saat diajak bicara. Hal itu yang membuat kami bahagia dan sering meneteskan air mata keharuan."Mas... makasih ya.." ucapku sambil membingkai wajahnya.Lalu suamiku itu mendaratkan kecupan di keningku. Bahagia rasanya karena seb
“Mereka berdua selingkuh!” tuduh Mas Galih dengan sorot mata tajam.“Maksudnya?” Mama mengernyitkan dahi, bingung.“Zam.. ada apa?” Kak Dea berekspresi panik sambil menghampiri adiknya yang tengah gusar itu.“Mas… mana mungkin aku dan Azzam selingkuh. Yang aku ucapkan tadi adalah kebenarannya. Allah maha melihat, Mas. Dan jangan sekali-kali mengatakan bahwa anak yang ada dalam rahimku ini bukan anakmu, itu sungguh menyakitiku, Mas.” Aku mulai terisak. Sakit sekali dituduh berselingkuh dan mengandung anak orang lain selain suamiku. Bersentuhan dengan lelaki lain saja aku tidak pernah.“Jangan anggap aku buta, Mur. kalian berpelukan begitu mesra. Apakah kamu mau anggap aku bodoh?” sentak Mas Galih, wajahnya merah menahan emosi.“Ya Allah… saya berani bersumpah atas nama Allah, Mas. Bahawa yang terjadi tadi hanya salah paham dan tanpa kesadaran saya,” Azzam mulai lirih, matanya pun sudah berembun.“Apa? Mereka berpelukan? Gak mungkin…” Kak Dea berujar kaget.“Lih.. kamu hanya salah paham
Hari ini adalah jadwal pemeriksaan kehamilanku ke Dokter Cyndi. Mas Galih bahkan menunda meeting dengan rekan bisnisnya demi mengantarku.Jenis kelaminnya sudah bisa dilihat, yaitu laki-laki. Walaupun aku begitu menginginkan anak perempuan, tapi apapun yang diberi Allah aku sangat bersyukur.“Bayinya sehat, berat badannya juga normal. Hanya saja posisinya yang sungsang. Murti harus sering-sering olahraga senam untuk mengembalikan posisi bayi yang sungsang, ya!” dokter cantik dan sabar itu menasehatiku.Sedikit sedih karena mendengar posisi bayiku yang sungsang, namun katanya jangan khawatir, itu bisa diatasi dengan gerakan-gerakan senam khusus posisi bayi sungsang.Sementara itu, suamiku sangat senang karena anak ini kemungkinan laki-laki yang memang sangat dia harapkan.Setelah melakukan pemeriksaan, aku meminta izin pada Mas Galih untuk pergi sebentar mengikuti kajian seorang Ustadz yang sangat terkenal di TV maupun sosial media, di sebuah masjid tak jauh dari rumah kami.“Apa gak s
“Murti!” teriakan itu membuatku menoleh. Begitupun Azzam tak jadi masuk ke dalam mobil.Mas Galih menghampiriku dengan wajah penuh amarah. Pasti dia salah paham lagi. Aduh, kenapa Kak Dea harus pergi ke toilet disaat seperti ini.“Mas.. sudah sampe..” aku menyambutnya, ku ulurkan tanganku tapi dia menepisku dengan kasar.“Ternyata kekhawatiranku benar,” desis Mas Galih.“Mas.. kamu apaan sih. Salah paham lagi? Kita tuh baru aja…”“Sudahlah! Aku tidak mau mendengar penjelasan kamu, Mur!” secepat kilat Mas Galih memotong ucapanku.“Loh.. Galih?” Kak Dea baru saja kembali. Aku menghela napas, kenapa dia lama sekali ke toilet.“Apa Kak Dea diam-diam mendukung perselingkuhan Murti dengan Azzam?” tuduh Mas Galih.“Hah?” Kak Dea terkejut dan heran. Dia pasti bingung dengan tuduhan Mas Galih.“Tadi itu aku disini nunggu kamu sama Kak Dea, Mas. Tapi Kak Dea ke toilet, terus Azzam datang kita ngobrol masalah kajian tadi, terus kamu datang marah-marah..” aku tetap menjelaskan meskipun katanya Ma
Setelah berdebat di pinggir jalan, akhirnya Mas Galih melanjutkan perjalanan. Aku pura-pura merajuk, mataku terus menatap ke jendela. Tak mau menoleh meskipun terus digoda olehnya.Aku cemberut, bibirku manyun, kubalas perbuatannya seperti yang dia buat padaku tadi. Dalam hati aku tertawa geli. Rasakan pembalasanku, Mas!“Mau makan siomay dimana ini? Tempat biasa?” tanyanya.“Gak tau! Udah gak usah jadi aja, aku mau pulang!” ucapku.“Ya udah kita pulang ya, biar kamu istirahat!”“Lah, gimana sih! Aku kan pengen makan siomay dari tadi tuh aku laper, pengennya makan siomay! Gak peka banget sih, kesel!” aku menoleh pada Mas Galih, menyemprotnya dengan omelan. Suamiku itu terkesiap dan salah tingkah. Wajahnya bingung dan merasa bersalah.“Tadi kamu sendiri kan, yang bilang mau pulang aja, gak jadi makannya, gimana sih? Kok jadi aku lagi yang salah?”“Ya salah, dong! Coba tadi gak pake berantem dulu, udah kelar makannya udah pulang, terus tidur!” omelku lagi.“Iya.. iya.. aku yang salah.
“Mur.. kamu gak usah mikir yang macem-macem. Bagiku, kamu tetap yang nomor satu,” gombalnya.“Gak mempan lagi gombalan receh kayak gitu sama aku, Mas!”Klik! Lalu kumatikan panggilannya. Kenapa aku menangis, hanya gara-gara Mas Galih memperhatikan Intan lalu memanggilnya sayang? Bukankah aku sudah ikhlas, dan rela Intan menjadi bagian dari keluarga kami meski harus melewati jalur poligami seperti ini.Jujur, sebagai wanita, sebenarnya aku tidak sanggup jika harus berbagi suami. Namun, aku mengingat janjiku pada Lisa dulu, bahwa aku akan melindungi adiknya yang hidup sebatang kara, dan membuatnya bahagia. Tak apa, dalam agama juga poligami diperbolehkan asal memang ada tujuan yang baik terutama untuk membantu dan menaikkan derajatnya. Berkali-kali aku berpikir seperti itu, tapi nyatanya hati kecilku masih saja belum sepenuhnya ikhlas. Aku harus lebih banyak belajar lagi.“Ya Allah.. kenapa hatiku rasanya seperti terbakar. Aku cemburu, padahal Mas Galih bebas melakukan apa saja pada Int
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do