Sena tampak ragu melihat kolam renang di depannya. Sweater yang sebelumnya dia kenakan, sudah tersampir di kursi pantai. Kini dia berdiri dengan canggung, dengan Quin yang menanti kedatangannya.
“Ayo, turun, Sena. Nggak usah takut. Aku akan menangkapmu.”
Nah! Menangkapmu! Kata itu yang justru membuat Sena ragu. Dia tidak bisa percaya dengan laki-laki mesum seperti Quin. Sena curiga, jangan-jangan ketika Sena turun nanti, Quin akan kembali mengerjainya seperti semalam. Bayangan Quin menyentuh tubuhnya yang kini cukup terekspos, membuat Sena bergidik ngeri. Ngeri-ngeri yang sesungguhnya cukup memabukkan sampai Sena takut tidak bisa menolaknya.
Bukannya turun, Sena tiba-tiba duduk di pinggir kolam dengan kaki berayun di dalam air. Dia tersenyum ke arah Quin.
“Begini saja. Aku senang kalau duduk-duduk kayak gini. Kayak kemarin di sungai belakang.” Sena berdalih. Padahal selain takut dengan Quin, dia juga takut dengan air. Dia bahkan tidak bisa berdiri ter
“Nilai kamu sudah keluar,” kata Quin begitu melihat Sena memasuki ruang kerjanya. Quin memang menyuruh salah satu pelayannya untuk membawa Sena. “Hah?” “Tuh!” Dengan dagunya, Quin menunjuk ke arah laptop yang terbuka. Sena buru-buru berjalan ke samping Quin agar bisa melihat layar laptop, tapi Quin justru memutar laptop itu dan menjauhkannya dari Sena. “Aku mau lihat!” Quin tersenyum misterius. “Yakin mau lihat?” “Kenapa? Nilaiku jelek, ya? Banyak C-nya, ya?” Sena kelabakan. Di semester dua kemarin, nilainya sudah turun. Jangan sampai semester tiga ini, nilainya kembali turun. Orangtuanya memang tidak pernah protes, tapi justru karena itu, Sena semakin merasa bersalah. “Sini duduk,” ujar Quin sambil menepuk pahanya. “Nggak mau! Aku mau lihat nilai aja!” “Makanya sini duduk!” Sena teringat kejadian tiga hari yang lalu di kolam renang. Sejak saat itu, Quin jadi jarang menemuinya. Sena juga lebih se
Sena menopang wajah dengan kedua tangannya. Di depannya terdapat sebuah laptop terbuka, yang sedang menampilkan sebuah drama. Bukan Sena yang menonton drama, tapi dramanya yang kini menonton Sena. Pasalnya gadis itu sudah melamun sejak setengah jam yang lalu. Semua ini karena Quin. Laki-laki menyebalkan itu sudah membuat galau anak gadis orang. Setelah bersikap penuh cinta, Quin justru menghilang selama beberapa hari. Kali ini benar-benar menghilang! Tanpa kabar! Oh, atau mungkin karena selama berhari-hari pula Sena hanya ada di kamar, jadi dia tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Seorang pelayan masuk ke kamar Sena. Pelayan yang rasanya sudah sangat Sena hapal karena lebih sering mengunjungi Sena itu, akhirnya Sena ketahui namanya. “Mbak Neni, sini kubisikin,” pinta Sena sambil melambaikan tangannya. Yang diajak bicara tetap cuek bebek melenggangkan kakinya menuju lemari Sena. Dia membawa baju bersih dan hendak mengambil baju kotor Sena. “Quin d
Ada apa dengan Quin? Jawabannya ada pada beberapa hari yang lalu, saat seharusnya Quin datang ke kamar Sena untuk menagih janji Sena yang sudah setuju tidur dengan Quin. Tidur, ya! Hanya tidur. Dua orang itu juga tidak pernah berniat melakukan hal yang lebih dari tidur. Wigar bersama beberapa pengawalnya datang menemui Quin. Tanpa mengatakan apapun, Wigar langsung menampar Quin. Tak cukup menampar, Wigar bahkan mengambil tongkat baseball dan memukul Quin berkali-kali. Tidak ada yang membantu Quin. Pengawal yang selama ini menjawa Quin tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya tiga orang, sedang pengawal yang tunduk pada Wigar ada lebih dari sepuluh orang. Kalau mereka melawan, mereka sama saja membahayakan Quin. Itu yang pernah Sekretaris An katakan. Jadilah mereka hanya bisa diam melihat Quin yang dipukuli ayahnya. Wigar melempar tongkat baseball itu setelah puas memukuli Quin. Dia menampar Quin tiga kali sebelum akhirnya menjatuhkan diri di atas sofa. D
Quin tampak terkejut dengan reaksi Sena. Dia sama sekali tak menduga, Sena justru mengkhawatirkannya. Padahal selama ini, Quin sering melihat Sena yang takut padanya. Namun, yang Quin lihat kali ini justru berbeda. Sena tak takut padanya! “Sekarang kita harus gimana? Ayah kamu pasti akan bantuin kamu, kan? Ayah kamu pasti nggak akan biarin kamu masuk penjara, kan?” tanya Sena bertubi-tubi. Nadanya penuh dengan kekhawatiran. Sudut bibir Quin terangkat. Hanya dengan mengetahui Sena mengkhawatirkannya, rasanya dia bisa menghela napas dengan lega. Perasaan yang salah! Seharusnya sampai kapanpun Quin menyesali perbuatannya. Dia tidak bisa bahagia setelah apa yang sudah dia lakukan. “Sena.” “Katakan sesuatu! Jelaskan semuanya!” desak Sena. Quin membelai rambut Sena. Gadis yang bahkan belum ada satu bulan dia kenal, kini seolah sudah menjadi bagian penting dalam hidup Quin. Gadis itu mampu mengobrak-abrik hati Quin. Mengeluarkan semua rasa sakit yang
Sena mematutkan dirinya di depan kaca. Dia berputar beberapa kali, mengecek penampilannya saat ini. Dengan kemeja lengan panjang berwarna coklat susu yang dimasukan ke dalam rok sepanjang tiga perempat berwarna abu tua. Rencananya dia hanya akan membawa tas selempang berwarna coklat tua dan sepatu putih. Tidak lupa dengan kaos kaki sepanjang sepuluh senti di atas mata kaki. Pagi tadi pelayan Quin mengisi lemari Sena dengan pakaian baru. Kali ini Sena bisa nememukan rok panjang, celana panjang, serta beberapa kemeja yang cocok dipakai untuk ke kampus. Padahal rencananya Sena berniat mengambil beberapa pakaian dari kosnya sebelum kembali ke rumah Quin, tapi sepertinya dia tidak butuh pakaian lagi. Sena menyisir poninya yang mulai panjang. Rambutnya yang tidak terlalu panjang—sekitar sepuluh senti di bawah bahu—dia kepang dua. Penampilannya sudah seperti gadis desa, tapi Sena menyukainya. Pintu kamarnya perlahan terbuka. Kepala Quin melongok ke dalam. Dia tersen
Maura tampak masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Teman sekaligus sahabatnya yang pernah berkata tak akan mudah terpengaruh oleh laki-laki walau setampan apapun jika kelakuan laki-laki itu tidak jelas. Sena jelas pernah berkata kalau Quin walau tampan, tapi menakutkan. “Aku nggak suka.” Tatapan Maura berpindah pada Quin. Laki-laki itu merengut seperti anak kecil. Sena di sampingnya juga tampak tak biasa atau mungkin Maura yang tidak terbiasa melihat Sena yang bersikap manja. “Apa mereka cocok? Bukankah umumnya pasangan itu saling melengkapi? Misal yang satu manja, satunya harusnya bersikap dewasa. Kenapa dua orang di depannya sama-sama sok manja?” batin Maura. Mangkuk bakso di depannya dia anggurkan demi melihat interaksi Sena dan Quin. “Dosen kamu keganjenan.” Sena merangkul lengan Quin dan gerakan itu membuat Maura berjengit. “Pak Buche emang gitu, tapi aslinya baik banget. Buktinya IP-ku cuma dua sembilan koma saja tetap b
Sena duduk di balkon sambil menopang dagu. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan dia baru saja menuntaskan makan malamnya. Makan malam seorang sendiri. Kebiasaan Quin jika Sena merasa sudah semakin dekat dengan Quin, laki-laki itu justru seperti menghilang. Namun, Sena justru cemas setiap kali Quin menghilang.“Kali ini apa yang terjadi?” tanya Sena pada dirinya sendiri. Dia menatap bulan yang hanya terlihat sebagian. Tampak cantik, tapi juga menyedihkan. Bulan di atas sama seperti Sena yang kini hanya seorang diri. Dia bisa saja menghubungi keluarganya, tapi sejak siang tidak ada keluarganya yang mengangkat panggilan Sena. Mungkin sedang sibuk.Sena mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Tidak ada siapa-siapa yang datang. Pelayan juga sudah tidak akan datang lagi setelah membersihkan makan malam Sena. Biasanya malam-malam seperti ini Sena bersama Quin. Namun, Quin menghilang lagi.Ponsel Sena tampak menyala. Terlihat ada pop up pesan masuk
Sena bergelayut manja di samping Quin. Sesekali dia mengamati raut wajah Quin. Masih sama. Laki-laki itu sepertinya mulai tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari Sena. Wajahnya mudah sekali terbaca. Terutama jika sedang menyimpan kekhawatiran seperti sekarang. Padahal saat awal Sena melihat Quin, laki-laki itu pandai sekali mengatur raut wajahnya.“Hem?” tanya Quin yang heran karena Sena terus menatapnya. Tangannya meremas lembut tangan Sena.“Nggak apa-apa,” jawab Sena sambil menggeleng kecil.Quin hanya tersenyum dan mengacak-acak rambut Sena dengan tangannya yang bebas. Tatapannya kembali ke layar laptop. Layar itu masih belum menampilkan KRS online yang harus Sena isi. Kata Maura pun laman KRS onlinenya belum ada. Padahal ini sudah lebih dari jam nol-nol. Hari telah berganti.“Trouble, kah?” tanya Quin, terdengar seperti bicara pada dirinya sendiri. “Biasanya seperti ini?” Kali ini dia menoleh ke arah Sen
“Coklat panas adalah teman yang baik buat kerja. Sebenernya kopi lebih cocok, sih, tapi … ah, biarin, deh. Coklat panas aja,” gumam Sena sambil mengaduk gelas berisi cokelat panas. Dia dan Quin belum lama berpisah sejak mereka selesai makan malam di kamar Sena, tapi Sena berpikir untuk membuatkan minuman untuk Quin. “Tuan Quin memangnya mau minuman kayak gitu?” tanya salah satu asisten rumah tangga yang dulu sering mengabaikan Sena. Kini keduanya sudah mulai akur walau tetap sering sinis-sinisan. Belakangan Sena juga baru tahu kalau asisten rumah tangga itu bernama Mirna, yang tidak lain adalah tetangga Maura. “Jelas mau. Aku bawain air cucian beras juga Quin pasti mau. Itu yang dinamakan cinta. Kamu pernah nggak, jatuh cinta? Jatuh cinta itu, berjuta rasanya,” canda Sena. Dia cekikikan sendiri dengan candaannya. “Mau aku bawain?” tawar Mirna. “Nggak usah. Pacarku emang tuan muda, tapi aku bukan tuan putri,” tolak Sena sambil mengibaskan rambutnya. Wa
Sena menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Dia membaca dengan seksama kata demi kata pada sebuah artikel lama. Jika hanya membaca artikel yang tersebar di dunia maya, maka terlihat jelas betapa sempurnanya keluarga calon Presiden Wigar.Dimulai dari istri Wigar, Rania Mozah. Sama seperti namanya, Rania adalah wanita yang cantik dan anggun. Di usianya yang sudah tak muda lagi, Rania selalu tampil menawan. Begitu cocok jika disandingkan dengan Wigar yang tampak gagah dengan setelan mahalnya.Tidak hanya terkenal akan parasnya, jiwa sosial Rania juga selalu dielu-elukan. Rania yang sering berkunjung ke tempat bencana. Rania yang selalu ramah pada setiap orang. Rania yang bla bla bla hingga berita kebaikannya tak pernah habis.Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Setali tiga uang dengan sang ibu, baik Annisa Wigar Adyaksa maupun Aneska Wigar Adyaksa terkenal sebagai anak-anak yang penurut. Mudah bergaul dengan semua orang dan bukan tipe anak yang pemilik meski
Berat rasanya ketika Sena harus kembali ke Semarang, terkurung di rumah Quin demi membuat keluarganya aman. Ini bukan lagi karena Quin yang mengurungnya, tapi karena Sena menyadari semua itu demi dirinya dan keluarganya.“Sudah, jangan nangis terus,” bujuk Quin sambil mengelus kepala Sena. Dia tidak tahu caranya menghibur orang, jadi hanya bisa mengelus kepala Sena. Sudah sejak mobil Quin meninggalkan kediaman Sena, gadis itu menangis tanpa henti. Padahal sebentar lagi mobil sudah memasuki kawasan Pekalongan.“Ngomong-ngomong, adek kamu itu agak kurang, ya?”Sena menoleh ke arah Quin, tangisnya berhenti demi mendengar pertanyaan Quin. Kelopak matanya mengedip beberapa kali, seperti orang bingung.“Maksud kamu?”“Masa dia bilang, untung tangannya sakit jadi dia nggak usah ikut ujian renang. Ujian praktik olahraga lain juga katanya nggak perlu adek kamu ikuti dan otomatis dapat nilai bagus. Baru kali ini aku
“Hah?” Quin menatap ke arah kunci yang Sena sodorkan, kemudian ke arah Sena. Tidak paham maksud Sena menyerahkan kunci itu padanya. Bukan sedang menyuruh Quin untuk mengendarai sepeda motor, bukan? “Ini,” ulang Sena, masih menyodorkan kunci motornya. Sebuah motor skuter matik berwarna cokelat baru saja Sena keluarkan dari garasi rumahnya. Dalam garasi itu, ada sebuah mobil antik tua dan dua buah motor. Salah satunya motor yang baru saja Sena keluarkan. “Itu … kenapa?” Sena menghela napas. Sena menyerahkan kunci, bukankah sudah jelas maksudnya. Pegal terus-terusan menyodorkan tangannya, Sena meletakkan kunci itu di genggaman Quin. “Ayo, cepat. Nanti kesiangan. Nggak asyik kalau main di pantai pas panas.” Sena langsung menempatkan dirinya di bagian dudukan belakang motor. Dia menoleh ke arah Quin yang masih melongo di tempatnya, menatap kunci di tangannya dengan tatapan bingung. Tentu ada masalah penting yang belum Sena ketahui.
Jika di sebuah drama ada scene di mana pemeran utama pria merasa hangat berada di tengah-tengah keluarga pemeran utama wanita, mungkin Quin akan mencelanya. Tapi, itu dulu. Dulu sebelum Quin melihat sendiri bagaimana interaksi keluarga Sena. Jika dibilang hangat, mungkin tidak terlalu. Tapi, jelas sekali terlihat bagaimana keluarga ini saling berbagi kasih sayang mereka. Siang tadi, Quin memang sudah makan di rumah Sena, tapi dia hanya berdua dengan Sena. Baru sekarang saat makan malam, semua keluarga Sena berkumpul di meja makan, tak terkecuali Seno yang tangannya masih di gips. Entah orangtua Sena yang terlalu memanjakan anak-anak mereka atau apa, tapi ibu Sena dengan telaten menyuapi Seno. Padahal hanya satu tangan Seno yang terluka. Tangan lainnya baik-baik saja bahkan dia tetap asyik bermain game dengan satu tangan. Sudut bibir Quin tanpa sadar sedikit terangkat. Sorot matanya berpindah-pindah, mengikuti siapa saja yang sedang berbicara. Walau dia jarang
Sena membuka ruang tamu tanpa permisi. Dia mendengar suara bersin Quin, jadi dia pikir Quin mungkin sedang istirahat. Tidak tahunya, Quin sedang melepaskan celananya. Tubuh bagian atasnya sudah polos. Quin yang memang dasarnya senang mengerjai Sena, cuek saja saat melihat Sena tiba-tiba membuka kamar. Berbeda dengan Quin, Sena mendelik melihat pemandangan di depannya. Dia pernah berenang dengan Quin, tapi situasi sekarang jelas berbeda. Mereka sedang ada di kamar Sena dan kalau Sena tidak salah, ibunya juga akan turun setelah menemui Seno. Aturan Sena akan segera menutup pintu kamar itu. Ya, memang Sena langsung menutupnya. Masalahnya, Sena menutup dari dalam, bukan dari luar kamar. Tahu kan, maksudnya seperti apa? “Kamu! Kenapa buka baju sembarangan!” protes Sena dengan suara sekecil yang dia bisa. Mengingat kamar ini dan kamar sebelah hanya dibatasi tembok yang tak seberapa, yang jelas tak sekokoh rumah Quin, ada kemungkinan suara di kamar ini juga bisa didengar ol
Kedatangan Sena sudah seperti kejutan untuk ayah dan ibunya. Terutama saat mereka menyadari keberadaan Quin. Mereka sama sekali tidak menyangka anak gadisnya akan turun dari sebuah mobil mewah bersama seorang pemuda tampan beserta pria paruh baya berpakaian super rapi. Walau Sekretaris An dan pengawalnya langsung meninggalkan rumah Sena, tapi orangtua Sena sempat melihat rombongan kecil itu. Orangtua Sena bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki yang Sena bawa? Sena memeluk ibu dan ayahnya secara bergantian. Rindu yang telah lama dia tahan, akhirnya terbayar sudah. Sena juga bersikap biasa-biasa saja, seolah dia tidak tahu kalau adiknya baru saja mengalami kecelakaan. “Seno di mana?” tanya Sena. Ayah dan ibu Sena saling berpandangan. Mungkin bingung bagaimana menjelaskan keadaan anak laki-laki mereka, tapi karena Sena sudah datang, mau tidak mau mereka tetap harus menceritakan kejadian yang adiknya alami. “Seno di kamarnya, sedang istirahat.
“Nggak bisa!” seru Sekretaris An. Bahasa bakunya pada bosnya hilang sudah. Semua karena permintaan Quin atau lebih tepatnya permintaan Sena pada Quin. Penjelasan panjang Quin pada akhirnya bisa Sena mengerti. Kini Sena tak lagi marah pada Quin. Namun, kekhawatirannya pada sang adik masih sama besar. Terlebih setelah Sena tahu alasan dibalik kecelakaan adiknya. Sena semakin takut hal buruk akan kembali menerpa keluarganya. Sebagai balasan atas kepercayaan Sena pada Quin, Sena ingin pulang walau hanya satu atau dua hari saja. “Aku mohon, Quin. Sebentar saja. Aku janji, aku nggak akan ke mana-mana. Aku cuma di rumah saja. Aku janji,” pinta Sena. Sesungguhnya melihat wajah Sena yang penuh dengan keputusasaan sudah cukup membuat Quin mengiyakan permintaan Sena. Namun, akal sehat Quin langsung menolaknya. Bayangkan, karena Quin membawa Sena keluar, ayahnya sampai membuat adik Sena kecelakaan. Apa yang terjadi jika Quin sampai membiarkan Sena pulang ke kampu
Quin perlahan berdiri. Dia masih memegang kedua tangan Sena. Meski Sena belum mau menatapnya, setidaknya sekarang Sena sudah tenang. Diamnya Sena sama saja memberi kesempatan pada Quin. Kesempatan untuk menceritakan segalanya. Akar dari masalah yang seharusnya tak melibatkan Sena. “Aku nggak pernah pengin ngurung kamu di sini.” Quin memulai ceritanya. Mungkin terdengar seperti pembual jika mengingat semua perbuatan Quin pada Sena. Namun, dia tidak sedang membual atau membuat sebuah cerita. Memang seperti itu kenyataannya. Dia hanya sengaja bersikap brengsek karena memang hanya itu yang terpikir olehnya saat memikirkan cara untuk menyelamatkan Sena dari ayahnya. Siapa sangka kini Quin justru terperangkap dengan permainannya sendiri. Dia sendiri yang justru tak ingin melepaskan Sena. “Aku tau, aku sudah jahat padamu. Aku mempermainkanmu, bahkan menyebutmu sebagai mainanku. Brengsek sekali ya, aku? Tapi, aku hanya ingin menyelamatkanmu, Sena. Aku nggak mau ayah macam-ma