Hai, ketemu lagi dijudul baru. Jangan lupa Subscribe, love dan komen, ya. Ini hanya kisah fiksi. Terima kasih 😊
_____
"Apa alasan kamu talak aku, Bas!" Dengan ekspresi marah, Keira membentak Bastian yang berdiri di depannya. Pria bertubuh tinggi berperawakan seperti aktor turki itu menatapnya garang.
"Kita sudah tidak bisa bersama, Kei. Aku mau kita cerai. Aku sudah talak tiga kamu. Mulai detik ini, hubungan kita sebagai suami istri sudah selesai. Aku akan urus surat resmi perceraian kita di pengadilan."
Kedua mata Keira berkaca-kaca, ia baru saja pulang bekerja. Tubuhnya masih lelah setelah berdesakan naik busway dan disambung dengan ojek hingga tiba di rumah. Namun, ia justru mendapat angin panas yang seketika membakar tubuh juga hatinya.
Keira tidak menangis, walau rasanya ingin. "Kasih tau aku, apa alasannya. Kamu memang berubah setahun ini, Bas. Apa karena aku belum juga hamil? Atau kamu selingkuh! Iya! Selingkuh!" bentaknya.
Bastian diam. Ia melirik ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Layar menunjukkan nama seseorang. Keira tau itu nama siapa. Gerakan cepat Keira sudah lebih dulu meraih ponsel. Ia geser layar hijau lalu tanda pengeras suara.
"Bas! Udah kamu talak istri mandul kamu itu!" pekik keras suara wanita yang tak Keira sangka bisa bicara seperti itu. Bude Ratih, wanita yang mengasuh Bastian sejak kecil semenjak orang tua kandung lelaki itu memilih berpisah dan menjalani karir masing-masing.
Ibunda Bastian memilih berkarir sebagai pramugari maskapai besar di luar negeri, ia juga sudah menikah dengan pria asing di sana. Sedangkan ayah Bastian bekerja di perusahaan perminyakan yang ada di Kalimantan juga sudah menikah dengan rekan kerjanya. Jika dipikir-pikir, alasan berkarir hanya untuk menutupi hubungan terlarang mereka.
"Bas, halo. Kamu udah lakuin?!" Suara bude Ratih membuay Keira menahan tangis hingga bibirnya bergetar pelan.
"Sudah, Bude." Keira yang menjawab. Tak ada sahutan dari seberang sana. Bastian menyambar ponsel, ia bicara dengan bude Ratih jika sudah melakukannya. Bastian memutuskan pmebicaraan sepihak.
"Kenapa kamu selalu disetir budemu, Bas! Sampai rumah tangga kita diatur dia juga! Dewasa, Bas! Dewasa!" jerit pilu Keira tak membuat Bastian gentar. Ia bahkan tak terlihat bersalah sudah menalak istri yang dinikahi sejak lima tahun lalu.
Keira menangis, tapi tak lama karena setelahnya ia tersenyum miris. "Oke, kita sudah cerai secara agama, kan?" Keira menyambar tas kerjanya, ia menatap tegas Bastian.
"Kamu sudah menghancurkan aku, Bas. Nggak ada angin, hujan, kamu bikin aku sakit hati dengan hal ini. Jahat kamu!" Keira berbalik badan, ia berjalan ke dalam kamar. Segera mengeluarkan koper besar dari dalam lemari bajunya. Bastian menarik pergelangan tangan Keira hingga wanita itu memutar tubuhnya.
"Apa!" bentak Bastian.
"Alasan aku menalak kamu, karena kamu--" Bastian diam, ia tidak bisa melanjutkan kalimatnya seolah mengumpulkan keberanian menjawab. Keira menghentakan Bastian yang mencengkram tangannya.
"Terserah! Kamu emang berubah setahun ini, Bas. Bukan Bastian yang aku kenal. Bukan Bastian yang memintaku menjadi istrinya seumur hidup." Keira mulai memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Bastian lalu menunjukkan foto dari ponselnya. Kedua mata Keira melotot terkejut.
Keira duduk lemas, ia menatap nanar Bastian yang diam membalas tatapan Keira. "Maafkan aku, aku masih mencintainya, Kei."
***
Kedua mata Keira sembab, ia menangis semalaman, tak menyangka jika Bastian masih mencintai mantan kekasihnya yang kuliah di Sidney kala itu. Wanita itu bernama Hana, sudah setahun pulang ke Jakarta karena diterima bekerja diperusahaan asing dan melalui kolega, Hana bisa masuk ke sana.
Bude Ratih sangat senang jika Bastian bersama Hana dari pada dengan Keira. Bastian yang merasa hutang budi dengan Ratih, menuruti untuk kembali menjalin hubungan dengan Hana.
Keira begitu terpuruk, hatinya sakit, harapannya hancur. Ia kini kembali ke rumah orang tuanya yang tak kalah terkejut. Bahkan Ayahnya sangat ingin menghajar Bastian.
"Apa karena kita orang sederhana, tidak kaya raya seperti keluarganya, Bastian bisa seenaknya injak harga diri kamu!" Ayah marah-marah, Keira hanya bisa duduk diam sambil memeluk dirinya sendiri di atas sofa ruang TV.
"Mbak, minum dulu." Kemal menyodorkan gelas berisi teh manis hangat ke kakak kesayangannya.
"Gue salah apa, Mal! Gue jadi janda ...!" keluh pilu Keira. Kemal merangkul bahu Keira yang bersandar pada dadanya, kembali menangis.
"Laki nggak cuma dia doang, Mbak. Buang laki kurang ajar modelan Bastian. Lo kuat, Mbak, lo bisa hadapi ini." Kemal berusaha menenangkan kesedihan kakaknya.
"Kurang ajar Bastian! Ayah! Besok kita datengin dia!" omel ibu.
"Nggak perlu, harga diri keluarga kita lebih besar dari pada sekedar datangin laki-laki itu." Ayah mendekat ke Keira yang sesenggukkan. "Kei, Ayah mau kamu harus kuat. Kamu tidak salah, tunjukkan, buktikan kamu bisa hidup tanpa mantan suami kurang ajarmu itu." Ayah memeluk putri yang ia jaga bak intan berlian, tapi digores sebegitu kasar oleh laki-laki seperti Bastian.
Keira kembali sesenggukan. Ibu dan Kemal ikut memeluk, mereka berpekukan berempat. Saling menguatkan, di dalam hati Keira tau jika orang tuanya tak kalah remuk regam hatinya, hancur harapannya tapi Keira bisa apa.
Minggu pagi, Keira sudah dua malam kembali ke rumah orang tuanya. Kamar lamanya yang sebelumnya diperuntukkan untuk tempat menjahit yang dikerjakan ibunya, kini kembali menjadi kamarnya.
Ayah dulu bekerja di perusahaan swasta bergerak di properti, tapi kena pengurangan pegawai hingga akhirnya ia kena PHK. Jadilah Keira yang menjadi tulang punggung keluarga, ia banting tulang setelah lulus kuliah dan setelah bekerja selama setahun, ia berkenalan dengan sahabat teman kerjanya, yang kini menceraikannya begitu saja.
"Kei!" panggil teman sepantarannya saat kecil, berlari pelan sambil mendorong kereta bayi. Hati Keira ciut, usianya sudah dua delapan tapi belum punya anak.
"Hei, Ran," balas Keira kemudian bercipika cipiki. Ia menatap dua bayi kembar tiduran di dalam kereta bayi warna marun. "Kembar?"
"Iya. Baru mau sebulan. Lo pulang ke sini lagi, kenapa, Kei?"
Keira malas sebenarnya menjawab, taoi tak apa lah, dari pada timbul gosip.
"Gue cerai. Laki gue diem-diem selingkun sama mantan pacarnya dulu dan ya ... gitu, lah." Keira tersenyum masam.
Rani menganga, ia kemudian memeluk Keira. "Kei, keputusan tepat. Laki kayak gitu ceraikan. Nggak bisa dimaafkan." Rani melepaskan pelukan, "tapi lo dapet harta gono gini, kan?" tatap Rani serius.
"Boro-boro, Ran. Intinya gue zero."
"Ya ampun, Kei! Lo kalau ada apa-apa bilang, dong, suami gue pengacara. Bisa bantu lo. Lo bilang mau gugat apa, biar suami gue yang urus."
Pengacara lagi. Bastian merampas semuanya, yang tersisa hanya tabungan di ATM senilai delapan juta. Itu juga karena Bastian membatasi uang belanja untuknya dengan alasan kirim untuk bude Ratih.
"Makasih, Ran, gue bisa urus sendiri. Makasih tawaran bantuanya. Gue duluan ya, mau jogging lagi, dah!" pamit Keira tak mau semakin lama berasa di sana, takut pembicaraan ke mana-mana.
Sambil jogging dengan berlari kecil, Keira berpikir apa yang bisa ia lalukan demi mendapat uang tambahan. Ia tak malu melakukan pekerjaan apapun selama tidak melawan hukum. Ia juga tak mungkin berpangku tangan meratapi nasib. Sungguh itu bukan prinsip hidupnya.
Bersambung,
Keira sudah mendapat jadwal sidang perdana perceraiannya. Ia datang bersama Kemal, adiknya yang kuliah semester akhir jurusan teknik mesin. Rencananya ia akan melamar pekerjaan di pabrik otomotif terbesar atau pabrik produksi makanan. Kemal sudah punya target apa yang mau dilakukan, beda dengan Keira yang fokusnya kerja apapun yang halal lalu dapat duit. "Mbak, pokoknya nanti lo jangan cengeng. Tunjukin kalau lo tegar." Kemal mengultimatum. Keira mengangguk, oke, iya yakin bisa. Mereka berjalan melangkah dari parkiran motor. Ya, mereka berboncengan motor karena memang mereka tak punya mobil. Keira tak ada pengacara, ia bawa badan saja. Lain dengan Bastian yang terlihat berjalan bersama seorang pengacara juga bude Ratih. Heran, wanita itu seperti terobsesi dengan keponakannya sendiri. Keira terus menatap lekat, hingga Bastian membalas tatapan tanpa tersenyum. Keira sendiri masa bodoh, apalagi saat melihat bude Ratih yang angkuh, mentang-mentang mantan direktur perusahaan besar, laga
Ide mendadak dari Rima dan Ambar membuat Keira akhirnya berdiskusi dengan kedua orang tuanya. Ibu dan Ayahnya setuju, toh, Keira memang jagk masak. "Yaudah coba aja kamu buka PO apa gitu, Kei. Ibu bantuin," kata ibu sambil menjahit baju pesanan tetangga. "Apa Kei coba bikin terus jualin di kantor?" "Itu juga bisa. Tawarin dulu aja yang penting. Besok pulang kerja belanja bahannya, tawarinnya mulai dari sekarang, PO buat besok." Ibu bicara tapi pandangannya fokus ke mesin jahit di hadapannya. Keira pamit ke kamar, mencoba berpikir jualan apa kira-kira. "Apa, ya. Anak-anak di kantor senengnya jajananan, sih," gumamnya. Tangannya menscrol layar ponsel, mencari inspirasi. Setelah beberapa menit ia tersenyum, "ini aja, deh." Lalu jemarinya mulai mengetik pesan singkat di grup kantor untuk buka PO makanan. ***"Kapan ketuk palu, Kei?" Ambar bertanya saat mereka di toilet karyawan. "Sebulan lagi kali. Bodo ah, gue males mikirnya. Terima kenyataan aja gue jadi janda muda." "Muda? Udah
Pukul tiga dini hari, Keira diantar Kemal ke pasar langganan yang sudah buka sejak tengah malam.Berburu bahan masakan bukan hal susah bagi Keira. Ia hampiri kios-kios pedagang daging sapi, tawar menawar harga juga dilakukan."Kak, di sana sama ini beda lima ribu doang, ayo lah buruan!" keluh Kemal."Diem, deh, Mal! Buat pedangan kecil kayak gue, beda seribu juga gue kejar. Sabar!" geram Keira. Ia memilih buntut sapi, minta ke penjual supaya diberikan yang bagus. Bujuk rayu ala-ala ibu-ibu belanja dilakukan, bahkan kalimat memberikan angin segar jika ia pasti berlangganan kalau kualitas daging sapinya bagus dipercaya penjual."Berapa kilo, Kak?" bisik Kemal."Banyak." Keira buka tas slemlang kecil, meraih uang lalu membayar.Lanjut ke kios sayuran. Ia butuh kentang, wortel, seledri, juga pelengkap lainnya."Kak, jangan ditawar lagi. Belum lo masak. Sop buntut kan lama prosesnya."Kemal mengingatkan, benar juga. Keira tak bisa adu argumen beda harga seribu perak karena waktu mepet. Ia
Hai hai ... jangan lupa tinggalkan jejak ya ... 😊✌_______"Mal, bisa bawanya?" Keira menoleh ke adiknya yang memanggul karung berisi bahan belanjaan untuk pesanan nasi box 100 porsi. Lagi-lagi Kemal yang dijadikan asisten pribadi Keira. "Bisa. Jalan aja, Mbak, lo bisa bawanya, kan?" Kemal memperhatikan kakaknya yang dikedua tangan menenteng plastik berisi dus, sendok, tisu. "Bisa." Keira terus berjalan hingga ke parkiran motor. Mereka saling menatap saat tiba di depan motor Kemal. "Mbak, ini harus dua kali balik, gimana?" Karena motor Kemal hanya motor bebek matic biasa, bukan yang besar, tak muat untuk menaruh belanjaan. "Gue naik angkot aja, deh, Mal. Masih ada jam segini, kan?" Keira melihat jam tangan di pergelangan tangan kiri. Masih jam delapan malam. Keira dan Kemal belanja di pasar yang memang ramai jika malam, selain itu harga juga murah. "Yaudah gue ikutin di belakang angkotnya." Bagaimana juga Kemal mengkhawatirkan sang kakak. Ia lalu menuju kentoko kelontong, memint
Keira sudah tidak lagi merasa canggung atau sedikit ragu menawarkan dagangan makanan yang ia buat. Setelah pesanan goodie bag untuk acara ulang tahun cucu bosnya, Kei merasa ini jalan baginya mulai mencari uang tambahan. Gaji tiap bulan yang didapat sebesar lima juta ditambah uang makan dan transport, ditotal take home pay yang dibawa Kei total enam juta rupiah, ia atur sedemikian rupa untuk tabungan dan modal dagang. Infornasi yang didapatkan dari Ervan--teman Kemal, bahwa sewa lapak jualan di sana bayar perhari kedatangan. Jadi jika Keira jualan hanya sabtu dan minggu, ia cukup merogoh kocek uang kebersihan empat puluh ribu untuk dua hari. Tergolong murah. Kemal bahkan sudah menyewa lapak tak jauh dari tempat Ervan. Pekan itu menjadi hari pertama Keira jualan. Ia dan Kemal memutuskan akan berjualan pasta berupa spagety goreng, fetucini goreng dan steak ayam yang bumbunya ia racik sendiri. Jam enam pagi mereka sudah membuka lapak. Meja lipat, dua kompor portable, disiapkan Kei de
Renan bersiap bertandang ke rumah Keira atas ide teman-teman satu pekerjaannya, Donovan, Melvin dan Bagas. Ia mematut diri di depan cermin kamarnya, di bawah suara bunda sudah terdengar memanggil dirinya dengan kencang. Renan buru-buru turun, ia tampak rapi dan hal itu membuat bundanya tercengang. “Mau ke mana kamu malam minggu gini?” tegurnya ingin tau. “Pergi sebentar ya, Bun,” jawab Renan menyalim tangan bundanya.“Iya mau ke mana? Bunda mau ajak kamu ke rumah Tante Mina, mau kenalin kamu ke anak gadisnya yang–"“Renan pergi, bye, bun.” Ia bergegas ke arah garasi, membuka pintu mobil lalu melesak masuk. Buru-buru ia hidupkan mesin mobil lalu melaju keluar dari garasi rumah yang membuat bundanya melongo di teras depan rumah. Renan enggan bundanya ikut campur perihal siapa calon pasangannya. Ia sebenarnya tau, hal itu karena bunda merasa kasihan dengan putranya. Tetapi cara bunda salah karena Renan justru tersinggung, kesannya ia tak bisa mencari pengganti mantan tunangannya dulu
"Enak makanannya?" tanya Keira sambil bertopang dagu dengan siku bertumpu pada pahanya. "Banget, kamu nggak pingin buka katering aja?" "Belum diseriusin, butuh waktu ekstra dan konsep jelas. Lagian di sini udah ada katering harian juga, nggak enak sama tetangga RT lain." "Namanya jualan atau bisnis pasti akan ada pesain dekat, yang penting punya cirikhas buat bedainnya." Renan meletakkan sendok dan garpu dengan posisi terbalik, tandanya ia sudah selesai makan. Teh hangat juga ia teguk hingga habis setengah gelas. "Terima kasih, boleh makan di sini," kata Renan yang betul-betul merasa puas menikmati makan malamnya. "Sama-sama, saya juga makasih banget tadi Bapak udah ditolongin." "Keira, Kei!" Suara seseorang di depan pagar membuat Keira menoleh. Jam dinding sudah menunjukkan angka sepuluh malam, bahkan lebih. Keira beranjak, berjalan ke arah pagar disusul Renan. "Lagi ngap-- o ... ow ... lagi diapelin, toh ...," goda Rima yang menggoda Keira dengan menaik turunkan alis matanya.
Hai ... jangan lupa love dan comment ya 🥰_______"Gol!!!!" teriak serempak teman satu tim yang berlari menghampiri. Renan berhasil mencetak gol ke gawang lawan. Olahraga futsal yang setiap jumat malam ia lakukan bersama teman-teman kerja juga teman masa kuliah, membuatnya tetap bugar. Renan memang begitu, tak bisa lepas dari olahraga walau hanya jogging saja. Napasnya ngosngosan, ia berkacak pinggang mengatur napas sambil berjalan menunggu operan bola dari temannya lain. Keringat yang membasahi wajah juga tubuhnya, ia biarkan keluar melalui pori-pori. Tawanya pecah saat melihat temannya terpeleset bola yang sedang di oper. Tawanya begitu lebar, rambut cepaknya sudah mulai tumbuh lebat lagi. Ia malas ke barbershop, nanti saja sampai waktunya ditegur HRD kantor. Kedua matanya menyipit, berlari ke ujung lapangan menerima umpan dari temannya. Gerakannya gesit, kakinya lincah menggocek bola bundar lalu .... "Gol!" teriak teman-temannya lagi. Permainan selesai, skor 5 - 2 berhasil men
Met baca 🌿__________Kemal dan Ines berada di kampung halaman hampir satu minggu. Semua berubah semenjak bapak pergi untuk selamanya. Apalagi setelah tau bapak ternyata merestui juga membagi-bagi warisan.Diam-diam juga bapak merupakan pewaris tunggal keluarganya yang merupakan juragan tanah di sana. Semua diceritakan ibu di depan keluarga.Kemal sendiri tak bangga mendapat warisan, toh ia sudah kaya raya. Warisan dari bapak justru ia serahkan ke Ines, terserah mau diapakan. Untuknya Ines lah warisan berharga dari bapak untuknya. Itu sudah lebih dari cukup."Nes, jadi pulang siang ini?" Suara ibu terdengar sedih. Ines menoleh, ia sedang berdiri menatap foto keluarganya saat ia masih remaja dulu terpasang di dinding ruang keluarga."Iya, Bu. Kemal udah lama nggak kerja. Ibu mau ikut ke Jakarta?" ajaknya. Ibu berjalan mendekat, menggeleng pelan."Ibu ke Jakarta kalau kamu melahirkan, ya." Tangan ibu mengusap perut putrinya. "Ibu senang kamu bisa hamil diusiamu yang nggak muda tapi Ibu
Met baca 🌿__________Kemal segera membantu Ines berkemas, ia sendiri sudah sejak tadi merapikan pakaiannya ke dalam tas koper."Ayo, sayang," ajak Kemal bicara dengan begitu lembut. Ines duduk mendongak, menatap suaminya nanar. "Ayo, kita pulang." Kemal tersenyum. Ines berdiri pelan, menggandeng tangan Kemal.Kemal meminta pak Darmo segera berangkat bersama putranya untuk menemani selama perjalanan darat karena Kemal dan Ines naik pesawat. Mereka akan lama di sana sehingga pak Darmo diajak setelah izin dengan Reynan meminjam sopir anak-anaknya."Mas Kemal nanti di sana siapa yang jemput?" Pak Darmo harus memastikan."Ada keluarga Ines, kalian hati-hati ya. Saya sudah transfer untuk bensin, tol dan jajan Bapak sama Ado." Kemal membuka pintu taksi. Ado membantu membawakan tas kecil milih Ines yang isinya beberapa barang penting."Hati-hati, Mbak, Mas," tukas Ado."Makasih, Do," jawab Ines pelan.Perjalanan mereka tembuh sambil terus diam namun kedua tangan mereka tak lepas saling meng
Met baca 🌿______Kemal tak henti tersenyum semenjak tiba di rumahnya. Ines langsung lanjut nonton drakor di kamar setelah mandi dan memakai daster."Kamu mau ke mana?" tegur Ines walau matanya menatap ke layar tablet di atas pangkuannya. Ines merebahkan diri di atas ranjang, terlihat sangat malas beranjak."Mau beli buah. Kamu harus banyak makan buah, Nes," jawab Kemal masih mematut diri di depan cermin. Ia meraih sisir di atas meja rias, merapikan rambutnya yang basah setelah mandi."Ngapain sisiran, rambut kamu rapi sendiri. Lurus banget gitu." Kalimat yang diucapkan Ines terdengar seperti dumelan, lagi-lagi bicara tanpa menatap suaminya."Biar rapi aja," sahut Kemal lagi."Biar dilihatin cewek lain barang kali."Kemal diam. Ia meletakkan sisir kembali ke tempatnya lalu melihat istrinya dari pantulan cermin. "Cemburu?" gumam Kemal tapi menahan senyuman saat bicara."Sorry, ya, nggak tuh!" Ines menyelimuti diri setengah badan kembali fokus nonton."Masa, sih, hormon ibu hamil bikin
Met baca 🌿_________Kemal begitu bahagia saat ulang tahunnya dirayakan bersama keluarga di rumahnya. Tak lepas ia tersenyum sambil sesekali menunjukkan kemesraannya dengan Ines yang justru terlihat sedikit sendu.Seharian ia kepikiran bapak dan ibu, ia coba kirim pesan singkat ke bapak tapi tidak dibaca. Saat ke ibu, ibu hanya bilang kalau bapak tidak mau tau urusan juga apa yang terjadi dengan Ines.Ia anak perempuan, hubungan dekat dengan bapaknya sudah erat dari kecil. Perlahan pudar semenjak Ines ngotot merantau ke Jakarta dan kota besar lainnya hingga tersangkut kasus besar.Katon menghampiri Ines di dapur saat adiknya sedang merapikan piring dan gelas yang sudah kering, ia masukkan ke lemari dapur dengan rapi."Besok kalau Mas sempat, Mas ke rumah Bapak. Coba bicara lagi, ya."Ines diam, dengan wajah sendu menunjukkan balasan pesan singkat yang dikirim ibu. Setelah Katon baca ia hanya bisa menghela napas panjang."Maafin Bapak ya, Nes," tukas Katon."Ada juga aku, Mas, yang ha
"Kapan kita mau ke rumah Bapak Ibu, Mal?" Ines baru selesai menyiram tanaman di depan rumah saat Kemal memakai sepatu bersiap kerja."Mau kamu kapan?" Kemal masih menunduk."Terserah kamu. Aku hopeless.""Nggak boleh gitu. Aku cek jadwalku ke Raja, kalau kerjaan aman jumat ini kita ke sana, mau naik apa? Kereta atau pesawat?""Terserah."Kemal mendongak, menatap istrinya yang berdiri menggulung selang."Jangan terserah, Nes." Ia lantas berjalan mendekat. Merapikan rambut Ines yang sedikit acak-acakkan karena angin. "Kita harus kompak."Ines memeluk manja Kemal, ia memang tak yakin jika bapak mau melihat usaha mereka meminta restu. Kemal mengusap pelan punggung Ines, ia tau galaunya Ines karena sudah sebulan menikah tapi bapak sama sekali tidak berkabar. Anak perempuan mana yang tidak sedih."Aku kerja, ya, kamu mau di rumah aja apa jadi ke tempat Mbak Keira? Ervan bilang mereka butuh orang buat auditing keuangan, kamu bisa, kan?"Ines melepaskan pelukan, berjalan ke arah teras meraih
Met baca 🌿_____________Tamu kerabat dekat dan teman kerja sudah pulang sejak beberapa waktu lalu. Tak sampai lima puluh orang yang hadir. Kemal duduk sambil menikmati kopi sore yang dibuat Keira, diam menatap lurus ke tatanan taman bunga yang cantik atas tangan diri Keira."Gue tau perjuangan lo baru dimulai, tapi jangan lihatin ke Ines, kasihan dia." Keira duduk tepat di sebelah Kemal."Salah nggak sih, Mbak? Kalau jadinya begini?""Nggak ada yang salah atau benar, Mal. Udah jalannya dan yang penting lo bisa ubah pelan-pelan. Kapan berangkat bulan madunya?""Tiga hari lagi. Nyamain jadwal terbang Mas Katon, Ines mintanya gitu."Keira merangkul bahu sang adik, lalu ia bersandar pada pundak tegap Kemal. "Ibu bahagia banget. Dari tadi senyum, ketawa dan kelihatan bangga lo nikah juga, Mal. Nggak jadi perjaka tua," kekeh Keira. Kemal pun sama, kedua bahunya bergetar pelan lalu meraih jemari tangan kanan Keira."Mbak, makasih selalu marahin gue kalau gue salah langkah. Maaf lo jadi die
Met baca 🌿__________"Pisah!" tegas Keira saat kedua insan itu sudah kembali ke Jakarta dan langsung menghadap Keira, Reynan dan om Wisnu."Mbakkk," rengek Kemal lemas."Apa! Mau gue tabok lo! Nggak pantes udah tua!" Sambung Keira sambil berkacak pinggang. Vinka dan Alta yang duduk di anak tangga ke lima sambil Alta memangku Daksa hanya bisa cekikikan melihat om kesayangannya diomelin mama mereka."Lo aja belum dapat restu Bapaknya Ines, masih mau minta Ines tetep tinggal sama lo!" Keira ngamuk. Reynan hanya bisa menyerahkan kuasa sidang itu ke istrinya."Gue udah suruh Bibi dan Pak Darmo beresin barang-barang Ines dari tempat lo barusan. Mereka udah jalan. Ines balik tinggal di sini. Elo ...," tunjuk Keira. "Lo datengin Bapak, lo kejar restu Bapak. Jangan pulang sebelum lo dapat restu!"Om Wisnu tak yakin hal itu terjadi. "Om temani, Mal. Om yang tau Kakak Om itu seperti apa. Kapan mau ke sana?""Sekarang, Om." Kemal tegas menjawab."Oke. Om pesan tiket pesawatnya." Segera Wisnu me
Met baca 🌿_______Di bawah guyuran hujan, Kemal terus meminta Ines pulang bersamanya. Ines yang berdiri di hadapannya terus menolak. Ines tak terkena air hujan karena berdiri di bawah atap kedai sederhana itu.Tanpa peduli tubuhnya semakin basah, Kemal membujuk. "Pulang, Nes." Kali ini suaranya bergetar pelan. Ines tetap menolak, bahkan ia meninggalkan Kemal begitu saja, Kemal tak bisa apa-apa selain pergi kembali ke hotel.Kemal berendam air hangat di bath up kamar hotel, ia merenungi kebodohannya. Kedua matanya terasa panas, ia sadar jika sedetik lagi air matanya jatuh.Benar saja, ia menangis, membungkam mulutnya dengan telapak tangan kanan. Sesakit ini melihat Ines menjadi menjauh darinya. Semenyengsarakan ini rasanya ditolak Ines yang bertahun-tahun memahami dirinya seperti apa.Apakah kali ini ia menyerah? Membiarkan dirinya menjadi bujangan tanpa mau memikirkan berumah tangga?Menjelang tengah malam, Kemal masih terjaga, ia mengusap tengkuknya saat berkutat dengan pekerjaan
Met baca 🌿___________Suara wajan di atas api yang menyala besar juga kesibukan lain di dapur membuat Ines ingat bagaimana Keira dulu memulai usaha catering yang dirintis dari nol hingga sukses seperti sekarang.Begitu pula ingatan Ines bagaimana awal mula pertemuan dengan Kemal yang ia anggap sombong kini justru menempati ruang hati terdalamnya.Ia berdiri, menunggu pesanan pelanggan siap sambil memeluk nampan coklat. Tiga juru masak berlomba-lomba menyelesaikan masakan untuk dihidangkan, Ines melirik ke sudut dapur, terdapat meja bahan baku yang siap diolah.Hela napas panjangnya membuat salah satu rekannya mendekat. "Ada apa?" tanyanya dengan logat melayu."Tidak ada apa-apa," jawab Ines diakhiri dengan senyuman. Satu juru masak memindahkan makanan dari wajan ke mangkok besar, Ines mendekat seraya meraih selembar tisu dapur. Dirapihkan makanan itu dari noda yang berceceran disekeliling mangkok karena juru masak buru-buru menuangkan.Ines siap membawa pesanan makanan ke meja pelan