Bab 67: Drama Setelah Hitungan
“Jokooo..!” pekik Ibu Joyce histeris.
“Pliiiiss..! Jangan sampai saya bilang ‘tiga’!”
Entah apa yang menggerakkan hatiku, aku cukup menyederhanakannya dengan bentuk satu tanggung jawab dari sebuah akibat. Hingga akhirnya aku pun kembali berbalik dan berjalan ke arah mobil Ibu Joyce.
Ketika aku sampai di samping mobilnya, Ibu Joyce sudah kembali pada posisi duduknya di jok pengemudi. Tangannya mencengkeram lingkaran setir dengan sangat erat, matanya memandang lurus ke arah depan seakan enggan melihatku yang sudah ada di hadapannya
Sekilas aku melihat wajah Ibu Joyce yang mengeras seumpama patung lilin yang baru selesai dicetak. Sementara kecantikannya sendiri tak lekang oleh aura kemarahan yang ada di wajah bulat gemuk cantik nan manisnya itu.
“Maaf, Bu, saya..,”  
Bab 68:Beli yang Baru “Tentang kejadian di hotel tempo hari, tidak adakah yang ingin kamu katakan, Joko?”Pertanyaan Ibu Joyce itu kembali menggugahku. Aku harus berbicara, pikirku. Apa pun itu yang bisa mengakhiri drama yang sangat memuakkan ini.“Saya siap untuk bertanggung jawab, Bu,” kataku akhirnya.“Lalu bagaimana bentuk tanggung jawab yang kamu maksud itu?”Tiba-tiba aku teringat pada Ningsih, wanita yang amat aku cintai. Tiba-tiba aku juga teringat pada ibuku, wanita yang sangat aku hormati. Dan tiba-tiba juga aku teringat pada Ayu Dyah, adik perempuan yang sangat aku sayangi.&
Bab 69:Teka-teki Kotak Kado Aku sampai di lampu merah dan berhenti di sisi paling kiri. Ada satu rasa kelegaan tersendiri pasca pertemuanku dengan Ibu Joyce tadi. Yaitu, suatu kemungkinan besar bahwa Ibu Joyce tidak akan melakukan tuntutan macam-macam kepadaku. Untuk saat ini aku hanya sampai pada kesimpulan, mungkin dia juga dalam keadaan mabuk sehingga hilang kontrol atas dirinya sendiri lantas membiarkan diriku menyentuh dia.Tiba-tiba aku merasa tergelitik pada satu pertanyaan; apakah Ibu Joyce menikmati? Entahlah. Kepastian soal itu hanya dia sendiri yang tahu, karena dia yang merasakan.Mungkin Ibu Joyce menyesal, dan ia merasa malu seandainya kejadian di hotel itu sampai diketahui oleh orang lain, khususnya oleh orang-orang Sinergi Laras. Seperti misalnya, contoh
Bab 70:Nama yang Tidak Asing Beberapa hari kemudian…,Ini adalah hari pertamaku kuliah, dan aku tidak ingin terlambat pada hari yang mungkin akan menjadi sejarah di dalam hidupku ini. Beberapa waktu yang lalu aku sudah melewatkan salah satu momen penting di dalam dunia perkuliahan. Yaitu Ospek, atau Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Alasasannya adalah, karena Ospek itu diadakan di hari kerja dan aku tidak mendapatkan izin untuk libur ataupun cuti di hari pelaksanaan Ospek itu.Ospek untuk mahasiswa kelas non reguler di kampusku ini jauh berbeda dengan Ospek untuk mahasiswa reguler. Kami—yang aku maksud “kami” ini adalah aku dan rekan seangkatanku sesama mahasiswa non reguler—hanya mengikuti semacam kuliah umum yang disampaikan oleh pihak akademis, yaitu kajur atau kepala jurusan dan rektor. Jadi, di sini tidak ada acara-acara ala kartun seperti
Bab 71:Dari Lapangan Voli Pada kedatanganku ke kampus sebelum-sebelum ini, yaitu ketika mencari informasi dan mendaftar, aku tidak sempat berjalan berkeliling untuk melihat apa-apa saja fasilitas yang ada di kawasan sekolah tinggi ini.Maka, ketika memasuki jeda perkuliahan pada pukul lima sore, aku berjalan mengelilingi areal kampus yang lumayan luas ini. Ada beberapa gedung yang rata-rata terdiri dari dua atau tiga lantai. Ada gedung serbaguna, di dalamnya ada ruang auditorium, perpustakaan juga ada. Di sebelahnya ada mushola dengan kelir hijau yang lumayan eksotik.Aku terus ke belakang, mengikuti suara orang-orang ramai, dan papan penunjuk arah dengan tulisan-tulisan sebagai berikut; lapangan olah raga, kafetaria, sekretariat Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam). Hingga
Bab 72:Jump Serve Resti mematung, demikian juga jarinya yang sedang menggantung di atas touchpad notebooknya. Aku pun menanyakan sesuatu hal lagi untuk memastikan bahwa aku tidak salah orang.“Tepatnya di jalan Taman Karya?”Resti kini menoleh padaku. Matanya menelisik dan keningnya sedikit mengernyit. Mimik wajahnya tampak seperti sedang berpikir, seperti sedang mengingat-ingat barangkali dia pernah bertemu atau mengenalku entah di mana.“Betul?” tanyaku lagi yang penasaran. “Kamu tinggal di Tuah Madani tepatnya di jalan Taman Karya?”Resti menyip
Bab 73:Lima Belas MenitJump serve yang aku lakukan ternyata mengundang decak kagum orang-orang yang ada di sekitar lapangan voli, baik para pemain maupun para penonton. Hingga selanjutnya ada seseorang yang mungkin dia adalah pengurus klub atau tim, mendaulatku untuk masuk lapangan dan bermain.Aku menolak dengan halus.“Eh, maaf, saya lagi kuliah. Ini kebetulan sedang jam istirahat.”“Kuliah? Oh, Mas-nya kuliah kelas Sabtu-Minggu?”“Iya.”Disusul kemudian oleh beberapa orang lainnya yang memintaku dengan maksud serupa.
Bab 74:Berani Sumpah “Apa??” tanya Alex yang terkejut dari seberang telepon sana. Nada suaranya seakan tidak percaya dengan apa yang barusan aku katakan.“Kamu dengar apa yang aku bilang tadi toh? Untuk apa aku bilang lagi.”“Kamu serius, Ko?”“Iya, Lex, aku serius.”“Kamu ketemu Resti?”“Iya.”“Resti anaknya Tante Resmi?”“Iya.”“Kok bisa?”“Kami teman sekelas, Lex. Satu angkatan juga.”“Anjrit!”“Hahaha..!” Aku tertawa.“Kamu bohong kan, Ko?”“Enggak, Lex.”“Gimana ceritanya dia bisa sekelas dengan kamu??”“Nah, itu juga yang bikin aku penasaran. Karena, terakhir kali kamu cerita ke aku kan, dia mandeg kuliah gara-gara depres
Bab 75:Mas Tentara “Baiklah, Mas Joko..., libur semester sudah berakhir. Sekarang aku sudah mulai masuk kuliah lagi. Ini adalah semester baru, dengan mata kuliah yang baru, dan juga dengan semangat yang tentu saja baru.”“Akan tetapi, sayangnya untuk beberapa waktu ke depan, sepertinya Mas Tentara tidak bisa menemui atau bahkan menjemput aku sepulang kuliah. Dia akan melaksanakan tugasnya sebagai prajurit kebanggaan negeri ini. Dia akan menunaikan darma baktinya sebagai seorang kesatria pada nusa bangsa yang tercinta ini.”“Jujur Mas, aku merasa sedih ketika dia bilang akan pergi ke suatu medan tempur. Tanpa ada kepastian bahwa dia akan kembali dengan selamat dan utuh. Dia begitu tegar ketika pamit padaku waktu itu. Dia bilang, merahnya dar