Bab 65: Hush, Hush, Pulang Sana!
Sore hari, belum lagi tepat pukul lima, Yana sudah turun dari lantai atas. Ia berjalan sedikit tergesa-gesa ketika keluar dari lift. Tas jinjingnya ia sampirkan ke bahu dan sambil berjalan ia mengaitkan rambut di sisi kepala ke belakang telinganya.
Yana sengaja keluar dari gedung Benua Trada lewat pintu samping, supaya tidak bertemu atau berpapasan dengan karyawan yang lain. Bunyi pletak-pletok hak sepatunya mengiringi langkah kaki sang staf perpajakan ini menuju ke selasar dan terus saja hingga tembus ke bagian belakang gedung.
Hingga beberapa detik kemudian, Yana telah sampai di teras belakang. Ia berdiri sebentar untuk mematung, lalu menoleh sambil melongokkan kepalanya pada satu arah di balik sudut gedung. Ia menghirup nafas sekali, be
Bab 66:Jangan Sampai Tiga Sekonyong-konyong Yana menolehkan kepalanya pada Menuk. Lalu disertai dengan dagunya yang menunjuk pada Joko, gadis staf perpajakan ini pun bertanya.“Kamu menunggu dia?”“Eh, enggak, kok,” jawab Menuk kikuk, yang segera pula balas bertanya.“Mbak sendiri, menunggu dia?”“Enggak, saya enggak menunggu dia,” jawab Yana dengan wajah yang memerah.“Oh. Tapi kenapa Mbak tadi memanggil dia?”“Nah, k
Bab 67:Drama Setelah Hitungan “Jokooo..!” pekik Ibu Joyce histeris.“Pliiiiss..! Jangan sampai saya bilang ‘tiga’!”Entah apa yang menggerakkan hatiku, aku cukup menyederhanakannya dengan bentuk satu tanggung jawab dari sebuah akibat. Hingga akhirnya aku pun kembali berbalik dan berjalan ke arah mobil Ibu Joyce.Ketika aku sampai di samping mobilnya, Ibu Joyce sudah kembali pada posisi duduknya di jok pengemudi. Tangannya mencengkeram lingkaran setir dengan sangat erat, matanya memandang lurus ke arah depan seakan enggan melihatku yang sudah ada di hadapannyaSekilas aku melihat wajah Ibu Joyce yang mengeras seumpama patung lilin yang baru selesai dicetak. Sementara kecantikannya sendiri tak lekang oleh aura kemarahan yang ada di wajah bulat gemuk cantik nan manisnya itu.“Maaf, Bu, saya..,” 
Bab 68:Beli yang Baru “Tentang kejadian di hotel tempo hari, tidak adakah yang ingin kamu katakan, Joko?”Pertanyaan Ibu Joyce itu kembali menggugahku. Aku harus berbicara, pikirku. Apa pun itu yang bisa mengakhiri drama yang sangat memuakkan ini.“Saya siap untuk bertanggung jawab, Bu,” kataku akhirnya.“Lalu bagaimana bentuk tanggung jawab yang kamu maksud itu?”Tiba-tiba aku teringat pada Ningsih, wanita yang amat aku cintai. Tiba-tiba aku juga teringat pada ibuku, wanita yang sangat aku hormati. Dan tiba-tiba juga aku teringat pada Ayu Dyah, adik perempuan yang sangat aku sayangi.&
Bab 69:Teka-teki Kotak Kado Aku sampai di lampu merah dan berhenti di sisi paling kiri. Ada satu rasa kelegaan tersendiri pasca pertemuanku dengan Ibu Joyce tadi. Yaitu, suatu kemungkinan besar bahwa Ibu Joyce tidak akan melakukan tuntutan macam-macam kepadaku. Untuk saat ini aku hanya sampai pada kesimpulan, mungkin dia juga dalam keadaan mabuk sehingga hilang kontrol atas dirinya sendiri lantas membiarkan diriku menyentuh dia.Tiba-tiba aku merasa tergelitik pada satu pertanyaan; apakah Ibu Joyce menikmati? Entahlah. Kepastian soal itu hanya dia sendiri yang tahu, karena dia yang merasakan.Mungkin Ibu Joyce menyesal, dan ia merasa malu seandainya kejadian di hotel itu sampai diketahui oleh orang lain, khususnya oleh orang-orang Sinergi Laras. Seperti misalnya, contoh
Bab 70:Nama yang Tidak Asing Beberapa hari kemudian…,Ini adalah hari pertamaku kuliah, dan aku tidak ingin terlambat pada hari yang mungkin akan menjadi sejarah di dalam hidupku ini. Beberapa waktu yang lalu aku sudah melewatkan salah satu momen penting di dalam dunia perkuliahan. Yaitu Ospek, atau Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Alasasannya adalah, karena Ospek itu diadakan di hari kerja dan aku tidak mendapatkan izin untuk libur ataupun cuti di hari pelaksanaan Ospek itu.Ospek untuk mahasiswa kelas non reguler di kampusku ini jauh berbeda dengan Ospek untuk mahasiswa reguler. Kami—yang aku maksud “kami” ini adalah aku dan rekan seangkatanku sesama mahasiswa non reguler—hanya mengikuti semacam kuliah umum yang disampaikan oleh pihak akademis, yaitu kajur atau kepala jurusan dan rektor. Jadi, di sini tidak ada acara-acara ala kartun seperti
Bab 71:Dari Lapangan Voli Pada kedatanganku ke kampus sebelum-sebelum ini, yaitu ketika mencari informasi dan mendaftar, aku tidak sempat berjalan berkeliling untuk melihat apa-apa saja fasilitas yang ada di kawasan sekolah tinggi ini.Maka, ketika memasuki jeda perkuliahan pada pukul lima sore, aku berjalan mengelilingi areal kampus yang lumayan luas ini. Ada beberapa gedung yang rata-rata terdiri dari dua atau tiga lantai. Ada gedung serbaguna, di dalamnya ada ruang auditorium, perpustakaan juga ada. Di sebelahnya ada mushola dengan kelir hijau yang lumayan eksotik.Aku terus ke belakang, mengikuti suara orang-orang ramai, dan papan penunjuk arah dengan tulisan-tulisan sebagai berikut; lapangan olah raga, kafetaria, sekretariat Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam). Hingga
Bab 72:Jump Serve Resti mematung, demikian juga jarinya yang sedang menggantung di atas touchpad notebooknya. Aku pun menanyakan sesuatu hal lagi untuk memastikan bahwa aku tidak salah orang.“Tepatnya di jalan Taman Karya?”Resti kini menoleh padaku. Matanya menelisik dan keningnya sedikit mengernyit. Mimik wajahnya tampak seperti sedang berpikir, seperti sedang mengingat-ingat barangkali dia pernah bertemu atau mengenalku entah di mana.“Betul?” tanyaku lagi yang penasaran. “Kamu tinggal di Tuah Madani tepatnya di jalan Taman Karya?”Resti menyip
Bab 73:Lima Belas MenitJump serve yang aku lakukan ternyata mengundang decak kagum orang-orang yang ada di sekitar lapangan voli, baik para pemain maupun para penonton. Hingga selanjutnya ada seseorang yang mungkin dia adalah pengurus klub atau tim, mendaulatku untuk masuk lapangan dan bermain.Aku menolak dengan halus.“Eh, maaf, saya lagi kuliah. Ini kebetulan sedang jam istirahat.”“Kuliah? Oh, Mas-nya kuliah kelas Sabtu-Minggu?”“Iya.”Disusul kemudian oleh beberapa orang lainnya yang memintaku dengan maksud serupa.
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.