Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan dunia kepenulisan lokal. Terima kasih.
Dan serentak puluhan manusia serigala yang nampaknya betina itu menyerang Ayunda dan Bayu dengan brutal. Untungnya mereka sudah bersiap. Dengan sigap dua orang ini meladeni serangan mengerikan dari manusia serigala yang marah itu dengan segala kemampuan mereka. Ayunda berkali-kali berhasil menyabetkan pedangnya ke tubuh para lawannya, ada yang langsung tewas, dan ada pula yang berhasil bertahan bahkan balas menyerang, meski lebih banyak yang bertahan dan balas menyerang. Namun Ayunda tetaplah Ayunda, salah satu ksatria perempuan tangguh dari Negeri Danta yang memiliki kemampuan berpedang meyakinkan, dan cukup sukses membuat lawannya kalang kabut mengantisipasi gerakannya yang cepat dan lincah. Sementara Bayu, dengan daya tubuhnya yang seolah memang ditakdirkan begitu kuat, tak terlalu tergerus peluhnya menghadapi kawanan manusia serigala yang lapar ini. Meski ada beberapa cakaran dan sentuhan menyakitkan sempat mampir di tubuhnya, Bayu tetap begitu tangguh untuk dikalahkan. Meski hany
Dirga termenung sendiri di ruangan yang baru saja dijadikan tempat rapat itu. Sudah hampir empat bulan Ayunda meninggalkan negeri Danta dan dirinya tentu saja. Ada rasa rindu yang tak tertahankan kini menggelayut mesra di ulu hati panglima muda itu. Rindu yang selama dua bulan terakhir tak pelak membuat tidurnya tak lagi nyenyak. Ribuan suara yang memanggil Ayunda dari dalam benaknya berdendang pilu seolah perlahan-lahan mengoyak jiwanya. Sudah sedari kecil ia dekat dengan Ratu cantik itu. Bermain bersama, berlatih tarung bersama, dan tumbuh bersama. Menjadikan cinta hidup di kala mereka masih remaja dan mekar sampai saat ini meski berkali-kali badai peperangan menganggu rencana penyatuan mereka di pelaminan. Dirga mengenal Ayunda sebagai sosok wanita yang berapi-api, semangatnya kerap melebihi seorang pria sekalipun. Di masa mudanya ia sempat ditolak sang ayah, Paduka Basita, untuk belajar bertarung. Namun Ayunda tak pernah peduli, ia terus bertarung, kalah dan kalah lagi. Ia tak pe
“Lalu bagaimana kalian bisa lolos?” tanya Dirga. “Kami dilepaskan.” “Bagaimana bisa?” Guwabrong lagi-lagi memamerkan nafas beratnya, tanda ada masalah yang cukup pelik dalam kalimatnya yang selanjutnya, “kami ditawan, dan diberi jaminan bebas asalkan mau membantu memasukkan tentara mereka ke dalam gerbang ibu kota. Kami disiksa sebelum menyanggupinya, namun hanya dengan cara itu kami lolos dan mengabarkan hal ini pada Gusti sekalian.” Patih Tarkas terdiam sejenak sambil berpikir. “Bagaimana, Gusti?” tanya salah satu pejabat. “Bagaimana bisa kami mempercayai kalian?” tanya Patih Tarkas menyelidik. “Kalau kami bohong buat apa kami menceritakan hal ini? Kami bersumpah demi kepala kami dan demi para Dewata Agung. Apa yang kami beritakan ini benar adanya.” “Apa kalian diikuti?” “Saya rasa iya, ada lebih dari empat orang yang mengawasi gerak gerik kami meski kami tak tahu yang mana,” jawab Susena. “Saya rasa Pangeran Argani benar-benar tak main-main kali ini, Gusti,” komentar Tadan
Ayunda hampir tak bisa bertahan, dan jarak bibirnya dan bibir Danggapura sudah semakin dekat dan hampir bersentuhan dengan paksa. Ayunda sudah tak tahan lagi memberontak pada cengkeraman Danggapura yang kuat, namun sebelum itu terjadi, sebuah kejadian yang tak disangka-sangka sekaligus mengerikan terhampar begitu cepat di ruangan gua itu. Sebuah benda tajam menancap dengan keras di batok kepala Danggapura, Danggapra roboh tak bernyawa dengan mata melotot. Dari ujung benda yang menancap itu merembes darah segar berwarna merah pekat yang mengalir seolah tanpa henti. Ayunda menatap sosok itu dengan perasaan ngeri, ia mengenali benda tajam itu. Itu adalah salah satu pedangnya yang terlempar ke depan pintu gua. Dan yang membuat wanita ini tambah kaget adalah ketika dilihatnya Bayu telah berdiri di depan pintu gua itu dengan wajah penuh amarah memandang Danggapura yang telah menjadi mayat. Telah dua kali pemuda itu menyelamatkan hidupnya. Balasoka menatap mayat saudaranya itu dengan hati t
Hari itu seperti biasa keadaan di Lalawangan Sembaru tampak kondusif, beberapa pengawal komplek istana lalawangan berjaga hilir mudik memeriksa bagian-bagian penting komplek itu atau melapor tentang beberapa hal yang dirasa perlu pada atasannya. Tak ada yang istimewa atau berbeda saat itu, para pengawal berseragam hitam bercampur kuning khas Negeri Pancala masih melakukan aktivitasnya dengan bisa saja. Namun hanya sebentar, sebelum seorang pengawal tergeletak mendadak dengan sebilah panah menancap di dadanya. Sontak kejadian itu mengagetkan rekan-rekannya, beberapa orang pengawal dengan segera mendekati jasad yang malang itu. Ia melihat rekannya telah ambruk tak bernyawa dengan darah merembes deras keluar dari dada yang tertancap panah itu. Para pengawal itu saling pandang, sebelum tiba-tiba kembali dua di antaranya begitu saja tertembus dua panah berikutnya dan dengan mendadak menyusul temannya yang telah lebih dulu ambruk. Beberapa pengawal tersisa segera bangkit dengan wajah panik
Restu Singgih menatap semua pejabat Lalawangan itu sembari mengacungkan senjatanya, “atas nama yang mulia Sri Paduka Maharaja Indra Dewa Danishwara, penguasa dan pemimpin tertinggi Negeri Adighana, aku Restu Singgih telah merebut lalawangan ini dan mengklaim kemenangan ini sebagai bentuk kekuasaanku atas lalawangan ini...” Para pejabat Lalawangan itu masih terdiam dan beberapa di antaranya menunduk takut. Temanggung Caturangga memberanikan diri mengangkat kepalanya menatap Restu Singgih, “mengapa Raja kalian memerintahkan untuk merebut lalawangan kami? Apa salah kami pada kalian?” “Kalian telah menyembunyikan buronan kerajaan kami, dan itu artinya kalian telah menghina negeri kami..” jawab Restu Singgih dengan tegas. “Sebaiknya kita masukkan ke penjara mereka, Gusti..” teriak salah satu pasukan Restu Singgih. “Atau hukum mati semua yang membangkang..” timpal yang lain. Untuk ke sekian kalinya, mereka menunduk takut. Meskipun dalam hati mereka menyangkal tuduhan itu, menyembunyika
“Lalu kau sendiri memilih yang mana?” tanya Kades. Kampalu tak langsung menjawab, ia malah memandang Danur. Danur mengerti, ia lantas mengambil nafas untuk menjawab pertanyaan itu, “kami pribadi akan memilih yang kedua. Alasannya adalah karena kami telah mengabdikan diri untuk melindungi Bayu. Sahabat kami, Anureksa sedang mengorbankan jiwanya di Adighana, dan kami juga ingin mengambil peran di sini. Mungkin pilihan kami ini akan dianggap sebagai pilihan yang bodoh. Kami menyadari itu, kami tak memiliki keluarga dengan ikatan darah di sini. Namun percayalah, selama berada di sini, kami telah menganggap tanah ini adalah tanah kami. Kami ingin mempertahankannya, sekaligus memasang badan untuk Bayu, sebagaimana yang dilakukannya untuk desa ini dulu..” Para hadirin terdiam. “Namun pilihan tetap kami berikan seluas-luasnya pada saudara-saudari sekalian. Jikapun akhirnya kalian memilih untuk mengungsi, maka kami tetap akan berada di desa ini, karena kami telah berjanji untuk melindungi d
Cadudasa sedang duduk terdiam menghitung bilah-bilah jerami yang dipakai sebagai alas tidurnya selama di penjara itu. Beberapa lama di penjara membuatnya tak merasa sebegitu gatal lagi ketika tidur di atas benda kasar tebal itu seperti kali pertama ia menggunakannya. Penjara gelap tanpa jendela itu seolah memberinya satu pengertian lain lagi tentang sebuah kekuasaan : ambisi. Dan ambisi adalah modal pertama untuk bisa menjadi buta terhadap baik dan buruk demi meraup hasrat yang telah lama diimpikan. Ia sadar ia kini atau bahkan sejak lama telah berada dalam pusaran ambisi ini, entah itu miliknya atau milik orang lain. Pusaran yang kian hari kian memojokkannya. Dan malang baginya, Damendra sedang mendapatkan momentum dan senopati kaya itu tahu persis bagaimana caranya memanfaatkan momentum. Tiba-tiba pintu jeruji besi dibuka, beberapa prajurit menatap Cadudasa antara perasaan ingin tegas dan segan. Walau bagaimanapun, Cadudasa adalah mahapatih negeri mereka yang sangat lama masa penga
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi
Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat
“HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e
Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se
“Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s