Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan duania kepenulisan lokal. Terima kasih
Kemudian ia menyerang Anarbuana sambil berlari sebelum melakukan tendangan setengah terbang yang tak ayal menghantam wajah Anarbuana yang sama sekali tak menduga. Anarbuana terdorong beberapa langkah sambil mengusap pelipisnya yang agak berdarah. “Sudah kubilang aku tak akan menyerah...” Bayu menantang Anarbuana. Entah mengapa Bayu merasa baginya menyerah atau tidak kali ini sama saja. Ia sudah terlanjur babak belur. “Baiklah jika kau ingin mati...” kata Anarbuana mulai meradang. Seketika itu pula ia mulai menampilkan serangan cepatnya yang menjadi alasan kenapa ia disebut sebagai ksatria angin. Serangan cepat itu benar-benar begitu dahsyat, Bayu hampir tak sempat bernafas ketika pukulan demi pukulan, serta tendangan demi tendangan dari Anarbuana bergantian dengan cepat menyatroni tubuhnya. Pada serangan terakhir Anarbuana mendaratkan tendangan maha cepatnya tepat di dagu Bayu sehingga Bayu terjungkil balik di udara sebelum mendarat dengan keras di tanah untuk ke sekian kalinya. Un
Ayunda berdiri dari loteng kamarnya yang megah. Matanya yang indah tampak sayu memandang ke arah prajurit yang berbaris rapi di depan gerbang istananya. Ada gurat tak tenang di wajahnya, tampak berpadu dengan garis-garis kecantikan alami yang tak pernah pudar dari air mukanya yang bersih. Tangannya perlahan menyisir lembut tirai berwarna perak yang berjuntai indah di sisi jendela lotengnya itu. Ia merasa perlu untuk sedikit menguraikan kerisauan yang melanda hatinya kepada kain perak itu. Ada jutaan beban yang sedang ia sandang di atas pundaknya yang ia merasa sudah begitu menakutinya. Mungkin sejarah akan mencatat bahwa di titik pemerintahannya inilah negeri Danta betul-betul terancam. Pusaka suci yang hilang, kerajaan-kerajaan besar yang berpotensi menyerang mereka jika mengetahui simbol supremasi kebesaran Dunia di Balik Kabut telah lenyap dari kerajaan Danta. Untuk beberapa saat Ayunda sempat berpikir ingin menghancurkan isi kepalanya. Belum lagi jika menuruti kemauan orang tuany
Guwabarong lalu membawa rombongan kecil pejabat istana itu berjalan menyusuri kemah-kemah keprajuritan yang berjejer rapi. Mungkin ada sekitar ratusan kemah tenda berbentuk serupa yang ada di komplek pelatihan militer terbesar di Negeri Danta itu. Semua prajurit tampak dengan aktivitas latihannya masing-masing sambil sesekali memberi hormat pada rombongan kerajaan yang berlalu melewati mereka. Kamp militer milik negeri Danta ini agak berbeda dengan asrama milik angkatan militer negeri Adighana. Di Adighana tempat peristirahatan prajurit bukan memakai tenda, melainkan sudah menggunakan bangunan kayu layaknya asrama di dunia awam. Pasukannya juga lebih banyak dan sarana serta senjata yang digunakan sudah sangat lengkap. Wajar, karena Adighana adalah salah satu negeri paling berkuasa, besar, dan tangguh di dunia di balik kabut. Tidak seberapa lama berjalan sampailah mereka di depan tiang bendera bersimbol gading gajah yang merupakan simbol kerajaan Danta. Bendera tersebut berwarna biru
Remaja itu menyerang lawannya dengan sebuah pukulan yang mampu ditangkis dengan cepat oleh sang lawan. Tak berhenti di situ, remaja itu terus menghunjami lawanya dengan serangan yang cukup cepat dan bertubi-tubi. Sehingga sang lawan nampaknya tak cukup waktu untuk membalas serangan itu, tiba-tiba lambungnya berderit perih ketika sebuah pukulan menghantam badannya dengan keras. Ia terhuyung-huyung ke belakang sambil meringis. Tak ingin terlihat lemah, dengan nafsu ia membalas serangan. Namun lawannya itu dengan mudah berkelit dan balas menyerang dengan lebih cepat. Untuk beberapa kali kejadian berikutnya remaja itu selalu berhasil menang kontak fisik dengan lawannya. Dan sebuah sikutan yang telak mengenai rahang sang lawan mengakhiri perlawanannya. Sang lawan tersenyum sambil menyapu darah yang merembes pelan dari mulutnya, sebelum menyambut uluran tangan dari remaja itu. Tepuk tangan para prajurit membuat sang remaja sedikit memamerkan senyumnya yang agak segan. Kemudian ia ditantan
Rombongan Ayunda memasuki gerbang istana setelah melakukan perjalanan menengok asrama pelatihan militer kerajaan. Walaupun perjalanan cukup jauh, namun tak nampak raut letih dari Ayunda dan pejabat lainnya, padahal malam sudah menanjak ketika mereka sampai di gerbang istana itu. Prajurit penjaga gerbang dengan sigap membukakan pintu lalu memberi hormat pada rombongan pejabat itu. Ayunda mengangguk, lalu memacu kudanya pelan sampai beberapa puluh meter dari bangunan istana utama. Ayunda, turun dari kudanya. Salah satu pengawal dengan sigap mengampiri Ayunda dan meraih tali kekang kuda Ayunda lalu membawanya ke tempat kuda istana. Ayunda menoleh ke arah para pejabat yang tadi bersamanya, “Kalian pulanglah. Terima kasih, telah mau menemaniku hari ini.” Patih Tarkas mengangguk homat dari atas punggung kudanya, begitu pula yang lainnya. “Daulat, Paduka...” Para pejabat itu lalu menuju kediamannya masing-masing sementara Ayunda berjalan pelan menuju koridor samping istana utama yang men
Sudah empat bulan sejak pesta ulang Tahun Putri Paramitha dan Bayu telah kembali menjalani rutinitasnya di asrama prajurit kerajaan Adighana. Namun ada yang berubah sejak ia kembali ke asrama, ia tak lagi diremehkan, atau dianggap masuk ke asrama hanya karena campur tangan Cadudasa. Bayu kini lebih dihormati dan disegani. Tak mengherankan memang, sejak Bayu bertarung dengan Anarbuana di gelanggang ulang tahun Putri Paramitha, banyak yang berdecak kagum dengan kemampuan daya tahan tubuhnya yang luar biasa. Bahkan salah satu pemimpin asrama pernah memuji daya tahan tubuhnya yang hebat itu. Menurut pemimpin itu, prajurit biasa pasti sudah tewas menghadapi serangan mematikan dari Anarbuana. Ini menjadi berkah tersendiri bagi Bayu, tak hanya itu. Ia juga dipindahkan dari blok asrama prajurit biasa ke blok asrama prajurit unggulan. Di sana ia berkumpul dengan para prajurit andalan kerajaan. Ia baru empat bulan di sana, dan telah menjadi buah bibir berkat pertarungan hebatnya dengan Anarbuan
“Waw!” Daegal terkejut, “Ceritakan padaku bagaimana rasanya?” “Sudahlah...” tutup Bayu yang tak nyaman dengan topik ini, “Cari topik lain..” Daegal hanya manggut-manggut. “Bagaimana menurutmu dengan perang ini?” Bayu menatap Daegal serius. “Akan menjadi perang yang hebat...” ucap Daegal singkat. “Maksudmu?” Bayu menggaruk kepalanya, “Aku masih belum mengerti...” “Bayu, Negeri kita telah mempersiapkan serangan ini sedemikian rupa. Akan ada bantuan pasukan dari negeri Tribuwana dan negeri lainnya. Kita akan menyerang Negeri Danta dengan kekuatan yang luar biasa. Kita pasti akan menang, dan biasanya prajurit seperti kita akan mendapatkan penghargaan yang layak untuk kemenangan ini. Mungkin saja diberi sebidang tanah. Dan kudengar negeri Danta cukup kaya, kau bayangkan rampasan perang yang akan kita dapatkan nantinya...” “Kejam sekali...” komentar Bayu. “Itulah perang...” Mereka berdua lalu terdiam sejenak. Sampai kedatangan Jayatsu yang sedikit mengganggu kebisuan mereka. Jayatsu
Dua hari menjelang peperangan, tak ada pelatihan seperti biasa. Para prajurit diberikan waktu untuk sedikit rileks di asrama. Sambil bersiap berangkat ke ibu kota untuk meminta restu dari Raja Adighana. Selama masa rileks itu, Bayu jarang melihat Jayatsu bercakap-cakap dengan Daegal, nampaknya ia masih kesal dengan Daegal. Sementara Daegal masih terlihat ceria seperti biasa, meski tak dapat ditampik jika ada ketegangan yang kerap terbaca dari air mukanya. Sementara Bayu lebih memilih untuk melatih kemampuan bela dirinya ketika masa rileks ini. Ia merasa perlu untuk meningkatkan kemampuan bertarungnya, banyak senior-seniornya menilai, meski memiliki gerakan yang cukup cepat, namun Bayu kerap monoton dalam melancarkan serangan hingga serangannya mudah dilumpuhkan. Selain itu teknik bertahannya juga tak begitu baik jika menghadapi serangan cepat yang bertubi. Karena itu ia memperbanyak volume latihannya sendiri. Kadang-kadang ia mengajak para seniornya untuk berlatih adu tanding atau ber
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi
Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat
“HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e
Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se
“Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s