Hai, ketemu lagi dijudul baru. Jangan lupa Subscribe, love dan komen, ya. Ini hanya kisah fiksi. Terima kasih 😊
_____
"Apa alasan kamu talak aku, Bas!" Dengan ekspresi marah, Keira membentak Bastian yang berdiri di depannya. Pria bertubuh tinggi berperawakan seperti aktor turki itu menatapnya garang.
"Kita sudah tidak bisa bersama, Kei. Aku mau kita cerai. Aku sudah talak tiga kamu. Mulai detik ini, hubungan kita sebagai suami istri sudah selesai. Aku akan urus surat resmi perceraian kita di pengadilan."
Kedua mata Keira berkaca-kaca, ia baru saja pulang bekerja. Tubuhnya masih lelah setelah berdesakan naik busway dan disambung dengan ojek hingga tiba di rumah. Namun, ia justru mendapat angin panas yang seketika membakar tubuh juga hatinya.
Keira tidak menangis, walau rasanya ingin. "Kasih tau aku, apa alasannya. Kamu memang berubah setahun ini, Bas. Apa karena aku belum juga hamil? Atau kamu selingkuh! Iya! Selingkuh!" bentaknya.
Bastian diam. Ia melirik ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Layar menunjukkan nama seseorang. Keira tau itu nama siapa. Gerakan cepat Keira sudah lebih dulu meraih ponsel. Ia geser layar hijau lalu tanda pengeras suara.
"Bas! Udah kamu talak istri mandul kamu itu!" pekik keras suara wanita yang tak Keira sangka bisa bicara seperti itu. Bude Ratih, wanita yang mengasuh Bastian sejak kecil semenjak orang tua kandung lelaki itu memilih berpisah dan menjalani karir masing-masing.
Ibunda Bastian memilih berkarir sebagai pramugari maskapai besar di luar negeri, ia juga sudah menikah dengan pria asing di sana. Sedangkan ayah Bastian bekerja di perusahaan perminyakan yang ada di Kalimantan juga sudah menikah dengan rekan kerjanya. Jika dipikir-pikir, alasan berkarir hanya untuk menutupi hubungan terlarang mereka.
"Bas, halo. Kamu udah lakuin?!" Suara bude Ratih membuay Keira menahan tangis hingga bibirnya bergetar pelan.
"Sudah, Bude." Keira yang menjawab. Tak ada sahutan dari seberang sana. Bastian menyambar ponsel, ia bicara dengan bude Ratih jika sudah melakukannya. Bastian memutuskan pmebicaraan sepihak.
"Kenapa kamu selalu disetir budemu, Bas! Sampai rumah tangga kita diatur dia juga! Dewasa, Bas! Dewasa!" jerit pilu Keira tak membuat Bastian gentar. Ia bahkan tak terlihat bersalah sudah menalak istri yang dinikahi sejak lima tahun lalu.
Keira menangis, tapi tak lama karena setelahnya ia tersenyum miris. "Oke, kita sudah cerai secara agama, kan?" Keira menyambar tas kerjanya, ia menatap tegas Bastian.
"Kamu sudah menghancurkan aku, Bas. Nggak ada angin, hujan, kamu bikin aku sakit hati dengan hal ini. Jahat kamu!" Keira berbalik badan, ia berjalan ke dalam kamar. Segera mengeluarkan koper besar dari dalam lemari bajunya. Bastian menarik pergelangan tangan Keira hingga wanita itu memutar tubuhnya.
"Apa!" bentak Bastian.
"Alasan aku menalak kamu, karena kamu--" Bastian diam, ia tidak bisa melanjutkan kalimatnya seolah mengumpulkan keberanian menjawab. Keira menghentakan Bastian yang mencengkram tangannya.
"Terserah! Kamu emang berubah setahun ini, Bas. Bukan Bastian yang aku kenal. Bukan Bastian yang memintaku menjadi istrinya seumur hidup." Keira mulai memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Bastian lalu menunjukkan foto dari ponselnya. Kedua mata Keira melotot terkejut.
Keira duduk lemas, ia menatap nanar Bastian yang diam membalas tatapan Keira. "Maafkan aku, aku masih mencintainya, Kei."
***
Kedua mata Keira sembab, ia menangis semalaman, tak menyangka jika Bastian masih mencintai mantan kekasihnya yang kuliah di Sidney kala itu. Wanita itu bernama Hana, sudah setahun pulang ke Jakarta karena diterima bekerja diperusahaan asing dan melalui kolega, Hana bisa masuk ke sana.
Bude Ratih sangat senang jika Bastian bersama Hana dari pada dengan Keira. Bastian yang merasa hutang budi dengan Ratih, menuruti untuk kembali menjalin hubungan dengan Hana.
Keira begitu terpuruk, hatinya sakit, harapannya hancur. Ia kini kembali ke rumah orang tuanya yang tak kalah terkejut. Bahkan Ayahnya sangat ingin menghajar Bastian.
"Apa karena kita orang sederhana, tidak kaya raya seperti keluarganya, Bastian bisa seenaknya injak harga diri kamu!" Ayah marah-marah, Keira hanya bisa duduk diam sambil memeluk dirinya sendiri di atas sofa ruang TV.
"Mbak, minum dulu." Kemal menyodorkan gelas berisi teh manis hangat ke kakak kesayangannya.
"Gue salah apa, Mal! Gue jadi janda ...!" keluh pilu Keira. Kemal merangkul bahu Keira yang bersandar pada dadanya, kembali menangis.
"Laki nggak cuma dia doang, Mbak. Buang laki kurang ajar modelan Bastian. Lo kuat, Mbak, lo bisa hadapi ini." Kemal berusaha menenangkan kesedihan kakaknya.
"Kurang ajar Bastian! Ayah! Besok kita datengin dia!" omel ibu.
"Nggak perlu, harga diri keluarga kita lebih besar dari pada sekedar datangin laki-laki itu." Ayah mendekat ke Keira yang sesenggukkan. "Kei, Ayah mau kamu harus kuat. Kamu tidak salah, tunjukkan, buktikan kamu bisa hidup tanpa mantan suami kurang ajarmu itu." Ayah memeluk putri yang ia jaga bak intan berlian, tapi digores sebegitu kasar oleh laki-laki seperti Bastian.
Keira kembali sesenggukan. Ibu dan Kemal ikut memeluk, mereka berpekukan berempat. Saling menguatkan, di dalam hati Keira tau jika orang tuanya tak kalah remuk regam hatinya, hancur harapannya tapi Keira bisa apa.
Minggu pagi, Keira sudah dua malam kembali ke rumah orang tuanya. Kamar lamanya yang sebelumnya diperuntukkan untuk tempat menjahit yang dikerjakan ibunya, kini kembali menjadi kamarnya.
Ayah dulu bekerja di perusahaan swasta bergerak di properti, tapi kena pengurangan pegawai hingga akhirnya ia kena PHK. Jadilah Keira yang menjadi tulang punggung keluarga, ia banting tulang setelah lulus kuliah dan setelah bekerja selama setahun, ia berkenalan dengan sahabat teman kerjanya, yang kini menceraikannya begitu saja.
"Kei!" panggil teman sepantarannya saat kecil, berlari pelan sambil mendorong kereta bayi. Hati Keira ciut, usianya sudah dua delapan tapi belum punya anak.
"Hei, Ran," balas Keira kemudian bercipika cipiki. Ia menatap dua bayi kembar tiduran di dalam kereta bayi warna marun. "Kembar?"
"Iya. Baru mau sebulan. Lo pulang ke sini lagi, kenapa, Kei?"
Keira malas sebenarnya menjawab, taoi tak apa lah, dari pada timbul gosip.
"Gue cerai. Laki gue diem-diem selingkun sama mantan pacarnya dulu dan ya ... gitu, lah." Keira tersenyum masam.
Rani menganga, ia kemudian memeluk Keira. "Kei, keputusan tepat. Laki kayak gitu ceraikan. Nggak bisa dimaafkan." Rani melepaskan pelukan, "tapi lo dapet harta gono gini, kan?" tatap Rani serius.
"Boro-boro, Ran. Intinya gue zero."
"Ya ampun, Kei! Lo kalau ada apa-apa bilang, dong, suami gue pengacara. Bisa bantu lo. Lo bilang mau gugat apa, biar suami gue yang urus."
Pengacara lagi. Bastian merampas semuanya, yang tersisa hanya tabungan di ATM senilai delapan juta. Itu juga karena Bastian membatasi uang belanja untuknya dengan alasan kirim untuk bude Ratih.
"Makasih, Ran, gue bisa urus sendiri. Makasih tawaran bantuanya. Gue duluan ya, mau jogging lagi, dah!" pamit Keira tak mau semakin lama berasa di sana, takut pembicaraan ke mana-mana.
Sambil jogging dengan berlari kecil, Keira berpikir apa yang bisa ia lalukan demi mendapat uang tambahan. Ia tak malu melakukan pekerjaan apapun selama tidak melawan hukum. Ia juga tak mungkin berpangku tangan meratapi nasib. Sungguh itu bukan prinsip hidupnya.
Bersambung,
Keira sudah mendapat jadwal sidang perdana perceraiannya. Ia datang bersama Kemal, adiknya yang kuliah semester akhir jurusan teknik mesin. Rencananya ia akan melamar pekerjaan di pabrik otomotif terbesar atau pabrik produksi makanan. Kemal sudah punya target apa yang mau dilakukan, beda dengan Keira yang fokusnya kerja apapun yang halal lalu dapat duit. "Mbak, pokoknya nanti lo jangan cengeng. Tunjukin kalau lo tegar." Kemal mengultimatum. Keira mengangguk, oke, iya yakin bisa. Mereka berjalan melangkah dari parkiran motor. Ya, mereka berboncengan motor karena memang mereka tak punya mobil. Keira tak ada pengacara, ia bawa badan saja. Lain dengan Bastian yang terlihat berjalan bersama seorang pengacara juga bude Ratih. Heran, wanita itu seperti terobsesi dengan keponakannya sendiri. Keira terus menatap lekat, hingga Bastian membalas tatapan tanpa tersenyum. Keira sendiri masa bodoh, apalagi saat melihat bude Ratih yang angkuh, mentang-mentang mantan direktur perusahaan besar, laga
Ide mendadak dari Rima dan Ambar membuat Keira akhirnya berdiskusi dengan kedua orang tuanya. Ibu dan Ayahnya setuju, toh, Keira memang jagk masak. "Yaudah coba aja kamu buka PO apa gitu, Kei. Ibu bantuin," kata ibu sambil menjahit baju pesanan tetangga. "Apa Kei coba bikin terus jualin di kantor?" "Itu juga bisa. Tawarin dulu aja yang penting. Besok pulang kerja belanja bahannya, tawarinnya mulai dari sekarang, PO buat besok." Ibu bicara tapi pandangannya fokus ke mesin jahit di hadapannya. Keira pamit ke kamar, mencoba berpikir jualan apa kira-kira. "Apa, ya. Anak-anak di kantor senengnya jajananan, sih," gumamnya. Tangannya menscrol layar ponsel, mencari inspirasi. Setelah beberapa menit ia tersenyum, "ini aja, deh." Lalu jemarinya mulai mengetik pesan singkat di grup kantor untuk buka PO makanan. ***"Kapan ketuk palu, Kei?" Ambar bertanya saat mereka di toilet karyawan. "Sebulan lagi kali. Bodo ah, gue males mikirnya. Terima kenyataan aja gue jadi janda muda." "Muda? Udah
Pukul tiga dini hari, Keira diantar Kemal ke pasar langganan yang sudah buka sejak tengah malam.Berburu bahan masakan bukan hal susah bagi Keira. Ia hampiri kios-kios pedagang daging sapi, tawar menawar harga juga dilakukan."Kak, di sana sama ini beda lima ribu doang, ayo lah buruan!" keluh Kemal."Diem, deh, Mal! Buat pedangan kecil kayak gue, beda seribu juga gue kejar. Sabar!" geram Keira. Ia memilih buntut sapi, minta ke penjual supaya diberikan yang bagus. Bujuk rayu ala-ala ibu-ibu belanja dilakukan, bahkan kalimat memberikan angin segar jika ia pasti berlangganan kalau kualitas daging sapinya bagus dipercaya penjual."Berapa kilo, Kak?" bisik Kemal."Banyak." Keira buka tas slemlang kecil, meraih uang lalu membayar.Lanjut ke kios sayuran. Ia butuh kentang, wortel, seledri, juga pelengkap lainnya."Kak, jangan ditawar lagi. Belum lo masak. Sop buntut kan lama prosesnya."Kemal mengingatkan, benar juga. Keira tak bisa adu argumen beda harga seribu perak karena waktu mepet. Ia
Hai hai ... jangan lupa tinggalkan jejak ya ... 😊✌_______"Mal, bisa bawanya?" Keira menoleh ke adiknya yang memanggul karung berisi bahan belanjaan untuk pesanan nasi box 100 porsi. Lagi-lagi Kemal yang dijadikan asisten pribadi Keira. "Bisa. Jalan aja, Mbak, lo bisa bawanya, kan?" Kemal memperhatikan kakaknya yang dikedua tangan menenteng plastik berisi dus, sendok, tisu. "Bisa." Keira terus berjalan hingga ke parkiran motor. Mereka saling menatap saat tiba di depan motor Kemal. "Mbak, ini harus dua kali balik, gimana?" Karena motor Kemal hanya motor bebek matic biasa, bukan yang besar, tak muat untuk menaruh belanjaan. "Gue naik angkot aja, deh, Mal. Masih ada jam segini, kan?" Keira melihat jam tangan di pergelangan tangan kiri. Masih jam delapan malam. Keira dan Kemal belanja di pasar yang memang ramai jika malam, selain itu harga juga murah. "Yaudah gue ikutin di belakang angkotnya." Bagaimana juga Kemal mengkhawatirkan sang kakak. Ia lalu menuju kentoko kelontong, memint
Keira sudah tidak lagi merasa canggung atau sedikit ragu menawarkan dagangan makanan yang ia buat. Setelah pesanan goodie bag untuk acara ulang tahun cucu bosnya, Kei merasa ini jalan baginya mulai mencari uang tambahan. Gaji tiap bulan yang didapat sebesar lima juta ditambah uang makan dan transport, ditotal take home pay yang dibawa Kei total enam juta rupiah, ia atur sedemikian rupa untuk tabungan dan modal dagang. Infornasi yang didapatkan dari Ervan--teman Kemal, bahwa sewa lapak jualan di sana bayar perhari kedatangan. Jadi jika Keira jualan hanya sabtu dan minggu, ia cukup merogoh kocek uang kebersihan empat puluh ribu untuk dua hari. Tergolong murah. Kemal bahkan sudah menyewa lapak tak jauh dari tempat Ervan. Pekan itu menjadi hari pertama Keira jualan. Ia dan Kemal memutuskan akan berjualan pasta berupa spagety goreng, fetucini goreng dan steak ayam yang bumbunya ia racik sendiri. Jam enam pagi mereka sudah membuka lapak. Meja lipat, dua kompor portable, disiapkan Kei de
Renan bersiap bertandang ke rumah Keira atas ide teman-teman satu pekerjaannya, Donovan, Melvin dan Bagas. Ia mematut diri di depan cermin kamarnya, di bawah suara bunda sudah terdengar memanggil dirinya dengan kencang. Renan buru-buru turun, ia tampak rapi dan hal itu membuat bundanya tercengang. “Mau ke mana kamu malam minggu gini?” tegurnya ingin tau. “Pergi sebentar ya, Bun,” jawab Renan menyalim tangan bundanya.“Iya mau ke mana? Bunda mau ajak kamu ke rumah Tante Mina, mau kenalin kamu ke anak gadisnya yang–"“Renan pergi, bye, bun.” Ia bergegas ke arah garasi, membuka pintu mobil lalu melesak masuk. Buru-buru ia hidupkan mesin mobil lalu melaju keluar dari garasi rumah yang membuat bundanya melongo di teras depan rumah. Renan enggan bundanya ikut campur perihal siapa calon pasangannya. Ia sebenarnya tau, hal itu karena bunda merasa kasihan dengan putranya. Tetapi cara bunda salah karena Renan justru tersinggung, kesannya ia tak bisa mencari pengganti mantan tunangannya dulu
"Enak makanannya?" tanya Keira sambil bertopang dagu dengan siku bertumpu pada pahanya. "Banget, kamu nggak pingin buka katering aja?" "Belum diseriusin, butuh waktu ekstra dan konsep jelas. Lagian di sini udah ada katering harian juga, nggak enak sama tetangga RT lain." "Namanya jualan atau bisnis pasti akan ada pesain dekat, yang penting punya cirikhas buat bedainnya." Renan meletakkan sendok dan garpu dengan posisi terbalik, tandanya ia sudah selesai makan. Teh hangat juga ia teguk hingga habis setengah gelas. "Terima kasih, boleh makan di sini," kata Renan yang betul-betul merasa puas menikmati makan malamnya. "Sama-sama, saya juga makasih banget tadi Bapak udah ditolongin." "Keira, Kei!" Suara seseorang di depan pagar membuat Keira menoleh. Jam dinding sudah menunjukkan angka sepuluh malam, bahkan lebih. Keira beranjak, berjalan ke arah pagar disusul Renan. "Lagi ngap-- o ... ow ... lagi diapelin, toh ...," goda Rima yang menggoda Keira dengan menaik turunkan alis matanya.
Hai ... jangan lupa love dan comment ya 🥰_______"Gol!!!!" teriak serempak teman satu tim yang berlari menghampiri. Renan berhasil mencetak gol ke gawang lawan. Olahraga futsal yang setiap jumat malam ia lakukan bersama teman-teman kerja juga teman masa kuliah, membuatnya tetap bugar. Renan memang begitu, tak bisa lepas dari olahraga walau hanya jogging saja. Napasnya ngosngosan, ia berkacak pinggang mengatur napas sambil berjalan menunggu operan bola dari temannya lain. Keringat yang membasahi wajah juga tubuhnya, ia biarkan keluar melalui pori-pori. Tawanya pecah saat melihat temannya terpeleset bola yang sedang di oper. Tawanya begitu lebar, rambut cepaknya sudah mulai tumbuh lebat lagi. Ia malas ke barbershop, nanti saja sampai waktunya ditegur HRD kantor. Kedua matanya menyipit, berlari ke ujung lapangan menerima umpan dari temannya. Gerakannya gesit, kakinya lincah menggocek bola bundar lalu .... "Gol!" teriak teman-temannya lagi. Permainan selesai, skor 5 - 2 berhasil men