Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan dunia kepenulisan lokal. Terima kasih
Bayu memacu kudanya pelan mengikuti rute para prajurit di depannya. Ini adalah hari ketiga perjalanan mereka, dan menurut perkiraan, jika tak ada gangguan cuaca, maka besok malam mereka akan sampai di gurun kawah berapi yang merupakan gurun terluas di Dunia di Balik Kabut dan sekaligus merupakan daerah terluar perbatasan Negeri Danta. Rencananya mereka akan bermalam di sana sebelum menentukan strategi menembus gerbang negeri Danta. Setelah kekacauan yang melibatkan Daegal dan Jayatsu sebagai aktor utamanya beberapa malam lalu, mereka masih belum bertegur sapa. Bayu sudah tau alasan pertengkaran mereka. Daegal menuduh Jayatsu menghasut para prajurit lain agar tidak berperang sungguh-sungguh menghadapi negeri Danta, sedangkan Jayatsu menuding Daegal adalah salah satu orang yang sangat bersemangat menyebarkan hasutan agar membunuh semua orang di negeri Danta, termasuk kaum perempuannya. Bayu tak dapat menduga siapa dan apa kira-kira yang membuat dua orang yang awalnya bersahabat ini bis
Bayu tersenyum dan kembali menyerang Sabagya, denting pedang beradu di gelapnya hutan. Kilatan besi tajam itu terlihat beberapa kali membenturkan cahaya obor dan rembulan yang menerpanya. Dan hanya sebentar, kembali Bayu melumpuhkan Sabagya. Namun nampaknya Sabagya masih belum ingin menyerah, Ia kembali menghadapi Bayu. Walaupun dalam beberapa kali kesempatan berikutnya hasilnya tetap sama. Bayu berhasil mengunggulinya. “Baik!” Sabagya mendesah pelan, “Bagaimana jika kita tak menggunakan pedang. Ada kalanya kita berada di kondisi tak punya kesempatan untuk memegang benda bodoh ini, kan?” Bayu tersenyum dan langsung melempar pedangnya. Ia kemudian kembali mengambil sikap kuda-kuda, “Menurutmu seperti ini?” Sabagya mengangguk keil sebelum melakukan serangan cepat ke arah remaja 17 tahun itu. Bayu menghindar. Meski tanpa senjata, kali ini Bayu telah cukup banyak belajar bagaimana caranya bertarung dengan tangan kosong yang baik. Kini hampir tak ada lagi yang meragukan kualitas bertaru
Perjalanan yang melelahkan itu akhirnya berhenti sejenak di Gurun Kawah Berapi. Tempat persinggahan terakhir mereka sebelum memasuki gerbang negeri Danta. Dan sesuai rencana, mereka sampai di gurun luas itu tepat di malam hari. Gurun itu tak seperti di siang hari yang begitu panas membakar, di malam hari justru dingin menusuk daging begitu ngilu. Ketika selesai membangun kemahnya, Bayu langsung menyalakan api untuk menghagatkan tubuhnya yang mulai menggigil. Ia tak ingin menyendiri dan berlatih seperti kebiasaannya setelah mendirikan kemah, udara terlalu dingin untuk berlatih. Bisa-bisa pedangnya membeku. Bayu hanya diam menenlungkupkan tangannya ke tubuhnya sambil memandang hamparan pasir hitam yang berkilauan diterpa sinar rembulan yang memancar tanpa halangan. Seumur hidupnya baru kali ini ia melihat padang pasir seluas ini, malam hari. Dulu ia pernah bersama keluarganya ke Parangtritis di Jogjakarta, di sana ada padang pasir luar yang kerap disebut sebagai Gumuk Pasir, bahasa Jawa
Bayu sebenarnya ingin kembali menghambur lalu memisahkan dua temannya itu, namun cengkeraman dan kuncian beberapa prajurit pada tubuhnya sangatlah kuat. Ia bahkan tak bisa menggerakkan jemarinya dengan leluasa. Bayu melihat kedua kubu semakin terbakar untuk menyemangati masing-masing jagoannya. Bayu mengira jika salah satu dari mereka terbunuh, maka mungkin dua kubu ini akan saling menyerang. Dan kondisi akan semakin kacau. Daegal dan Jayatsu masih beradu nyawa seperti kesetanan. Mereka saling menyerang dengan besi tajam panjang yang kapan saja bisa mencongkel jantung mereka dengan dingin. Namun di kondisi ini Daegal lebih unggul ketimbang Jayatsu, selama di asrama Daegal memang termasuk petarung pedang yang handal. Dan di pertarungan kali ini sangat terlihat Jayatsu agak kewalahan meladeni serangan Daegal yang cukup gencar. Sudah berkali-kali darah mengucur dari bagian-bagian tubuhnya yang tergores atau terkena sabetan besi tajam Daegal. Bayu tak ingin kedua temannya itu saling bun
Daegal melotot ke arah Jayatsu dengan mata memerah, perlahan ada air mata memancar dari sana, sepertinya kemarahannnya telah sampai pada titik tertinggi. Dan dengan penuh keyakinan besi yang sedari tadi ia mainkan di kulit wajah Jayatsu akhirnya menancap di perut Jayatsu, darah mengucur di sana. Jayatsu menatap pedang yang menancap di perutnya seperti tak percaya kini nyawanya telah di ujung tenggorokan, sementara Daegal hanya memandang orang yang baru saja dibunuhnya dengan wajah masih memancarkan amarah bercampur tangis yang entah untuk apa, bahkan hingga mata Jayatsu terpejam. Bayu hampir tak percaya dengan pemandangan yang ia saksikan, Daegal baru saja membunuh sahabatnya, Jayatsu. Sementara itu kubu pendukung Jayatsu memandang mayat Jayatsu dengan mata merah. Mereka kini tahu, apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Salah satu dari prajurit itu mengeluarkan pedangnya dari sarungnya, mengacungkannya ke atas sembari berteriak lantang, “Para prajurit, orang ini telah memulai unt
Namun tak bisa, dengan tangan terikat, dan kaki tertindih manusia yang kaku, Bayu tak begitu lihai untuk melepaskan diri. Namun otaknya cepat berputar, ia lantas menggesek-gesekkan ikatan di tangannya dengan pedang itu, cukup lama hal itu dilakukannya tanpa henti. Untungnya tak ada prajurit lain yang coba menyerangnya, mungkin karena ia dianggap sebagai bagian prajurit yang telah tergeletak menjadi mayat. Akhirnya perjuangan Bayu berhasil, ikatan di tangannya terlepas. Ia mencoba mencabut pdang yang menancap dan melukai perutnya itu, tak begitu sulit karena tancapan juga tak begitu kuat. Meski darah terus mengucur dari perutnya yang tampaknya sedikit sobek, Bayu tak memilih untuk mempedulikannya, sebelum prajurit lain menyadari ia masih hidup, Bayu berusaha untuk menjauhkan mayat yang menindih kakinya, lalu membuka ikatan yang melilit kakinya. Setelah tak ada tali yang menjerat dirinya, dengan cara lari yang tak begitu sempurna karena menahan rasa sakit di perutnya Bayu langsung berus
Wajah Baginda Raja Adighana agak memerah mendengar laporan dari Anarbuana tentang perang dini yang terjadi di gurun kawah berapi itu. Setiap bait kalimat yang terlontar dari mulut putra Senopati Dharmendra itu layaknya pukulan telak yang membuat lebam wajahnya, tak hanya lebam, namun juga membiru dengan gumpalan darah pekat yang terlalu padat menggumul dalam emosinya yang coba ia sembunyikan lewat sorot mata yang berusaha tenang. Salah satu pengawal datang menghadap Baginda Raja dengan hormat. “Lapor, Paduka. Jenazah pasukan sudah tiba di lapangan.” “Bagaimana dengan Cadudasa?” tanya Baginda Raja. “Beliau sudah menuju lapangan beserta beberapa pejabat lain.” “Baiklah terima kasih, aku akan ke sana bersama rombongan pejabat,” titah sang Raja Adighana itu. Pengawal itu lalu beringsut pelan meninggalkan ruangan itu. Raja lantas menatap Anarbuana. Sementara Anarbuana hanya menunduk segan. Raja lalu berdiri dari singgasananya, dan berjalan pelan ke tengah ruangan. ******************
Sudah beberapa hari ini Dira tak nafsu makan. Ia yang biasanya mengajar anak-anak dengan riang pun kini agak kurang semangat. Wajahnya sendu, cahaya yang selalu ia pancarkan dari pesona kecantikkannya sekarang redup. Kecantikkannya masih cukup memikat, namun gairah pada pahatan alami di wajahnya seolah hilang. Lenyap ditelan sendu yang kian sering menggelayutinya. Sebabnya sudah pasti, perang saudara yang menghancurkan rencana serangan ke Negeri Danta dan menewaskan hampir separuh dari pasukan itu. Dan yang paling menyesakkan adalah isu yang berhembus menyatakan bahwa salah satu penyebab perang saudara ini adalah hasutan dari orang dalam pasukan sendiri yang salah satunya adalah Bayu, keponakan Mahapatih Cadudasa. Sungguh tak dapat diterima oleh Dira jika pemuda itu dianggap sebagai penghianat bangsa. Bayu adalah salah satu prajurit muda dengan prospek paling menjanjikan di Negeri Adighana. Kecerdasannya dan keuletannya berlatih telah membuatnya hanya dalam hitungan bulan masuk ke ka
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi
Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat
“HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e
Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se
“Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s