Riri mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya yang ada di dalam ruangan itu. Setelah beberapa saat, dia baru menyadari bahwa ia tak sedang berada di rumahnya sendiri. Terakhir kali Riri ingat, ia berada di dekat lobby, merasakan sakit yang luar biasa pada area perutnya, kemudian terasa ada yang mengalir deras ke bawah, lalu pingsan di sana dan di teriakkan banyak orang.“Ya Allah ... anakku,” desisnya. Pening ia rasakan hingga bumi terasa berputar-putar. Dia bahkan mual-muntah selama beberapa kali di sana, terpaksa mengotori setengah badannya ke atas karena belum bisa bergerak lebih. Mungkin, ini akibat efek bius yang dokter suntikkan untuk mencegah nyeri selama tindakan medis dilakukan.Riri meraba perutnya. Dia sudah tidak lagi merasakan sesuatu di dalam sana dan menyadari rahimnya telah kosong. Tidak salah lagi, dia baru saja di kuretase.“Anakku ...” rintihnya dengan buliran mata yang mengalir deras, “mana anakku? Ke mana semua orang?” dia berteriak sekuat tenaga. Tapi sayang, tid
Flashback.Beberapa orang membawa Riri untuk di angkat ke brankar yang kemudian di dorong menuju ke IGD. Di sana, wanita itu langsung ditangani, diberi obat penguat kandungan dan dipasang infus.Bingung lantas membuat mereka terpaksa menggeledah tas Riri untuk menemukan identitas. Sebab Riri hanya datang seorang diri.“Namanya Ibu Riri,” ucap salah seorang suster yang sedang bertugas di IGD itu.“Apa ada kartu jaminan kesehatannya?” sahut dokter jaga yang juga berada di shift yang sama.“Nggak ada, Dok. Sudah saya cari-cari.”“Hubungi saja keluarganya kalau begitu,” Dokter memutuskan.“Baik, Dok. Laksanakan.” Suster tersebut mengambil ponsel milik Riri, kebetulan Riri memang tak pernah mengunci ponselnya, membuat urusan sang suster menjadi lebih mudah.Namun, karena ketidaktahuannya, si suster malah menghubungi salah satu nomor Panji, pria yang sebelumnya sempat meminjamkan uang kepada Riri. Karena di history panggilan, nama dia berada di urutan paling atas, sehingga suster mengira ba
“Mas, bisakah aku ketemu sama anak-anak?” pinta Riri kepada suaminya, “aku merindukan mereka. Apa mereka sudah makan? Sudah minum susu? Aku nggak bisa tenang, apalagi memikirkan Fadlan. Dia itu nggak bisa banget kalau jauh dari aku.”“Mereka sudah tidur nyenyak di tempat Ibu, Ri. Mereka senang karena ada kakak-kakaknya di sana, Rizki, Abraham sama Viona,” jawab Ilham.“Kamu tidurlah, istirahat. Supaya kamu bisa cepat kembali pulih. Ini kesempatan yang diberikan oleh Tuhan supaya kamu bisa sejenak beristirahat. Tenangkan pikiranmu.” Ilham mengusap-usap lengan istrinya agar Riri lekas tertidur. Namun wanita itu tetap tidak bisa melakukannya karena pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam masalah.“Aku masih merasa kehilangan anakku. Masih nggak percaya di sini sudah nggak ada dia,” kata Riri mengusap perutnya yang juga diikuti oleh Ilham.“Apa yang kamu rasakan, sama sepertiku. Aku saja bisa menangis, apalagi kamu yang mengandungnya,” balasnya ikut sedih lagi.“Apa mereka tahu aku ....”
Malam itu dilalui oleh Ibu Saida dengan perasaan yang begitu nelangsa lantaran harapannya telah pupus begitu saja. Padahal ia telah membeli peralatan dan persiapannya menuju ke sana. Ke Mekkah, satu-satunya impiannya yang belum terwujud. ‘Padahal tujuanku mulia, hanya ingin meminta ampunan dan mendoakan anak-anakku agar kelak mereka berubah menjadi lebih baik, selamat dunia akhirat. Tapi sayang, Kau belum mengizinkannya sekarang. Ya Allah, aku mohon ... semoga sebelum aku tiada Kau telah mewujudkannya,’ batin Ibu Saida penuh harap.Dia pun menyebut nama Allah berulang-ulang dan terus bertanya kepada-Nya, apa kesalahannya di masa lalu sehingga mengalami masa tua yang sedemikian pedih. Beliau tidak di uji kekurangan, tapi di uji dengan buruknya sifat anak perempuan dan menantunya.‘Aku merasa gagal mendidik anakku.’Keesokan harinya.“Apa satu pun dari kalian belum menjenguk Riri?” tanya Ibu Saida kepada mereka semua yang sedang melakukan sarapan pagi di dalam kamar tempat beliau di ra
Dua hari berlalu semenjak kepulangan Riri dari rumah sakit. Semenjak itu pula Riri tidak berani melakukan apa pun karena dokter melarangnya melakukan pekerjaan berat selama seminggu ini. Yang dilakukannya sekarang ini hanyalah tidur-tiduran di kamarnya, makan diambilkan, mandi pun ditemani. Sesekali ia menemani anak-anak belajar, itu pun hanya sejauh ruang tamu.“Terima kasih ya, Mas. Maaf merepotkanmu,” ujarnya ketika Ilham membantunya berjalan jauh dari kamar keluar kamar, “bahkan untuk mandi pun masih selalu kamu temani. Sebenarnya tidak usah sampai di papah pun aku bisa berjalan sendiri, kok. Sudah nggak terasa begitu sakit. Hanya tinggal pemulihan saja.”“Tetap saja kamu tanggung jawabku,” jawab pria itu tersenyum. Sesekali matanya melihat ke arah luar mengawasi anak-anaknya yang tengah bermain kelereng. “Kamu pasti capek, ya. Sudah melakukan semua pekerjaan rumah, belum lagi ada anak-anak yang nggak bisa kamu tinggal ...” kemudian, Riri memaparkan satu-persatu pekerjaan rumah i
Dua minggu kemudian, kondisi Riri sudah benar-benar pulih pasca kuretase. Sudah tidak ada lagi darah yang menetes dan telah dinyatakan bersih oleh dokter sehingga dia sudah diperbolehkan beribadah, berhubungan intim, atau beraktivitas lagi seperti biasa. Hanya saja, dia belum diperbolehkan hamil lagi sebelum melewati tiga kali masa subur untuk menghindari ketidaksiapan rahim itu sendiri—lantaran dikhawatirkan masih lemah, atau luka akibat benda yang pernah mengangkat janinnya. Ilham pun sudah masuk kerja lagi. Fadly juga sudah kembali sekolah seperti biasanya. “Tapi sebelum berangkat, Kaka harus sarapan dulu sedikit, biar belajarnya bisa lebih konsentrasi.” Riri menyuapi Fadly yang matanya tengah menatap layar televisi, film kartun kesukaannya. “Buka mulutnya, Nak.”Fadly mengangguk.“Yang pintar belajarnya, ya.”“Iya, Ma,” jawabnya dengan gumaman yang terdengar kurang jelas, sebab mulutnya sedang penuh.“Ade juda mau makan ...” sahut Fadlan dengan wajah gemas. Anak berusia tiga ta
Riri turun dari angkutan umum setelah ia tiba di depan gang rumahnya. Mobil sedan atau truk-truk besar pengangkut semacam ini memang tak bisa masuk ke dalam sana karena selain gangnya sempit, di sana juga lumayan sepi. Semua anak-anak sekolah di sana sebagian banyak memakai kendaraan roda dua sendiri di antarkan oleh orang tuanya. Sesampainya di rumah, Riri langsung terduduk lemas. Kilatan sakit masih saja terasa di hatinya mengingat betapa akrabnya Ilham tadi saat tengah berbicara dengan seorang perempuan. Sejak kapan mereka saling mengenal? Apa dia salah satu temannya di tempat kerjanya yang baru? Batin Riri menduga-duga. Dan yang membuat hatinya begitu terbakar cemburu adalah, ketika dia melihat perempuan itu lebih cantik darinya dan lebih terawat. Sangat berbanding terbalik darinya yang begitu sederhana dan jarang bersolek.“Bagaimana aku bisa merawat diri, bisa mempunyai baju yang bagus, kalau untuk makan dan jajan anak-anak saja sudah pas-pasan?” Riri menatap pakaian yang dia
(Jangan lupa tekan lovenya yaa... Happy reading!🥰😘)“Loh, kenapa nggak bisa?” tanya Ilham setelah beberapa saat berpikir, “tentu saja bisa kalau sudah melewati jam istirahat.”‘Aku catat, Mas. Ini kebohongan pertamamu yang aku dengar secara nyata dan aku buktikan sendiri. Jelas-jelas kamu pergi di saat jam kerja bersama seorang perempuan. Aku ada fotonya—dan di keterangan foto itu pasti ada keterangan waktu yang menyertai.’“Kenapa sih, sampai segitunya kamu melihatku. Jangan suka buruk sangka, ya. Nggak baik.” Ilham melepas kancing-kancing bajunya dan melepas jam tangannya lalu diletakkan di atas meja, sepertinya pria itu hendak mandi. “Apa di sana gajinya lebih besar, Mas? Kok sekarang kamu sering bawain kami makanan mahal seperti ini. Maaf, bukan bermaksud apa-apa. Kalau bisa ... biar aku saja yang membelanjakannya, aku rasa perempuan lebih bisa mengatur keuangan. Tujuannya untuk menekan pengeluaran saja, kok. Tapi itu pun kalau Mas bersedia, sih.”“Apakah aku tidak boleh membel
Tanpa Riri ketahui sebelumnya, ternyata kedatangan Ustaz Syarif datang ke sini selain menjenguk muridnya yang baru saja di khitan, beliau juga mempunyai maksud lain. Yakni mengantar keponakannya untuk melamar sang pujaan hati. Apabila ada yang bertanya, di mana orang tua Panji, mereka sudah tiada semenjak lama. Oleh karenanya, Panji menggandeng Pamannya sebagai wakil orang tua satu-satunya. Hmm. jangan ditanya lagi bagaimana perasaan Riri dan keluarga. Terkejut? Ya, tentu saja. Itu sudah pasti.Riri tidak menyangka bahwa dia dilamar secara dadakan seperti ini tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu sebelumnya. Beberapa hari yang lalu, mereka memang sempat berkomunikasi lewat pesan singkat. Namun Panji hanya menanyakan kesediaannya jika ia datang ke rumah. Tetapi sungguh, Riri tidak paham karena ternyata inilah yang dimaksud oleh pria itu. Jangankan bertanya bagaimana perasaannya atau kesiapannya untuk menikah lagi setelah bercerai dengan Ilham—dekat saja—rasanya tidak pernah. Dia ma
Tidak ada gairah hari ini, yang dilakukan Riri hanyalah menangis, menangis dan menangis setelah suaminya itu benar-benar pergi dari rumah. Berkali-kali dia menyadarkan dirinya agar tidak terlalu berlebihan menyikapi sejumlah permasalahan yang sedang ia hadapi. Namun berkali-kali juga kenangan indah terbayang di pikirannya. Tidak mudah baginya menghapus semua kenangan yang biasa ia lakukan bersama selama enam tahun belakangan ini bersama Ilham. Di sini, di tempat ini.Bagaimana mungkin seorang Ilham yang ia kenal begitu lembutnya mencintai dirinya tega berbuat demikian? Riri sama sekali tidak menyangka.Betapa awal pertemuan mereka sangat indah. Bekerja sambil menjalin cinta. Pulang pergi berboncengan bersama. Tak lama kemudian menikah, bulan madu, pindah rumah sendiri, lewat satu bulan setelanya ia langsung hamil Fadly. Mereka merasakan kebahagiaan luar biasa saat pertama kali menjadi orang tua. Selang beberapa tahun kemudian, mereka kembali di anugerahi seorang anak laki-laki lag
(Dobel upini lho...🥰🌺🤭)‘Lihatlah, Mas. Anak-anak kita yang jadi korban keegoisanmu sekarang, apa kamu nggak kasihan sama mereka?’Riri cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya, sebelum Ilham bertambah marah dan membuat anaknya menjadi semakin takut. “Kita langsung makan saja, ya, Nak. Nanti habis itu, bobo siang sama Adek di rumah Nini, Okay?”Fadly mengangguk, anak itu tak membantah sama sekali perintah ibunya. Tapi dalam hati ia telah menyimpan benci kepada ayahnya karena pria itu telah memperlakukan wanita yang dicintainya dengan cara tidak baik. “Bu, Fadly sama Fadlan di sini dulu, ya. Aku masih ada urusan,” kata Riri setelah ia berada di rumah Ibu Saida.“Iya, nggak papa, Nak. Toh, di sini juga ada Mbakmu yang jagain mereka,” jawab Ibu Saida tersenyum. Sebagai seorang ibu sekaligus orang yang rumahnya paling dekat, beliau paham apa yang sedang terjadi dengan rumah tangga putrinya. Namun, beliau enggan mengikut campuri hubungan mereka. Sebab, mereka sudah sama-sama dewasa dan t
Mati-matian Riri menahan sebak di dadanya. Dalam keadaan demikian, wajah anak-anaknya membayang di pikiran, bagaimana nasib mereka nanti dan dengan cara apa Riri menjelaskannya?Ah, Ya Tuhan... seperti inikah Mas Ilham sebenarnya yang dia cintai selama ini?“Bukankah kamu tahu, Mas Ilham sudah beristri?” tanya Riri setelah dapat menguasai dirinya lagi.Perempuan yang bernama Lira itu mengangguk. “Maaf, Mbak... tapi hanya laki-laki seperti Mas Ilham yang dapat menerima sepenuhnya keadaanku. Kasihanilah aku, aku bukan wanita sempurna sepertimu yang bisa memiliki anak. Kelak, jika aku tidak menikah dengan Mas Ilham, aku akan hidup sendiri dan terlunta-lunta sampai tua.”“Apa pun alasannya, ini tidak bisa dibenarkan. Tidakkah kamu pikirkan perasaanku?” Riri bertanya dengan nada menyentak. “Apa kamu sadar, perbuatanmu ini tercela. Kamu merebut suami orang. Kamu bahagia di atas penderitaan orang lain. Coba kita ganti posisi. Aku yakin kamu nggak akan bisa berbicara seperti ini sekarang.”“A
“Ri, maaf, Ri... iya, aku salah aku tadi terlalu keras ke kamu. Buka pintunya, Sayang.” ‘Aku nggak peduli, Mas. Aku nggak peduli.’Riri kembali mematikan ponselnya dan menyembunyikannya di tempat yang paling susah dijangkau. Wanita itu duduk di ranjang, menghela napasnya dalam dan berusaha tenang meski tangis tetap tidak bisa ia cegah mencuat keluar dari tempat persembunyiannya. ‘Hancur sudah mimpi-mimpi yang pernah kita bangun, Mas. Aku sangat paham bahwa kamu ingin hidup lebih baik dari sebelumnya, agar tidak ada lagi yang menghina keluarga kita. Tapi cara yang kamu gunakan salah, karena kamu justru menghancurkan rumah tangga ini. Kamu telah menodainya.Aku percaya setiap pernikahan pasti akan di uji—seperti pernikahanku sekarang. Aku sempat mengira ujian ini sudah hampir selesai karena aku lihat saudaraku, Mbak Nur Lela sudah mulai berubah. Tapi masalah lain ternyata datang dari kamu.‘Tuhan... biarkan aku tidur dulu sejenak untuk menenangkan pikiran.’Riri merebahkan diri ke ran
“Mumpung aku lagi libur, aku mau main ke rumah Mama. Kamu mau ikut apa nggak?” ucap Ilham begitu Nur Lela pergi dari rumah. “Aku mau menginap di sana dua hari, kasihan mereka sudah lama nggak di tengok.”“Aku kan, sudah bilang tadi. Aku lagi banyak pesanan, Mas,” jawab Riri begitu sabar walau masih sangat dongkol dengan pria ini. Dia pun heran: ‘Kenapa sih, hampir semua orang di sekelilingku jadi toxic?’ Ilham kembali berujar, “Apa kamu nggak mau mengunjungi mertuamu? Sudah lama kita nggak ke sana.”“Yang pasti pengin, tapi bukan sekarang. Lagi pula besok anak-anak juga harus sekolah lagi, harus ngaji juga. Kasihan kalau sampai libur dua hari, nanti bisa ketinggalan pelajaran. Kalau memang Mas Ilham mau mengajak kami menginap boleh, tapi nanti kalau ada libur panjang,” jelas Riri dengan uraian panjang. “Ya sudah kalau begitu, aku juga nggak mungkin memaksamu. Tolong siapkan pakaianku, ya. Bawakan baju santai dua setel, baju formalnya satu setel saja,” titah Ilham yang diangguki oleh
Tok tok tok!Pintu yang terdengar diketuk membuat Riri cepat-cepat mengusap air matanya. Dia terlebih dahulu merapikan wajahnya lagi sebelum akhirnya membukakan pintu. Meski perasaan dongkol tidak bisa ia sembunyikan, namun jika Ilham menyadari hal itu.“Kamu kenapa langsung masuk ke dalam?” tanya Ilham begitu melihat istrinya muncul dari balik pintu, “anak-anak belum kamu gantikan bajunya. Masa main pakai baju koko putih begitu, nanti kotor.”“Iya, Mas,” jawab Riri singkat dan menghindari kontak mata dengan pria ini. Sungguh ia benci sekali wajah suaminya yang entah kenapa dan semenjak kapan terlihat menyebalkan di matanya.“Kenapa wajahmu kusut begitu?” tanya Ilham yang ternyata peka dengan keadaan istrinya sekarang ini. “Nggak suka aku beli motor baru?” tebaknya kemudian.“Nggak, aku Cuma agak kurang enak badan aja, kok.”“Bohong,” Ilham beranggapan, “Apa kamu hamil lagi? Kok jadi sensitif banget akhir-akhir ini. Kebanyakan mikir yang enggak-enggak.”Riri menggelengkan kepala, baga
Panji langsung mengajak murid barunya masuk ke dalam Masjid. “Baru iqra kan? Kalau iqra mah insyaallah Om juga bisa.”“Ngajinya sama Ustaz Om?” tanya Fadly polos membuat kedua orang dewasa itu sontak tertawa karena terdengar lucu.“Panggil Om aja, Nak. Nggak usaha ada Ustaznya di depan. Kepanjangan.”“Yeaay!” Kedua anak itu sangat riang. Lantas mengaji seperti seharusnya.Namun siapa sangka mereka malah kecanduan, karena keesokan harinya, mereka pun meminta berangkat ke sana lagi untuk mengaji dengan Om Panji selama Ustaz Syarif masih sakit. Meski pada akhirnya Riri harus banyak minta maaf karena ini lumayan mengganggu waktu pria itu selepas ashar.“Nggak papa, Cuma setengah jam mengajarkan mereka,” kata Panji pada suatu sore besoknya. “Nggak terlalu mengganggu waktuku. Toh, aku juga kalau sudah pulang nggak mungkin berangkat lagi ke kantor.”“Bukan begitu, nanti dikira aku sama kamu... ya, kamu tahu sendirilah orang kampung itu kayak gimana. Semua pasti akan dikomentari.”“Jangan ter
Jangan lupa tekan love nya ya!Hppy reading!“Anak-anak ... mandi dulu, Nak! Fadly, Fadlan!” Riri berseru memanggil anaknya yang sedang main di belakang rumah. “Udahan dulu ya, mainnya.”Fadly yang notabenenya adalah seorang kakak, dia bisa bersikap lebih dewasa dan lebih mengerti dari pada Fadlan. Oleh karenanya, dialah yang menggiring adiknya tersebut pulang walau dia tahu, betapa susahnya untuk membujuk bocah ini sedang seru-serunya bermain. “Ade ... ayo, De ... mandi dulu, nanti kita bisa main lagi setelah mandi. Kasihan mamanya teriak-teriak dari tadi, De ....”“Ade kan masih mau main ini.” Fadlan menunjukkan mobil beko baru yang dibelikan oleh papanya kemarin. Mainan baru membuat anak ini lupa segalanya. Seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak lain ketika ia sedang menyukai suatu mainan, maka dia akan memainkannya sampai benar-benar bosan. “Ini nanti bisa dimainin lagi kalau kita sudah mandi. Nanti kita main yang lebih seru, tapi di dalam, ya!” bujuk Fadly lagi. Dia mengin