Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan duania kepenulisan lokal. Terima kasih
Bayu terhenyak. Ya, negeri Danta! Ia baru menyadari jika Adighana baru saja mengalami kekalahan menyakitkan ketika menyerbu negeri Danta. Ia masih mengingat kalimat dari Sang Raja Adighana ketika ia pertama kali ke istana;'Jangan terlalu dipikirkan, Nak. Anggap saja itu leluconku yang agak buruk. Sebenarnya aku ingin berbicara banyak denganmu, terutama tentang negerimu itu, atau negerimu yang dulu, negeri Danta. Negeri yang telah mempermalukan kerajaan sebesar Adighana.'Tentu saja bagi negara sebesar Adighana kekalahan dalam perang adalah aib yang harus dihapus. Mereka akan menyerang kembali negeri Danta. Ternyata itu! Pikir Bayu. Untuk sementara ini Bayu tak merasa ada yang perlu dikhawatirkan, dua sahabatnya pasti telah dikembalikan ke dunia awam, Paman Sandanu telah tewas, kecuali Bibi Jumara...... ya! Bayu baru ingat jika perempuan baik hati masih di negeri Danta. Untuk selanjutnya hatinya kembali gelisah. Bagaimana jika Adighana menyerang Danta, dan kali ini Adighana yang mena
“Dia merenggut kehormatanku, Bayu....” Bayu kali ini memandang Dira. Ia mencoba mengulang kalimat Dira itu berkali-kali dalam otaknya, berusaha menyaringnya seolah belum menemukan pengertian di sana. Sebelum Dira kembali melanjutkan kalimatnya. “Kami saling mencintai, dia putra Anggareksa, Pejabat kerajaan Tribuwana. Kami pertama kali bertemu saat ia bersama ayahnya menjalankan kunjungan ke kerajaan Adighana. Badannya yang tinggi, tegap, ia tampan. Ku dengar, ia adalah salah satu pria pujaan di negeri Tribuana. Kami menjalin hubungan selama 2 tahun, ceritanya begitu cepat, ketika ia berjanji akan menikahiku dan aku yang begitu mencintainya memberikan kehormatanku padanya. Namun, ia berbohong, Putri Paramitha memikatnya. Ia lalu menjalin hubungan dengan Putri Paramitha yang lebih kaya dan anak seorang Raja, sampai kemudian Paduka Raja menjadikannya calon menantu dan panglima perang negeri Adighana.” Bayu tak mampu menjawab, ia hanya menunduk sambil sesekali menatap Dira yang mulai me
Sinar mentari perlahan menyeruak masuk tanpa malu dari jendela kamar Bayu dan menyentuh wajah Bayu yang lelap di atas tempat tidurnya. Bayu untuk beberapa saat seperti ingin membuka mata kesilauan, namun, hanya sebentar. Ia lalu membalikkan badannya dengan malas disertai lenguhan aneh menandakan ia masih mengantuk. “Gusti...” Bayu seperti mendengar suara memanggilnya. Namun jiwanya yang masih melayang dalam radar mimpi tampaknya tak mampu menerima hal itu dengan begitu sempurna. Ia masih terpejam seperti tak ada gangguan sedikitpun. “Gusti Bayu...” Kembali panggilan itu secara tak sempurna ditangkap oleh pendengaran Bayu. “Gusti...” Bayu hanya menggeliat kecil dengan mata yang masih terpejam tenang. “Gusti Bayu tidurnya nyenyak sekali. Aku tak berani mengganggunya..” bisik salah satu pria berbaju keprajuritan yang sedari tadi memanggil Bayu pelan. “Ayolah, cepat. Nanti kita dimarahi Gusti Cadudasa. Kita harus cepat membangunkan Gusti Bayu. Lagipula dia kan juga prajurit seperti
Entah Riani mendengar atau tidak, ia hanya terus melambai pada Bayu sambil tetap memamerkan senyum indahnya. Riani seolah memberi isyarat pada Bayu untuk segera menghampirinya. Bayu melihat tempat kosong tepat di sebelah kanan Riani. Kebetulan yang menyenangkan, pikirnya dalam hati. Bayu segera menyelip-nyelip di sela kerumunan orang yang bersorak mengikuti tempo pertarungan yang sedang terjadi di arena. Dengan susah payah akhirnya Bayu sampai di samping Riani. Riani menyambutnya dengan senyum yang semakin mengembang. “Sudah lama kau di sini?” tanya Bayu setengah berteriak. “Apa?” Riani meminta Bayu mengulang pertanyannya dengan volume yang hampir serupa. “Sudah lama kau di sini?” Bayu memperkeras suaranya, mencoba melawan suara riuh lain di sekitar mereka. “Sejak acara baru mulai!!” jawab Riani dengan suara yang tak kalah keras Bayu mengangguk-nganngguk mengerti. Ia merasa tak ada gunanya memaksakan diri ngobrol di tengah keributan ini. Sekilas suasana ini mengingatkan Bayu pada
Bayu tak lepas memandang pria kurus itu. Begitu mudah baginya untuk melumpuhkan musuhnya. Bayu bertaruh jika ia yang berhadapan dengan pria itu tak akan sampai lima menit maka kepalanya sudah terlepas dari tubuhnya. Tidak. Bahkan Bayu menyesal telah membayangkannya, membayangkannya saja sudah begitu mengerikan apalagi harus berhadapan di alam nyata. Pria kurus itu masih sibuk memberi salam kemenangan kepada penonton dan seluruh pejabat yang hadir di tempat itu ketika Dira tiba-tiba menghampiri Bayu sambil menarik tangannya. Bayu kaget lalu menoleh ke arah Dira. “Aku sudah mencarimu ke mana-mana. Ayah dan Paduka Raja mencarimu..” Dira terus menarik tangan Bayu sambil berseru keras diantara sorakan para penonton. Bayu tak berbicara apa-apa, dia hanya diam bingung harus bagaimana. Ingin ikut Dira dia tak enak meninggalkan Riani. Ingin tetap bersama Riani, ia tak enak dengan Cadudasa dan Raja. “Riani, pinjam kekasihmu sebentar...” kata Dira tanpa tedeng aling-aling. Riani tentu saja
“Aku ke sana dulu..” kata Bayu pada Dira sambil segera beranjak menemui Cadudasa. Bayu menemui Cadudasa dengan hormat, ia juga menunduk hormat kepada raja dan ratu. “Bagaimana selama di asrama keprajuritan?” tanya Raja ramah. “Baik, paduka..” jawab Bayu menunduk. “Sekarang kau tampak lebih berisi. Bukan begitu Saudaraku?” puji Raja sembari berkelakar kepada Cadudasa. Cadudasa hanya tersenyum kecil. “Mohon ampun Gusti, Paduka. Ada apa gerangan yang membuat saya dipanggil kemari?” Tanya Bayu dengan sopan kepada Cadudasa. “Paduka Raja memintamu untuk berkenalan dengan Putri Paramitha...” jawab Cadudasa tenang. “Paduka?” Bayu menunduk hormat. “Kau keponakan saudaraku, Bayu. Sudah semestinya kau mengenal putriku..” jelas Paduka Raja. Bayu hanya menunduk hormat. “Paramitha...” Paduka Raja memanggil putrinya yang sedari tadi terfokus menonton pertarungan di arena. Putri Paramitha menoleh ke arah ayahnya. “Kau belum berkenalan dengannya...” Paduka Raja menunjuk tubuh Bayu. Paramit
Bayu tercekat. “Mana mungkin? Aku tak pernah mengacungkan diri untuk menjadi penantangnya?” “Panah ini?” Dira meraih tangan Bayu yang memegang panah itu, “panah ini akan ditembakkan ke udara oleh Anarbuana jika memang tak ada lagi penantangnya, dan siapa yang kemudian menangkap panah ini, dialah yang akan menjadi penantang terakhir..” “Hah? Kenapa bisa begitu? Aku tak sengaja...” Bayu kali ini mulai panik. “Tak sengaja bagaimana! Semua orang melihat kau yang berusaha menangkap panah ini saat orang lain berusaha menghindarinya..” “Ya, mana aku tahu jika itu peraturannya. Kau tak pernah memberitahuku..” “Aku sudah memperingatkanmu...” Bayu semakin merasa panik, ia melirik ke sekelilingnya, semua orang tampak sedang menatapnya seolah sedang menanti apa selanjutnya yang akan dilakukannya. “Tapi aku tak mungkin turun ke sana untuk melawan Anarbuana. Dia hebat sekali..” bisik Bayu. Dira tak menjawab ia juga ikut agak panik dengan hal ini. Tiba-tiba sebuah panah melesat deras ke arah
Dira, Riani, serta Cadudasa agak tegang dibuatnya. Begitu pula penonton yang menyaksikan. Tampaknya nama Bayu sebagai salah satu keluarga istana telah sedikit merubah anggapan penonton yang awalnya ragu kali ini menjadi cukup tertarik dengan pertarungan ini. Bayu menarik nafas perlahan sebelum berhambur ke arah Anarbuana dengan serangan yang cukup cepat. Anarbuana berkelit cukup lincah sambil sekali melakukan dorongan kuat dengan tangannya ke dada Bayu, Bayu terlempar dua meter sebelum kembali menyerang dengan gerakan yang lebih cepat dari serangan pertama. Para penonton bersorak, Bayu merasa lebih terpacu untuk menyerang Anarbuana yang berusaha berkelit. Sebuah pukulan Bayu ke arah pelipis Anarbuana berhasil ditangkis sang juara bertahan dengan keras sehingga Bayu merasa tangan kirinya ngilu namun ia mencoba acuh sambil melakukan serangan lain. Anarbuana tampaknya tak menyadari jika lawannya ini mempunyai kecepatan di luar prediksinya, sebuah tendangan kaki kanan Bayu berhasil mengh
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi
Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat
“HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e
Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se
“Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s