Nada dering yang berbunyi dari telpon genggam, mengejutkan Vino yang sedangbteringat masa kecilnya dulu.
"Hallo! Ada apa, Tom?" tanya Vino kepada si penelpon.
Setelah mendengar jawaban dari seberang telpon, Vino bergegas keluar dari kamar. Tanpa disadarinya, sekuntum bunga melati masih dalam genggamannya.
Namun, ketika melewati sebuah taman yang berada di samping kamar, barulah dia tersadar, dan buru-buru dibuangnya sekuntum bunga melati itu dengan melempar sembarangan.
"Berapa banyak anak buah kita yang jadi korban?" tanya Vino setelah berhadapan dengan seorang lelaki berkulit putih dan bermata sipit.
"Ada lima orang saja, Bos. Yang lainnya bisa kabur dari kejaran polisi," jawab lelaki yang bernama Tom.
"Dasar Rudi penghianat. Untungnya, aku segera mengetahuinya. Kurang apa dia itu selama menjadi tangan kananku? Uang, harta dan wanita tak pernah kekurangan. Kok, bisa-bisanya mau menjadi mata-mata polisi," gerutu Vino dengan wajah geram.
Lelaki berperawakan tinggi kurus di depan Vino hanya menunduk. Tak berani melihat wajah bosnya yang sedang marah itu.
"Juga, si Robert yang sudah berhianat membocorkan rahasia kepada musuh. Huh! Dalam seminggu ini, sudah dua orang kepercayaanku yang mampus kuhabisi dengan tanganku sendiri," lanjut Vino lagi.
Si Tom masih terdiam, tak berani membantah atau menyela sedikitpun ucapan bosnya.
"Tom, hentikan dulu segala aktifitas di jaringan sebelah barat. Sebab, polisi pasti masih mengawasi terus di sekitar tempat itu."
"Baik, Bos," jawab Tom dengan singkat.
Selanjutnya, Vino mengajak Tom dan beberapa anak buahnya untuk pergi ke sebuah tempat yang sering dikunjunginya.
Hari masih menunjukkan di pukul sepuluh pagi, tetapi sebuah tempat yang dipenuhi oleh orang-orang yang ingin menikmati kesenangan duniawi nampak sudah banyak pengunjung. Apalagi, hari itu adalah akhir pekan.
Ketika Vino beserta anak buahnya memasuki ruangan yang minim cahaya, hanya sinar dari lampu beraneka warna yang tak dapat melihat raut wajah orang dengan jelas, namun pengunjung yang sudah berada di tempat itu langsung bisa mengenali orang-orang yang baru datang itu.
Dengan serentak, para pengunjung berdiri dari tempat duduk mereka, untuk memberikan pilihan tempat bagi Vino dan anak buahnya.
Orang-orang yang masih berdiri pun, segera menepi memberi jalan, karena tak ingin mendapatkan masalah dari para penguasa dunia bawah tanah itu.
Di sudut ruangan yang terletak meja bundar berukuran besar, yang dipilih oleh Vino. Dia tak selalu memilih di satu tempat saja. Hanya tergantung seleranya, yang ingin mengamati para pengunjung dari sudut yang dia kehendaki saja.
Beberapa botol minuman mahal dari luar negri langsung dihidangkan oleh dua orang waiter, tanpa Vino memesannya lebih dahulu. Karena, para pegawai di tempat itu sudah mengetahui segala jenis minuman yang disukai oleh Vino dan kawan-kawan.
Tanpa banyak bicara, Vino menikmati minuman yang memabukkan itu. Tetapi, sepasang matanya berputar ke segala penjuru, seperti burung elang yang sedang mencari mangsa.
Dalam jarak sekitar lima meter dari tempat duduknya, Vino menemukan mangsa yang diincarnya. Yaitu, seorang perempuan yang sedang duduk sendirian di depan sebuah meja kecil, yang terlihat gelisah.
Perempuan itu mempunyai bentuk dada sangat besar, yang dibalut dengan kaos ketat tanpa lengan berwarna biru muda. Sebentar-sebentar, perempuan yang berusia tak lebih dari dua puluh tahun itu melihat benda pipih yang dipegangnya.
Vino yang sering memperhatikan perempuan itu, diperhatikan juga oleh anak buahnya.
"Kita tangkap ular itu, Bos?" tanya si anak buah yang berbadan kekar dan berambut gondrong.
Sebutan ular, adalah untuk seorang perempuan yang diinginkan oleh Vino. Lelaki berwajah dingin itu mengibaratkan, bahwa seorang perempuan cantik adalah mahluk yang diam-diam bisa menebar racun yang mematikan.
Sambil mengisap sebatang rokok yang terselip di kedua jarinya, Vino mengangguk untuk menyetujui saran dari anak buahnya.
Tak lama kemudian, perempuan itu dibawa ke hadapan Vino, dengan cara diseret oleh lelaki berambut gondrong yang bernama Bram.
Vino juga melihat, sebelum perempuan itu berada di depannya, Bram sempat melayangkan sebuah tamparan keras di pipi kiri si perempuan berambut lurus sebahu itu.
Perempuan berwajah cantik, dan mempunyai bentuk bibir tipis itu, langsung bersungut-sungut di depan Vino, sambil mengelus pipinya yang memerah.
Berpasang-pasang mata melihat dengan cemas dan takut atas kejadian yang telah dilakukan si perempuan cantik itu tadi, yang dengan terang-terangan menolak ajakan dari Bram untuk menghadap si bos.
"Kenapa kau tampar dia, Bram?" tanya Vino dengan kalem.
"Hei! Jelaskan pada bosku!" bentak Bram kepada si perempuan.
Tanpa ada rasa takut, si perempuan menjawab dengan nada sombong, "aku sedang menunggu tamuku. Dia adalah salah satu orang terkaya di kota ini. Jadi, gak salah, kan ... kalau aku menolak untuk menemani anda?"
Masih dengan nada yang kalem, Vino berkata, "Bram, lepaskan dia."
"Pergi, sana!" bentak Bram lagi kepada si perempuan yang mengenakan skirt di atas lutut, hingga kaki jenjang dan pahanya bisa terlihat hampir sepenuhnya.
Setelah itu, Bram keluar ruangan untuk menelpon seseorang.
"Jo, laksanakan tugasmu!" ucap Bram kepada seseorang di seberang telpon, lalu memberikan nama tempat di mana saat ini dia berada.
***
Vino beserta anak buahnya kembali melanjutkan minum minuman yang telah tersedia, hingga beberapa botol telah nampak kosong.Sedangkan si perempuan tadi kembali ke mejanya lagi, dan telah mengobrol dengan seorang lelaki setengah baya. Nampaknya, mereka sangat gembira malam ini. Terlihat si perempuan lebih banyak tertawa, sambil sesekali bergelayut manja di lengan lelaki yang lebih cocok sebagai ayahnya.Tak sampai satu jam kemudian, perempuan yang tadi diminati oleh Vino keluar dari ruangan dengan dipeluk pinggangnya oleh si lelaki tua.Namun, Vino dan anak buahnya masih melanjutkan aktifitasnya, sambil sesekali bergoyang mengikuti irama music yang disajikan oleh DJ.Setelah mendapat bisikan dari Bram, Vino bergegas meninggalkan ruangan, tanpa diikuti oleh satu orang pun dari anak buahnya.Dikemudikannya kendaraan roda empat itu secara perlahan, sambil sesekali mengisap sebatang rokok yang terselip di jari-jarinya.Di sebuah tempat yang agak
Di depan sebuah bangunan yang tak cukup besar, Vino menghentikan mobilnya. Hanya dengan remote kontrol, pintu gerbang yang nampak kokoh itu langsung terbuka.Setelah memasukkan mobil di garasi, perempuan yang masih pingsan itu dibopong memasuki sebuah lorong yang menuju ke sebuah ruangan.Tak ada satu orang pun yang nampak di tempat itu selain Vino dan si perempuan yang tergolek tak berdaya di atas sebuah ranjang terbuat dari besi kokoh.Sementara itu, Vino yang bertubuh jangkung dan kekar membuka sebuah lemari yang terbuat dari besi juga. Diambilnya beberapa peralatan, yaitu benda-benda yang biasa digunakan untuk alat-alat pertukangan.Gergaji, martil, dan obeng serta yang lainnya diatur sedemikian rupa di atas sebuah meja yang cukup besar. Bahkan, golok dan gunting besar juga terdapat di paling atas barang-barang yang sudah tersusun rapi.Setelah semua peralatan yang dikehendaki berada di atas meja sebelah ranjang besi, Vino duduk di sebuah kursi
Sumpah Terkutuk bab 9Perempuan bermata bulat itu hanya bisa menganga. Sekujur tubuhnya gemetaran, melihat kapak yang tertancap tepat di samping kepala kanannya."Bos ... tolong, ampuni aku. Aku gak mau mati," rengek si perempuan.Perlahan Vino mendekati, lalu menatap tepat di wajah si petempuan."Buka semua pakaianmu," bisik Vino.Si perempuan yang juga melihat sepasang mata Vino, seperti terhipnotis. Tanpa bicara lagi, dia melucuti semua kain yang menempel di tubuhnya.Tangan kanan Vino mulai menggerayangi tubuh yang telah polos itu. Bibirnya pun menutup mulut si perempuan yang tak berontak sedikitpun.Dibimbingnya tubuh sintal itu menuju ke ranjang besi, yang hanya beralaskan spon tanpa kain penutup. Napas yang menderu terdengar dari sepasang manusia yang tengah bergulat untuk mereguk nikmat sesaat.Rupanya, si perempuan juga mengimbangi dengan apa yang dilakukan oleh Vino. Bahkan, perempuan yang sebelumnya merasakan ketakutan
Sumpah Terkutuk bab 10Bibir Vino tersunging, saat menyaksikan seorang perempuan yang tak henti-hentinya tertawa senang atas apa yang akan diperolehnya setelah ia bisa keluara dari kurungan itu."Dasar, perempuan semua sama saja! Tidak peduli dengan keselamatan nyawa dan harga dirinya, bila sudah melihat harta yang melimpah di depan matanya," gumam Vino kesal.Dia lalu teringat dengan ibu kandungnya sendiri. Ketika mendapatkan uang yang banyak dari hasil merampas hak orang lain, ibunya bisa tertawa lepas dan berwajah gembira.Lain halnya bila sang ayah yang hanya bisa memberikan uang gajinya yang tak seberapa jumlahnya. Si ibu pasti langsung murka, dan tak segan-segan memaki lelaki yang telah hidup bersamanya itu."Kalau aku gak usaha sendiri, bisa-bisa aku mati kelaparan dengan uang yang kamu berikan ini!""Tapi, itu adalah hasilku yang halal, Dik," jawab ayah Vino dengan wajah lesu."Halaah! Mau halal atau haram, yang penting
Raut wajah Vino nampak geram, lalu dia menghampiri ranjang tempat tidurnya. Dipungutnya dua kuntum bunga kecil berwarna putih. Barulah dia menyadari, kalau di ruangan itu tercium bau bunga melati.Wanita setengah baya yang diteriaki oleh Vino, datang tergopoh-gopoh."Ada apa sih, Tuan? Bibi bawa piring sampai kaget. Tuh, jadinya semua piring yang Bibi bawa pecah semua.""Jangan pikirin piring pecah, Bi! Nih, ada bunga lagi. Siapa yang naruh di atas tempat tidurku? Pasti Bibi, ya?""Eeeh ... Tuan jangan sembarangan nuduh, ya? Jelek-jelek begini, Bibi gak suka main bunga. Sukanya main pisau!" Pembantu yang sudah belasan tahun bekerja di rumah Vino itu, wataknya pun sudah ikut-ikutan tuannya. Tak takut apapun juga.Vino mengembangkan senyumnya. Dia sangat sayang kepada pembantunya yang satu itu. Bahkan, sudah dianggapnya sebagai pengganti ibunya juga.Sudah sering kali Vino melarang si bibi untuk bekerja terlalu berat. Menyediakan makanan u
Paman dan bibi Vino berusaha membujuk anak lelaki berusia sepuluh tahun itu, agar tak menangis lagi.Namun, Vino tetap menangis, karena tak ingin kehilangan lelaki yang selama ini sangat menyayanginya dengan sepenuh hati.Ibu kandungnya telah tega mengusirnya dari rumah, jadi Vino tak ingin ayahnya pergi meninggalkan dirinya."Vino, kamu sudah besar, jadi sudah bisa menjaga diri sendiri. Pesan Ayah, kelak, jadilah seorang lelaki yang tangguh. Tak mudah menyerah, dan bekerja dengan rajin, agar dirimu tak direndahkan oleh wanita manapun," ucap si ayah, yang tak terlalu dipahami oleh Vino.Dirinya masih sangat kecil untuk mencerna kata-kata ayahnya itu. Tapi, dia tetap mendengarkan dengan seksama. Tak ingin membuat ayahnya merasa kecewa kepadanya.Lalu, si ayah pun melanjutkan kata-katanya, "mungkin, saat ini Vino belum mengerti dengan yang ayah katakan tadi. Nanti, bila umurmu sudah tujuh belas tahun, tanyalah kepada bibimu, tenta
Tok ... tok ... tok!"Maaf, tuan ... makan malam sudah siap," kata si pembantu, yang langsung membuyarkan lamunan Vino yang sedang mengingat masa lalu."Hhh ... iya, Bi. Bikin kaget aja, Bi!""Kik ... kik ...kik ...," si pembantu tertawa sambil berlalu dari pintu kamar Vino.Lelaki yang mempunyai hidung mancung dan bibir yang berwarna merah alami itu, menikmati makan malam dengan pikiran yang tak tenang.Dia masih teringat tentang bunga melati yang bisa tiba-tiba berada di dalam kamarnya. Di layar monitor dari rekaman CCTV pun, menunjukkan tak ada orang lain yang memasuki kamarnya, selain dia dan si pembantu tua."Hhh ... apa mungkin, bunga itu dari–""Maaf, Tuan ... hapenya dari tadi berdering terus," kata si bibi–pembantu Vino, sambil menyerahkan telpon genggam yang tadi tertinggal di kamar."Halo! Ada apa, Bram?"[Bos, Nikita maksa pengen ketemu sekarang.]"Suruh dia masuk!"
Segera diambilnya sepucuk pistol di dalam laci meja kerjanya, lalu Vino menghampiri jendela yang kacanya sudah hancur itu.Diamatinya keadaan di luar melalui jendela itu. Tak nampak ada siapa pun, hanya kembali tercium bau bunga melati lagi."Huh!" Vino mendengkus kesal, karena merasa telah dipermainkan oleh seseorang atau sesuatu."Hei! Keluarlah kamu, jangan sembunyi!" teriak Vino yang sudah tersulut emosi.Setelah beberapa saat menunggu dengan senjata di tangan, akhirnya Vino keluar dari kamar untuk memanggil pembantunya."Andi!" Teriakan Vino yang hanya sekali saja, langsung disambut oleh kedatangan seorang lelaki yang berusia sekitar dua puluh lima tahun, dan berbadan tinggi kurus."Siap, Tuan!""Bersihkan pecahan kaca di dalam kamarku.""Baik, Tuan." Tanpa bertanya apa-apa lagi, pembantu lelaki yang bernama Andi itu langsung menuju ke kamar Vino, setelah membawa beberapa peralatan yang diperlukan."An
Menjadi seorang lelaki yang hidupnya mapan dan berkuasa adalah keinginan Vino yang dia dulu selalu dihina oleh para gadis.Keinginannya bisa terwujud berkat dari bersekutu dengan mahkluk siluman ular yang diwariskan oleh turun temurun keluarganya.Namun, meskipun sudah bergelimang oleh harta dan menguasai hampir seluruh perdagangan gelap di kotanya, Vino masih mempunyai hati nurani untuk membantu orang yang kesusahan atau kurang mampu.Dibalik sifat bengisnya yang tak segan-segan menghabisi musuh atau orang yang dbencinya, Vino selalu bersikap baik kepada mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.Hal itu lah yang membuat para pembantunya betah bekerja dengannya. Karena Vino bisa bersikap lemah lembut dan tak membeda-bedakan derajat.Di mata para mafia dan pesaing bisnis, Vino terlihat seperti seekor harimau yang siap menerkam bila mengetahui kesalahan mereka.Tetapi, di mata orang lemah, Vino bak seorang dewa pen
Lelaki berambut gondrong sebahu dan betubuh atletis turun dari mobil mewah keluaran terbaru di depan sebuah bangunan besar dan berhalaman luas.Baru saja akan melangkah, beberapa anak kecil langsung mengerumuninya. Bahkan,ada yang langsung memeluk kaki, serta ada juga yang minta digendong oleh lelaki yang berkacamata hitam itu."Hei ... anak-anak ... biarkan Bang Vino masuk dulu, to!" teriak seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan sebuah pintu."Bang, mana oleh-oleh buat saya?" Seorang bocah berusia tujuh tahun merengek dan menggelayut manja di tangan kiri Vino."Iya ... iya, ada. Bang Vino sudah membawa banyak oleh-oleh untuk kalian semua, kok. Kita masuk dulu untuk bersalaman dengan ibu panti, ya," jawab Vino sambil menggandeng bocah lelaki yang kakinya pincang sebelah kanan.Sebelum memasuki ruangan yang merupakan kantor untuk panti asuhan itu, Vino memanggil dua orang lelaki yang sedang menyapu halaman, lalu menyuruh merek
Tekad yang sudah bulat dan keinginan untuk menjadi lelaki yang berkuasa, tak membuat pemuda yang hari itu tepat berusia tujuh belas tahun, tak mau memikirkan hal-hal buruk yang akan menimpanya bila dia sudah melakukan sumpahnya."Baiklah, Vino ... bila tekadmu sudah bulat. Bibi akan menceritakan semua kejadian yang menimpa kakek dan ayahmu, kalau kamu sudah mengucapkan sumpah. Apakah kamu bersedia?""Iya, Bi," jawab Vino dengan mantap. Hatinya tak ingin merasa ragu-ragu lagi, karena dia sudah tak bisa membendung keinginannya untuk membalas dendam kepada perempuan-perempuan yang telah menyakiti hatinya."Pejamkan matamu, dan tirukan ucapan Bibi, ya. Nanti, sebut nama lengkapmu juga."Sepasang mata pemuda berwajah tampan itu terpejam, lalu mulai mengikuti kata-kata yang diucapkan oleng sang bibi.Di luar rumah, yang tadinya cuaca cerah, dan matahari mulai bersinar, langsung menjadi gelap. Mendung tebal menyelimuti daerah hutan tem
Tentu saja hal yang paling menyakitkan bagi lelaki yang mempunyai wajah tampan namun bermata tajam itu, adalah membenci seorang wanita yang telah melahirkan dirinya di dunia ini.Ketika dia masih kecil, yang dirasakan hanyalah kekejaman dari sang ibu kandungnya. Tanpa dia tahu apa yang menyebabkan sang ibu sangat gemar menyiksa tubuh Vino.Bahkan, hingga usianya telah menginjak remaja, Vino belum mengetahui, kenapa sang ibu tak menyukai dia sebagai anak yang merupakan putra satu-satunya pula.Namun, saat hari yang ditunggu tiba, Vino bisa mendapatkan sesuatu dari warisan sang kakek, sekaligus bisa mengetahui segala hal yang membuat dirinya tak dusukai oleh ibunya.Tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun, pagi-pagi sekali, bibi dan pamannya menyuruh Vino untuk mengambil air di sumur yang terletak di belakang rumah.Meskipun masih merasa ngantuk dan kedinginan, Vino yang mengingat bahwa hari itu adalah hari ulang tahunnya, sert
Sumpah Terkutuk bab 20Melihat wajah Ronald yang kebingungan, Vino memberi isyarat dengan matanya, agar anak buahnya itu tak banyak bicara."I–ini uangnya ...." Ronald menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat, tanpa bisa meneruskan ucapannya."Ya!" tukas Vino, agar Ronald segera berlalu dari tempat itu.Tetapi, wanita yang sombong itu langsung memanggil Ronald."Eh, Bos! Tunggu dulu!"Ronald menjadi salah tingkah, matanya melirik ke arah Vino yang sedanga meletakkan telunjuk di bibir."Ada apa, Bu?""Aduh, jangan panggil, Bu, dong. Panggil aja Mbak, atau namaku aja, deh. Oh ya, namaku Reta," cerocos wanita itu."Hmm ... ada apa Reta?" tanya Ronald tanpa ekspresi."Begini, Bos. Saya ingin mencari kerja di perusahaan ini. Kira-kira, apakah ada lowongan untuk karyawan baru?"Ronald melihat mata Vino yang berkedip, lalu menjawab, "ada, kami memang sedang mencari karyawan baru. Kalau mau, besok pagi s
Pagi hari itu, Vino terlihat sangat lelah. Dia pun tertidur di sofa ruangan kerjanya hingga hampir dua jam. Terbangun karena mendengar ketukan di pintu."Katakan apa yang terjadi pada Sandra," ucap Vino kepada seorang lelaki bertubuh besar yang sudah duduk dihadapannya."Sandra meninggal karena dibunuh suaminya, Bos. Kebetulan, sebelum meninggal, dia sempat menelepon saya untuk meminta pertolongan. Tapi, ketika saya datang, dia sudah tak bernyawa lagi," jelas anah buah Vino yang bernama Ronald itu."Kenapa, suaminya membunuh dia?""Karena, suaminya punya selingkuhan, dan Sandra memergokinya saat si suami sedang bermesraan dengan perempuan lain itu di dalam kamarnya.""Hmm ... cari tahu, siapa ular itu," ucap Vino sambil menyalakan sebatang rokok."Siap, Bos!" Ronal lalu meninggalkan ruangan si bos.Pada pukul sepuluh lebih sedikit, Vino meninggalkan ruangannya juga, karena ingin pulang ke rumahnya.Ketika mobil ya
"Anton, kenapa kau ceroboh sekali! Barang berharga begitu, kau gak bisa jaga baik-baik!" bentak si lelaki gemuk kepada temannya. "Tadi, tidak kau buka itu, Dik?" tanyanya ke arah Vino."Enggak, Bang. Ya udah, saya pulang dulu ya, Bang." Vino berbalik badan hendak pergi."Eh, tunggu dulu, Dik. Ini kartu nama Abang. Kalau Dik–""Nama saya Vino, Bang.""Oh, ya ... kalau Dik Vino perlu sesuatu, atau ingin kerja yang bisa menghasilkan uang banyak, hubungi Abang saja."Vino mengangguk, seraya menerima sebuah kartu berwarna putih. Lalu, dia segera meninggalkan tempat itu."Gila kau, Ton! Untung saja, berlian ini dikembalikan sama anak itu. Kalau tidak ... habislah nyawamu!"Vino masih mendengar lamat-lamat ucapan lelaki yang sedang mengumpat temannya itu."Berlian? wah, kalau tadi gak kukembalikan, aku gak perlu menunggu dua tahun lagi untuk menjadi kaya. Tapi ... ah, biarlah. Aku gak ingin menjadi orang kaya saja,
Sumpah Terkutuk bab 17Raut wajah Vino nampak penasaran, tak sabar menunggu penjelasan dari paman dan bibinya tentang apa yang telah dialami oleh ayah dan kakeknya.Sebab, yang dia tahu, kakek dan ayahnya meninggal dengan cara yang wajar. Hanya ketika penguburan si ayah, Vino baru melihat hal yang aneh, yaitu datangnya binatang melata yang jumlahnya ratusan.Kakeknya dulu termasuk orang yang berkehidupan mapan dan disegani warga di kampung tempat tinggalnya. Mempunyai dua orang anak, yaitu Purnomo–ayah Vino dan Norma.Namun, ketika Vino baru berusia setahun, si kakek meninggal dengan mewariskan harta yang tak sedikit jumlahnya."Vino, umurmu masih enam belas tahun. Kamu pasti masih ingat ucapan ayahmu, kan?" ujar si bibi dengan lemah lembut."Jadi, aku harus menunggu setahun lagi untuk bisa menggunakan batu itu, Bi?"Si bibi mengangguk sambil tersenyum, "sabarlah ... pada saat usiamu sudah cukup, Bibi pasti akan menceritakan sem
Pemuda yang telah dihina habis-habisan oleh seorang gadis yang angkuh dan sombong itu berlari sekencang-kencangnya menuju ke rumahnya.Sepasang matanya berkaca-kaca, bukan karena bersedih atau ingin menangis. Hatinya telah diselimuti dendam membara, pikirannya pun sudah mulai tak waras lagi.Di sepanjang jalan yang dilaluinya, yaitu pepohonan yang sangat rindang, tak bisa menyejukkan hatinya. Malah, wajahnya nampak merah padam, giginya pun bergemeletuk menahan amarah."Gadis itu harus mati di tanganku. Tidak, aku tak ingin menghabisinya sendiri, tapi dia harus merasa siksaan yang berat, sebelum mengakhiri hidupnya sendiri." Ucapan Vino itu terus diulang-ulangnya, seakan itu adalah sebuah mantra.Setibanya di tempat tinggalnya, Vino mencari bibi dan pamannya di dalam gubug yang tak terlalu luas itu. Biar pun begitu, sudah hampir tujuh tahun tinggal di tempat yang tak bisa dikatakan mewah, Vino bisa merasakan ketenangan, dan mendapatkan