Rob memandangi Ellaine yang berbaring di ranjang di sebelah Orion sambil menyanyikan ninabobo dengan suara pelan. Sejak Rob menjemputnya di bandara, istrinya itu tak berhenti menangis. Namun Rob tahu, tangisan Ellaine bukan semata-mata karena putra mereka yang sakit, melainkan ada hal lain.
Dan setelah Rob memohon padanya agar bercerita, Rob berharap ia tak pernah mendengar cerita menyedihkan semacam itu lagi.
“Bukan salahmu jika Jonas membencimu,” ucap Rob pelan, tak ingin membangunkan Orion yang mulai terlelap setelah minum obat. “Ini hanya kesalahpahaman. Nanti kalian pasti bisa berbincang lagi dengan kepala dingin dan semuanya akan baik-baik saja.”
Ellaine menyeka air matanya yang masih mengalir. Kemudian dilihatnya Orion. Anak itu kelihatannya sudah lelap. Keningnya berkeringat efek dari obat yang tadi ia minum.
Perlahan Ellaine turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
“El ….&
Menara Eiffel terlihat dari kejauhan melalui kaca jendela kamar hotel yang kini ditempati Gerald dan Catherine. Gerald masih tampak sibuk di sofa dengan laptop di pangkuannya sedangkan Catherine terus memandangi keindahan kota itu dari kamar yang terletak di lantai sebelas.“Kenapa kau memilih menginap di hotel?” tanya Catherine. “Tidakkah kau punya rumah di Paris.”“Oh, tentu aku punya.” Gerald tetap pada laptopnya. “Rumah itu sudah lama tak ditempati dan semua perabotnya ditutup kain agar tak berdebu. Aku tak mau repot-repot. Lebih baik menginap di hotel saja agar lebih praktis, lagi pula hanya untuk satu atau dua hari.”“Bagaimana jika kau punya tamu?”“Tamu? Mereka bisa menemuiku di kantor.”Catherine mengalihkan pandangannya dari luar jendela dan berjalan menuju lemari untuk mengambil gaun tidurnya yang telah ia simpan di sana. Setelahnya ia berjalan ke kamar mandi untuk b
Davin terus tersenyum kala memandangi kedua orang tuanya bergantian. Ia tahu bahwa suatu hari mereka pasti akan kembali bersama lagi, Davin tak pernah berhenti berharap akan hal itu dan kini, semuanya benar-benar terjadi.“Davin, kenapa kau melihat kami seperti itu?” tegur Catherine.“Uhm, aku hanya suka melihatnya.” Davin mengedikkan bahu. “Ayah dan Ibu tampak … mesra?”Gerald dan Catherine berpandangan selama beberapa saat lalu tertawa.“Ah, kau ini.” Catherine menggeleng sambil tersenyum.Obrolan mereka disela sejenak oleh pelayan yang datang dan meletakkan makanan pembuka yang sebelumnya telah dipesan.“Kapan kalian akan kembali ke London?” Davin membuka kembali percakapan setelah pelayan pergi.“Besok siang,” jawab Gerald.Davin memandangi hidangan crab fondue yang menjadi makanan pembuka pilihannya. Selama beberapa saat ia tak bicara l
Baru beberapa jam tiba di London, Davin langsung diajak oleh Gerald untuk pergi ke lokasi yang rencananya akan menjadi kantor cabang Casualads. Seperti yang sebelumnya dikatakan Gerald, gedung itu terletak di kawasan yang cukup ramai.“Nanti Ayah akan membeli semua yang diperlukan. Meja, kursi, lemari, komputer, semuanya,” ucap Gerald sembari memandang sekeliling ruangan yang masih tampak kosong dan amat lengang. “Soal pegawai juga, Ayah sudah menyiapkan beberapa orang.”Davin menatap Ayahnya yang sejak tadi sibuk bicara.“Nanti kau bisa membuka lowongan lagi jika merasa kurang,” lanjut Gerald.“Ayah, apa semua yang Ayah lakukan ini tidak terlalu … berlebihan?”Gerald balas menatap putranya lalu menghela napas.“Berhenti berkata begitu, Davin. Ayah ingin memastikan bahwa kini Ayah melakukan tugas sebagai orang tua, mendukungmu dengan melakukan apa pun yang bisa Ayah lakukan.”
Gerald melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air. Kehadiran Davin di sana membuatnya memutuskan untuk berhenti dan duduk di sisi Davin.“Hei, ini sudah larut,” tegur Gerald dengan nada datar. Sementara Davin tampak sibuk dengan tablet di tangannya serta segelas jus apel yang tinggal setengah di atas meja.“Aku masih memeriksa laporan dari pegawaiku.”Gerald terdiam sejenak. Dipandanginya pemuda itu, ada sedikit rasa cemas menghampiri.“Is everything alright?” tanya Gerald.“Yeah.” Davin mengedikkan bahu. “Kenapa?”“Bukan soal Casualads, tapi kau.” Gerald tetap memandangi Davin. “Apa kau baik-baik saja?”Davin meletakkan tablet lalu melihat ayahnya, ia tersenyum tipis.“Tak ada yang bisa membuatku merasa lebih baik selain melihat orang tuaku yang kini kembali bersama lagi,” ucap Davin setengah berbisik.&
“Besok akhir pekan, kau tidak pulang?” Davin menghampiri Jonas yang tengah duduk di halaman samping, memandangi mobil dari kejauhan yang baru saja ia parkirkan.Jonas hanya tersenyum lalu menggeleng samar. Sejak Davin berada di sini beberapa minggu terakhir, mereka menjadi teman yang cukup akrab. Entah karena Davin yang begitu rendah hati atau karena Jonas yang begitu menyenangkan—atau mungkin juga karena keduanya—yang jelas, mereka sering menghabiskan waktu senggang mereka yang amat sedikit dengan mengobrol bersama dan membicarakan banyak hal. Kebanyakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan hobi anak muda seperti olahraga atau semacamnya.Satu hal yang tak mereka ketahui dari satu sama lain, adalah bahwa mereka sama-sama mengenal Tania.Sementara itu, Catherine yang selalu memperhatikan Davin ketika berada di rumah itu, merasa senang ketika melihat putranya tampak berteman baik dengan Jonas, meski dalam hatinya ia sedikit khawatir.
Gerald melirik sekeliling ruang rapat yang luas itu. Masih agak sepi. Sepertinya ia datang terlalu awal. “Gerald!” Sebuah panggilan hangat seketika membuatnya berbalik. “Oh … Rob?” balas Gerald dengan canggung, masih belum terbiasa memanggil nama depan pria itu setiap mereka bertemu. “Kukira kau tidak jadi menghadiri rapat karena penerbanganmu ke London batal?” “Nah, aku hanya menerka. Cuacanya memang agak payah, tapi penerbangannya tidak dibatalkan.” Rob mengedikkan bahu lalu duduk di kursi yang masih kosong. “Ayo duduklah, kau baru tiba di kantor ini juga?” “Yeah. Aku belum melihat Tuan Harvey sejak tadi.” “Menyebalkan, ya, rapat di akhir pekan?” bisik Rob. “Seperti tidak ada hari lain saja.” Gerald terkekeh. Terdengar suara langkah kaki dan tak lama kemudian, masuklah beberapa pria ke dalam ruangan itu. Mereka tak lain adalah orang-orang yang beberapa waktu lalu mengadakan pertemuan di pameran seni di Paris
“Selamat pagi, semuanya.” Rob muncul paling akhir di meja makan pagi itu. Pandangannya menyapu sekeliling. “Eh? Dimana Caspian?”“Dia sudah pergi pagi-pagi sekali,” jawab Zekey. Tampaknya tak ada siapa pun lagi yang melihat Caspian pagi itu kecuali dirinya.“Ah, begitu.” Rob mengangguk lalu duduk untuk menikmati sarapan sederhana berupa roti panggang yang telah disiapkan Ellaine beberapa menit lalu.“Kau terlihat gelisah, Zekey.” Ellaine melirik Zekey yang belum menyentuh sarapannya. “Ada apa?”“Aku baik-baik saja.” Zekey tersenyum tipis. “Aku harus ke bengkel dalam satu jam.”***Di kamar, Caspian terus merenung sambil memandangi langit-langit. Apa yang terjadi antara Zekey dan dirinya kemarin malam—ciuman itu—sungguh membuat Caspian merasa bersalah sebab ia tahu satu hal, ia tak membalas ciuman Zekey dengan tulus.Seperti &hel
Hampir dua jam sudah Tania menangis di hadapan Zekey. Sejak pulang dari kantor sore tadi, Tania langsung menghubungi pemuda itu agar datang lagi ke flatnya karena ia ingin curhat. Zekey tak banyak bicara dan dengan sabar menyimak setiap cerita sang adik. Ia ikut sedih melihat Tania mengalami hari yang begitu berat.Ketika tangis Tania akhirnya reda, terdengar bunyi bel flat. Zekey beranjak untuk membukanya dan ternyata itu Jonas.“Aku ingin mengambil jaketku yang tertinggal di sini kemarin.” Jonas tersenyum. Ia masih dalam seragam sopirnya, mungkin baru menyelesaikan pekerjaan hari itu.Jonas tertegun saat melihat Tania yang berada di ruang tamu dengan mata merah yang basah, sangat terlihat seperti habis menangis begitu lama.“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” tanya Jonas sembari mendekati sang adik.“Dia-” Zekey menghentikan ucapannya ketika Tania menggelengkan kepala, menandakan bahwa Zekey tak perlu membe
Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.“Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!” Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.“Kau yang berisik!” balas Delphine.“Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Theoline.” Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.“Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!” Theoline cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.“Kakek akan sangat bangga padamu,” balasku meyakinkannya. “Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama.”“That wo
Segalanya berwarna jingga lembut, menyatu dengan warna musim gugur. Begitu juga dengan buket bunga yang digenggam oleh Tania. Ellaine sendiri yang merangkainya. Terdiri atas Mawar Toffee yang kecokelatan, rumput Oak Phalaris kering berwarna merah tua, Bronze Cremone oranye dan beberapa helai batang gandum yang telah dikeringkan, serta bunga-bunga khas musim gugur lainnya yang menjadikan buket itu amat indah.♪~Anxious … white dress … promises and regret. I gave you my pledge, please remember what I said~♪Tania mendengarkan musik melalui airpods, berusaha menghilangkan rasa gugupnya sejak memulai riasannya beberapa jam yang lalu. Ia hampir berteriak kaget saat seseorang tiba-tiba menepuk punggungnya.“Rob!” pekiknya.“Kau ini!” Pria itu melotot. “Sudah, ayo!”Sementara di tempat upacara, Davin nyaris merasakan seolah pijakannya menghilang.
Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Davin dan Tania. Hari itu, Tania bersama Davin pergi ke penjara untuk menemui Rowan.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Davin memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. “Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran.”“Tidak.” Tania menggeleng lugas. “Aku akan menemuinya.”Davin tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.Tania duduk lebih dulu, sementara Davin berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.Dengan tangan ge
Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.Tania mengangkat wajahnya. “Davin??”“Hei.” Pemuda itu tersenyum. “Sudah waktunya makan siang.”“Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!”“Aku sudah cukup beristirahat, kok.” Davin melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Makan di restoran ayahku saja, yuk?”“A-aku … ba-baiklah.” Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Davin langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.“Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri,” ucap Davin dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.Davin menggandeng Tania menuju
Kondisi Davin membaik setelah dua minggu, tetapi ia tak memutuskan untuk pulang ke Paris dalam waktu dekat. Lagi pula, Catherine melarangnya. Jadilah Davin hanya menghabiskan waktu dengan beristirahat di mansion ayahnya sepanjang hari.Terkadang ia akan memantau Casualads. Namun Catherine hanya mengizinkannya berlama-lama di depan laptop atau tablet selama dua jam dan selalu memastikan bahwa Davin istirahat penuh.“Bagaimana rencana pernikahan Ibu dan ayah?” tanya Davin iseng hari itu.“Ah, yang itu nanti-nanti saja.” Catherine menggeleng. “Kami ingin menunggu sampai semuanya kondusif, sampai kondisimu lebih baik.”“Maafkan aku, kalian jadi harus-”“Ssh!” Catherine menatap Davin serius sebelum akhirnya mengerling ke arah salad buah yang baru saja diletakkannya di atas meja di samping ranjang pemuda itu. “Habiskan.”Setelah Catherine pergi, Davin meraih ponselnya
“Aku merindukan karir modelling-ku,” gumam Tania kala ia menopang dagu dengan kedua tangannya berada di atas ranjang Davin, pandangannya tertuju pada langit yang tampak mendung di luar jendela lantai tiga rumah sakit itu.“Aku justru lega saat mengetahui bahwa kau tak lagi menjadi model,” balas Davin. Seketika Tania kembali tegak, memandangnya tak percaya.“Kau pasti bercanda.”“Tania, aku tidak bermaksud untuk membahas ini lagi, tapi apa kau tahu? Kau sebenarnya cukup beruntung bisa mendapatkan karir yang amat mulus dalam dunia modelling karena ayahku membantumu.” Davin tampak tak yakin tetapi ia berusaha melanjutkan kalimatnya. “Jika kau mengusahakan semuanya sendiri dari awal, kau akan mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan.”“Bagaimana kau tahu?” Tania mengerutkan dahi. “Kau … tidak pernah benar-benar masuk ke dunia modelling, k
Gerald dan Catherine masih tak tahu harus mengatakan apa. Mereka hanya saling berpandangan kala Tania tak hentinya menangis sambil tertunduk di hadapan mereka sejak tadi, sejak mereka datang ke rumah sakit setelah mendapat kabar mengenai kebakaran itu dan putra tunggal mereka menjadi salah satu korbannya.“Maafkan aku,” bisik Tania di tengah isak tangis untuk yang ke sekian kali. Ia kemudian mengerling ke arah Davin yang kini berbaring di ranjang rumah sakit dengan luka bakar derajat 2 di tangan serta kakinya. “Davin jadi seperti ini karena aku.”“Tania, ini bukan salahmu,” balas Catherine. Ia memang tulus mengatakan itu, bukan karena segan atas kehadiran Rob dan Ellaine di ruangan itu yang tadi datang hampir bersamaan dengan mereka.Atau jika ia tidak tulus pun, mungkin tak akan ada yang menyalahkannya juga. Putranya hampir mati dan semua itu demi Tania.“Ini salahku ….” Tania mendadak berlutut di ha
Orang-orang tampak begitu bahagia. Mereka bersorak, bertepuk tangan serta bersulang untuk pasangan yang baru saja menyelesaikan upacara pernikahan itu.Davin memandangi sekelilingnya dengan bingung. Ia lalu melihat tangannya yang entah sejak kapan telah menggenggam segelas wine putih.“Kau menikmati pestanya?” Seseorang menyentuh pundaknya dengan lembut dari belakang. Davin berbalik dan ia mendapati Tania dalam gaun putih khas pengantin yang begitu indah.“Tania??” Davin menggosok mata dengan satu tangannya. “K-kau … apa yang terjadi?”“Apa maksudmu?” Tania tertawa ceria lalu menaikkan telapak tangan, menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari manis kanannya. “Bagus, ya?”Davin melangkah mundur. Ia perhatikan lagi sekelilingnya, semua orang mendadak hilang, hanya ada kursi-kursi untuk para tamu serta dekorasi pesta pernikahan dengan suasana garden party.&l
Selama hari, semuanya berjalan normal hingga tiba hari itu, hari yang menjadi persidangan pertama Rowan atas penyerangan yang dilakukannya terhadap Ellaine tempo hari.Sidang dihadiri cukup banyak orang yang sebagian besar di antaranya adalah orang-orang yang hadir di acara makan malam itu. Beberapa ada yang menjadi saksi, beberapa yang lain hanya datang karena ingin melihat ‘drama’ Rowan sebab mereka juga telah mendengar tentang kasus penipuan yang dilakukan Rowan atas nama Alfred Harvey.Tania memasuki ruang sidang dengan kaki gemetar. Ia duduk di dekat Zekey dan Jonas, di bangku paling depan. Saat ia mengangkat wajahnya untuk melihat sekeliling, pandangannya bertemu dengan pandangan ayahnya yang duduk di kursi tersangka.Pada detik itu, Tania merasakan detak jantungnya seolah berhenti dan lututnya melemah. Jika ia tak sedang duduk, mungkin ia akan jatuh. Sebab bagi Tania, betapa amat menakutkan sepasang mata itu.Mata yang sudah belasan tah