“Kondisi lelaki muda itu tidak terlalu parah. Hanya sedikit cedera di kaki dan tangan, tapi untuk teman perempuannya … wajahnya terluka cukup parah dan harus mendapatkan lima jahitan di bagian dagu serta empat jahitan di pelipis kirinya.” Penjelasan dokter yang baru keluar dari ruang ICU itu membuat Catherine mendesis, membayangkan ngerinya luka yang dialami Tania. “Keduanya sama-sama belum sadar dan harus tetap di ICU.”
Dokter itu berlalu pergi diikuti oleh perawat di belakangnya. Tak lama kemudian, seorang polisi lainnya mendekat.
“Ponsel salah satu korban rusak dan yang lainnya hilang, kami tak bisa menghubungi pihak keluarga,” lapornya pada rekan polisinya.
“Tidakkah sebaiknya kita beritahu Ellaine dan Rob?” bisik Catherine sambil menyenggol pelan lengan Gerald.
Gerald menyamarkan helaan napasnya. “Berikan saja kontak yang bisa dihubungi, lalu biarkan polisi atau piha
Tania merasakan tangan yang hangat menggenggam tangannya. Perlahan ia berusaha membuka mata dan memokuskan pandangan hingga terlihatlah ibunya ada di hadapannya, menatapnya dengan ekspresi cemas dengan Rob di sisinya.“Apa yang terjadi?” bisik Tania dengan suara parau.“Kau dan Caspian mengalami kecelakaan.” Ellaine membelai rambut putrinya. “Kalian baru saja dipindahkan dari ICU ke ruang rawat inap ini.”Tania melirik ke samping kirinya. Hanya beberapa meter darinya tampak Caspian berbaring di ranjang dengan tangan dibebat. Sepasang matanya terpejam.Kemudian, ia ingat kejadian itu. Begitu cepat dan mengejutkan. Ia terpental jauh dan merasa begitu sakit di tengah guyuran hujan deras malam itu.Tania kembali mencoba memokuskan pandangannya dan melihat Catherine tak jauh darinya.“Catherine …,” gumamnya lagi.“Oh, dan kalian menabrak mobil Gerald,” ucap Rob tiba-tiba, s
Jonas menyimpan ke tempatnya semula kunci Audi A6 yang tadi baru saja dikendarainya saat pergi ke rumah sakit bersama Catherine. Besok akhir pekan dan dia akan kembali ke flat kecilnya malam ini. Namun, apa yang baru saja terjadi benar-benar membuatnya gelisah.Jonas tak bisa berhenti memikirkan tentang sosok Ellaine dan putrinya, Tania. Jonas tak ragu lagi bahwa Ellaine dan Tania adalah ibu dan adiknya yang telah berpisah darinya sejak belasan tahun lalu ketika ia memutuskan untuk melarikan diri dari rumah bersama Zekey.Ya, itu memang sudah lama, dan Jonas mungkin hampir tak bisa mengenali Tania sama sekali mengingat terakhir kali ia bertemu adiknya itu adalah saat Tania berusia lima tahun dan kini, ia telah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang amat cantik. Siapa yang bisa menyalahkannya jika ia pun tak mengenali Jonas sama sekali? Mereka berdua banyak berubah.Namun, tak sulit bagi Jonas untuk mengenali Ellaine. Ia masih benar-benar ingat wajah ibuny
Zekey bahkan belum membersihkan dirinya setelah pulang dari bengkel malam itu, ia langsung menghubungi Jonas dan memintanya agar datang ke flat. Zekey merasa tak bisa menunggu sampai akhir pekan saat kakaknya pulang seperti biasa.“Memangnya ada apa, sih?” Jonas akhirnya sampai di flat dan Zekey masih dalam seragam kerjanya yang kotor. “Kau tampak bersemangat sekali, tidak bisa bicara lewat telepon saja?”“Jonas, kau tak akan percaya ini.” Sepasang mata Zekey berbinar. “Aku telah bertemu ibu!”Dengan satu kalimat itu, Jonas langsung terdiam.“Ibu?” gumam Jonas setelah beberapa detik.“Itu benar. Ibu! Ibu kita!” Mata Zekey kini tampak basah oleh air mata bahagia. “Kau ingat ceritaku kemarin tentang sepeda motor yang rusak karena kecelakaan? Tadi pemiliknya datang lagi bersama istrinya yang ternyata adalah ibu kita!”Pikiran Jonas langsung berkecamuk. Tak lagi
Setelah beberapa hari, Tania mulai akrab dan sering berkirim pesan dengan Zekey. Mereka hanya membicarakan tentang hal sehari-hari. Tak banyak kenangan dari masa kecil yang bisa dibahas sebab itu hanya akan membongkar kembali semua luka mereka.“Ini sudah hampir seminggu sejak kita bertemu Zekey, tapi dia tetap saja bilang bahwa Jonas sibuk.” Ellaine bersandar gelisah pada sofa di ruang tamu flat Tania. Ellaine memutuskan untuk menemani Tania di flatnya pasca kembali dari rumah sakit. “Apa kau memikirkan apa yang Ibu pikirkan?”“Maksud Ibu?” Tania mengalihkan pandangan dari ponselnya.“Well, Ibu berpikir bahwa Jonas mungkin memang tak mau bertemu dengan kita, terutama dengan Ibu.”“Ibu, jangan berpikir begitu.” Ekspresi Tania langsung berubah sedih. “Mungkin Jonas memang sangat sibuk.”“Hm, Ibu punya ide. Bagaimana jika kita telepon Catherine dan tanyakan padanya
Rob memandangi Ellaine yang berbaring di ranjang di sebelah Orion sambil menyanyikan ninabobo dengan suara pelan. Sejak Rob menjemputnya di bandara, istrinya itu tak berhenti menangis. Namun Rob tahu, tangisan Ellaine bukan semata-mata karena putra mereka yang sakit, melainkan ada hal lain.Dan setelah Rob memohon padanya agar bercerita, Rob berharap ia tak pernah mendengar cerita menyedihkan semacam itu lagi.“Bukan salahmu jika Jonas membencimu,” ucap Rob pelan, tak ingin membangunkan Orion yang mulai terlelap setelah minum obat. “Ini hanya kesalahpahaman. Nanti kalian pasti bisa berbincang lagi dengan kepala dingin dan semuanya akan baik-baik saja.”Ellaine menyeka air matanya yang masih mengalir. Kemudian dilihatnya Orion. Anak itu kelihatannya sudah lelap. Keningnya berkeringat efek dari obat yang tadi ia minum.Perlahan Ellaine turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.“El ….&
Menara Eiffel terlihat dari kejauhan melalui kaca jendela kamar hotel yang kini ditempati Gerald dan Catherine. Gerald masih tampak sibuk di sofa dengan laptop di pangkuannya sedangkan Catherine terus memandangi keindahan kota itu dari kamar yang terletak di lantai sebelas.“Kenapa kau memilih menginap di hotel?” tanya Catherine. “Tidakkah kau punya rumah di Paris.”“Oh, tentu aku punya.” Gerald tetap pada laptopnya. “Rumah itu sudah lama tak ditempati dan semua perabotnya ditutup kain agar tak berdebu. Aku tak mau repot-repot. Lebih baik menginap di hotel saja agar lebih praktis, lagi pula hanya untuk satu atau dua hari.”“Bagaimana jika kau punya tamu?”“Tamu? Mereka bisa menemuiku di kantor.”Catherine mengalihkan pandangannya dari luar jendela dan berjalan menuju lemari untuk mengambil gaun tidurnya yang telah ia simpan di sana. Setelahnya ia berjalan ke kamar mandi untuk b
Davin terus tersenyum kala memandangi kedua orang tuanya bergantian. Ia tahu bahwa suatu hari mereka pasti akan kembali bersama lagi, Davin tak pernah berhenti berharap akan hal itu dan kini, semuanya benar-benar terjadi.“Davin, kenapa kau melihat kami seperti itu?” tegur Catherine.“Uhm, aku hanya suka melihatnya.” Davin mengedikkan bahu. “Ayah dan Ibu tampak … mesra?”Gerald dan Catherine berpandangan selama beberapa saat lalu tertawa.“Ah, kau ini.” Catherine menggeleng sambil tersenyum.Obrolan mereka disela sejenak oleh pelayan yang datang dan meletakkan makanan pembuka yang sebelumnya telah dipesan.“Kapan kalian akan kembali ke London?” Davin membuka kembali percakapan setelah pelayan pergi.“Besok siang,” jawab Gerald.Davin memandangi hidangan crab fondue yang menjadi makanan pembuka pilihannya. Selama beberapa saat ia tak bicara l
Baru beberapa jam tiba di London, Davin langsung diajak oleh Gerald untuk pergi ke lokasi yang rencananya akan menjadi kantor cabang Casualads. Seperti yang sebelumnya dikatakan Gerald, gedung itu terletak di kawasan yang cukup ramai.“Nanti Ayah akan membeli semua yang diperlukan. Meja, kursi, lemari, komputer, semuanya,” ucap Gerald sembari memandang sekeliling ruangan yang masih tampak kosong dan amat lengang. “Soal pegawai juga, Ayah sudah menyiapkan beberapa orang.”Davin menatap Ayahnya yang sejak tadi sibuk bicara.“Nanti kau bisa membuka lowongan lagi jika merasa kurang,” lanjut Gerald.“Ayah, apa semua yang Ayah lakukan ini tidak terlalu … berlebihan?”Gerald balas menatap putranya lalu menghela napas.“Berhenti berkata begitu, Davin. Ayah ingin memastikan bahwa kini Ayah melakukan tugas sebagai orang tua, mendukungmu dengan melakukan apa pun yang bisa Ayah lakukan.”
Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.“Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!” Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.“Kau yang berisik!” balas Delphine.“Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Theoline.” Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.“Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!” Theoline cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.“Kakek akan sangat bangga padamu,” balasku meyakinkannya. “Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama.”“That wo
Segalanya berwarna jingga lembut, menyatu dengan warna musim gugur. Begitu juga dengan buket bunga yang digenggam oleh Tania. Ellaine sendiri yang merangkainya. Terdiri atas Mawar Toffee yang kecokelatan, rumput Oak Phalaris kering berwarna merah tua, Bronze Cremone oranye dan beberapa helai batang gandum yang telah dikeringkan, serta bunga-bunga khas musim gugur lainnya yang menjadikan buket itu amat indah.♪~Anxious … white dress … promises and regret. I gave you my pledge, please remember what I said~♪Tania mendengarkan musik melalui airpods, berusaha menghilangkan rasa gugupnya sejak memulai riasannya beberapa jam yang lalu. Ia hampir berteriak kaget saat seseorang tiba-tiba menepuk punggungnya.“Rob!” pekiknya.“Kau ini!” Pria itu melotot. “Sudah, ayo!”Sementara di tempat upacara, Davin nyaris merasakan seolah pijakannya menghilang.
Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Davin dan Tania. Hari itu, Tania bersama Davin pergi ke penjara untuk menemui Rowan.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Davin memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. “Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran.”“Tidak.” Tania menggeleng lugas. “Aku akan menemuinya.”Davin tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.Tania duduk lebih dulu, sementara Davin berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.Dengan tangan ge
Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.Tania mengangkat wajahnya. “Davin??”“Hei.” Pemuda itu tersenyum. “Sudah waktunya makan siang.”“Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!”“Aku sudah cukup beristirahat, kok.” Davin melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Makan di restoran ayahku saja, yuk?”“A-aku … ba-baiklah.” Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Davin langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.“Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri,” ucap Davin dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.Davin menggandeng Tania menuju
Kondisi Davin membaik setelah dua minggu, tetapi ia tak memutuskan untuk pulang ke Paris dalam waktu dekat. Lagi pula, Catherine melarangnya. Jadilah Davin hanya menghabiskan waktu dengan beristirahat di mansion ayahnya sepanjang hari.Terkadang ia akan memantau Casualads. Namun Catherine hanya mengizinkannya berlama-lama di depan laptop atau tablet selama dua jam dan selalu memastikan bahwa Davin istirahat penuh.“Bagaimana rencana pernikahan Ibu dan ayah?” tanya Davin iseng hari itu.“Ah, yang itu nanti-nanti saja.” Catherine menggeleng. “Kami ingin menunggu sampai semuanya kondusif, sampai kondisimu lebih baik.”“Maafkan aku, kalian jadi harus-”“Ssh!” Catherine menatap Davin serius sebelum akhirnya mengerling ke arah salad buah yang baru saja diletakkannya di atas meja di samping ranjang pemuda itu. “Habiskan.”Setelah Catherine pergi, Davin meraih ponselnya
“Aku merindukan karir modelling-ku,” gumam Tania kala ia menopang dagu dengan kedua tangannya berada di atas ranjang Davin, pandangannya tertuju pada langit yang tampak mendung di luar jendela lantai tiga rumah sakit itu.“Aku justru lega saat mengetahui bahwa kau tak lagi menjadi model,” balas Davin. Seketika Tania kembali tegak, memandangnya tak percaya.“Kau pasti bercanda.”“Tania, aku tidak bermaksud untuk membahas ini lagi, tapi apa kau tahu? Kau sebenarnya cukup beruntung bisa mendapatkan karir yang amat mulus dalam dunia modelling karena ayahku membantumu.” Davin tampak tak yakin tetapi ia berusaha melanjutkan kalimatnya. “Jika kau mengusahakan semuanya sendiri dari awal, kau akan mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan.”“Bagaimana kau tahu?” Tania mengerutkan dahi. “Kau … tidak pernah benar-benar masuk ke dunia modelling, k
Gerald dan Catherine masih tak tahu harus mengatakan apa. Mereka hanya saling berpandangan kala Tania tak hentinya menangis sambil tertunduk di hadapan mereka sejak tadi, sejak mereka datang ke rumah sakit setelah mendapat kabar mengenai kebakaran itu dan putra tunggal mereka menjadi salah satu korbannya.“Maafkan aku,” bisik Tania di tengah isak tangis untuk yang ke sekian kali. Ia kemudian mengerling ke arah Davin yang kini berbaring di ranjang rumah sakit dengan luka bakar derajat 2 di tangan serta kakinya. “Davin jadi seperti ini karena aku.”“Tania, ini bukan salahmu,” balas Catherine. Ia memang tulus mengatakan itu, bukan karena segan atas kehadiran Rob dan Ellaine di ruangan itu yang tadi datang hampir bersamaan dengan mereka.Atau jika ia tidak tulus pun, mungkin tak akan ada yang menyalahkannya juga. Putranya hampir mati dan semua itu demi Tania.“Ini salahku ….” Tania mendadak berlutut di ha
Orang-orang tampak begitu bahagia. Mereka bersorak, bertepuk tangan serta bersulang untuk pasangan yang baru saja menyelesaikan upacara pernikahan itu.Davin memandangi sekelilingnya dengan bingung. Ia lalu melihat tangannya yang entah sejak kapan telah menggenggam segelas wine putih.“Kau menikmati pestanya?” Seseorang menyentuh pundaknya dengan lembut dari belakang. Davin berbalik dan ia mendapati Tania dalam gaun putih khas pengantin yang begitu indah.“Tania??” Davin menggosok mata dengan satu tangannya. “K-kau … apa yang terjadi?”“Apa maksudmu?” Tania tertawa ceria lalu menaikkan telapak tangan, menunjukkan cincin pernikahan yang melingkar di jari manis kanannya. “Bagus, ya?”Davin melangkah mundur. Ia perhatikan lagi sekelilingnya, semua orang mendadak hilang, hanya ada kursi-kursi untuk para tamu serta dekorasi pesta pernikahan dengan suasana garden party.&l
Selama hari, semuanya berjalan normal hingga tiba hari itu, hari yang menjadi persidangan pertama Rowan atas penyerangan yang dilakukannya terhadap Ellaine tempo hari.Sidang dihadiri cukup banyak orang yang sebagian besar di antaranya adalah orang-orang yang hadir di acara makan malam itu. Beberapa ada yang menjadi saksi, beberapa yang lain hanya datang karena ingin melihat ‘drama’ Rowan sebab mereka juga telah mendengar tentang kasus penipuan yang dilakukan Rowan atas nama Alfred Harvey.Tania memasuki ruang sidang dengan kaki gemetar. Ia duduk di dekat Zekey dan Jonas, di bangku paling depan. Saat ia mengangkat wajahnya untuk melihat sekeliling, pandangannya bertemu dengan pandangan ayahnya yang duduk di kursi tersangka.Pada detik itu, Tania merasakan detak jantungnya seolah berhenti dan lututnya melemah. Jika ia tak sedang duduk, mungkin ia akan jatuh. Sebab bagi Tania, betapa amat menakutkan sepasang mata itu.Mata yang sudah belasan tah