Bab 34: Akal Bulus
“Halo?” sapaku, yang segera disambut oleh sebuah suara dari seberang sana.
“Halo? Bu Kemas?”
Aku langsung mengernyitkan kening. Mencari Ibu Kemas, tetapi aku yang ditelepon? Ah, siapa pula ini? Batinku. Jangan-jangan, ini adalah telemarketer, bermaksud menawari aku asuransi atau pinjaman kredit macam-macam.
“Maaf, saya bukan Bu Kemas,” sahutku datar.
“Jadi, ini siapa?”
Beberapa detik aku mencoba mengenali suara orang dari seberang telepon sana. Aku tidak pernah mendengar warna suara yang sengau seperti sedang pilek ini. Entah mengapa, sejak aku diburon oleh Pak Sadeli, aku selalu was-was jika ada orang asing yang menelepon aku.
“Nah, kamu sendiri siapa? Kok bisa menelepon saya? Kok tahu nomor saya?”
“Hemm, ini, kamu.., kamu Joko, kan?”
Lho? Kok, di
Bab 35:Minuman Kaleng Joyce Angelique meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua telapak tangan. Beberapa saat ia terus menunduk dengan wajah yang tertutup itu. Bibirnya tersenyum-senyum karena geli. Isi benaknya juga masih semarak dengan suara-suara percakapan antara dirinya dengan Joko barusan tadi.Ada rasa malu di dalam hati sang manajer ini, malu dari jenis yang menyenangkan. Itu pula yang membuat ia kemudian tertawa di dalam ruang kantornya.“Joko.., Joko.., kurang ajar kamu, ya? Kok bisa sih aku kangen sama kamu? Hah?”“Nomor telepon Bu Kemas memang aktif kok, tapi aku sengaja menelepon kamu dan berpura-pura. Akting-akting sedi
Bab 36:Kisah Si Calon Bidan “Aku ingin memberi tahu kamu, Mas Joko, dan terserah kamu apakah kamu peduli dengan apa yang aku katakan ini atau tidak. Aku bersyukur, karena aktifitasku sebagai mahasiswi di akademi kebidanan ini sudah mulai bisa aku jalani dengan sepenuh hati.”“Meskipun, pada awalnya, akademi kebidanan merupakan pilihan keduaku dalam meneruskan pendidikan, namun sepertinya ini sudah tepat. Tepat untuk kehidupanku di masa yang akan datang, dan tepat pula dengan cita-cita aku waktu masih kecil dulu.”“Bidan, abdi masyarakat yang bertugas melayani orang di bidang kesehatan, khususnya yang terkait dengan perempuan, keren bukan? Aku bahkan sudah bisa membayangkan diriku yang di suatu saat nanti akan membantu persalinan seorang perempuan. Menolong Si calon ibu ketika melahirkan, dan juga menolong Si jabang bayi untuk keluar dan menyambut kehidupannya di dunia i
Bab 37:Tubuhnya Berbuku-buku Beberapa hari kemudian…,Sejak aku tinggal di kosku sendiri, aku memang belum pernah mengunjungi Alex di rumah kontrakannya, satu kali pun. Dialah yang selalu mengunjungi aku dan ia bisa bebas melakukan itu kapan saja karena ia memiliki motor.Pikir punya pikir, aku lalu bermaksud untuk menjaga silaturahmi, ikatan persahabatan sekaligus menjaga perasaan seorang kawan yang baik hati itu. Aku sudah mengatur sebuah rencana, hari Sabtu besok aku akan pergi ke rumah kontrakannya.Aku akan naik angkot, dan malamnya, aku akan menginap di rumah dia. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan pada Alex terkait kehidupanku di Bandar Baru ini, dan juga segala rencana yang berkaitan dengan masa depan, khususnya niatku berkuliah dan juga Ningsih. Sekalian saja, aku ingin menghibur dia pasca ‘kena menta
Bab 38: Ikan Salah Nama Selesai dengan teleponnya itu, Ibu Joyce kemudian meletakkan ponsel di konsol tengah mobilnya. Konsentrasinya sekarang dalam mengemudi sudah kembali seratus persen. Eh, tidak, ding! Karena kemudian…,“Nah, begini, Joko. Sesuai dengan pembicaraan kita di telepon tadi. Hari ini saya minta tolong kamu untuk membenahi rumah saya dulu. Pipa penyalur air cucuran dari atap bagian belakang rumah saya sudah pecah. Makanya kalau hujan airnya melimpah ke mana-mana. Sampai masuk ke dapur lagi. Kamu bisa betulkan itu, kan?”“Bisa, Bu. Asal ada alat-alatnya, saya bisa.”“Alat-alat apa yang kamu butuhkan?”
Bab 39:Kucing Salah Nama “Eh, Bu, untuk pipa pengganti dan lemnya nanti bagaimana, Bu?” tanyaku mengalihkan perhatian.“Oh, itu, nanti saya beli. Tinggal telepon saja. Kebetulan yang punya toko material masih ada hubungan kerabat dengan saya.”Perjalanan kami pun berlanjut lagi, menyusuri jalan raya yang traffic-nya ramai dan lancar. Entah sudah berapa kali kami berhenti di lampu merah, juga entah sudah berapa kali mobil Ibu Joyce ini berganti arah. Pada saat ini aku sudah disoriented, tidak tahu lagi di mana timur dan di mana barat. Aku yang masih tergolong baru tinggal di kota Bandar Baru ini, pasti akan bingung jika harus kembali pulang ke kosku sendiri.Lima belas menit kemudian, barulah…,“Nah, kita sudah sampai,” kata Ibu Joyce, bersamaan dengan tangan kirinya yang menarik handbreak mobilnya, kr
Bab 40:Godaan Di Bawah Tangga Hampir saja aku jatuh, ketika tiba-tiba Ibu Joyce bertanya padaku.“Kamu sudah punya pacar, Ko?”Lho?? Aku kira Ibu Joyce tadi pergi, masuk ke rumah dan tidur siang atau bagaimana begitu. Ternyata, ia malah terus berdiri di dekatku, mengawasi semua yang aku kerjakan.“Belum, Bu,” jawabku sembari berutak-atik di atas tangga.“Serius?”“Serius, Bu.”“Bohong kamu.”“Tidak, Bu. Saya tidak bohong.”“Yang bener?”“Iya, Bu.”“Serius kamu, Ko?”“Iya, saya serius, Bu.”“Jujur sajalah, Ko.”“Ini saya jujur kok, Bu.”Aku memang jujur, kok, sambungku lagi dalam hati. Ketika Menuk menanyakan hal serupa beberapa hari yang lalu, dan demikian juga Yana
Bab 41:Perempuan Di Dalam Mimpi Tentang sepeda yang aku tinggalkan di kantor Benua Trada, maksudku tentang transportku pulang, ini yang selanjutnya menjadi persoalan. Aku berharap Ibu Joyce memberi uang saja padaku supaya aku bisa naik bus metro, angkot, atau taksi.Namun, rupanya ia sendiri yang berkenan untuk mengantarku pulang, kembali ke kantor Benua Trada untuk mengambil sepedaku. Dia bilang tadi, sekalian ada keperluan di luar dengan seseorang. Ia lalu menyuruhku untuk menunggu sebentar, sementara dia mandi dan bersalin baju.Setelah dipersilahkan, aku duduk di ruang keluarga yang cukup besar, di sebuah sofa yang cukup empuk sembari menikmati segelas teh manis dan beberapa camilan yang disiapkan oleh pembantu Ibu Joyce tadi.&nbs
Bab 42:Antara Novel dan Lelaki Romantis Namun, yang membuat aku gemetar adalah gambar covernya! Yaitu.., seorang perempuan yang tengah berbaring di atas sebuah hammock atau ayunan pantai dan sedang membaca buku. Aku, aku.., aku teringat Ningsih di dalam mimpiku!Bulu-bulu di belakang tengkukku berdiri lagi!Aku terus saja memperhatikan novel yang letaknya di dalam deretan itu telah menyalahi posisi, seperti habis dibaca orang dan diletakkan begitu saja. Gambar covernya sendiri berupa lukisan abstrak yang dapat dikatakan juga semi natural. Karena sketsa seorang perempuan yang berbaring di atas hammock itu begitu kentara. Demikian juga dengan buku yang sedang dipegangnya.
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.