Bab 39: Kucing Salah Nama
“Eh, Bu, untuk pipa pengganti dan lemnya nanti bagaimana, Bu?” tanyaku mengalihkan perhatian.
“Oh, itu, nanti saya beli. Tinggal telepon saja. Kebetulan yang punya toko material masih ada hubungan kerabat dengan saya.”
Perjalanan kami pun berlanjut lagi, menyusuri jalan raya yang traffic-nya ramai dan lancar. Entah sudah berapa kali kami berhenti di lampu merah, juga entah sudah berapa kali mobil Ibu Joyce ini berganti arah. Pada saat ini aku sudah disoriented, tidak tahu lagi di mana timur dan di mana barat. Aku yang masih tergolong baru tinggal di kota Bandar Baru ini, pasti akan bingung jika harus kembali pulang ke kosku sendiri.
Lima belas menit kemudian, barulah…,
“Nah, kita sudah sampai,” kata Ibu Joyce, bersamaan dengan tangan kirinya yang menarik handbreak mobilnya, kr
Bab 40:Godaan Di Bawah Tangga Hampir saja aku jatuh, ketika tiba-tiba Ibu Joyce bertanya padaku.“Kamu sudah punya pacar, Ko?”Lho?? Aku kira Ibu Joyce tadi pergi, masuk ke rumah dan tidur siang atau bagaimana begitu. Ternyata, ia malah terus berdiri di dekatku, mengawasi semua yang aku kerjakan.“Belum, Bu,” jawabku sembari berutak-atik di atas tangga.“Serius?”“Serius, Bu.”“Bohong kamu.”“Tidak, Bu. Saya tidak bohong.”“Yang bener?”“Iya, Bu.”“Serius kamu, Ko?”“Iya, saya serius, Bu.”“Jujur sajalah, Ko.”“Ini saya jujur kok, Bu.”Aku memang jujur, kok, sambungku lagi dalam hati. Ketika Menuk menanyakan hal serupa beberapa hari yang lalu, dan demikian juga Yana
Bab 41:Perempuan Di Dalam Mimpi Tentang sepeda yang aku tinggalkan di kantor Benua Trada, maksudku tentang transportku pulang, ini yang selanjutnya menjadi persoalan. Aku berharap Ibu Joyce memberi uang saja padaku supaya aku bisa naik bus metro, angkot, atau taksi.Namun, rupanya ia sendiri yang berkenan untuk mengantarku pulang, kembali ke kantor Benua Trada untuk mengambil sepedaku. Dia bilang tadi, sekalian ada keperluan di luar dengan seseorang. Ia lalu menyuruhku untuk menunggu sebentar, sementara dia mandi dan bersalin baju.Setelah dipersilahkan, aku duduk di ruang keluarga yang cukup besar, di sebuah sofa yang cukup empuk sembari menikmati segelas teh manis dan beberapa camilan yang disiapkan oleh pembantu Ibu Joyce tadi.&nbs
Bab 42:Antara Novel dan Lelaki Romantis Namun, yang membuat aku gemetar adalah gambar covernya! Yaitu.., seorang perempuan yang tengah berbaring di atas sebuah hammock atau ayunan pantai dan sedang membaca buku. Aku, aku.., aku teringat Ningsih di dalam mimpiku!Bulu-bulu di belakang tengkukku berdiri lagi!Aku terus saja memperhatikan novel yang letaknya di dalam deretan itu telah menyalahi posisi, seperti habis dibaca orang dan diletakkan begitu saja. Gambar covernya sendiri berupa lukisan abstrak yang dapat dikatakan juga semi natural. Karena sketsa seorang perempuan yang berbaring di atas hammock itu begitu kentara. Demikian juga dengan buku yang sedang dipegangnya.
Bab 43:Kata Yang Bersayap “Saya mohon, Bu, berilah saya sedikit uang supaya saya bisa naik bus atau angkot.”Ibu Joyce kemudian tersenyum. Anehnya, sekarang dia berkata pula, “Ya sudah, kamu masuk ke mobil. Saya antar kamu sekarang.”Aku sampai melongo mendengar kata-kata Ibu Joyce itu. Plin-plannya sikap dia sekarang ini seperti terlemparnya uang koin, berbolak-balik dengan begitu cepatnya. Maka, sebelum Si uang koin itu jatuh di telapak tangan, sebelum Ibu Joyce berubah pikiran lagi segera saja aku masuk kembali ke dalam mobilnya.Aku memang tidak punya pilihan, selain mengharap belas kasihan dari Ibu Joyce. Aku sudah duduk di dalam mobil, tetapi Si manajer bertato kalajengking ini malah membuang pandangannya ke sisi kanan sana. Ia tampak seperti sedang menyembunyikan ekspresi wajahnya yang.., entahlah. Ada yang musykil untuk dijelaskan di sini. Apa pun itu, aku mula
Bab 44:Kacang di Balik Peyek Beberapa hari kemudian,Ternyata, acara ulang tahun perusahaan Benua Trada seperti yang pernah aku dengar dari Ibu Joyce itu memang benar adanya. Menuk, yang lagi-lagi memberiku kue bolu, plus minuman kaleng, menceritakan tentang itu semua ketika diam-diam mengunjungi aku di teras belakang gedung.“Acara ini tidak setiap tahun diadakan sih. Sejak aku bekerja di sini, seingatku baru dua kali, dan yang akan diselenggarakan ini adalah kali yang kedua.”Aku mengangguk, lalu menyantap kue bolu pemberian Menuk tadi. Syukurlah, kali ini tidak ada rasa seperti busa kasur bekas. Aku sampai menunduk untuk diam-diam meneliti kotak kue yang aku pegang. Di dalam hati, aku tersenyum. Menuk sudah lebih cerdas sekarang. Kare
Bab 45:Yang di Sebelahnya Lagi Hingga kemudian, tibalah hari akhir pekan yang diharap oleh Menuk dan juga Yana. Semenjak Sabtu pagi aku telah mematikan ponselku. Lalu siangnya, ketika jam kerjaku telah berakhir, aku langsung saja kabur, mengambil sepedaku dan pulang ke kos.Perasaan di dalam hatiku bercampur-aduk. Pokoknya macam-macam. Namun, di antara semuanya, salah satu yang mendominasi adalah rasa jengkelku pada Ibu Joyce. Sudah satu minggu dan dia tetap tidak menghubungi aku, untuk membayar upahku, untuk mengkonfirmasi progres lanjutan terkait menyemprot kebunnya. Hemm, biar saja! Jika nanti atau besok dia menelepon aku di saat ponselku mati, biar saja! Upahku tidak dibayar? Sekali lagi, biar saja, biar dia semakin gemuk. Makan itu upahku, Joyce!Satu perasaan lain
Bab 46:Laki-Laki Bersepeda “Kamu tahu, Mas? Kemarin, ayah dan ibuku datang ke sini lho, ke Bandar Baru. Mereka ingin menjenguk aku, mengantarkan uang kuliah dan uang saku. Ada urusan dinas juga, sekalian jalan-jalan dan pulangnya nanti mau mampir ke rumah seorang saudara.”“Awalnya, aku khawatir pada ayahku. Soalnya, dia kalau nyetir mobil jarak jauh suka ngantuk. Rupanya dia menyewa seorang sopir untuk menyetir mobil ayah dari Selat Panjang sana. Syukurlah, tidak ada apa-apa dalam perjalanan mereka. Mungkin, selama beberapa hari ini Ayah akan menginap di Bandar Baru ini, di hotel dekat rumah kontrakanku. Dia bilang, mau mengikuti pelatihan atau seminar yang diadakan oleh kantor dinas pusat.”“Mas Joko, ada satu kejadian yang membuat aku ti
Bab 47:Kejutan Anniversary Aku sampai terperanjat, dan untuk beberapa detik aku hanya terpana ketika Danil memberi jawaban kepadaku. “Itulah yang pernah aku bilang, namanya Lusi, anaknya Pak Sugih Singadimeja.”Sontak saja aku menelan ludah. Ternyata, orang yang bernama Lusi itu adalah…, Lo Rena! Oh, seandainya Alex ada di sini, dia pasti lemas, jatuh terduduk dan sesak nafas. Dia pasti akan kena mental untuk yang kedua kalinya dan ini lebih dahsyat dari yang pertama. Sekalian saja dia bertobat dengan taubat nasuha.Aku sampai merutuk-rutuk di dalam hati. Betapa gilanya Si mantan gembala sapi itu sampai berani ‘mengepek’ seorang gadis tajir kaya raya, putri bungsu dari seorang konglomerat bernama Sugih Singadimeja. Bayangkan; Sugih Singadimeja! Sugih artinya kaya. Singadimeja artinya.. sudah jelas toh!
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.