Jonas membaca e-mail yang masuk di ponselnya, sebuah pemberitahuan dari Infinite Corp terkait lamaran pekerjaannya.
Ia tidak diterima.
“Apa yang terjadi?” tanya Zekey. Ia bersiap berangkat kerja pagi itu.
“Mereka tidak menerimaku.” Jonas menghela napas berat, bingung dan cemas.
Zekey menepuk pundaknya untuk menenangkan. “Kau pasti akan menemukan pekerjaan lain, tetaplah semangat.”
Jonas menggeleng. “Aku akan ke sana,” lanjutnya, “aku akan dapatkan pekerjaan apa pun yang mereka berikan.”
“Tapi, Jo-” Zekey meragukan keputusannya, tapi ia juga tak bisa menahan kakaknya.
***
Gerald menyelesaikan sarapan di restoran miliknya pagi itu. Ia masih memikirkan tentang pialanya yang ada di dalam lemari hias Catherine, juga pianonya, ia benar-benar tak bisa memastikan perasaannya saat ini tertuju pada siapa.
Apakah Ellaine, cinta pertamanya yang
“Kau akan tinggal di sini selama di London. Ini bukan keadaan darurat yang mengharuskanmu tinggal di lokasi yang dekat dengan rumah sakit seperti saat di Paris kemarin, jadi tidak perlu mencari hotel.”“Aku mengerti.” Catherine mengangguk setelah mendengar penjelasan Gerald.“Kau bisa tinggal di kamar mana pun yang kau inginkan.”“Okay ....” Catherine mengangkat alis. “Sungguh?”“Kecuali kamarku, tentu saja,” lanjut Gerald yang entah mengapa merasa perlu untuk memberi klarifikasi semacam itu. “Aku sarankan kau tidur di salah satu kamar tamu yang ada di lantai dua, semuanya baru saja dirapikan.”“Baiklah.” Catherine bersiap menarik kopernya tetapi Gerald lebih dulu memerintahkan Jonas untuk membantu.“Terima kasih, Jonas.” Catherine tersenyum padanya dan ia pun berlalu pergi. Catherine memandang sekeliling ruangan itu. Begitu l
Gerald memandang cermin sekali lagi sebelum melangkah keluar dari kamarnya. Ia sudah menyiapkan pidato terbaiknya dan memastikan bahwa penampilannya telah cukup rapi untuk dipotret oleh para wartawan yang datang nanti.Ia melangkah ke luar, Catherine masih belum muncul, diliriknya arloji sekali lagi. Pukul lima lewat tiga puluh menit.Tak lama kemudian terdengar langkah kaki. Gerald mengangkat wajahnya dan melihat Catherine ada di sana, menuruni tangga dengan gaun model mermaid silhouette merah yang begitu memesona. Rambut cokelatnya digulung dan ia tak memakai aksesoris atau perhiasan apa pun, tetapi gaun merah yang dikenakannya itu cukup untuk membuat Gerald terpukau selama beberapa saat hingga ia tak menyadari bahwa Catherine telah sampai di hadapannya.Barangkali karena ia tak pernah melihat Catherine dalam penampilan semacam itu. Dulu mungkin iya, tapi itu sudah belasan tahun yang lalu.Keduanya berjalan menuju limosin yang telah siap di hal
♪~But in your dreams whatever they be, dream a little dream of me~♪ “Sejak tadi aku tidak melihat ayah dan ibuku,” ucap Davin di tengah-tengah dansanya bersama Tania. “Aku juga tidak melihat ibuku, atau Rob.” Tania ikut melirik sekelilingnya. “Apa mereka sudah pulang?” “Kenapa mereka pulang awal sekali??” *** Gerald duduk di sofa dan berusaha meringankan rasa sakit di wajahnya dengan mengompreskan air hangat. Setelah Rob menghajarnya tadi, ia langsung menghubungi Jamie, memberitahunya bahwa ia meninggalkan pesta lebih awal. Sepanjang perjalanan, ia tak bicara pada Catherine yang tentu saja ikut pulang bersamanya. Catherine datang dengan satu mangkuk berisi es batu serta handuk kecil lalu duduk di samping Gerald. “Seharusnya kau jangan mengompresnya dengan air hangat dulu, untuk satu atau dua hari ke depan lebih baik gunakan es.” Gerald tak menanggapi ucapannya. “Sini, biar aku membantu.” Catherine menye
Ellaine menyeka air matanya sekali lagi. Jika ia tak memaksa Rob untuk menceritakan tentang apa yang Rob ketahui soal hubungan Tania dan Gerald, Ellaine mungkin tak akan merasa sepilu ini, tetapi apa yang kemarin malam diucapkan Rob di hadapannya, mengenai Gerald yang menjadi sugar daddy Tania, membuat Ellaine tak bisa melepaskan pikirannya dari hal itu.“Ini salahku,” bisik Ellaine lirih.“Dengar, aku tak menyalahkan Tania atas apa yang pernah dipilihnya, tapi aku juga tidak akan menyalahkanmu, apa lagi membiarkanmu menyalahkan dirimu sendiri.” Rob menggenggam tangan istrinya. “Kau tahu? Tania kini sebenarnya terjebak dalam situasi yang rumit, tapi aku tahu dia akan bisa melaluinya.”“Kenapa aku merasa seperti kau lebih mengenal Tania dari pada aku, ibunya?” Ellaine mengerutkan dahi. “Aku merasa telah menjadi ibu yang buruk.”“Tidak.” Rob menggeleng. “Kau tahu aku menc
Ketika Gerald kembali ke rumah sore itu, dilihatnya Davin ada di ruang tamu, mengobrol bersama Catherine.“Oh, Ayah kira kau sudah kembali ke Paris.” Gerald mengangkat alis.“Tania dan aku berencana pulang besok karena kami ingin menghabiskan waktu di London sedikit lebih lama.” Davin tersenyum melihat ayahnya telah tiba. Diam-diam ia merasakan ada hal yang berbeda, seperti ... telah terjadi sesuatu antara ayah dan ibunya.Namun Davin lebih memilih untuk tak membahasnya.Gerald hanya mengangguk singkat lalu masuk ke kamarnya.“Jadi apa rencanamu selanjutnya, Davin?” Catherine menyentuh tangan putranya, menyadarkan Davin kembali akan pembicaraan serius mereka beberapa saat yang lalu. Davin menghela napas berat, kemudian menggeleng samar.Sementara itu di kamarnya, Gerald mengeluarkan dua tiket resital dari saku jasnya. Ia akan memberikannya pada Catherine nanti setelah Davin pergi.Ketika mentari ter
Pukul sembilan malam ketika Caspian sampai di flat Tania. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang memang disimpan olehnya. Pintu terbuka dan tampak seisi flat yang gelap, tak ada siapa pun. Caspian sengaja menunggu hingga malam untuk memastikan bahwa Tania telah kembali ke Paris bersama Davin.Dinyalakannya lampu. Untuk beberapa saat, ia memandang sekeliling ruangan. Terbersit sesal di hatinya karena telah mengusir Tania dari rumahnya kemarin. Ingin sekali ia menelepon dan meminta maaf. Memang, itu akan membuatnya terkesan tidak konsisten-atau bahkan mungkin memang ia tidak bisa konsisten sama sekali-sebab hati selalu sulit ditebak. Dan saat ini, perasaan sungguh mengambil kontrol penuh atas dirinya, dibandingkan logika.Caspian menghela napas panjang, pasrah. Ia lalu berjalan masuk ke kamar yang pernah ditempatinya. Kameranya ada di atas meja di dekat ranjang.“Eh?!” Caspian terkejut saat memeriksa kameranya dan mendapati satu pemberitahuan yang
Tania berusaha menghentikan tangis dan mengeringkan air matanya di dalam pesawat yang tengah mengudara menuju London siang itu. Ia bersumpah perpisahannya dengan Davin terasa begitu cepat hingga ia butuh waktu untuk mencerna apa yang terjadi. Di pikirannya masih terbayang-bayang saat Davin bicara padanya untuk terakhir kalinya sebelum Tania melangkah pergi dari rumah itu.“Mungkin kita akan bertemu lagi suatu saat nanti. Mungkin suatu saat nanti, kita akan tepat untuk satu sama lain dan tak akan jadi terlalu sulit bagimu untuk mencintaiku. Aku harap kita akan terhubung kembali suatu saat nanti karena tak ada seorang pun yang mampu mencuri hatiku seperti yang kau lakukan.” Davin merapikan rambut Tania yang menutupi sedikit bagian wajahnya. “Tapi saat itu bukanlah sekarang. Sekarang, kita hanya saling memaksa dan berpura-pura. Itu semua hanya akan menciptakan lebih banyak luka.”Tania mengangguk. Ia tak sanggup bicara dengan isak
“Kondisi lelaki muda itu tidak terlalu parah. Hanya sedikit cedera di kaki dan tangan, tapi untuk teman perempuannya … wajahnya terluka cukup parah dan harus mendapatkan lima jahitan di bagian dagu serta empat jahitan di pelipis kirinya.” Penjelasan dokter yang baru keluar dari ruang ICU itu membuat Catherine mendesis, membayangkan ngerinya luka yang dialami Tania. “Keduanya sama-sama belum sadar dan harus tetap di ICU.”Dokter itu berlalu pergi diikuti oleh perawat di belakangnya. Tak lama kemudian, seorang polisi lainnya mendekat.“Ponsel salah satu korban rusak dan yang lainnya hilang, kami tak bisa menghubungi pihak keluarga,” lapornya pada rekan polisinya.“Tidakkah sebaiknya kita beritahu Ellaine dan Rob?” bisik Catherine sambil menyenggol pelan lengan Gerald.Gerald menyamarkan helaan napasnya. “Berikan saja kontak yang bisa dihubungi, lalu biarkan polisi atau piha
Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.“Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!” Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.“Kau yang berisik!” balas Delphine.“Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Theoline.” Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.“Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!” Theoline cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.“Kakek akan sangat bangga padamu,” balasku meyakinkannya. “Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama.”“That wo
Segalanya berwarna jingga lembut, menyatu dengan warna musim gugur. Begitu juga dengan buket bunga yang digenggam oleh Tania. Ellaine sendiri yang merangkainya. Terdiri atas Mawar Toffee yang kecokelatan, rumput Oak Phalaris kering berwarna merah tua, Bronze Cremone oranye dan beberapa helai batang gandum yang telah dikeringkan, serta bunga-bunga khas musim gugur lainnya yang menjadikan buket itu amat indah.♪~Anxious … white dress … promises and regret. I gave you my pledge, please remember what I said~♪Tania mendengarkan musik melalui airpods, berusaha menghilangkan rasa gugupnya sejak memulai riasannya beberapa jam yang lalu. Ia hampir berteriak kaget saat seseorang tiba-tiba menepuk punggungnya.“Rob!” pekiknya.“Kau ini!” Pria itu melotot. “Sudah, ayo!”Sementara di tempat upacara, Davin nyaris merasakan seolah pijakannya menghilang.
Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Davin dan Tania. Hari itu, Tania bersama Davin pergi ke penjara untuk menemui Rowan.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Davin memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. “Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran.”“Tidak.” Tania menggeleng lugas. “Aku akan menemuinya.”Davin tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.Tania duduk lebih dulu, sementara Davin berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.Dengan tangan ge
Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.Tania mengangkat wajahnya. “Davin??”“Hei.” Pemuda itu tersenyum. “Sudah waktunya makan siang.”“Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!”“Aku sudah cukup beristirahat, kok.” Davin melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Makan di restoran ayahku saja, yuk?”“A-aku … ba-baiklah.” Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Davin langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.“Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri,” ucap Davin dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.Davin menggandeng Tania menuju
Kondisi Davin membaik setelah dua minggu, tetapi ia tak memutuskan untuk pulang ke Paris dalam waktu dekat. Lagi pula, Catherine melarangnya. Jadilah Davin hanya menghabiskan waktu dengan beristirahat di mansion ayahnya sepanjang hari.Terkadang ia akan memantau Casualads. Namun Catherine hanya mengizinkannya berlama-lama di depan laptop atau tablet selama dua jam dan selalu memastikan bahwa Davin istirahat penuh.“Bagaimana rencana pernikahan Ibu dan ayah?” tanya Davin iseng hari itu.“Ah, yang itu nanti-nanti saja.” Catherine menggeleng. “Kami ingin menunggu sampai semuanya kondusif, sampai kondisimu lebih baik.”“Maafkan aku, kalian jadi harus-”“Ssh!” Catherine menatap Davin serius sebelum akhirnya mengerling ke arah salad buah yang baru saja diletakkannya di atas meja di samping ranjang pemuda itu. “Habiskan.”Setelah Catherine pergi, Davin meraih ponselnya
“Aku merindukan karir modelling-ku,” gumam Tania kala ia menopang dagu dengan kedua tangannya berada di atas ranjang Davin, pandangannya tertuju pada langit yang tampak mendung di luar jendela lantai tiga rumah sakit itu.“Aku justru lega saat mengetahui bahwa kau tak lagi menjadi model,” balas Davin. Seketika Tania kembali tegak, memandangnya tak percaya.“Kau pasti bercanda.”“Tania, aku tidak bermaksud untuk membahas ini lagi, tapi apa kau tahu? Kau sebenarnya cukup beruntung bisa mendapatkan karir yang amat mulus dalam dunia modelling karena ayahku membantumu.” Davin tampak tak yakin tetapi ia berusaha melanjutkan kalimatnya. “Jika kau mengusahakan semuanya sendiri dari awal, kau akan mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan.”“Bagaimana kau tahu?” Tania mengerutkan dahi. “Kau … tidak pernah benar-benar masuk ke dunia modelling, k
Gerald dan Catherine masih tak tahu harus mengatakan apa. Mereka hanya saling berpandangan kala Tania tak hentinya menangis sambil tertunduk di hadapan mereka sejak tadi, sejak mereka datang ke rumah sakit setelah mendapat kabar mengenai kebakaran itu dan putra tunggal mereka menjadi salah satu korbannya.“Maafkan aku,” bisik Tania di tengah isak tangis untuk yang ke sekian kali. Ia kemudian mengerling ke arah Davin yang kini berbaring di ranjang rumah sakit dengan luka bakar derajat 2 di tangan serta kakinya. “Davin jadi seperti ini karena aku.”“Tania, ini bukan salahmu,” balas Catherine. Ia memang tulus mengatakan itu, bukan karena segan atas kehadiran Rob dan Ellaine di ruangan itu yang tadi datang hampir bersamaan dengan mereka.Atau jika ia tidak tulus pun, mungkin tak akan ada yang menyalahkannya juga. Putranya hampir mati dan semua itu demi Tania.“Ini salahku ….” Tania mendadak berlutut di ha
Orang-orang tampak begitu bahagia. Mereka bersorak, bertepuk tangan serta bersulang untuk pasangan yang baru saja menyelesaikan upacara pernikahan itu.Davin memandangi sekelilingnya dengan bingung. Ia lalu melihat tangannya yang entah sejak kapan telah menggenggam segelas wine putih.“Kau menikmati pestanya?” Seseorang menyentuh pundaknya dengan lembut dari belakang. Davin berbalik dan ia mendapati Tania dalam gaun putih khas pengantin yang begitu indah.“Tania??” Davin menggosok mata dengan satu tangannya. “K-kau … apa yang terjadi?”“Apa maksudmu?” Tania tertawa ceria lalu menaikkan telapak tangan, menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari manis kanannya. “Bagus, ya?”Davin melangkah mundur. Ia perhatikan lagi sekelilingnya, semua orang mendadak hilang, hanya ada kursi-kursi untuk para tamu serta dekorasi pesta pernikahan dengan suasana garden party.&l
Selama hari, semuanya berjalan normal hingga tiba hari itu, hari yang menjadi persidangan pertama Rowan atas penyerangan yang dilakukannya terhadap Ellaine tempo hari.Sidang dihadiri cukup banyak orang yang sebagian besar di antaranya adalah orang-orang yang hadir di acara makan malam itu. Beberapa ada yang menjadi saksi, beberapa yang lain hanya datang karena ingin melihat ‘drama’ Rowan sebab mereka juga telah mendengar tentang kasus penipuan yang dilakukan Rowan atas nama Alfred Harvey.Tania memasuki ruang sidang dengan kaki gemetar. Ia duduk di dekat Zekey dan Jonas, di bangku paling depan. Saat ia mengangkat wajahnya untuk melihat sekeliling, pandangannya bertemu dengan pandangan ayahnya yang duduk di kursi tersangka.Pada detik itu, Tania merasakan detak jantungnya seolah berhenti dan lututnya melemah. Jika ia tak sedang duduk, mungkin ia akan jatuh. Sebab bagi Tania, betapa amat menakutkan sepasang mata itu.Mata yang sudah belasan tah